Anda di halaman 1dari 12

2Uraian Fakta Pelanggaran HAM Kementerian Agama (1)

OPINI | 12 December 2012 | 16:42

Dibaca: 490

Komentar: 0

Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam konsep HAM, hak
kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik. Hak ini termasuk ke dalam dimensi non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi
dalam keadaan apa pun sehingga negara harus memenuhinya.
Regulasi dan Konspirasi Jahat Kementerian Agama
Apabila ditelusuri maka Undang Undang tentang Haji sudah sangat mewaspadai dan ekstra Hati-hati untuk mengatur isi atau materi agar tidak terjadi
pengekangan Kebebasan Beribadah, namun kesadaran para legislator mendukung tegaknya Hak Asasi Manusia dalam regulasi Haji mendapat tamparan dari institusi
Kementerian Agama yang semestinya menjadi pengawal tegaknya Undang undang Haji yang berbasis HAM.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik
mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama
dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara
individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
Yang Luar Biasa Pemberlakuan Permen Waiting List tidak hanya membahayakan tidak terakomodasinya ketaatan Umat Islam yang sadar dan memenuhi kemampuan
untuk bisa secara langsung berhaji ( akibat sistem antre yang mengharuskan menunggu dalam jarak puluhan tahun) sebagaimana model keberangkatan sebelum
aturan waiting list, tetapi waiting list juga telah membahayakan kepemilikan harta orang yang mendaftar pada kemenag, bisa dibayangkan nilai 25 juta
harus diserahkan ke kementerian Agama yang bukan lembaga keuangan dan tidak punya satu pun aturan pengelolaan, maka yang terjadi sesungguhnya
perampokan harta rakyat atas dasar pelayanan yang terukur. padahal negara punya kewajiban melindungi harta warga masyarakat dari tindakan
kriminalitas.
maka secara subtantif Permen Waiting List bukan hanya Melanggar Ham tentang kebebasan Beribadah tetapi sekaligus menjadi pelaku perampokan atas harta
rakyat, sebab penyetoran dana ke kementerian Agamayang sama sekali tidak memiliki kewenangan moneter maupun fiskal. fenomena kementerian Agama yang
tidak hanya membiarkan aliran sesat berkembang dan marak membahayakan kehidupan beragama serta penegakan HAM di bangsa ini namun sekaligus kemenag
menjadi aliran baru sumber kesesatan yang menggunakan logika sesat untuk melanggar Syariat Agama, merampas kebebasan beribadah, untuk itu sebagai bahan
pertimbangan bagi kita maka perlu alat ukur untuk menimbang Permen Waiting List sebagai bentuk Nyata Aliran Sesat Baru, sekaligus menghancurkan peran Negara
dalam penegakan HAM atas pelaksanaan Perintah atau kewajiban Agama.
Kelicikan dan kekejaman Birokrat Kementerian Agama untuk merampas kebebasan Beribadah Haji dirancang secara halus dan perlahan,di Mulai dari SK Drijen Haji
tahun 2004 dan dijemput oleh Permen karena dianggap aman-aman saja. Permen Waiting List Haji denga pertimbangan Standar Pelayanan diatas tidak cukup
menjadi alasan membatasi atau membuat sistem antrean, tapi juga dalam kurun waktu 9 tahun apa yang menjadi asumsi Waiting list agar pelayanan terukur malah
semakin tragis.
Permen Waiting List Haji yang dasar pertimbangannya demi terwujudnya standar pelayanan Haji yang lebih terukur dan terkendali oleh Kementerian
Agama menjadi kedok untuk merampas kebebasan beragama sebagai bagian substansial Hak Asasi Manusia. Kementerian Agama Sebagai Lembaga Negara
telah menjadikan asumsi absurd diatas untuk menjadi Pelaku Utama melanggar HAM khususnya Orang-orang yang memenuhi kewajiban untuk berhaji. akibat teror
hingga hari ini permen Waiting List daftar antrian menumpuk hingga 2 juta orang dan niali materi yang sangat besar.

4Orde Baru dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Studi Kasus Peristiwa Tanjung Priok
OPINI | 04 July 2012 | 09:57

Dibaca: 6329

Komentar: 1

Kekuasaan jelas menggoda. Dalam konteks politik, Niccolo Machiavelli memandang kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat
berbagai cara. Cara apapun tidak menjadi persoalan, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari pandangan Machiavelli ini tersirat
diterimanya cara-cara kekerasan dan represi (coercion, violence) yang tidak etis dalam mempertahankan kekuasaan. John Locke di Inggris,
Montesqiueu di Prancis, dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat juga beranggapan bahwa penguasa cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa
terus-menerus. Karenanya, kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak.

Dalam banyak sistem sosial dan politik kekuasaan memang dicoba-batasi agar tidak menjadi absolut atau totaliter, termasuk dalam pandangan
Machiavelli yang menghendaki Italia menjadi negara republik. Ada banyak cara diusulkan untuk membatasi kekuasaan. Para filosof, ahli hikmah dan
etika mengajarkan agar kekuasaan dipegang oleh figur filosof dan tokoh bermoral (ulama, cendekiawan). Kekuasaan berada di bawah hukum, bukan
lagi Aku [baca: raja] adalah hukum. Dari sisi struktur dan sistem, pemikir-pemikir politik lalu menganjurkan agar kekuasaan dibagi (separation of
power) antara lembaga-lembaga negara; otoritas dibelah (distribution of power), seperti pada ajaran trias politica.

Dalam sistem politik totaliter, kekuasaan menjadi absolut, terpusat pada segelintir elite (oligarkhi) yang berlaku zalim, dan tidak mengenal partisipasi
publik dalam kehidupan politik, baik yang konvensional (seperti: memberikan suara dalam pemilu, diskusi politik, membentuk dan bergabung dalam
suatu kelompok kepentingan) maupun yang non-konvensional (seperti unjuk rasa). Padahal partisipasi ini mengingatkan pada pentingnya jaminan
akan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi (civil rights), seperti kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan penghormatan terhadap hak
asasi warga negara. Civil rights adalah salah satu dari dua kaki demokrasi, sedang kaki yang satunya lagi adalah parlementarisme, yang terkait
dengan keharusan adanya parlemen, partai politik, dan pemilihan umum.

Demokrasi, menurut Bertrand Russel, mengandung kelemahan, terutama menyangkut dua hal: keputusan yang harus cepat diambil dan menyangkut
kemampuan atau pengetahuan seorang pengambil kebijakan. Pada tingkat ini biasanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana
kewenangan yang dimiliki pejabat publik bukan digunakan untuk kemaslahatan publik, tetapi untuk kepentingan pribadi sang pejabat. Mengingat
besarnya kekuatan godaan dan tarikan kekuasaan terhadap para penguasa, Lord Acton membuat suatu tesis aksiomatik yang sangat terkenal: Power
tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.

Sayangnya, menurut saya, sebagai sistem, demokrasi kekurangan alat (tool) untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan, selain dengan jaminan
partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan, yang antara lain dicerminkan dengan pengawasan masyarakat dan parlemen atas
kinerja pemerintah, serta penggunaan hukum sebagai sistem pemberi sanksi atas ilegalitas kekuasaan. Karena itu, moralitas dan akhlak agama
mempunyai peran signifikan, sebagaimana dilihat para filosof da ahli hikmah di atas.

