Anda di halaman 1dari 59

VARIABILITAS FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

KARENA FAKTOR GENDER DAN KEHAMILAN


Tugas Biofarmasi

Disusun Oleh :
Hani Abdina

260112120034

Feby Ulfa Shillah

260112120042

Melysa Afdila Putri:

260112120052

Fride Rindu Alami

260112120068

Saur Lumongga

260112120094

Retno Ayuningtyas

260112120100

Ramdhan Firmansyah

260112120104

Mifta Mansur

260112120130

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2012
A. Variabilitas Farmakokinetik Dan Farmakodinamik

Karena Faktor Gender


Pria dan wanita tidak hanya berbeda dalam hal berat dan tinggi badan, serta luas
permukaan tubuh, tetapi juga secara fisiologik dan biokimiawi. Perbedaan internal
antara pria dan wanita tersebut mengakibatkan perbedaan absorpsi, distribusi,
metabolisme, ekskresi dan respon terhadap obat, meskipun obat dengan dosis sama
diberikan melalui jalur yang sama.
1.

Absorpsi obat
Lama transit obat di dalam saluran gastro intestinal berbeda signifikan antara

pria dan wanita, dimana pada pria lebih pendek (45 jam) sedangkan pada wanita lebih
lama (92 jam). Lama transit makanan berserat biasanya lebih singkat, tetapi pada
wanita justru lebih lama. Absorpsi zat besi justru lebih efisien pada wanita, nampak
dari besi yang terikat eritrosit sebesar 45% pada wanita, dan 35% pada pria. Selain itu
juga terdapat perbedaan komposisi asam-asam empedu yang berfungsi sebagai
pelarut senyawa atau obat lipofilik, dimana kadar asam kholat pada pria lebih tinggi,
sedangkan pada wanita asam khenoddeoksikholat lebih tinggi.
Pada pemeriksaan data bioekivalensi oleh FDA, ternyata sebagian besar kadar
puncak (Cmaks) dan AUC obat lebih besar pada wanita. Informasi ini menunjukkan
bahwa pada dosis yang sama, wanita lebih banyak terekspos obat ketimbang pria.
Selanjutnya polietilen glikol bahan pengisi tablet, ternyata dapat meningkatkan
ketersediaan hayati ranitidin pada pria, tetapi pada wanita yang terjadi justru
sebaliknya. Makanan berlemak menurunkan ketersediaan hayati siklosporin A pada
wanita, namun pada pria justru meningkatkan.
Dalam hal transporter obat, patut disayangkan bahwa belum banyak studi yang
dilakukan.

Namun

beberapa

hasil

penelitian

menemukan

bahwa

ekspresi

poliglikoprotein (PgP) di sel-sel usus halus lebih banyak pada pria, sehingga lebih
banyak fraksi obat yang ditolak keluar dan masuk lagi ke dalam lumen usus.
Hormon-hormon seks (estrogen dan progestin) endogen atau eksogen (dari pil kontrasepsi) terbukti mampu mengatur dan menghambat PgP di usus halus sehingga dapat
meningkatkan absorpsi senyawa lain.

2.

Distribusi obat
Perbedaan komposisi tubuh antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan

distribusi obat di dalam tubuh, sehingga kadar obat di dalam darah berbeda. Seperti
diketahui, % lemak tubuh wanita lebih besar dibanding pria, menyebabkan obat-obat
yang larut lemak (diazepam, vankomisin) terdistribusi lebih luas, tetapi untuk obatobat yang kurang larut dalam lemak (alprazolam, etanol, netilmisin), volume
distribusinya lebih kecil pada wanita.
Perbedaan perfusi dan kecepatan aliran darah regional antara pria dan wanita
(berusia rata-rata 35 tahun) pada keadaan istirahat menunjukkan bahwa aliran darah
ke otot skelet pria lebih cepat, tetapi aliran darah ke jaringan adipose wanita lebih
cepat. Lebih rendahnya kecepatan aliran darah hepatik pada wanita berpengaruh
terhadap klirens hepatik obat-obat dengan Eh tinggi, sehingga jika volume distribusi
obat tidak berubah, akan menyebabkan kadar obat di dalam darah lebih tinggi.
Protein utama yang berfungsi mengikat obat di dalam tubuh adalah albumin,
AAG dan -globulin. Ikatan obat oleh albumin tidak terpengaruh oleh jenis kelamin,
sedangkan kadar AAG dan bentuk glikosilasi AAG terpengaruh oleh estrogen
endogen dan eksogen. Estrogen juga mempengaruhi kadar -globulin dalam mengikat
hormon seks, kortikosteroid dan tiroid. Fluktuasi kadar estrogen dalam siklus
menstruasi dapat mempengaruhi kapasitas ikatan AAG terhadap obat, biasanya obatobat basa lemah. Misalnya fraksi bebas diazepam, disopiramid, imipramin,
klordiazepoksid, dan nitrazepam ternyata sedikit lebih banyak pada wanita dibanding
pria. Jadi ikatan obat oleh AAG lebih kuat pada pria ketimbang pada wanita.
3.

