Cairan parenteral
Kristaloid :
Kelompok cairan non ionik yang kebanyakan bersifat iso-osmolar
Gagal ginjal
Anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharusnya diobati dengan transfusi sel darah
merah maupun dengan eritropoetin manusia rekombinan.
Gagal sumsum tulang
Penderita gagal sumsum tulang karena leukimia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrasi keganasan
akan membutuhkan bukan saja sel darah merah, namun juga komponen darah yang lain.
Penderita yang tergantung trasnfusi
Penderita sindrom talasemia berat, anemia aplastik, dan anemia sideroblastik membutuhkan
transfusi secara teratur setiap empat sampai enam minggu, sehingga mereka mampu menjalani
kehidupan yang normal.
Penderita sel bulan sabit
Beberapa penderita penyakit ini membutuhkan trasnfusi secara teratur, terutama setelah stoke,
karena sindrom dada berulang yang mengancam jiwa, dan selama kehamilan.
Penyakit hemolitik neonatus
Penyakit hemolitik neonatus juga dapat menjadi indikasi untuk transfusi pengganti, jika neonatus
mengalami hiperbilirubinemia berat atau anemia.
Pergantian cairan sesuai perkiraan jumlah darah yang hilang (Estimate Blood Loss) :
Kristaloid (Ra, NaCl 0,9 %, RA) : 2 4 kali EBL
Koloid
- Gelatin : 2 kali EBL
- Dekstran, HES : 1 kali EBL
Pendahuluan
Pembahasan mengenai terapi cairan ini akan dibahas secara garis besar saja, mengingat
pembahasan tentang terapi cairan ini sangat luas.
Tubuh sebagian besar terdiri dari air. Air dan zat-zat yang terlarut di dalamnya (cairan tubuh),
menjadi pengangkut zat makanan ke semua sel tubuh dan mengeluarkan bahan sisa dari dalamnya
untuk menunjang berlangsungnya kehidupan. Jumlah air tubuh berbeda-beda tergantung pada
umur, jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya lemak tubuh.
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah :
1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh
dan komponen darah)
4. Serangan panas (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)
5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain :
1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke
dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis).
Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi,
meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit
memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa
melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya
dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui
mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya
antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya polications dan sangat polar,
sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam
darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada
sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui
jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan
intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk ke pernapasan), sehingga
pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah
tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada
penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui
infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang
baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan
risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk
memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan
cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga
tidak dapat dipasang jalur infus.
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah
Vena
1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat
(misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infuse :
1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah
arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau
tusukan berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi
akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang
tidak dipantau secara ketat dan benar.
4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang
ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus :
1. Rasa perih / sakit
2. Reaksi alergi
Jenis Cairan Infus
1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih
rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum.
Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang
dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah
(dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari
dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan
intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki
risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan
elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose
5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya :
1. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume
expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang
memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
2. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari
membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat
menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
Cairan yang digunakan dalam terapi
Cairan yang sering digunakan ialah cairan elektrolit (kristaloid) cairan non-elektrolit, dan cairan
koloid.
Cairan elektrolit (kristaloid) :
Sesuai dengan penggunaannya dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu untuk pemeliharaan,
pengganti dan tujuan khusus.
Cairan pemeliharaan (rumatan) :
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat.
Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu:
Dewasa : 1,5 - 2 ml/kg/jam
Anak-anak : 2 - 4 ml/kg/jam
Bayi : 4 - 6 ml/kg/jam
Orok (neonatus) : 3 ml/kg/jam
Mengingat cairan yang hilang dengan cara ini sedikit sekali mengandung elektrolit, maka sebagai
cairan pengganti adalah hipotonik, dengan perhatian khusus untuk natrium.
Cairan kristaloid untuk pemeliharaan misalnya dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45% (D5NaCl 0,45).
Sediaan Cairan Pemeliharaan (rumatan)
Cairan pengganti :
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuestrasi atau
proses patologi yang lain (misalnya fistula, efusi pleura, asites drainase lambung dsb).
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis, dengan perhatian khusus untuk
konsentrasi natrium, misalnya dekstrose 5 % dalam ringer laktat (D5RL), NaCl 0,9 %, D5 NaCl.
Sediaan Cairan Pengganti
Example of Operation
Rates
Minor
Tendon repairTympanoplasty
0 3 ml/kg/hr
Moderate
HysterectomyInguinal hernia
6 ml/kg/hr
Major
9 ml/kg/hr
Volume
Neonates*Prematur
90 ml/kgBB
*full term
85 ml/kgBB
Bayi
80 ml/kgBB
Dewasa
75 ml/kgBB
*Laki-laki
65 ml/kgBB
*Wanita
Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan kristaloid, pemberian
transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan:
Keadaan umum penderita ( kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan
Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit.
Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:
1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin sebesar 1gr%
dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr%. Monitor organorgan vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga dieresis 1 ml/kgBB/jam.
3. Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita
di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah
tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak,
proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan
ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi
kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus
dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis
dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum
dan makan.
Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C suhu tubuh.
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan humidifikasi.
Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum
selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk
memperbaiki daya angkut oksigen.
Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Monitoring
organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis,
tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
DEHIDRASI
Perkiraan kehilangan cairan (status dehidrasi). Dehidrasi terjadi akibat kehilangan
air dan natrium. Bergantung pada komposisi cairan yang hilang secara akut, bila
natrium yang hilang bersama air konsentrasinya lebih tinggi dari kadar natrium
cairan ekstraseluler maka akan terjadi dehidrasi hipoosmotik. Bila kurang lebih
sama akan terjadi dehidrasi isoosmotik, dan bila lebih rendah akan terjadi dehidrasi
hiperosmotik akibat tingginya kadar natrium dalam cairan ekstraseluler. Gejala
klinis dehidrasi dipengaruhi oleh berat ringannya kehilangan cairan (Tabel 2) dan
kadar natrium cairan ekstraseluler. Tanda yang dapat dijumpai antara lain, berat
badan turun, turgor kulit menurun, ubunubun cekung, mata cekung, mukosa
kering, nadi cepat dan tekanan darah turun, serta jumlah urin sedikit dan pekat.
Laboratorium menunjukan kenaikan hematokrit dan kenaikan berat jenis urin.
Langkahlangkah dalam memperkirakan kehilangan cairan:
1. Berat badan
Perubahan berat badan yang cepat menggambarkan perubahan cairan tubuh total.
Berat badan diperlukan untuk menentukan banyaknya cairan pengganti yang
dibutuhkan.
1. Anamnesis
A. Kehilangan cairan: Muntah, diare, perdarahan, luka bakar, drainase bedah
(seberapa banyak dan/atau seberapa sering).
B. Masukan cairan: Jenis cairan, berapa banyak, dan bagaimana
keberhasilannya.
C. Produksi urin.
D. Pemeriksaan fisis
Status mental, nadi, frekuensi nadi, tekanan darah, membran mukosa, turgor kulit,
warna kulit, perabaan perifer, dan capillary refill.
1. Laboratorium Kimia serum, hematokrit, urin lengkap.
Pemberian cairan intravena
1. Cairan apa yang digunakan?
Untuk memperbaikai volume sirkulasi efektif, apapun jenis dehidrasinya
(isoosmotik, hipoosmotik, maupun hiperosmotik) cairan awal yang seharusnya
diberikan adalah cairan isotonis. Dalam hal ini yang biasa digunakan adalah Ringers
Lactat Ringers Asetat , dan NaCl 0,9%. NilaiStrong Ion Difference (SID) dari NaCl
0,9% adalah 0 (nol), sehingga pasca resusitasi dapat terjadiasi dosis metabolik
hiperkloremik. Bila karena perdarahan maka pilihan volume expander terbaik
adalah darah. Pada beberapa keadaan khusus perlu dipertimbangkan penggunaan
koloid.
1. Berapa banyak?
Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif diberikan 1020 ml/kg BB dalam 1030
menit. Evaluasi perbaikan klinis meliputi status mental, tanda vital, dan produksi
urin. Bila masih diperlukan bisa diulang. Bila belum membaik setelah diberikan 60
ml/kgBB, pertimbangkan pemasangan central venous pressure (CVP) untuk
menentukan volume intravaskuler yang lebih tepat.
1. Bagaimana selanjutnya setelah volume sirkulasi efektif tercapai?
Bila belum memungkinkan peroral, total kebutuhan diberikan intravena dengan
mempertimbangkan
1. Sisa defisit (air maupun elektrolit): Volume: bandingkan berat badannya dengan
berat badan sebelum sakit, perhitungkan jumlah cairan selama resusitasi.
Natrium: bila hiponatremi, perhitungkan defisit natriumnya. Air: bila
hipernatremi, perhitungkan defisit airnya.
2. Kehilangan cairan yang masih berlangsung: Volume dan komposisi elektrolitnya.
3. Kebutuhan rumatan: Air dan elektrolit (pertimbangkan kondisi yang
meningkatkan/ mengurangi kebutuhannya). Jumlahkan semua kebutuhan air
dan elektrolit dari sisa defisit, kehilangan cairan yang masih berlangsung
(ongoing losses), dan kebutuhan rumatan. Kemudian tentukan jenis cairannya
berdasarkan jumlah total air dan elektrolit yang diperlukan dan juga kalori untuk
diberikan dalam 24 jam. Pertimbangkan juga kondisi klinis penderita seperti
adanya kelainan jantung dan kelainan ginjal. Nilai defisit dapat dihitung
berdasar: Untuk mempermudah perencanaan dapat dibuat format baku untuk
tata laksana kebutuhan cairan seperti Tabel 3 di bawah ini. Koreksi kehilangan
cairan sebelumnya dan penggantian kehilangan cairanyangsedang berlangsung
harus dilakukan dengan teliti. Seperti tata laksana di ruangintensif pada
umumnya, penilaian harus dilakukan secara ketat dari waktu kewaktu dengan
interval yang pendek (24 jam). Perkiraan jumlah cairan yanghilang sebelumnya
amat tergantung dari ketajaman penilaian klinis doktermelalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan analisis laboratorium.
SYOK
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dengan akibat ketidak
cukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan serta kegagalan
pembuangan sisa metabolisme. Berdasarkan komponen system sirkulasi, terdapat 3
jenis syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan distributif. Adapun prinsip
prinsip penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
Syok sipovolemik Pemberian cairan kristaloid 10 ml/kgBB secara bolus (secepatnya)
dapat dilakukan sambil menilai respon tubuh. Pada syok hipovolemik, maka
peningkatan volume intravaskular akan meningkatkan isi sekuncup disertai
penurunan frekuensi jantung. Pada kasus yang berat, pemberian cairan dapat
diulangi 10 ml/kgBB sambil menilai respon tubuh. Pada umumnya anak dengan syok
hipovolemik mempunyai nilai CVP kurang dari 5 mmHg. Pemberian cairan harus
diteruskan hingga mencapai normo volemik. Kebutuhan cairan untuk mengisi ruang
intravaskular umumnya dapat dikurangi bila digunakan cairan koloid. Syok
kardiogenik Curah jantung merupakan fungsi isi sekuncup dan frekuensi. Bayi
mempunyai ventrikel yang relatif non compliant dengan kemampuan meningkatkan
isi sekuncup amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi amat bergantung pada
frekuensi. Syok kardiogenik pada penyakit jantung bawaan tidak dibahas di sini. Isi
sekuncup dipengaruhi oleh preload, afterload, dan kontraktilitas miokardium.
Sesuai dengan hukum Starling, peningkatan preload akan berkorelasi positif
terhadap curah jantung hingga tercapai plateau. Karena itu, sekalipun pada
gangguan fungsi jantung, mempertahankan preload yang optimal tetap harus
dilakukan. Penurunan curah jantung pasca bolus cairan menunjukkan bahwa
volume loading harus dihentikan. Upaya menurunkan afterload terindikasi pada
keadaan gagal jantung dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang
berlebihan. Untuk tujuan ini dapat digunakan vasodilator. Diuretik digunakan pada
kasus dengan tanda kongestif paru maupun sistemik. Untuk tujuan ini dapat
digunakan diuretik loop, atau kombinasi dengan bumetanid, tiazid atau metolazon.
Berbagai kondisi yang memperburuk fungsi kontraktilitas miokardium harus segera
diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia, dan asidosis. Untuk memperbaiki fungsi
kontraktilitas ini, selanjutnya dapat digunakan obat inotropik (seperti dopamin,
dobutamin, adrenalin, amrinon, milrinon). Untuk mencapai fungsi kardiovaskular
yang optimal, dengan pengaturan preload , penggunaan obatinotropik dan
vasodilator (seperti sodium nitroprusid, nitrogliserin), dibutuhkan pemantauan
tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskular sistemik. Syok distributif dan
syok septik
Tata laksana syok distributif adalah pengisian volume intravaskular dan mengatasi
penyebab primernya. Syok septik merupakan suatu keadaan khusus dengan
patofisiologi yang kompleks. Pada syok septik,warm shock , suatu syok distributif,
terjadi pada fase awal. Penggunaan stimulator alfa (seperti noradrenalin) dilaporkan
tidak banyak memperbaiki keadaan, bahkan menurunkan produksi urindan
mengakibatkan asidosis laktat. Pada fase lanjut, terjadi penurunan curah jantung
dan peningkatan resistensi vaskular sistemik akibat hipoksemia dan asidosis. Karena
itu tata laksana syok septik lanjut, mengikuti kaidah syok kardiogenik. Sekali
punmasih kontroversi, steroid terkadang digunakan pada syok septik yang resisten
terhadap katekolamin dengan risiko insufisiensi adrenal.