Orde Baru yang Otoriter

Orde Baru mungkin bukan termasuk rezim totaliter yang absolut, tapi sebuah rezim otoriter karena masih membiarkan adanya partisipasi politik pada
tingkat paling rendah (Fatah, 1994a), yang umum disebut dengan pseudo participation. Pemilu-pemilu di masa Orde Baru bersifat semu; demokrasi
yang diterapkan hanya procedural saja dan mengabaikan aspek substantif berupa jaminan civil rights. Yang tengah berlangsung adalah pemusatan
kekuasaan secara akumulatif pada diri Presiden Soeharto.

Ada dua cara menjelaskan fenomena tersebut (Fatah, 1994b). Pertama, dari sisi kultur politik, terjadi paralelisme historis antara raja Jawa dan
Presiden Orde Baru. Artinya, rezim Orde Baru mengembangkan kultur Jawa dalam menjalankan kekuasaan, yang memandang kekuasaan secara
monopolistik, tidak mengenal pembagian, dan anti-kritik atau anti-oposisi yang dianggap sebagai budaya Barat. Kedua, struktur politik yang dibangun,
yang menempatkan Presiden Soeharto dalam tiga posisi sentral, yaitu: (i) sebagai Ketua Dewan Pembina Golongan Karya (Golkar), (ii) Panglima
Tertinggi ABRI yang berdwifungsi, dan (iii) sebagai kepala eksekutif sekaligus.

Pola distribusi kekuasaan seperti itu memperlihatkan Presiden memusatkan kekuasaan, baik pada level infrastruktur maupun suprastruktur politik.
Secara suprastruktur, sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, yang berperan sebagai mesin politik pengumpul suara (legitimasi), Presiden menguasai
secara langsung hegemoni Golkar atas partai politik. Hal ini juga berpengaruh pada fungsi kontrol legislatif di DPR. Akibatnya, kekuasaannya sebagai
kepala eksekutif tidak mendapat kontrol dari legislatif.

Presiden juga mengapresiasi kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi ABRI secara politik. Seorang mantan perwira tinggi yang menjadi anggota
DPR pernah berkata, bahwa untuk menjadi petinggi ABRI seorang perwira harus kuliah di Uncen dulu. Yang dimaksudnya adalah Universitas
Cendana, dimana Soeharto menjadi rektornya. Di samping itu, penerapan Dwifungsi ABRI pada jabatan-jabatan penting politik, birokrasi dan BUMN
akhirnya berfungsi ganda: di satu sisi memotong basis-basis kekuatan politik masyarakat sampai di tingkat terendah, sekaligus memindahkan basisbasis kekuatan tersebut ke tangan militer. Simpulan demikian, masih menurut Fatah (1994a), mengafirmasi banyak studi sebelumnya, seperti studi
Karl D. Jackson (1978), Lance Castles (1982), John A. MacDougall (1982), dan Richard Tanter (1991).

Analisis lain atas pemusatan kekuasaan dalam negara Orde Baru dapat dijelaskan dengan konsep negara integralistik (Budiman, 1996; Simanjuntak,
1997). Konsepsi ini antara lain mempersepsikan Indonesia sebagai sebuah keluarga besar, yang dipimpin seorang bapak yang bijaksana, mengerti
dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup anak-anak-nya yang bernama rakyat. Tugas pemimpin adalah menafsirkan kehendak
rakyatnya, sementara tugas rakyat adalah mengikuti pemimpin.

Fenomena lain dari format politik Orde Baru adalah marginalisasi politik dan panglimaisasi pembangunan/ekonomi. Setelah kehancuran ekstrim kiri
(PKI), Islam Politik adalah korban langsung dari strategi ini. Dimulai dengan peminggiran terhadap tokoh-tokoh Masyumi di masa awal Orde Baru,
dilanjutkan dengan penyederhanaanmelalui fusipartai-partai politik sealiran (1973), pemojokan Islam Ekstrim Kanan melalui aksi-aksi intelijen
(seperti isu Komando Jihad dan Jamaah Imran), hingga akhirnya pewajiban asas tunggal pada partai politik dan organisasi sosial-kemasyarakatan
(1985). Dalam proses politik demikianlah, yaitu pada saat hampir semua kekuatan sosial politik ditundukkan rezim Orde Baru, kecuali beberapa
cendekiawan dan mantan politisi serta perwira ABRI yang tergabung dalam Petisi 50 yang tetap bersuara kritis, sebuah peristiwa pembunuhan
terhadap massa yang melakukan protes/unjuk rasa terjadi di Tanjung Priok pada malam hari tanggal 12 September 1984.

Peristiwa Tanjung Priok

Negara, melalui organnya yang disebut pemerintah (eksekutif), merupakan penerima otoritas yang sah untuk menggunakan kekerasan menurut
hukum. Pada masa Orde Baru yang otoritarian, dimana berlangsung terus penyalahgunaan kekuasaan untuk pelanggengan kekuasaan, maka
penggunaan kekerasan secara salah (illegal) juga terjadi, bahkan tidak hanya berlangsung sekali.

Salah satu peristiwa penggunaan kekerasan terhadap rakyat yang fenomenal adalah Peristiwa Tanjung Priok. Fenomenal, karena peristiwa ini
berlangsung (tidak hanya terjadi) di depan mata Istana Negara, yang merupakan pusat atau sumber legalitas tindak kekerasan tersebut. Dari sisi
historis perkembangan sistem politik Orde Baru, peristiwa ini dianggap memberi jalan mulus bagi akhir proses pembentukan format politik rezim Orde
Baru yang otoriter dan hegemonik dengan disahkan lima paket undang-undang politik pada tahun 1985, yaitu UU No. 1 tentang Pemihan Umum, UU
No. 2 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU No. 3 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UU No. 5 tentang Referendum,
dan UU No. 8 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Saya (dan H.R. Dharsono) bukanlah korban langsung Peristiwa Tanjung Priok, karena kami memang tidak ikut dalam prolog (pendahuluan) peristiwa
itu, baik dalam pengajian-pengajian keagamaan yang keras mengecam penguasa dan kebijakan Orde Baru maupun dalam unjuk rasa malam 12
September tersebut. Tetapi kami adalah mantan aktivis politik pro-demokrasi dan korektor Orde Baru yang dikorbankan oleh rezim Orde Baru, yaitu
untuk memberi peringatan keras kepada para dissident (pembangkang) untuk tutup mulut mengkritisi pemusataan kekuasaan dan pincangnya
pembangunan.

Bagi saya, penangkapan dan pemenjaraan terhadap saya (dan H.R. Dharsono) merupakan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat yang
berbeda mengenai Peristiwa Tanjung Priok. Pandangan saya (dan H.R. Dharsono) tertuang dalam sebuah dokumen yang terkenal sebagai Lembaran
Putih Petisi 50 tertanggal 17 September 1984. Lembaran Putih mencoba mengemukakan fakta-fakta dan simpulan sementara yang berbeda dari
penjelasan resmi pemerintah yang disampaikan Panglima ABRI/Pangkopkamtib Jenderal (TNI) L.B. Moerdani. Karena itu, Lembaran Putih
menganjurkan agar pemerintah sebaiknya membentuk suatu komisi yang bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai
kejadian September 1984 di Tanjung Priok. Laporan Komisi itu harus diumumkan kepada khalayak ramai, supaya kita semuanya dapat menarik
pelajaran daripadanya (Fatwa, 2000).