Metabolisme obat
Pengaruh gender terhadap aktivitas beberapa enzim metabolisme.
CYP3A

Enzim CYP3A terlibat dalam metabolisme 50-60% obat-obatan yang digunakan


dalam terapi. Namun mengenai pengaruh gender terhadap aktivitas enzim ini masih
kontroversial, sebab sebagian menemukan aktivitasnya lebih kecil pada pria,
sedangkan lainnya menyatakan tidak ada pengaruh gender. Untuk membuktikan ada
tidaknya pengaruh gender terhadap aktivitas CYP3A digunakan obat model
midazolam, karena obat ini bukan substrat PgP, tetapi secara selektif dimetabolisme
oleh CYP3A. Dengan metode ini tidak ditemukan adanya pengaruh gender, seperti
nampak dari klirens dan ketersediaan hayati midazolan setelah obat ini diberikan per
oral pada pria dan wanita. Namun dengan metode dan obat yang sama, studi lain
menemukan hasil yang berbeda, dimana klirens midazolan (setelah dinormalisasi
terhadap berat badan) pada pemberian intravena dan per oral, ternyata lebih cepat
pada wanita. Kemungkinan perbedaan ini disebabkan oleh polimorfisme yang terjadi
pada 10-30% orang Kaukasia, dimana enzim CYP3A5 diekspresi lebih banyak pada
wanita.
Verapamil mengalami first-pass metabolism oleh enzim CYP3A4, CYP3A5 dan
CYP2C8, dan sekaligus merupakan substrat PgP. Pada pemberian intravena, klirens
verapamil (rasemat atau enantiomer) lebih cepat pada wanita; namun pada pemberian
oral, ternyata ketersediaan hayati verapamil lebih besar pada wanita. Fenomena ini
menunjukkan ketergantungan sistem PgP-CYP3A dari gender, dimana ekspresi PgP
lebih besar pada pria sehingga menyebabkan ketersediaan hayati verapamil per oral
lebih rendah. Ketergantungan klirens dari gender juga dialami obat-obat penekan
reseptor-. Misalnya pada pemberian oral metoprolol multipe dosing ternyata kadar
maksimum metoprolol di dalam darah 100% lebih tinggi pada wanita, baik untuk (R)
dan (S)-metoprolol. Hal ini disebabkan karena lebih rendahnya klirens oral (first-pass
metabolism) metoprolol pada wanita, meskipun nilai klirens telah dikoreksi terhadap
berat badan.
Lebih menarik lagi ialah terjadinya stereoselektivitas karena faktor gender,
seperti pada metabolisme labetalol. Ketika labetalol diberikan berulang per oral pada
sekelompok pria dan wanita, ternyata AUC labetalol 80% lebih besar pada wanita

