Anda di halaman 1dari 10

BAHASA SEBAGAI SARANA SASTRA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Sastra

Disusun oleh :

Bunga Savira

180110140016

Maryam Fathimiy

180110140082

Ghani Septian

180110140050

Uzair

180110140090

Universitas Padjajaran
Sumedang
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahasa sebagai sarana sastra sangat erat kaitannya dengan Ilmu Sastra. Tanpa adanya
bahasa sebagai sarana sastra, manusia kurang memahami apa isi sastra tersebut. Jadi tanpa
adanya bahasa kita akan sulit memahami apa itu sastra.
Bahasa sebagai sarana sastra sama halnya dengan modem atau router atau wi-fi sebagai
sarana kita untuk bisa terhubung dengan internet di laptop, PC, atau smartphone. Sama halnya
dengan sarana bahasa bagaimana bisa mengerti apa itu sastra kalau tidak mengerti bahasa yang
dipakai dalam Sastra itu sendiri.
Manusia zaman dahulu membuat karya sastra memakai bahasa sansekerta karena bahasa
sansekerta adalah bahasa yang di mengerti pada zaman tersebut. Jadi, kami menyimpulkan tanpa
adanya bahasa maka tidak akan ada sastra karena adanya bahasa sangat menentukan terciptanya
karya sastra.
Dengan adanya bahasa, sastra akan lebih mudah tergambarkan dan bisa memahami sastra
yang pada hakekatnya adalah sebagai ilmu. Maka, materi bahasa sebagai sarana sastra sangat
berkaitan dengan pengantar ilmu sastra.
Rumusan Masalah
1. Apa itu bahasa?
2. Bagaimana kaitan bahasa dengan sastra?
3. Apa itu bahasa tulis dan bahasa lisan?
4. Bagaimana bahasa tulis bisa berperan dalam kesusastraan?

BAB 2
PEMBAHASAN
Bahasa dan Fungsinya
Sejak zaman dahulu, oleh ahli-ahli pikir, manusia disebut animal rationale, hewan yang
bsia berpikir. Dampak olah pikir manusia salah satunya berwujud lahirnya tutur bahasa mereka.
Menurut Willhelm Von Humboldt, manusia baru menjadi manusia sepenuhnya karena
bahasanya. Baru di dalam dan karena bahasalah manusia menjadi sadar mengenai dunianya.
Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005: 3) Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan
pikiran dan perasan manusia secara teratur yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
Pengertian Bahasa menurut Harun Rasyid,Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan
struktur dan makna yang bebas dari penggunanya sebagai tanda yang menyimpulkan suatu
tujuan. Sedangkan bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002: 88)
bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau
anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk
percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian bahasa tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pengertian bahasa adalah sistem yang teratur berupa lambang-lambang bunyi yang digunakan
untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran penuturnya. Dalam ilmu linguistik, bahasa
terbentuk dari perkawinan antara kata dan makna. Contohnya yang seperti ini : kshdgkksrt
apakah bisa disebut kata? Bisa. Tapi tidak bermakna. Lain halnya dengan kata buku misalnya. Itu
sebuah kata yang memiliki makna, artinya adalah sebuah benda untuk dibaca atau ditulis. Dan itu
semua (kata dan makna) merupakan badan-badan sastra. Sastra adalah semesta dari kata, makna,
dan bahasa. Semua itu bisa dirangkai dan dibentuk menjadi mahakarya sastra.
Ada pula yang berpendapat bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi. Berbagai faktor
sosial yang berlaku dalam komunikasi seperti peran pelaku komunikasi, tempat komunikasi
berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis
kelamin peserta komunikasi juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Sementara itu, sebagai
fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana
untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Itulah mengapa, merupakan
hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa.