Dengan memenjarakan kami, menolak pembentukan fact finding commission, dan hanya membolehkan satu penjelasan resmi atas Peristiwa Tanjung
Priok, negara (baca: pemerintah) Orde Baru yang otoriter rupanya menginginkan kepatuhan total rakyatnya, termasuk menguasai kesadaran mereka
akan kebenaran dan menciptakan suatu kesadaran semu (false consciousness). Pangkopkamtib L.B. Moerdani, dengan ditemani Abdurrahman
Wahid, berkeliling ke pesantren-pesantren besar di Jawa untuk menjelaskan tindakan pemerintah dalam Peristiwa Tanjung Priok.

Dalam bahasa Antonio Gramsci (1991), tindakan penguasa Orde Baru itu adalah hegemoni atas ide-ide atau hegemoni wacana dalam masyarakat
politik yang menafikan wacana lainnya yang dilontarkan masyarakat madani. Hak asasi publik atas informasi (yang benar), termasuk dimana para
korban yang meninggal dikuburkan, dan hak untuk berbicara politik pun terabaikan. Negara demikian, menurut Taufik Abdullah (2000), adalah negara
serakah, the greedy state, yaitu negara yang tidak puas hanya dengan sentralisasi kekuasaan dan kepatuhan warganya, tetapi ingin mendapatkan
kekuasaan yang lebih besar, ingin menguasai seluruh sistem kesadaran dan ingatan kolektif bangsa.

Jadi, terkait dengan Peristiwa Tanjung Priok, rezim Orde Baru bukan saja menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan unjuk rasa massa, tetapi
juga menggunakan cara-cara lainnya untuk memaksakan kepentingannya: hukum untuk membungkam suara-suara kritis, dan hegemoni wacana
dengan menciptakan kesadaran semu akan fakta sesungguhnya pelanggaran HAM yang berat.

Tak Ada Pelanggaran HAM dalam Peristiwa Tanjung Priok?

Reformasi membuka kotak Pandora. Kesadaran semu masyarakat terbongkar. Menggema di seluruh Indonesia kesadaran baru, perlunya sejarah
ditulis ulang karena kita mengalami krisis kepercayaan pada sejarah yang diajarkan penguasa selama ini. Masyarakat, korban dan keluarga korban
kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan rezim Orde Baru menuntut agar kepalsuan dibongkar, kebenaran sejarah disampaikan, dan keadilan
ditegakkan, termasuk dengan memberikan reparasi kepada korban dan keluarganya, baik berupa kompensasi, restitusi, rehabilitasi, penetapan
kebenaran, dan jaminan akan tidak terulangnya pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) itu di masa depan.

Komnas HAM, yang sempat digelari sebaqgai si malin kundang dari rezim Orde Baru, telah menyelidiki Peristiwa Tanjung Priok dan
menyimpulkannya sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat. DPR juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat dan
merekomendasikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, yaitu untuk memeriksa kasus-kasu pelanggaran HAM yang berat dalam Peristiwa Tanjung Priok (dan Timor Timur pasca-Jajak
Pendapat 1999). Presiden Wahid dan lalu Presiden Megawati Soekarnoputri pun telah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dimaksud di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.

Sayangnya, sebagaimana juga putusan-putusan atas Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur yang mengecewakan dilihat dari standar hukum HAM
internasional, putusan-putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok pun demikian adanya. Bahkan putusan akhir Mahkamah Agung (MA) atas
Peristiwa Tanjung Priok sungguh sangat miris: tak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa ini! Menolak putusan MA itu saya telah mengeluarkan press
release (terlampir).

Tinggallah kini para pencari keadilan menunggu di pintu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Semoga kebenaran sejarah bisa diungkap dan
keadilan bisa ditegakkan. Sehingga era reformasi tidak lagi mewarisi produk-produk penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim Orde Baru. Dalam masa
transisi politik seperti sekarang ini, rasanya perlu untuk ingat nasih bijak Lawrence Whitehead dalam artikel berjudul Consolidation of Fragile
Democracy (dalam Tanuredjo, 2003). Katanya, Kalau kejahatan besar tak diselidiki dan pelaku-pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada
pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman norma-norma demokrasi dalam masyarakat pada umumnya,
dan karena itu tidak terjadi konsolidasi demokrasi.

5 PENEGAKAN HUKUM LOYO


Oleh: Sagita Purnomo. Masalah penegakan hukum di Indonesia dibahas dengan menunjukan fakta- fakta pelanggaran aturan hukum yang
terjadi mulai dari era Orde Baru (Orba). Dalam pembahasan tersebut menunjukan law enforcement tidak berjalan dan lambatnya proses
penanganan pelanggaran hukum oleh penguasa. Bahkan sampai era reformasi hingga kini belum juga dilaksanakan secara adil. Hal terjadi karena
rezin Orba masih ada dan karena adnya prinsip money politic. Selain itu penegakan hukum di negara Indonesia sangat sulit untuk diterapkan,
pasalnya para aparatur penegak hukum kita terkesan pandang bulu, dalam menjunjung tinggi superasi hukum.
Orang yang memiliki kekuasaan sangat sulit untuk dijerat, sementa orang yang tidak memiliki apa-apa sangat mudah dan gampang untuk dikenai
sanksi hukum. Padahal dalam pasa 27 ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa "Segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya" atau biasa dikenal dengan asas equality before
of law (persamaan didepan hukum). Namun dalam implementasinya asas ini tidaklah selalu benar.
Kita dapat mengambil beberapa contoh tentang ironi penegakan hukum di Indonesia, seperti yang pernah diberitakan belum lama ini, seorang
anak yang disidang dan didenda hanya karena mencuri sandal seorang Briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para koruptor di
Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia.
Sanksi hukum pada kenyataan sangat berbeda jauh dengan teorinya. Kita ambil contoh Arthalyta Suryani, dia menempati rutan dengan sejumlah
fasilitas eksklusif bak hotel berbintang yang dilengkapi fasilitas karaoke, TV LCD, Ac, serta barang elektronik lainya, ini juga bisa dijadikan
sebagai pembelian hukum di Indonesia. Selain Arta, Gayus Tambunan terpidana korupsi penggelapan pajak yang sudah dipenjara dapat dengan
mudahnya pergi ke Bali berwisata meninggalkan ruma tahanan. Bagaimana hal ini bisa terjad? Jawabanya mudah para aparatur penegak hukum
kita (polisi, jaksa, hakim) masih dengan mudahnya menjual Independensi mereka dengan segepok uang.
Kehilangan Kepercayaan