(AUC telah dikoreksi terhadap dosis), tetapi penurunan tekanan darahnya sangat
mirip antara pria dan wanita. Setelah dievaluasi lebih lanjut, ternyata AUC (R,R)enantiomer aktif hanya meningkat 10%, sedangkan enantiomer lainnya meningkat
56-77% pada wanita.
CYP2D6
Cukup banyak jenis obat yang dimetabolisme oleh enzim ini, baik secara parsial
ataupun seluruhnya, misalnya amitriptilin, dekstrometorfan, fluoksetin, kodein,
imipramin, metoprolol, propranolol, dan spartein. Pada wanita pemetabolisme cepat
(extensive metabolizers), aktivitas CYP2D6 ternyata lebih tinggi ketimbang pria,
seperti dibuktikan menggunakan dekstrometorfan dan metoprolol, dimana klirens
obat-obat tersebut lebih cepat pada wanita. Lebih cepatnya metabolisme pada wanita
juga terjadi pada fluoksetin. Sebaliknya antihistamin, kecepatan metabolismenya
lebih lambat pada wanita, sehingga wanita lebih mudah mengalami efek sedatif
daripada pria, selain adanya perbedaan gender dalam ekspresi PgP di blood-brain
barrier.
CYP1A2
Enzim ini berperan dalam metabolisme berbagai macam obat, termasuk dalam
N-hidroksilasi kafein dan teofilin, dan deaktivasi berbagai karsinogen. Ternyata
klirens kafein dan teofilin lebih lambat 35-40% pada wanita dibandingkan pria.
Aktivitas CYP1A2 terbukti lebih rendah pada wanita Kaukasia, China, dan AfroAmerika. Selanjutnya yang terjadi pada klozapin, kadarnya di dalam darah 35% lebih
tinggi pada wanita China penderita schizoprenia, meskipun kadar klozapin telah
dinormalisasi terhadap dosis, usia dan berat badan. Fenomena ini menunjukkan lebih
rendahnya klirens klozapin atau aktivitas CYP1A2 pada wanita ketimbang pria.
Selanjutnya juga dilaporkan bahwa kadar fluvoksamin dan sertralin plasma lebih
tinggi pada wanita, berturut-turut 70-100% dan 50-70%, dibanding pria karena
aktivitas CYP1A2 lebih rendah pada wanita.
CYP2C19

Enzim ini berperan dalam metabolisme S-mefenitoin (probe utama CYP2C19),


inhibitor pompa proton (lanzoprazol, omeprazol, pantoprazol), diazepam dan
metabolitnya desmetildiazepam. Aktivitas enzim CYP2C19 ternyata terpengaruh oleh
gender-etnik, misalnya pada wanita China aktivitas enzim ini lebih tinggi, sedangkan
pada wanita Afro-Amerika, Belanda, Swedia, dan Yahudi lebih rendah. Pada
pemetabolisme cepat, pil kontrasepsi dapat menurunkan aktivitas metabolisme Smefenitoin dan omeprazol oleh CYP2C19 sampai 68% pada orang Kaukasia.
CYP2E1
Tidak banyak obat-obat terapeutik yang dimetabolisme oleh enzim CYP2E1,
kecuali etanol, chlorzoxazone, dan beberapa pembius: halotan, isofluran, eter, dan
metoksifluran. Ternyata ekspresi dan aktivitas enzim CYP2E1 dipengaruhi oleh
gender, ketika terbukti bahwa rasio metabolit 6-OH chlorzoxazone / chlorzoxazone
pada wanita lebih rendah 30% dari pria.
Selain sistem enzim CYP, masih ada beberapa enzim yang turut berperan dalam
reaksi metabolisme fase-1, diantaranya ialah xanthine oxidase yang berperan dalam
metabolisme kafein dan teofilin. Enzim oxidase ini dilaporkan memiliki aktivitas
yang lebih tinggi pada wanita. Enzim lain, dihidropirimidin dehidrogenase, yang
merupakan enzim penting dalam metabolisme fluorourasil (anti kanker), aktivitasnya
di hati sedikit lebih tinggi pada wanita ketimbang pria. Namun karena klirens
fluorourasil lebih rendah secara signifikan, maka diduga ada enzim lain yang
aktivitasnya juga tergantung gender yang turut berperan dalam metabolisme
antikanker tersebut.
UGT
UDP-glucuronosyl-transferase merupakan kelompok isozim yang terletak di
endoplasmik retikulum hati, dan terdiri dari dua subfamilia utama: UGT1 dan UGT2.
Pengurangan aktivitas UGT terjadi pada wanita, dan hal ini menyebabkan kadar obat
lebih tinggi daripada pria, misalnya terjadi pada asam klofibrat, asam mikofenolat,
diflusinal, labetalol, oksazepam, temazepam, parasetamol.
Sulfotransferase

Sementara ini diketahui bahwa hanya sebagian isozim sulfotransferase saja yang
terpengaruh gender. Aktivitas fenol-sulfotransferase ditemukan sekitar 60% lebih
rendah pada wanita. Yang menarik, perbedaan gender ini terjadi di Finlandia, dan
tidak di Italia, sehingga ada kemungkinan bahwa faktor geografi turut berperan dalam
metabolisme.
4.