Sastra dan Bahasa Tulis


Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga ada yang berbentuk tulisan atau yang biasa
disebut bahasa tulis. Ada tujuh ciri bahasa tulis yang berhubungan dengan sastra. Yang pertama,
bahasa tulis akan otomatis kehilangan sarana suprasegmental seperti gejala intonasi, aksen,
tekanan kata, tinggi rendahnya nada, keras lemahnya suara, dan banyak lagi. Gejala-gejala itu
bersifat fonemik. Ada pula gerak-gerik tangan, mata, dan anggota badan lain yang turut
menyokong dan turut menjelaskan pesan yang ingin disampaikan.
Kedua, dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis
dan pembaca. Maka dari itu, pemakaiannya dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra;
misalnya pemakaian kata gantu aku yang menunjuk pada dirinya sendiri. Karena, dalam situasi
bahasa tulis si pembicara (penulis) bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak komunikasi.
Ketiga, dalam hal bahasa tulis seringkali penulis malahan tidak hadir sebagiannya atau
pun seluruhnya dalam penyampaian pesan. Pembaca harus mencari informasi yang relevan
hanya dari data tertulis saja. Pembaca hanya memusatkan perhatian seluruhnya pada isi karangan
itu. Jadi, hubungan antara karya sastra dengan si penulis tidak jelas, malahan seringkali putus.
Maka karya itu menjadi sangat penting dan menjadi pusat perhatian pembaca. Plato pernah
mengutuk tulisan dengan alasan kata tertulis dipisahkan dari kehadiran komunikatif yang
merupakan satu-satunya sumber makna dan kebenaran. Tulisan dipandang sebagai yatim piatu
yang kehilangan ayahnya sejak hari kelahirannya. Lepasnya karya sastra dari tujuan komunikasi
biasa dan dari diri penulis menimbulkan macam-macam konvensi yang harus dikuasai seorang
pembaca, agar dia dapat memahami karya sastra.
Keempat, bahasa tulis mungkin sekali makin lepas dari kerangka referensi aslinya.
Penulis mungkin mengarang tulisannya berdasarkan situasi tertentu: priadi, sosial, dan lain lain.
Tetapi pembaca tidak tahu situasi itu. Jadi komunikasi lewat tulisan kemungkinan salah paham
jauh lebih besar. Untuk mempelajari ragam tulisan kesussastraan, kita harus memusatkan
perhatian pada konvensi yang mengarahkan permainan perbedaan dan proses makna yang
dibangun. Demikianlah pembeda antara ujaran dan tulisan menjadi sumber paradoks sastra.
Kelima, dalam tulisan, pembaca mempunya keuntungan lain yaitu tulisan dapat diulang
baca beberapa kali ketika dianggap perlu. Atau bacaan dapat disimpan lama dan dibaca sewaktu-

waktu hingga paling tidak kita dapat berikan makna tertentu, entah makna yang benar ataupun
salah, maka terdapat pula kemungkinan untuk makin merumitkan komunikasi itu. Konvensi
ternyata pula bukanlah sesuatu yang mapan, tetapi dapat berubah terus, dapat dilanggar,
dirombak, diperbarui lagi; pembaca tidak pernah bisa yakin sebelum ia mulai membaca sebuah
tulisan bahwa konvensi yang ingin diterapkannya adalah konvensi yang cocok untuk karya yang
bersangkutan.
Yang keenam, teks tertulis pada prinsipnya dapat direproduksi dalam berbagai bentuk
seperti fotokopi, stensilan, buku, dan lain-lain. Ada orang yang berpendapat bahwa pada masa
sekarang ini kita mengalami perubahan kebudayaan yang tak kurang pentingnya diakibatkan
penemuan teknik pencetakan. Kemungkinan reproduksi bahasa tulis dalam berbagai bentuk
sudah tentu sangat penting untuk sastra sebagai faktor kebudayaan. Dalam sosiologi sastra
kemungkinan penyebaran sastra secara besar-besaran lewat buku, majalah, dan lain-lain
diselidiki akibatnya. Tulisan memungkinkan pemantapan dan kelestarian berita yang terkandung
di dalamnya. Hal itu khususnya sangat penting bagi sastra. Bentuk roman yang kita baca pada
prinsipnya adalah bentuk seperti ditulis oleh pengarang, tidak kena perubahan sembarangan
sebagai berita lisan.
Yang terakhir, komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka
kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu dan juga dari
segi kebudayaan yang lain sekali dari situasi kita sendiri. Adanya tulisan akan menciptakan
hubungan sejarah antara kita dengan generasi sebelum kita. Hubungan yang melampaui batas
daerah dan Negara. Berkat adanya komunikasi tertulis, dunia menjadi semakin sempit, dengan
segala konsekuensinya, baik ataupun buruk. Karena itu, sastra menjadi gejala sejarah, dengan
segala akibatnya. Manusia abad ke 20 masih dapat membaca karangan Homeros, yang diciptakan
30 abad yang lalu atau karangan Prapanca dari abad ke-14, dan banyak lagi. Bacaan tulis juga
tidak terikat pada lingkungan kebudayaannya sendiri. Orang Belanda dapat membaca sastra
Indonesia, orang Jepang dapat menikmati sastra Perancis dan sebagainya.
Peranan Bahasa dalam Sastra : Bahasa sebagai Sarana Sastra
Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk
masyarakat lokal Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir akan kemudian dilanjutkan