Penyelewengan atau inkonsistensi hukum di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia
ini merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan lingkungan adalah
penilangan penegemudi kendaraan yang melanggar tata tertib lalu lintas.
Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum, kemudian seharusnya aparat
yang menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara hukum yang berlaku di Indonesia, namun tudak jarang penegak hukum tersebut justru
mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi rupiah.
Oleh karena itu ini akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya yaitu: Pertama, ketidakpercayaan
masyarakat pada hukum. Masyarakat berependapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal materi sehingga mereka berusaha untuk
menghindarinya. Karena mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara, dan meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan
dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum.
Kedua, penyelesaian konflik dengan kekerasan (main hakim sendiri). Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang
dipukuli warga, pencuri sandal yang dihjar warga hingga tewas. Konflik yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang
diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku
yang tersakiti sehingga dibalas degan kekerasan.
Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan masayarakat
Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan
dihakimi secara seenaknya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
Ketiga, maraknya suap. Karena aparatur penegakan hukum menjual harga dirinya maka tentu saja orang orang yang berperkara dapat menukar
hukuman yang harusnya mereka jalani dengan membayar sejumlah uang agar dapat terlepas dari jeratan hukuman. Hukum dijadikan sebagai
suatu permainan dan mata pencaharian baru untuk memperoleh rupiah dengan cara tidak benar oleh penegak hukum yang tak bertanggung jawab.
Tegakan Supermasi Hukum
Masalah penegakan hukum di Indonesia harus segera ditangani agar bangsa Indonesia menuju bangsa yang adil, tidak ada ketimpangan hukum.
Masalah penegakan hukum harus ditangangi oleh seluruh Warga Negara Indonesia, aparatur penegak hukum harus menangani kasus/perkara
tanpa pandang bulu. Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki membuat undang-undang hukum
yang jelas dan tidak bisa disuap oleh uang ataupun materi lainnya, kemudian masyarakat juga harus tertib hukum.
Semua dijalankan berdasarkan hati nurani masing-masing, iman dan ketaqwaan sangat diperlukan. Penegakan hukum yang konsisten harus terus
diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia. Semua harus bekerja sama untuk membangun Negara
Indonesia yang adil, jika salah, harus dihukum sesuai hukum yang berlaku tanpa pengecualian apakah orang tersebut merupakan anak pejabat
ataukah anak petani.
Jangan sampai negara kita hancur karna ulah para oknum yang tidak bertanggungjawab ini. kalau keadaan terus berjalan seperti sekarang ini
berarti benarlah anekdot yang mengatakan bahwa "Hukum seperti sebilah pisau, dimana pisau ini tajam pada bagian bawa namun, tumpul untuk
bagian atas" hal ini memiliki makna hukum itu hanya tegas untuk masyarakat bawah dan, tak berkutik pada masyarakat atas yang memiliki
kekuasaan. Jika hal ini terus dibiarkan bagaimana dengan masa depan negara tercinta ini

6Transcript of MENGANALISIS KASUS PELANGGARAN HAK DAN PENGINGKARAN KEWAJIBA


MENGANALISIS KASUS PELANGGARAN HAK DAN KEWAJIBAN SEBAGAI WARGA NEGARA
Menganalisis Kasus Pelanggran Hak dan Pengingkaran Kewajiban Sebagai Warga Negara
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Endang Daniel AR, M.Pd
Drs. Rahmat, M.Si
Dra. Iim Masitoh, M.Pd
Dede Iswandi, S.Pd, M.Pd
Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :


1. Pembunuhan masal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM)
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang
menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat.
Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
KEWAJIBAN SEBAGAI WARGA NEGARA
Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang.
Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undangundang.
Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih
lanjut diatur dengan UU.
PELANGGARAN-PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI INDONESIA
Tawuran antar SMA 6 dan SMA 70 terjadi di Bunderan Bulungan, Jakarta Selatan pada pukul 12.20 pada Senin, 24 September 2012. Terdapat
satu orang korban tewas, bernama Alawy, siswa kelas X SMA 6, yang tinggal di Larangan, Ciledug Indah. Alawy yang mendapat luka tusuk di
bagian dada, sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring, Jakarta Selatan. Namun nyawa Alawy tak bisa diselamatkan
karena keburu meninggal dunia sesampainya di sana.
PEMBREDALAN MAJJALAH TEMPO, DETIK DAN EDITOR 21 JUNNI 1994
Tanggal 21 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi pers Indonesia. Pada tanggal itutahun, 1994, tiga media massa cetak ibu kota dibredel
sekaligus. Yang menjadi korban adalah TEMPO, Detik, dan Editor. Dan ketiga media itu seperti menambah daftar korban pembredelan selama
Orde Baru. Tercatat, sejak 1968, sudah lebih dari 25 media massa dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) atau Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)nya tanpa melalui proses pengadilan seperti disyaratkan undang-undang pokok pers. Dan selama hampir 30 tahun itu, baru Majalah TEMPO
yang mengadukan nasibnya ke pengadilan. Di tingkat pertama dan kedua TEMPO menang, tapi Mahkamah Agung mengalahkan TEMPO -dengan pertimbangan hukum yang sering ditulis pakar hukum sebagai salah satu yang "terburuk" dalam sejarah MA.
Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa
ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang.
Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undangundang.
Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih
lanjut diatur dengan UU.

Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan
untuk kasus pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum.Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang
dalam kehidupan sehari-hari untuk menghargai dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku sebagai berikut
1. Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.
2. Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.
3. Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung
jawab.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menghormati hak-hak orang lain.

Upaya mengatasi pelanggaran hak asasi manusia


Contoh Hak Setiap Warga Negara
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum.
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan.
4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai.
5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh.
7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai
undang-undang yang berlaku.
Contoh Kewajiban Setiap Negara
1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan
musuh.
2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda).
3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan
dengan sebaik-baiknya.
4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara Indonesia.
5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah
yang lebih baik.

Kewajiban adalah : Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan
melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib.

7 CONTOH KASUS
4.1 Indonesia Vs Malaysia - Fenomena Perbatasan Negara Berdaulat
Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek
sekali. Tidak jarang hampir disetiap negara sering terjadi konflik antar negara lebih banyak terfokus pada persoalan perbatasan.
Pada peraturan dan perundangan-undangan Dewan Keamanan PBB tentang pengaturan dan kesepakatan perbatasan wilayah
negara di dunia menyebutkan bahwa perbatasan adalah garis khayalan yang memisahkan dua atau lebih wilayah politik atau
yurisdiksi seperti negara, negara bagian atau wilayah subnasional.
Perbatasan yang terdapat di daratan suatu wilayah biasanya ditandai dengan tanda-tanda patok atau tugu yang sudah menjadi
kesepakatan bersama antara pemerintah negara-negara yang memiliki batas satu daratan dengan bukti kesepakatan yang