Ekskresi obat
Kecepatan filtrasi glomeruli (GFR) pada wanita lebih rendah 10-15% dari pria

setelah dikoreksi terhadap berat badan. Klirens digoksin nilainya 12-14% lebih
rendah pada wanita setelah stimulan jantung tersebut diberikan per oral. Seperti
diketahui, digoksin juga merupakan substrat PgP, dimana kadar transporter ini pada
pria lebih tinggi dari wanita, sehingga pada pemberian oral dapat mengurangi
ketersediaan hayati digoksin, sedangkan ekskresinya melalui ginjal lebih besar pada
pria. Dengan dasar ini maka ketika pria dan wanita penderita gagal jantung diberi
digoksin per oral dengan dosis yang sama (tanpa normalisasi berat badan), kadarnya
di dalam darah wanita lebih tinggi dari pria, sehingga dapat menyebabkan fatalitas.
Klirens ginjal pada wanita juga lebih lambat untuk obat-obat yang sebagian besar
diekskresi melalui ginjal, termasuk fleroksasin, sefepim, seftasidim, dan vankomisin.
5.

Farmakodinamik
Anderson (2005) menyatakan bahwa pasien wanita memiliki risiko yang lebih

tinggi (1,5-1,7 kali) memperoleh reaksi buruk obat (adverse drug reaction; ADR)
ketimbang pria. Wanita pada umumnya menerima dosis obat yang lebih besar dari
pria, jika dosis obat dinyatakan dalam satuan masa/subyek (misalnya: mg/subyek),
karena pada umumnya berat wanita lebih rendah dengan komposisi tubuh berbeda
dibandingkan pria. Dari sudut ini maka wanita akan terekspos jumlah obat yang lebih
besar, sehingga menyebabkan kadarnya di dalam tubuh lebih tinggi. Namun hal ini
dapat diatasi, diantaranya dengan menyatakan dosis dalam satuan masa/berat badan
(mg/kg berat badan). Cara ini pun terkadang belum juga bisa melepaskan wanita dari

ADR obat, karena berat badan sering tidak berkorelasi dengan keadaan fisiologik dan
biokimia individu. Misalnya wanita lebih berisiko mengalami perpanjangan interval
QT (sekitar 60% kasus) dibandingkan pria, atau perpanjangan interval QT karena
kinidin sebesar 44% lebih tinggi pada paro-pertama siklus menstruasi. Obat-obat lain
yang dilaporkan dapat memperpanjang interval QT atau terjadinya torsades de
pointes diantaranya adalah amiodarone, bepridil, disopyramide, ibutilide, sotalol,
erythromycin, pentamidine, terfenadine, chlorpromazine, dan pimozide.
Dalam Ceweb source belakangan ini, Romans mengemukakan bahwa wanita
lebih banyak terserang gangguan autoimun dibanding pria, dan kausalnya belum
diketahui dengan pasti.
Dalam farmakokinetik, klirens kreatinin digunakan untuk pemantauan fungsi
ginjal pasien sehingga dapat dilakukan penyesuaian dosis bila terjadi penurunan
fungsi ginjal (Faull, 2007).

(Rowland and Tozer, 1995)


Contoh perhitungan:
1.

Hitunglah bersihan kreatinin pada seorang pria dengan umur 53 tahun memiliki

berat badan 70 kg dengan serum kreatinin 0.9 mg/dL!


Bersihan kreatinin:

= 93.98 mg/dL

2.

Hitunglah bersihan kreatinin pada seorang wanita dengan umur 35 tahun

memiliki berat badan 55 kg dengan serum kreatinin 0.9 mg/dL!


Bersihan kreatinin:

= 75.49 mg/dL

Klirens ginjal pada wanita umumnya lebih rendah dari nilai yang diperoleh pada
laki-laki. Mungkin hal ini disebabkan oleh peningkatan GFR (Glomerular Filtration
Rate) pada pria yang tampaknya memiliki peran utama dalam klirens ginjal obat. Hal
ini dapat menyebabkan kadar plasma pada wanita lebih tinggi daripada pria (Miriam
and Francisco, 2011).

B. Variabilitas

Farmakokinetik

Dan

Farmakodinamik

Karena

Faktor

Kehamilan
1.