proses kreatif. Proses kreatif berlanjut menjadi proses ekspresi, dan proses ekspresi akan
melahirkan karya-karya sastra yakni karya sastra Indonesia.
Mengapa bahasa erat kaitannya dengan sastra? Karena manusia itu makhluk yang
berbahasa. Mereka memiliki bahasa sebagai identitas dirinya untuk bertahan hidup menghadapi
arus zaman. Bahasa merupakan nyawa mereka. Dan jiwa-jiwa manusia pasti membutuhkan suatu
kesegaran baru contohnya dalam mengekspresikan diri.
Manusia bisa melakukan apapun tidak mungkin kalau sebelumnya tidak mengenal
bahasa. Manusia akan bisa berpikir, mencipta, dan merasa tentu karena adanya bahasa. Bahasa
diajarkan kepada tiap-tiap diri sedari kecil dengan tujuan memahami nilai-nilai kehidupan yang
baik. Bahasa sebagaimana fungsinya ialah alat komunikasi. Mari kita lemparkan kembali ingatan
kita ke masa kecil dulu ketika kita diajarkan berbicara oleh ibu kita atau oleh orang-orang di
sekeliling kita. Itulah proses mempelajari bahasa. Setiap orang belajar bahasa untuk mengetahui
kehidupan, mana yang baik dan mana yang buruk. Setelah sepatah dua patah kata kita bisa
mengucapkannya maka selanjutnya kita bisa berkomunikasi dengan baik. Lihatlah hasilnya
sekarang betapa indah jika kita telah mengenal kehidupan. Semua ini terbuka lebar kita lihat dan
kita nikmati. Tentunya semua ini tak lepas dari peran bahasa sebagai sarana penyambung kita
dengan dunia. Bahasa bagaikan nyawa manusia. Tanpanya, manusia bukanlah manusia. Begitu
besar peran bahasa bagi eksisnya manusia di muka bumi. Manusia itu makhluk sosial. Bahasa
adalah senjatanya untuk menghadapi perang sosialisasi di kehidupan manusia yang penuh
pertumpahan darah ini.
Selain makhluk sosial, manusia juga butuh seni. Salah satu seni ialah sastra. Seorang
sastrawan harus bisa merangkai kata dengan indah. Seorang sastrawan memperlihatkan
keindahannya melalui bahasa. Bahasa adalah bahan pokok kesusastraan. Tidak ada sastra tanpa
bahasa. Seorang sastrawan harus mampu mempergunakan bahasa untuk menyampaikan
pengalaman keindahannya di samping pandangan hidupnya.
Bahasa bukanlah sastra tetapi sastra membutuhkan bahasa. Bahasa ada yang biasa
digunakan sehari-hari, ada pula yang tidak. Bahasa yang tidak biasa digunakan untuk berkegiatan
seahari-hari biasanya termaktub dalam sastra. Sastra adalah bahasa yang indah, dirangkai dalam
susunan yang apik dan memiliki makna yang dalam. Penggunaan bahasa yang biasa saja seperti