ditandatangani bersama dibawah naungan Dewan Keamanan PBB yang menangani tentang perbatasan suatu batas negara
berdaulat. Selain ditandai dengan patok atau tugu, perbatasan batas wilayah negara berdaulat bisa juga ditandai dengan bentangan
memanjang bangunan berbentuk pagar batas yang tentunya berdasarkan kesepakatan bersama pula.
Sementara itu yang masih sangat sulit untuk ditandai dan dibuktikan dengan tanda yang akurat dan identik adalah soal tanda
batas perbatasan wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain yang berhubungan dilautan lepas dan batas wilayah
penerbangan. Disinilah yang sering kali terjadi konflik antar negara dan warga perbatasan.
Di Indonesia sendiri soal perbatasan antar wilayah batas negara dengan negara tetangga lainnya hingga sekarang masih belum
terselesaikan dengan tuntas. Pesoalan perbatasan di Indonesia dengan negara-negara tetangganya sering kali terjadi kesalah
pahaman, dan hal itu sering terjadi pelanggaran yang banyak dilanggar oleh negara-negara tetangga, seperti batas wilayah
perbatasan antara Indonesia Malaysia, Indonesia Singapura, Indonesia Philipina, Indonesia Papuanugini, Indonesia Timor Leste,
dan Indonesia Australia.
Pelanggaran perbatasan batas suatu negara sering terjadi dilakukan oleh tingkah laku politik berkepentingan oleh salah satu
negara perbatasan yang melibatkan warga masyarakat di perbatasan, militer dan perubahan peta perbatasan yang sepihak oleh
negara yang menginginkan suatu perluasan wilayah yang banyak memiliki kandungan sumber alam.
Di Indonesia sendiri hal tersebut diatas sering terjadi semacam itu, dan biasanya selalu dimulai dengan provokasi ganda yang
dilakukan oleh negara tetangganya. Baik dengan cara penyerobotan batas wilayah perbatasan dengan invansi militer,
penghilangan tanda bukti batas perbatasan, pembangunan ilegal sebuah bangunan atau kawasan yang dibangun melebihi batas
negara yang telah disepakati, atau juga adanya perubahan peta perbatasan yang sepihak yang dilakukan oleh negara
bersangkutan (salah satu negara tetangga yang berkeinginan untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan melakukan
perubahan peta internasional soal tanda batas garis perbatasan wilayah negara secara ilegal dan sepihak).
4.2 Malaysia Pelanggar Perbatasan Indonesia Terbanyak:
Ditahun 2008 - 2009, pelanggaran perbatasan nagara Indonesia dengan negara tetangganya sering banyak dilanggar oleh
Malaysia. Ini terbukti dengan adanya pelanggaran perbatasan wilayah negara masih terus dilakukan oleh negara tetangga.
Malaysia yang paling sering melakukan pelanggaran batas wilayah RI.
Hal itu terungkap pada rapat kerja (raker) Komisi I dengan menteri-menteri di jajaran Politik, Hukum dan Keamanan
(Polhukam), di Jakarta, Senin (2 Maret 2009). Menko polhukam Widodo AS (pada masa kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono periode I) itu memaparkan tentang berbagai pelanggaran terhadap wilayah RI yang terjadi dalam kurun
waktu Januari hingga Desember 2008.
Dari catatan Kementrian Polhukam, Provinsi Kalimantan Timur adalah wilayah RI yang paling sering mengalami pelanggaran
wilayah oleh negara lain. Untuk pelanggaran wilayah perbatasan perairan Indonesia, di perairan Kalimantan Timur dan seputar
Laut Sulawesi telah terjadi 21 kali pelanggaran oleh Kapal Perang Malaysia dan enam kali oleh Kapal Polisi Maritim Malaysia.
Sementara di perairan lainnya sebanyak tiga kali, ucapnya. Dalam raker yang juga dihadiri Menteri Pertahanan, Kepala BIN,
Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri itu, Widodo mengungkapkan, pelanggaran wilayah perbatasan udara paling banyak
terjadi juga di wilayah Kalimantan Timur.
Selama 2008, terjadi 16 kali pelanggaran wilayah udara di Kaltim, sebutnya. wilayah lain yang juga mengalami pelanggaran
kedaulatan udara antara lain tiga kali di Papua, dua kali di wilayah Selat Malaka dan tujuh kali di wilayah-wilayah lain di
Indonesia.
Sementara untuk pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan patok-patok batas wilayah di Kalimantan Barat.
Pemindahan patok batas terjadi di Sektor Tengah, Utara Gunung Mumbau, Taman Nasional Betung Kerihun, Kecamatan Putu
Sibau, serta Kabupaten Kapuas Hulu, kata Widodo. Selain itu, mantan Panglima TNI ini melanjutkan, pelanggaran wilayah
perbatasan darat juga dilakukan oleh para pelintas batas yang tidak memiliki dokumen yang sah.

Pada raker yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga itu, Widodo juga menjelaskan perihal berbagai tindakan atas
pelanggaran kedaulatan wilayah RI. Untuk pelanggaran wilayah darat, Departeman Luar Negeri RI telah mengirimkan sejumlah
nota protes ke negara pelanggar. Kasus pelanggaran wilayah darat juga dibawa ke forum Genera Border Committe (GBC)
Indonesia-Malaysia maupun Joint Border Committe (JBC) Indonesia-Papua Nugini. Dan untuk pelanggaran wilayah perairan dan
udara nasional, telah direspon dengan pengusiran langsung oleh satuan operasional TNI, serta pengiriman nota protes oleh Deplu,
tutur Widodo. (berita hankam)

4.3 Militer Diraja Malaysia Memasuki Wilayah Perairan Indonesia Di Ambalat


Ditahun 2010, tepatnya di bulan Agustus 2010 yaitu sebanyak tiga orang petugas dari KKP ditangkap oleh polisi perairan
Malaysia setelah menangkap tujuh nalayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Tiga orang
petugas dari KKP kemudian ditahan di Malaysia dan mereka dibebaskan dengan cara dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia.
Dalam peristiwa ini spontan mendapat banyak protes dari waga negara Indonesia, dan termasuk protes keras dikeluarkan oleh
pemerintah Republik Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad mengatakan Malaysia meremehkan Indonesia dengan
memperlakukan tiga petugas dari kementeriannya yang ditangkap polisi air Malaysia kurang layak.
Tiga orang petugas dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang ditangkap polisi air Malaysia ditahan dikantor polisi
Malaysia, dipakaikan pakaian tahanan, dan pada saat keluar ruangan tangannya diborgol, kata Fadel Muhammad pada diskusi
polemik Indonesia-Malaysia: Serumpun tapi Tidak Rukun di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, perlakuan polisi Malaysia itu meremehkan Indonesia. Apalagi tiga orang tersebut adalah petugas resmi yang
ditangkap saat menjalankan tugasnya yakni menangkap tujuh nelayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah
perairan Indonesia.
Fadel meminta kepada pemerintah untuk bersikap lebih tegas karena kalau terus-menerus seperti ini ia mengkhawatirkan
tindakan Malaysia akan semakin meremehkan Indonesia.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen I Wayan Midhio mengatakan, pejabat di Kementerian
Pertahanan bergaul banyak dengan pejabat di Kementerian Pertahanan maupun militer dari Malaysia.
Setahu saya tidak ada pejabat militer Malaysia yang meremehkan Indonesia, katanya.
Untuk menjaga pertahanan di wilayah perbatasan, kata dia, Kementerian Pertahanan melakukan kerja sama pertahanan dengan
Malaysia maupun dengan Singapura.
Insiden di Bintan, Kepulauan Riau yang melibatkan nelayan Malaysia, tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan serta
pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya menunjukkan lemahnya pertahanan laut Indonesia.
Kami minta kasus sengketa Malaysia jadi momentum membenahi pengelolaan wilayah perbatasan maritim kata Mahfudz
Sidik, Anggota Komisi Pertahanan DPR dalam diskusi di Jakarta, Sabtu 21 Agustus 2010.
Dalam diskusi itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui, pertahanan maritim Indonesia masih lemah. Ini
karena kurangnya koordinasi antara satu pihak dengan lainnya. Dilihat dari yang berperan, harusnya lebih dari cukup. Tapi ini
karena tak pernah ada kerjasama kata Fadel.
Menurut Fadel, keamanan di laut Indonesia ditangani pasukan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi
Keamanan Laut, kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan petugas dari bea cukai. Saya sudah lapor Presiden untuk ditata, agar
kejadian dengan Malaysia kemarin tidak terjadi lagi dan tidak saling menyalahkan, kata Fadel.
Nantinya pengamanan kawasan maritim, Fadel berharap ditangani Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan I Wayan Midhio mengakui perlu ada kesepakatan untuk mengatur keamanan laut. UU-nya
belum ada, perlu dirancang untuk kepastian pembagian penjagaan, kata Dia.

8Konflik Laut Cina Selatan: Cermin Pergeseran Geopolitik Global (Bag3/Habis)


Kebangkitan Islam dan Tata Ulang Hegemoni
Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit terkuak data (3/4/2012), bahwa fenomena Kebangkitan Islam dimulai dari
Jalur Sutra. Tidak bisa dielak, fakta-fakta kebangkitan tersebut memang ada, nyata dan kini tengah berada/berperan (existence).
Pertama adalah kekalahan demi kekalahan militer AS dan sekutu dalam perang Irak dan Afghanistan, meski media mainstream coba menutup-nutupi namun
circumstance evidence (bukti keadaan) menjelaskan, betapa militer reguler dan tentara bayaran dari 42 negara (AS, NATO dan ISAF) berbekal senjata modern lagi
canggih ternyata tidak mampu mengalahkan Taliban yang hanya berbekal senjata konvensional. Dalam konteks militer, Taliban masuk klasifikasi extremis, kelompok
insurgent atau separatis sekelas pemberontak.
Di berbagai literatur jarang ditemui tentara profesional kalah melawan pemberontak. Dalam teori militer modern pun demikian, kalah jumlah dan kalah canggih
peralatan tempur, identik kalah perang. Serangan militer Rusia ke Georgia 2008-an kemarin merupakan contoh nyata, tatkala kalah dalam hal pasukan dan peralatan
maka Georgia harus rela diduduki oleh militer Rusia dalam tempo seminggu saja.
Ditariknya secara bertahap pasukan multi-nasional pimpinan AS dari Irak dan Afghanistan tanpa mampu mengkapling-kapling wilayah SDA kedua negara,
merupakan fenomena uniq karena berdampak negatif terhadap sistem ekonomi dan keuangan bagi negara-negara yang terlibat invasi militer. Beredarnya Video
Tewasnya Osama, disinyalir sebagai TANDA ditutupnya layar pagelaran War on Terror (WoT) sebab dianggap gagal. Ya, WoT justru mengakibatkan hancurnya
sistem kapitalisme global!
Demikian pula Smart Power-nya Brzenky/Partai Demokrat melalui gerakan massa (Arab Spring) yang difasilitasi Central Applied Non Violence Strategic
(CANVAS), anak organisasi National Endowment for Democracy (NED), LSM-nya Pentagon, ternyata cuma sebatas ganti rezim di Tunisia, Yaman dan Mesir. Oleh
karena periode berikut justru rakyat ingin ganti sistem. Media-media memotret fenomena tersebut sebagai Revolusi Jilid II, istilah lain kebangkitan Islam.
Dan tampaknya, gerakan asimetris (non militer) AS dalam rangka tata ulang rezim di Jalur Sutra telah out of control atau lepas kendali. Rakyat mulai menyadari
bahwa kemiskinan di negerinya diakibatkan sistem Barat yang berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan global. Rezim utang yang ditawarkan IMF, Bank Dunia
dan lainnya ternyata merupakan jerat ketergantungan bagi negara penghutang. Setidaknya permainan utang ini terkuak jelas dalam buku Confessions of an
Economic Hit Man-John Perkins, bahwa kucuran pinjaman baik oleh IMF maupun negara kreditor bertujuan mencengkeram negara bersangkutan. Akhirnya penerima
utang menjadi target lunak ketika IMF atau kreditor butuh hal-hal yang diinginkan, seperti pangkalan militer, kemudahan akses (perpanjangan kontak karya) atas
eksplorasi SDA, suara di PBB, privatisasi, cabut subsidi, dan lain-lainnya. Inilah fakta-fakta kedua daripada kebangkitan Islam.
Fakta ketiga ialah keberanian (kecerobohan?) Moamar Gaddafi di Libya melawan hegemoni AS dan sekutu (NATO). Walau kini porak-poranda, kecerobohan Gaddafi
menginspirasi negara-negara sekitarnya. Syria, Iran, Palestina dan lain-lain menjadi batu sandungan bagi Barat dalam upaya tata ulang dominasi di kawasan kaya
minyak tersebut. Terutama Iran, betapa telah diembargo sekian dekade oleh Uncle Sam malah kemampuan ekonomi, teknologi bahkan postur militernya semakin
dahsyat. Luar biasa. Tertembaknya pesawat tanpa awak milik AS di wilayah Iran merupakan bukti riil kemajuan teknologi militer Negeri Para Mullah. Bahkan sempat
memunculkan fenomena di publik internasional bahwa dunia tidak lagi percaya kemajuan teknologi Barat, terutama teknologi perangnya!
Tesis Mackinder Dianggap Usang?
Kajian strategis Deep Stoat yang masih valid hingga kini soal politik global adalah If you would understand world geopolitics today, follow the oil. Ya, barang siapa
ingin memahami geopolitik dunia harus mengikuti fluktuasi minyak. Itu asumsi yang mutlak dicermati dari dan kemana arah konflik itu bermula, bergerak serta
berujung. Kendati sebelumnya, Halford Mackider di abad ke-19 telah mengklasifikasikan dunia ke dalam empat kawasan. Kawasan pertama adalah Heartland atau
World Island. Ia mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah; kawasan kedua disebut Marginal Lands. Meliputi Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan
sebagian daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert mencakup Afrika Utara; dan kawasan terakhir dinamai Island or Outer Continents. Meliputi Benua Amerika,
Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Inti tesis Mackinder menyebut, siapa menguasai Kawasan Heartland atau Jantung Dunia (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki kandungan SDA dan
aneka ragam mineral, akan menuju Global Imperium. Menggiurkan. Pantas jika banyak negara di kawasan ini didera konflik-konflik (ciptaan) terus menerus.
Conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itulah modus kuno kolonial sejak zaman bahula. Selalu menampilkan penyesatan (alih perhatian)
agar tujuan utama mulus berjalan.
Dalam diskusi terbatas di GFI (4/5/2012) diperoleh pointers, bahwa tesis Mackinder kini tak lagi akurat. Terbukti dengan Smart Power-nya Brzenky melalui Arab
Spring ternyata juga menggoyang Libya, Tunisia, Yaman dan negara-negara Afrika Utara lain yang nota bene bukan termasuk Jantung Dunia atau Heartland, tetapi
hanya Kawasan Desert (Padang Pasir/Tandus). Saya justru melihat, AS dan sekutu tengah menerapkan asumsi dari Toni Cartalucci. Bunyi teorinya adalah: Matikan
Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia. Sekilas tentang Cartalucci, ia adalah Research Assosciate di Central for Research
on Globalization (CRG), Kanada.
Menafsir asumsi peneliti CRG di atas, intinya: barang siapa ingin menguasai dunia maka (Langkah I) harus menguasai dahulu Timur Tengah. Ini salah satu Kawasan
Heartland yang dirujuk oleh Mackinder. Bila Langkah I sukses maka automaticly berakibat mati-nya Cina dan Rusia (Langkah II). Hasilnya menguasai dunia! Itu
benang merahnya. Tak boleh dipungkiri memang, cengkraman Paman Sam atas enam negara Timur Tengah (Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, EUA, Oman, Qatar)
melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) semenjak 1979-an terbukti unggul, terkait dominasi minyak dunia. Ya, GCC merupakan pabrik dolar terbesar dunia bagi
AS, oleh sebab hampir semua transaksi minyak diendap dulu di The Fed, sang pencetak dolar. Pertanyaan: Kenapa Rusia dan Cina tidak juga mati bahkan sekarang