Pengertian Kehamilan
Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterin mulai sejak

konsepsi sampai permulaan persalinan (Ida,1998).


2.

Proses Terjadinya Kehamilan


Setiap bulan wanita melepaskan satu sampai dua sel telur dari indung telur

(ovulasi) yang ditangkap oleh umbai umbai (fimbrai) dan masuk ke dalam sel telur.
Waktu persetubuhan, cairan semen tumpah ke dalam vagina dan berjuta juta sel
mani (sperma) bergerak memasuki rongga rahim lalu masuk ke sel telur. Pembuahan
sel telur oleh sperma biasa terjadi dibagian yang mengembang dari tuba fallopi.
Sekitar sel telur banyak berkumpul sperma yang mengeluarkan ragi untuk
mencairkan zat yang melindungi ovum kemudian pada tempat yang paling mudah
dimasuki, masuklah satu sel mani dan kemudian bersatu dengan sel telur.

Peristiwa ini disebut pembuahan ( konsepsi = fertilisasi ) Ovum yang telah


dibuahi ini segera membelah diri sambil bergerak oleh rambut getar tuba menuju
ruang rahim kemudian melekat pada mukosa rahim untuk selanjutnya bersarung di
ruang rahim. Peristiwa ini disebut nidasi (implantasi). Dari pembuahan sampai nidasi
diperlukan waktu kira kira enam sampai tujuh hari. Untuk menyuplai darah dan zat
zat makanan bagi mudigah dan janin, dipersiapkan uri (plasenta). Jadi dapat
dikatakan bahwa untuk setiap kehamilan harus ada ovum (sel telur), spermatozoa (sel
mani), pembuahan (konsepsi = fertilisasi), nidasi dan plasenta (Rustam, 1998).
a. Sel telur (ovum)
Pertumbuhan embrional oogonium yang kelak menjadi ovum terjadi digenital
ridge.
Menurut umur wanita, jumlah oogonium adalah :
a) BBL = 750.000
b) Umur 6 15 = 439.000
c) Umur 16 25 tahun = 159.000
d) Umur 26 35 tahun = 59.000
e) Umur 35 45 tahun = 39.000
f) Masa menopause = semua hilang
(Rustam Mochtar, 1998 : 17-18)
2. Sel mani (spermatozoa)
Sperma bentuknya seperti kecebong, terdiri atas kepala berbentuk lonjong agak
gepeng berisi inti (nucleus) leher yang menghubungkan kepala dengan bagian tengah
dan ekor yang dapat bergetar sehingga sperma dapat bergerak dengan cepat. Panjang
ekor kira kira sepuluh kali bagian kepala. Secara embrional, spermatogonium
berasal dari sel sel primitif tubulas testis. Setelah bayi laki laki lahir, jumlah
spermatogonium yang ada tidak mengalami perubahan sampai masa akil baliq. Pada
masa pubertas dibawah pengaruh sel sel interstial leyding. Sel sel
spermatogonium ini mulai aktif mengadakan mitosis dan terjadilah spermatogenesis.
(Rustam Mochtar, 1998 : 18)

3. Pembuahan (konsepsi/fertilisasi)
Pembuahan adalah suatu peristiwa penyatuan antara sel mani dengan sel telur di
tuba fallopi, umumnya terjadi di ampula tuba, pada hari ke sebelas sampai empat
belas dalam siklus menstruasi. Wanita mengalami ovulasi (peristiwa matangnya sel
telur) sehingga siap untuk dibuahi, bila saat ini dilakukan coitus, sperma yang
mengandung kurang lebih seratus sepuluh sampai seratus dua puluh juta sel sperma
dipancarkan ke bagian atas dinding vagina terus naik ke serviks dan melintas uterus
menuju tuba fallopi disinilah ovum dibuahi.
Hanya satu sperma yang telah mengalami proses kapitasi yang dapat melintasi
zona pelusida dan masuk ke vitelus ovum. Setelah itu, zona pelisuda mengalami
perubahan sehingga tidak dapat dilalui oleh sperma lain. Proses ini diikuti oleh
penyatuan ke dua pronuklei yang disebut zigot, yang terdiri atas acuan genetic dari
wanita dan pria. Pembuahan mungkin akan menghasilkan xx zigot menurunkan bayi
perempuan dan xy zigot menurunkan bayi laki laki.
Dalam beberapa jam setelah pembuahan, mulailah pembelahan zigot selama tiga
hari sampai stadium morula. Hasil konsepsi ini tetap digerakkan kearah rongga rahim
oleh arus dan getaran rambut getar (silia) serta kontraksi tuba. Hasil konsepsi tuba
dalam kavum uteri pada tingkat blastula. (Rustam Mochtar, 1998 : 18-19)
4. Nidasi
Nidasi adalah masuknya atau tertanamnya hasil konsepsi ke dalam endometrium.
Blastula diselubungi oleh sutu sampai disebut trofoblas, yang mampu menghancurkan
dan mencairkan jaringan. Ketika blastula mencapai rongga rahim, jaringan
endometrium berada dalam masa sekresi. Jaringan endometrium ini banyak
mengandung sel sel desidua yaitu sel sel besar yang mengandung banyak
glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Blastula dengan bagian yang berisi
massa sel dalam (inner cell mass) akan mudah masuk kedalam desidua, menyebabkan
luka kecil yang kemudian sembuh dan menutup lagi.

