Anda di halaman 1dari 5

Prita Mulya Sari

Dan
Harga Sebuah Keadilan Hukum
(Evaluasi Terhadap Kasus Prita Mulya Sari)

Oleh :
Sarah Serena

Kasus Prita Mulyasari menarik perhatian media internasional, hingga membuat The
International Herald Tribune mau menuliskan kisahnya dalam bentuk artikel pada 7
Desember 2009. Prita Mulyasari jadi terkenal. Koran tersebut mengatakan bahwa Prita
merupakan korban salah satu sistem hukum paling korup di dunia.
Kisah Prita sebagaimana diulas dalam artikel tersebut berawal from e-mail to jail. Sebuah
kisah yang niat awalnya hanya curhat menumpahkan rasa isi hati berkembang menjadi
pena setajam pedang. Tanpa sepengetahuan Prita, kebebasan ekspresi ataupun
mengeluarkan pendapat ternyata telah dikebiri oleh sebuah Undang-undang yang
bernamakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Di negara negara Barat, hukum perundang-undangan diberi fungsi sebagai alat untuk
mengikat pemerintah dengan rakyat. Perundang-undangan dilihat sebagai sebuh kontrak
publik antara pemerintah dan rakyat. Untuk bisa menjadi kontrak publik, maka
pembuatan perundang-undangan mensyaratkan proses yang melibatkan rakyat. Esensi
kontrk adalah perikatan antara berbagai pihak, maka semua pihak harus menyatakan
persertujuannya (tanpa paksaan) terhadap isi perikatan. Selama masih ada salah satu
pihak yang tidak setuju, maka kontrak tidak berlaku, dan dengan demikian tidak
mengikat para pihak. Demikian pula halnya dengan persoalan “keadilan”. Keterkaitan
antara keadilan dengan hukum di negara Barat, tidak di dasarkan pada hukum
(perundangan) yang akan datang, namun di dasarkan pada pembuatan hukumnya yang
terkini. Dalam tradisi ini, pembuatan itu berlangsung terutama dalam proses-proses
adjudikasi untuk menghukumi perkara-perkar tertentu yang diajukan ke hadapan hakim,
In Concreto dan seterusnya dalam pembuatan dan pengembangan judge-madge-laws.
Namun, karena sifatnya yang kongkrit dan direlevansikan dengan suatu perkara tertentu,
keadilan di sini pun bukanlah keadilan dalam maknanya yang filosofis, akan tetapi yang
terkait dengan praksis-praksis pembuatan ( keputusan ) hukum yang baik. Dengan kata
lain, keadilan akan lebih bermakna sebagai “fairness dalam fair trial” daripada “moral
rightness” dalam maknanya yang abstrak. Disini apa yang disebut justice pun tak lagi
(semata-mata) dimafhumi dalam artinya yang lebih empiris sebagai fair handling atu
bahkan sebagai “the administration and procedure of law”.

Berbicara soal keadilan, John Rawls mengatakan bahwa program penegakan keadilan
yang berdimensi kerakyatan harus memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal
balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok
beruntung maupun tidak beruntung.
Fungsi hukum perundang-undangan di Indonesia berbeda dengan negara Barat.
Perundang-undangan di negara ini hanya dipandang sebagi alat untuk penaklukkan dan
perawat kekuasaaan politik rezim yang sedang memerintah. Salah satu pendukung rezim
tersebut tetap bisa bertahan adalah konglomerasi. Oleh karena itu, pemerintah berupaya
untuk menjaga agar hak-hak kaum konglomerasi tersebut tidak terabaikan ataupun
terlanggar.
Prita Mulyasari menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni
Internasional. Prita dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 thn
dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah. Sebelumnya, seorang wartawan bernama Iwan
Piliang diduga mencemarkan nama baik seorang anggota DPR melalui tulisannya di
internet dan dijerat dengan pasal yang sama.

Perbuatan Prita Mulyasari menulis pesan lewat e-mail kepada teman-temannya tidak
menunjukkan adanya motif atau niat untuk melakukan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik terhadap rumah sakit Omni International. Dengan demikian, perbuatan prita
tersebut tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam pasal
tersebut mensyaratkan adanya unsur “sengaja” dalam mendistribusikan infomasi
elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sementara
perbuatan sdri. Prita tidak bermaksud menghina justru menyampaikan pesan kepada
teman-temannya untuk berhati-hati dengan pelayanan rumah sakit. Akan tetapi, hukum di
negeri ini tidak berpihak padanya. Hal ini menunjukkan adanya “legal gaps” dalam
Proses Penegakan Hukum Di Indonesia, dimana orang kecil selalu kalah dalam mencari
keadilan hukum bila berhadapan dengan mereka yang bermodal besar.

Kenyataan ini sungguh kontras dengan semboyan hukum, yang berbunyi: “fiat justitia
roeat coellum/ do justice, let the sky fall, meskipun langit runtuh, keadilan harus tetap
ditegakkan.” Semboyan ini seharusnya menjadi landasan pola berpikir para penegak
hukum dalam melakukan upaya penegakkan hukum. Namun dalam prakteknya,
semboyan ini terpupus oleh sebuah fakta yang nyata bahwa hukum di Indonesia tidak
saja sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering), tetapi juga alat
rekayasa untuk melakukan korupsi (law as a tool of corruption engineering).

Hal ini jelas sekali terlihat dalam kasus Prita Mulyasari, dimana perkara yang sudah
diputus justru dapat disidangkan kembali. Bukan hanya itu saja, putusan terhadap
gugatan yang diajukan oleh RS Omni Internasional justru diputus sebelum putusan
pidana turun. Padahal gugatan ganti rugi tersebut harus menunggu terlebih dahulu, untuk
mengetahui apakah Prita Mulyasari dinyatakan bersalah atau tidak seperti apa yang
ditudukan oleh RS Omni Internasional kepadanya. Tidak ada yang tidak mungkin, bagi
mereka yang memiliki dana. Segala sesuatu bisa terjadi, bila didukung oleh dana yang
cukup besar.

Berkenaan dengan hal ini, Ari Sudjito, Sosiolog dari Universitas Gajah Mada
menyatakan bahwa hukum di Indonesia sangat diskriminatif, berpihak pada orang –
orang yang punya uang. Orang miskin dihadapan hukum tidak punya tenaga dan biayaa
membela diri untuk mencari keadilan. Kemiskinan rakyat menjaadi alasan utama tidak
meratanya keadilan bagi rakyat. Bagaimana rakyat jelata diseluruh Pelosok negeri
terjajah oleh hukum akibat hal yang seharusnya menjadi tnggung jawab pemerintah,
yakni kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanggung Jawab Pemerintah tersebut seharusnya dilakukan karena merupakan amanat


dari Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : Segala warga
negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tetapi sayang, apa yang
tersurat belum tentu tersirat dalam diri pribadi para penegak hukum. Persamaan
kedudukan hukum ternyata ada “pengecualian”, dimana hukum lebih memberikan “rasa
keadilan” bagi mereka yang mampu “membayar” dibandingkan dengan mereka yang “tak
mampu untuk membayar”.

John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak
dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang
sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi
yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal
benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun
tidak beruntung.

Gagasan untuk membuat desain hukum yang berpihak kepada kaum miskin/ termarginal
menurut Komisi Hukum Nasional adalah suatu politik hukum keberpihakan yanbukanlah
tanpa dasar, walaupun juga bukan tanpa resiko. Dalam konteks yang lebih luas, politik
hukum seperti ini adalah upaya pemberdayaan dengan cara memberikan kekuatan posisi
tawar pada kaum miskin/termarginal. Tindakan demikian disebut dengan tindakan
afirmatif (affirmative action), yang secara konseptual sebenarnya bukan barang baru di
negeri ini, Namun demikian, hal tersebut sulit untuk dilaksanakan. Cita-cita untuk
mewujudkan reformasi hukum yang berpihak pada kaum marjinal hanya sebatas angan.
Reformasi hukum yang terjadi di Indonesia, justu malah terjebak pada hubungan elitisme,
populisme, pencitraan dan politisasi. Sehingga apa yang terasakan dan terlihat sekarang
sepertinya justru melupakan kesjatian untuk apa hukum positif itu mesti ada.

Dalam perspektif yang lebih substansial pembahruan hukum boleh dibilang masih jauh
api dari panggangnya alias gagal. Reformasi Hukum gagal melakukan pribumisasi pada
level yang lebih nyata dan konkrit. Hal ini bias dilihat dari desparitas social yang
meningkat, kemiskinan yang terus bertambah, akses ekonomi yang terbatas dan
tercerabutnya masyarakat dari system social. Postur reformasi Hukum yang demikian
jelas belum memperlihatkan arah yang pasti.

Berbicara soal reformasi hukum, maka hal yang termasuk pembahasannya adalah soal
reformasi dalam cara bekerja sistem norma hukum. Paul Scholten mengatakan ada lima
asas yang berlaku secara universal, yakni (1) kepribadian, (2) persekutuan, (3) kesamaan,
(4) kewibaaan, (5) pemisahan antara baik dan buruk. Kelima asas tersebut dipandang
sebagai landasan cara bekerja sistem norma hukum. Dalam konteks system tersebut,
kelima asas universal ini diisi oleh asas-asas kebebasan (yang menjadi ideal asa
kepribadian) berhadapan dengan cinta kasih (yang di idealkan oleh masyarakat), keadilan
(yang di idealkan oleh asas masyarakat), berhadapan dengan kepatuhan (yang menjadi
ideal asas kewibawaan) yang keseimbangannya dipertahankan oleh pemisahan baik dan
buruk. Kaedah hukum pada hakekatnya merupakan pedoman tentang apa yang
seyogyanya dilakukan dan apa yang baik dan yang buruk. Asas pemisahan baik-buruk
tersebut menuntut agar system norma hukum memberikan persamaan perlakukan kepada
mereka yang melakukan kebaikan dan keburukkan. Bagi yang berlaku baik diberikan
keuntungan (reward) dan yang berlaku buruk diganjar dengan kerugian (punishment).
Masing-masing mendapatkan apa yang berhak untuk didapatkan. Hal ini sesuai dengan
apa yang ditentukan oleh asas kesamaan perlakuan . Asas ini menuntut agar suatu kasus
yang sama diperlakukan sama dan kasus yang berbeda diperlakukan kasus yang
diperlakukan secara berbeda (treat like cases alike and different cases differently). Asas
ini menurut H.LA Hart (1978) merupakan “prima facie” bagi manusia. Namun demikian,
pada prakteknya tidak pernah ada kasus yang identik atau persis sama satu dengan yang
lainnya. Oleh sebab itu, dalam hukum dikenal jargon “summon ius summa injuria”,
artinya, menuntut hukum dilaksanakan secara ekstreem justuru akan menghadirkan luka
yang terdalam.

Hal inilah yang dialami oleh Prita Mulyasari. Tindakan Rumah Sakit Internasional yang
menuntut hukum secara ekstreem telah menghadirkan luka yang terdalam di hatinya.
Sebuah perdamaian pun tak akan dapat menghapus luka yang dirasakan Prita. Sebuah
Curhat yang diputar balikan menjadi sebuah perbuatan melawan hukum merupakan
mimpi buruk yang tidak bisa hilang dari ingatan Prita Mulyasari dalam jangka panjang.
Sehingga perdamaian pun menjadi terkesan hambar dalam ruang bathin Prita Mulyasari.

Harapan Prita untuk mendapatkan kesamaan perlakuan dihadapan hukum, terkesan jauh
dari jangkauan. Suara-suara keadilan hanya terdengar dari “pengadilann jalanan” atau
“street justice”, yang mampu melihat kebenaran dengan kacamata kehidupan yang terang.
Hal inilah yang membuat mereka langsung berpartisipasi dalam mengumpulkan dana
bantuan bagi Prita yang dikenakan hukuman untuk membayar ganti rugi ke Rumah Sakit
Omni Internasional oleh Pengadilan Negeri Tanggerang. Walau begitu, Prita masih punya
semangat untuk berjuang melawan penindasan hukum terhadap dirinya. Terlebih
dukungan moril yang diberikan oleh pengadilan jalanan berbentuk “koin untuk prita”,
telah memberikan dorongan yang sangat berarti bagi dirinya. Kuatnya arus dukungan,
membuat Prita bertambah tegar dalam menghadapi semua “perlakuan hukum yang
diskriminatif” terhadap dirinya.

Kasus Prita merupakan suatu bukti tentang pincangnya “cara bekerja system norma
hukum” di Indonesia. Kuatnya dominasi “asas kepribadian” dan “asas persekutuan”, telah
mengalahkan “asas kesamaan” dan “asas kewibawaan”. Persekutuan antara RS Omni
Internasional dengan Pengadilan Negeri Tanggerang telah melemahkan “wibawa hukum”
dimata masyarakat “pencari keadilan hukum”. Mereka semakin tidak percaya dengan
“aparat penegak hukum” yang seharusnya melakukan upaya penegakkan hukum secara
adil sesuai dengan asas kesamaan yang berlaku. Akan tetapi, harapan tidaklah sesuai
dengan kenyataan. Persekutuan yang dilandasi oleh “kepentingan ekonomi” pribadi
aparat penegak hukum telah menenggelamkan makna keadilan hukum itu sendiri.
Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dan perorangan dalam bernegara
dan mengarahhkan tindakan/keputusan penyelenggara Negara dan rakyat untuk
memujudkan cita-cita keadilan, kebenaran dan kemakmuran Negara. Akan tetaapi fungsi
tersebut ternodai akibat kesenjangan dalam memperoleh keadilan hukum antara kaum
menengah keatas dengan kaum yang terpinggirkan/kaum marjinal. Putusan hakim yang
seharusnya menghasilkan keputusan yang adil dan benar dalam sengketa antar
kepentingan individu maupun antara individu dengan badan hukum, telah terpolesi oleh
derasnya desakan materialisme yang membuai mata dan mengaburkan hati nurani.
Kondisi ini menyebabkan bertaburnya putusan hakim yang bersifat diskriminatif,
terutama bagi mereka yang tidak mampu memberikan pesona dalam memperoleh
“keadilan hukum”. Dengan kata lain, “Price Of Justice is So Expensive”.

Persoalan diskriminatif dalam perolehan keadilan hukum sebenarnya sudah sejak lama.
Isu-isu seputar hukum yang sering diistilahkan dengan “KUHP” (Kasih Uang Habis
Perkara) seakan akan sudah menjadi gambaran betapa “bobroknya” wibawa hukum di
mata rakyat Indonesia. Akan tetapi, oleh karena semakin lama persoalan ini semakin
meningkat, akhirnya rakyat pun mencari jalannya sendiri untuk mewujudkan keadilan
hukum. Vox Populis Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan), tenggelam dalam
arogansi kekuasaan yang berlindung dibalik hukum. Rakyat dipaksa untuk mengikuti apa
yang telah ditetapkan oleh penguasa, walau sebenarnya ketetapan itu bertentangan
dengan hati nurani rakyat. Keberadaan undang-undang informasi dan transaksi elektronik
No. 11 Tahun 2008, jelas menunjukkan arogansi penguasa untuk membungkam
kebebasan rakyat dalam “memperoleh informasi” ataupun “menyampaikan informasi”.
Prita Mulysari dipaksakan baik sengaja ataupun tidak oleh “penguasa” untuk menjadi
“korban awal” penerapan undang-undang ini. Sebuah upaya penundukkan rakyat dengan
mencari “kelinci percobaan” agar takut dan patuh terhadap undang-undang tersebut.
Apakah rakyat menjadi takut ? Tidak, jawabannya tentu tidak. Masyarakat kini telah
memahami benar pemisahan antara yang baik dan buruk. Masyarakat tahu betul apakah
penerapan undang-undang tersebut memang “pada porsinya” ataupun “tidak”.
Masyarakat bisa menilai, apakah kacamata hukum memang bisa melihat jelas kepada
siapa keadilan hukum itu diberikan.

Due Process Of Law (proses hukum yang adil) adalah dambaan setiap pencari keadilan
hukum. Indonesia sebagai Negara hukum (rechstaat) harusnya menegakkan hukum tanpa
membedakan satu dengan yang lainnya. Aparat penegak hukum sebagai pelaksana
penegakkan hukum harusnya lebih mempunyai rasa sensitif yang lebih terhadap kaum
miskin yang tak terpinggirkan. Perkara hukum harus ditempatkan sesuai dengan porsi
baik dan buruknya, sehingga asas kesamaan dalam perlakuan hukum dapat terlihat jelas.
Dengan demikian, wibawa hukum dapat kembali pulih sesuai dengan apa yang dicita-
citakan.Yang paling penting dalam hal ini, adalah “political will” dalam “politik hukum”
yang dijalankan oleh penguasa dalam rangka pewujudan keadilan hukum dalam
masyarakat. Semoga kasus Prita Mulyasari menjadi titik terang bagi kaum miskin papa
dibumi pertiwi. Upaya enegakan hukum dengan harga sebuah keadilan yang dapat
dijangkau (Price Of Justice) bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia bukanlah lagi
hanya impian yang tak mungkin terwujud dalam kehidupan nyata!

Anda mungkin juga menyukai