justru semakin menggeliat kendati sebagian Timur Tengah dalam cengkeraman AS? Seberapa besar sich ketergantungan Cina dan Rusia terhadap Timur Tengah, dan
kenapa musti mati jika mereka dikuasai negara lain? Tidak dijelaskan oleh Cartalucci.
Agaknya ia lupa, bahwa Rusia kini sudah Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya kecil sekali tingkat ketergantungan terhadap negara lain.
Justru Cina yang masih tergantung impor. Maka menafsir asumsi tadi, hipotesa penulis semata-mata karena skema energi sebagai kunci utama setiap manuver apapun,
terutama militer. Ya, Asia Tengah dan Timur Tengah (Heartland) adalah basis produsen minyak dunia, meskipun pada perkembangan selanjutnya banyak negara di
Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi net oil exporter.
Alasan lain penyebab berubahnya geopolitik dari Jantung Dunia ke Laut Cina Selatan, selain banyaknya faktor kesulitan pada Langkah I (kuasai Timur Tengah)
seperti terus melawannya Bashar al Assad di Syria, penjegalan veto dua adidaya Cina dan Rusia di forum PBB untuk resolusi ala NATO yang memporakporandakan Libya kemarin dan lain-lain. Selain itu roadshow Ahmadinejad, Presiden Iran mencari sekutu baru di Amerika Latin, bahkan berencana masuk menjadi
anggota Shanghai Cooperation Organization (SCO) sungguh merisaukan Barat. Sekilas perihal SCO bermula kerjasama ekonomi antara Cina-Rusia, namun kini
cenderung mengarah pada pakta pertahanan antar negara-negara anggota dalam rangka mengimbangi hegemoni NATO di dunia.
Kembali ke Cartalucci, secara fisik AS sedang menerapkan (Langkah II): mematikan Cina dan Rusia. Sudah barang tentu motif pun tidak jauh dari The Power of Oil,
doktrin keramat elit AS dalam penguasaan minyak di jagad ini. Perkembangan terakhir memang tak bisa dielak, bahwa skema distribusi energi (minyak) global kini
berpindah ke Laut Cina Selatan, bahkan konon 80% impor Cina melalui perairan tersebut. Perhatikan kajian strategis Deep Stoat di atas!
Dalam Langkah II tersebut tersirat hasrat Washington merebut New Road Silk (Jalur Sutra Baru) yang terdiri atas Laut Cina Selatan Selat Malaka Laut Andaman
Teluk Benggal dan lainnya hingga melenggang ke Lautan Hindia. Ingat doktrin Alfred Mahan yang hingga kini tetap disakralkan oleh AL-nya: Barangsiapa
menguasai Lautan Hindia, maka ia menjadi kunci dalam percaturan dunia. Pantas!
Leon Panetta: Dukung ASEAN Bertindak Seragam
Data GFI terdahulu, terutama catatan Perang Asia Timur Raya (10/01/2012), sudah meramal pergeseran Perang Dunia III dari Timur Tengah ke Laut Cina Selatan.
Adapun inti alasannya meliputi:
(1) Peristiwa fenomenal awal 2012-an adalah gerakan menolak US Dollar yang diprakarsai Cina-Jepang. Perusahaan kedua negara sepakat mengkonversi mata uang
masing-masing tanpa lebih dulu mengkonversi ke dolar AS. Ini mencengangkan dunia. Prakiraan GFI 2012 menyebut: bahwa sikap kedua negara tadi akan
menimbulkan gelombang imitasi. Ditiru oleh banyak negara baik akibat efek langsung maupun tidak langsung, ataupun karena snawball process alami. Dengan kata
lain, jika publik internasional serempak menolak dolar niscaya timbul Tsunami Dolar, dimana dolar kembali ke negeri asal menjadi tumpukan kertas-kertas tidak
berharga. Inilah awal kiamat bagi Amerika kelak!
Maka berbagai cara diyakini ditempuh oleh AS guna menghentikan gerakan menolak dolar, bila perlu memakai kekuatan militer. Irak misalnya, ketika Saddam
Hussein berkoar hendak mengganti dolar dengan euro pada setiap transaksi minyak dan cadangan devisa negara, maka seketika negeri 1001 malam itu diserbu AS dan
sekutu dengan beragam dalih. Libya mungkin contoh kedua, utang Barat atas minyak Libya sebesar US$ 200 milyar membuat Gaddafi ceroboh mengira NATO
tidak akan menyerangnya. Ketika ia mencetak uang emas (dirham) lalu mengumumkan bahwa setiap transaski minyak dan utang Barat harus dibayar dirham, bukan
uang kertas (dolar) seperti lazimnya. Gaddafi mengancam, jika utang tidak dibayar dirham (emas) maka konsesi minyak Barat yang habis 2012 diberikan kepada
Rusia dan Cina. Seketika Libya dihajar dengan bom oleh NATO pimpinan AS. Itulah sekilas utang dibayar bom! (Baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang
Dibayar Bom, di www.theglobal-review.com).
Data lain yang tak kalah penting adalah utang asing AS terbesar justru dari Cina sejumlah US$ 1,107 triliun dan Jepang sebesar US$ 1,038 triliun (CNBC, Kamis,
2/2/2012). Mungkin kini sudah bertambah? Silahkan apabila ada data terbaru.
(2) Kawasan Heartland serta Selat Hormuz pada khususnya ialah pabrik dolar bagi AS karena transaksi minyak di Teluk masih memakai US Dollar. Bandingkan
dengan beberapa negara yang sudah mencampakkan dolar dalam setiap transaksi, seperti Iran misalnya, atau Rusia, India dan beberapa negara Amerika Latin. Maka
menyalakan api perang di kawasan tersebut, bagi AS identik menghancurkan dapur sendiri. Ya, Hormuz merupakan selat utama bagi delapan negara produsen minyak
di Teluk Persia (Arab Saudi, UEA, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Irak dan Iran). Dan hampir setiap 10 menit kapal-kapal tanker berlayar membawa 40% minyak
dunia, atau sekitar 90% ekspor minyak dari negara-negara tadi. Apa jadinya bila perang meletus di basis produksi dan distribusi minyak dunia?
Menurut Prof Michel Cossudovsky, pendiri CRG, Kanada, jika benar meletus PD III di Jalur Sutra maka seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam
suatu kebakaran besar. Pertanyaan siapa yang bakal hancur adalah masing-masing pihak bertikai, bahkan mengimbas ke seluruh dunia. Harga minyak bakalan
melambung diikuti harga-harga barang dan jasa!
Selaras dua alasan di atas, hipotesa Uncle Sam tengah menerapkan Langkah II Cartalucci seperti gayung bersambut karena AS selain ingin secepatnya membangun
sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara, kemungkinan justru ditujukan kepada Cina. Ia juga mendukung pembentukan ASEAN Security
Community tahun 2015. Menteri Pertahanan (Menhan) AS, Leon Panetta menegaskan akan memperluas pengaturan militer di Asia Tenggara dan Samudera Hindia,
termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan menempatkan kapal-kapal perang di Singapura. Bahkan berjanji menggeser 60% armada tempur AS di Asia
Pasifik. Kepada para Menhan ASEAN, Panetta mendukung tindakan seragam dan menyusun kerangka aksi yang berkekuatan hukum terkait Laut Cina Selatan.
Itulah yang sedang terjadi.