umumnya dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari bukanlah sastra. Bahasa sastra adalah
bahasa yang khusus merupakan hasil susunan sastrawannya. Ada bahasa sehari-hari, ada pula
bahasa sastra.
Dalam bahasa sehari-hari, orang berkata Hari sudah senja, tetapi sastrawan mungkin
berkata matahari tenggelam di balik bukit, dan langit terbakar. Dengan begitu, sastrawan bukan
saja memberitahu bahwa hari sudah senja tetapi juga memberikan gambaran lain tentang senja.
di langit semerah darah, bukit Nampak kelam bagai kuburan raksasa
Keindahan sastra terletak dalam pengolahan bahan pokoknya. Seorang penari
memperlihatkan keindahan dalam gerak-gerik tubuhnya. Seorang pelukis memperlihatkan
keindahannya melalui kanvas atau kertas yang diberi corak warna-warni, seorang pematung
memancarkan keindahannya melalui patung yang diukir halus, rapi, nan berbentuk, dan seorang
sastrawan memperlihatkan keindahannya melalui alunan bahasa.
Fungsi bahasa dalam sastra bukan hanya memberi tahukan tetapi memberikan gambaran,
sehingga arti yang dikandung dalam bahasa itu lebih kaya. Dari gambaran yang diberikan
sastrawan tadi merupakan ungkapan arti tentang apa yang memberi arti apa-apa waktu melihat
matahari hilang di balik bukit. Tetapi sastrawan dapat melihat arti lain dari ini langsung matahari
di balik bukit itu. Sastrawan memberikan gambaran yang menyampaikan arti tertentu tentang apa
yang dilihatnya itu. Bagi pelukis, gambaran itu diungkapkan lewat lukisannya, tetapi bagi
sastrawan lewat bahasanya.
Keindahan sastra terletak dalam ungkapan bahasa yang menyenangkan. Sastra itu bagian
dari seni. Seni merupakan usaha manusia untuk merekam dan mengawetkan pengalaman
keindahan yang serupa. Tujuan seni bukan sema-mata memberikan hiburan saja. Kesenian juga
merupakan usaha manusia untuk menunjukan sesuatu arti bagi manusia lain. Hidup baik itu
berarti bagi manusia, sedangkan hidup kurang baik itu tidak membawa kebahagiaan bagi
manusia. Maka, seni selain menghibur juga berusaha membuat manusia hidup baik. Seni sering
disebut luhur karena ia ikut membina manusia menjadi manusia yang lebih baik. Seni sastra
merekam bunyi bahasa yang menyenangkan sehingga sewaktu-waktu orang dapat menikmati
kembali.

Kesusastraan memiliki dua bagian yaitu badan dan jiwa. Jiwa sastra berupa pikiran,
perasaan, dan pengalaman manusia, sedang badannya adalah ungkapan bahasa yang indah
sehingga memberikan hiburan bagi pembacanya.
Di Indonesia, kita juga mengetahui pembelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran
bahasa Indonesia. Demikian pula di Negara lainnya, pengantar pendidikan bahasa di setiap
negara tentunya tidak lepas dari pembelajaran sastranya. Pembelajaran sastra tidak mungkin
berdiri sendiri. Sastra tentunya masih menjadi bagian inti dari pelajaran bahasa. Sebagaimana
dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia memang berada di dalamnya. Kalau
merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa
depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan
sastra) yang penting di dunia.
Terkadang pula pembelajaran sastra hanya mendapat tempat yang sedikit dibandingkan
pembelajaran bahasa. Seharusnya, pembelajaran sastra juga mendapatkan porsi yang seimbang
dengan pembelajaran bahasa mengingat pentingnya belajar sastra bagi kehidupan manusia dan
kebudayaannya. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber
pengajaran khususnya penyampaian ilmu bahasa.

BAB 3
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dalam mempelajari sastra tak lepas dari bahasa. Bahasa adalah sarana sastra yang sangat
penting peranannya. Bahasa, jika diolah sedemikian rupa akan bisa menjadi sebuah karya sastra
hebat. Sementara itu, sastra tak bisa lepas kemajuannya tanpa ada peranan bahasa di situ. Bahasa
akan merepresentasikan kegelisahan jiwa-jiwa manusia yang kemudian digubahnya menjadi
suatu karya sastra abadi. Bahasa adalah alat pemuas mengekspresikan sastra, karena sastra
diperlihatkan keindahannya lewat bahasa. Bahasa lisan dan bahasa tulis sama-sama memiliki
peran penting dalam pembelajaran dan pemahaman sastra. Yang menjadi soal bagaimana kita
menempatkan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah atau di kampus-kampus bisa selaras
dan tidak ada yang dikesampingkan.

DAFTAR PUSTAKA
Sumardjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung : Alumni.
A TEEUW. 1980. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Chaer, Abdul. LINGUISTIK UMUM. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ms, Marwoto, dkk. 1985. Komposisi Praktis. Yogyakarta : Hanandita.
Rahmoanti, R. 1989. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisisus.
Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai