Anda di halaman 1dari 11

Demam Tifoid

Definisi

Demam typoid adalah suatu penyakit

sistemik yang disebabkan oleh kuman

Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat serta berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara
berkembang.
Demam typoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala
sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa,salmonella tipe A,B dan C.Penularan
terjadi secara fecal,oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi ( oro-fecal ).
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum.

Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular
lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang di mana hygiene pribadi dan sanitasi
lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi
lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17
juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini. WHO memperkirakan
70% kematian terjadi di Asia.
Di Amerika Serikat, pada tahun 1950 tercatat sebanyak 2.484 kasus demam tifoid.
Insidensi di Amerika Serikat menurun sejak tahun 1990 menjadi 300-500 kasus per tahun.
Penurunan ini sering dihubungkan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
perilaku hidup bersih dan terutama dengan meluasnya pemakaian jamban yang sehat. Kasus
yang terjadi di Amerika sebagian besar adalah kasus impor dari negara endemik demam
tifoid.
Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk setiap tahunnya,
sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per tahun.

Meskipun demam tifoid menyerang semua usia, namun golongan terbesar tetap pada usia
kurang dari 20 tahun.
Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800
penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ini
tersebar di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh antar daerah. Serangan
penyakit lebih bersifat sporadis dan bukan epidemik. Dalam suatu daerah terjadi kasus yang
berpencar-pencar dan tidak mengelompok. Sangat jarang ditemukan beberapa kasus pada
satu keluarga pada saat yang bersamaan.
Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Prinsip penularan penyakit
ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier
(pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan
makanan. Mekanisme makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri sangat bervariasi.
Kuman Salmonella dapat berkembang biak untuk mencapai kadar infektif dan
bertahan lama dalam makanan. Makanan yang sudah dingin dan dibiarkan di tempat terbuka
merupakan media mikroorganisme yang lebih disukai.
Selain penderita tifoid, sumber penularan utama berasal dari carrier. Seorang carrier
biasanya berusia dewasa, sangat jarang terjadi pada anak. Kuman Salmonella bersembunyi
dalam kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan berlemak,
maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan untuk mencerna lemak,
bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella). Setelah itu, cairan empedu dan
mikroorganisme dibuang melalui tinja yang berpotensi menjadi sumber penularan penyakit.
Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan
penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang terkontaminasi oleh carrier
dianggap paling bertanggungjawab terhadap penularan.
Kreteria Diagnosis

Demam naik secara perlahan lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama
pada sore/malam hari

Sulit BAB atau diare, sakit kepala

Kesadaran berkabut, bradikardia relatif, lidah kotor, nyeri abdomen, hepatomegali


atau splenomegali

Kriteria Zulkarnaen:
o Febris > 7 hari, naik perlahan, seperti anak tangga bisa remitten atau kontinua,
disertai delirium/apatis, gangguan defekasi.
Terdapat 2 atau lebih : Lekopeni
Malaria
Kelainan urine
o Terdapat 2 atau lebih:
Penurunan kesadaran
Bradikardi relatif
Rangsang meningeal
Splenomegali
Perdarahan usus
o Dengan pemberian chloramfenicol 4 x 500mg, suhu akan lisis dalam 3-5 hari.
o Temperatur turun, nadi naik : Toten creutz

Diagnosis ditegakkan dari


o Riwayat dan gejala klinik sesuai untuk typhus ( 5 gejala kardinal dianggap
sebagai positif, 3 gejala kardinal sign)
55 cardinal sign ( Manson Bahr (1985))
1. Demam
2. Ratio frekuensi nadi = suhu yang rendah (bradikardi relatif).
3. Toxemia yang karakteristik
4. Splenomegali
5. Rose spot
o Sign lainnya:
1. Distensi abdomen
2. Pea soup stool
3. Perdarahan intestinal
o Biakkan Salmonella typhi +
o Tes widal meingkat atau peninggian 4 kali pada 2 kali pemeriksaan
o Gall kultur +, media SS agar

Patofisiologi
Patofisiologi demam typhoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu:
1. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch
2. Mikroorganisme bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus
limfatikus mesenterikus dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
3. Mikroorganisme bertahan hidup di dalam aliran darah
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar CAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 4
Mikroorganisme Salmonella Typhi dan Salmonella parathyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan atau minuman terkontaminasi. Sebagian mikroorganisme di
musnahkan dalam lambung dengan pH <2,7 sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa ( IgA ) usus kurang baik
maka mikroorganisme akan menembus sel-sel epitel ( terutama sel M ) dan selanjutnya ke
lamina propia. Propia mikroorganisme berkembang biak dan difagosit oleh makrorag.
Mikroorganisme dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di
bawa ke Plak Peyeriileum Distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. 4
Patologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat
di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi

mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental,
dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi selsel monokuler di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengkaibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.

Source: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31283/3/Chapter%20II.pdf
Gejala Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakti infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikarida relatif (bradikardia relatif
adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah
yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegaly, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Komplikasi yang bisa terjadi adalah:


-

Perforasi usus

Perdarahan usus

Neuropsikiatri (koma)

Pemeriksaan Penunjang

Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibody yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspense Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
-

Aglutinin O (dari tubuh kuman)

Aglutinin H (flagella kuman)

Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12
bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu:
1. Pengobatan dini dengan antibiotic
2. Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid
3. Waktu pengambilan darah
4. Daerah endemik atau nonendemik
5. Riwayat vaksinasi

6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7. Faktor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Batas titer hanya berlaku setempat dan batas ini dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.

Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S. typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi
oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.

Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antobodi IgM dan IgG
terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Uji IgM Dipstick


Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada
spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen
deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna,
cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung
uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 425oC di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan
inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada
suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.

Secara

semi-kuantitatif,

diberikan

penilaian

terhadap

garis

uji

dengan

membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik.

Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal:
-

Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.

Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman.

Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah


pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.

Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.

Penatalaksanaan
Pengobatan memakai prinsip trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
A. Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Obat yang
sering dipergunakan adalah:
1. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.
2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2x500 mg selama 6 hari; ofloxacin
600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
B. Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya komplikasi. Penderita

sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari
demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita.
9

Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga


karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan air kecil.
C. Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi makanan berupa
bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan
akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi
dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita.
Pencegahan
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan demam tifoid.
Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu. Sanitasi
lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit.
Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal-hal berikut:
1. Penyediaan sumber air minum yang baik
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidi sebelum diminum
5. Pemberantasan lalat
6. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
7. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
8. Imunisasi
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di AS(kecuali pada kelompok yang beresiko
tinggi), imunisasi pencegahan tifoid termasukd dalam program pengembangan imunisasi
yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis
karena keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, orangtua harus
membayar biaya imunisasi untuk anaknya.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah:
1. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. Typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar
1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun
0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis ini diberikan 2 kali denan interval 4 minggu.

10

Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini
sudah tidak beredar lagi.
2. Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. Typhi strain Ty21a hidup. Vaksin ini
diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1
minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5
tahun.
3. Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan
secara parental dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun
dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar 60-70%.
Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif paling aman.
Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak dengan penderita seperti
anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid, dianggap kurang bermanfaat,
tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carrier.
Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asalkan penderita cepat datang
berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat
seperti:
o Giperpireksia atau febris kontinua
o Kesadaran yang menurun sekali: sopor, koma, delirium
o Komplikasi berat: dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronchopneumonia
o Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein)

11

Anda mungkin juga menyukai