9Sejumlah Fakta Klaim Budaya Indonesia oleh Asing


Politikindonesia - Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya. Tingkat diversitasnya, bahkan yang tertinggi di dunia. Sayangnya, referensi tentang
budaya nusantara masih minim. Proteksi atas elemen kebudayaan pun masih lemah. Tak heran, banyak budaya Indonesia yang terancam punah, karena
tidak ada dukungan dalam konservasi. Parahnya lagi, pihak lain yang menyadari tingginya nilai budaya nusantara justru mengklaim budaya itu sebagai
miliknya.

Dari data yang didapat politikindonesia.com dalam acara peluncuran gerakan Sejuta Data Budaya di Bina Graha, Senin (12/12), setidaknya ada sekitar 27 hak
kekayaan intelektual (Haki) milik Indonesia yang diklaim oleh pihak asing, sejak tahun 2000 hingga saat ini.
Beragam pihak yang menjadi pelakunya. Mulai dari institusi negara asing, perusahaan asing hingga perorangan. Jenis budaya yang diklaim pun beragam, mulai dari
alat musik, lagu, tarian, senjata tradisional, prasasti dan naskah kuno. Bahkan hingga tata cara pengobatan dan makanan dan khas minuman khas Indonesia.
Malaysia menempati urutan teratas dalam sengketa soal klaim budaya tersebut. Setidaknya yang saat ini dipersengketakan adalah alat musik Gamelan, angklung,
badik tumbuk lada, naskah kuno dari Riau, naskah kuno dari Sulawesi Selatan, kuda lumping dari Jawa Timur. Bahkan, tari piring dari Sumatera Barat pun
dimasukkan dalam heritage mereka oleh Malaysia.
Bahkan, untuk naskah kuno Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, pemerintah Malaysia tak hanya mengklaim tapi juga melakukan
eksploitasi komersil. Mereka membuat versi online dari naskah tersebut dan mengenakan bayaran bagi siapa yang ingin mengaksesnya.
Bukan hanya itu, Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur dan Reog Ponorogo, juga diklaim sebagai bagian budayanya oleh Malaysia dan dimasukkan dalam bagian
heritage mereka. Untuk Reog Ponorogo, Malaysia membuat versi sendiri dengan nama Barongan, namun akhirnya mereka mengakui itu berasal dari Ponorogo.
Sempat heboh pula, soal Tari Pendet dari Bali, karena dijadikan iklan pariwisata oleh Malaysia.
Ornamen khas Indonesia dan motif batik pun jadi persoalan. Pada 2006, Malaysia mengklaim dan motif batik parang dari Yogyakarta. Sebelumnya, kerajian perak
dari Bali juga mengalami nasib serupa. Pada 2005, Desak Suwarti dari Desa Celuk, Gianyar harus berurusan dengan WTO, karena dianggap melanggar hak kekayaan
intelektual, karena desain kerajinannya ternyata telah dipatenkan oleh Malaysia.
Pada lagu dan musik pun, kejadian serupa terjadi. Beberapa kasus yang mencuat diantaranya, lagu Burung Kakak Tua dari Maluku, lagu Anak Kambing Saya dari
Nusa Tenggara. Lagu Jali-Jali yang diklaim Malaysia sebagai lagu asli Langkawi dan lagu Rasa Sayange, dari Maluku.
Klaim budaya dan kekayaan intelektual milik Indonesia tak hanya bersumber dari Malaysia saja. Sebut saja, Kopi Gayo dari Aceh yang didaftarkan oleh Holland
Coffee, sebuah perusahaan multinasional Belanda. Akibatnya, petani kopi Aceh tidak bisa lagi memakai merek Kopi Gayo. Saat ini pemerintah tengah berupaya untuk
mendaftarkan merek Kopi Gayo sebagai merek dagang kopi yang berasal dari Gayo, Aceh. Upaya serupa pernah berhasil, saat produk berbahan rempah dan tanaman
asli Indonesia dicoba dipatenkan oleh Shiseido Co Ltd.
Klaim perorangan atas produk asli Indonesia juga dilakukan perorangan. Sebut saja, makanan Tempe yang patennya kini dimiliki oleh seorang warga negara Jepang.
Rendang padang yang dipatenkan oleh seorang warga Malaysia, atau sambal bajak, sambal petai dan sambal nanas yang dipatenkan oleh seorang warga negara
Belanda di Australia. Saat ini, ketiga produk sambal tersebut diproduksi secara massal.
Serangkain klaim tersebut tentu mengusik kita. Kedaulatan Indonesia atas budaya terganggu. Disinilah gerakan Sejuta Data Budaya yang diluncurkan di Bina Graha,
menemukan korelasinya.
Gerakan ini bertujuan untuk mengumpukan referensi yang memadai mengenai budaya Indonesia, yang berfungsi untuk proteksi, penelitian kebudayaan dan
pengembangan ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan sosial, ujar Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief, dalam acara peluncuran
gerakan nasional ini.
Dengan pengumpulan data tentang budaya Indonesia, ada argumen dan referensi yang kuat ketika ada klaim dari pihak lain. Selama ini, klaim asing atas hak kekayaan
intelektual telah menimbulkan merugikan ekonomi.
Hal tersebut karena diberlakukannya sejumlah aturan hak kekayaan intelektual oleh World Trade Organisation (WTO). Akibatnya, warga negara Indonesia yang
melakukan ekspor produk budaya terancam sanksi. Walaupun jelas-jelas produk tersebut berasal dari tradisi budaya bangsa Indonesia. Kasus Desak Suwarti dari Bali
adalah satu contoh kisah sedih tentang itu.
Bukan hanya itu. Klaim asing tersebut, mengancam integritas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas budaya. Indonesia harus berdaulat atas
kebudayaan
(kap/rin/nis)

Anda mungkin juga menyukai