Itulah sebabnya kadang kadang pada saat nidasi terjadi sedikit perdarahan
akibat luka desidua (tanda Hartman). Umumnya nidasi terjadi pada depan atau
belakang rahim (korpus) dekat fundus uteri. Bila nidasi telah terjadi , dimulailah
diferensiasi sel sel blastula. Sel lebih kecil yang terletak dekat ruang exocoeloma
membentuk entoderm dan yolk sac sedangkan sel sel yang tumbuh besar menjadi
entoderm dan membentuk ruang amnion. Maka terbentuklah suatu lempeng
embrional (embrional plate) diantara amnion dan yolk sac.
Sel sel trofoblas mesodermal yang tumbuh disekitar mudigah (embrio) akan
melapisi bagian dalam trofoblas. Maka terbentuklah sekat korionik (chorionik
membrane) yang kelak menjadi korion. Sel- sel trofoblas tumbuh menjadi dua lapisan
yaitu sitotrofoblas (sebelah dalam) dan sinsitio trofoblas (sebelah luar)
Villi koriales yang berhubungan dengan desidua basalis tumbuh bercabang
cabang dan disebut korion krondosum sedangkan yang berhubungan dengan desidua
kapsularis kurang mendapat makanan sehingga akhirnya menghilang disebut chorion
leave.
Dalam peringkat nidasi trofoblas dihasilkan hormon hormon chorionic
gonadotropin (HCG). (Rustam Mochtar, 1998 : 19-21)
5. Plasentasi
Pertumbuhan dan perkembangan desidua sejak terjadi konsepsi karena pengaruh
hormon terus tumbuh sehingga makin lama menjadi tebal. Desidua adalah mukosa
rahim pada kehamilan yang terbagi atas :
a) Desidua basalis
Terletak diantara hasil konsepsi dan dinding rahim, disini plasentater bentuk.
b) Desidua kapsularis
Meliputi hasil konsepsi ke arah rongga rahim yang lama kelamaan bersatu
dengan desidua vera kosena obliterasi .
c) Desidua vera (parietalis)
Meliputi lapisan dalam dinding rahim lainnya. (Rustam Mochtar, 1998 : 21)

3. Pertumbuhan Dan Perkembangan Janin Serta Perubahan-Perubahan


Maternal
a. Perubahan Perubahan Maternal
Suatu kehamilan normal biasanya berlangsung 280 hari. Selama itu terjadi
perubahan yang menakjubkan baik pada ibu maupun perkembangan janin. Janin
berkembang dari dua sel ke suatu bentuk yang mampu hidup di luar uterus. Badan ibu
berubah untuk mendukung perkembangan dari kehidupan baru dan untuk menyiapkan
masuknya janin di dunia luar ( di luar rahim ibunya ).
b. Trimester Pertama
Tanda fisik pertama yang dapat dilihat pada beberapa ibu adalah perdarahan
sedikit atau spoting sekitar 11 hari setelah konsepsi pada saat embrio melekat pada
lapisan uterus. Jika seorang ibu mempunyai siklus menstruasi 28 hari, perdarahan ini
terjadi beberapa hari sebelum ia akan mendapat menstruasi. Perdarahan implantasi ini
biasanya kurang dari lamanya menstruasi yang normal. Setelah terlambat satu periode
menstruasi, perubahan fisik berikutnya biasanya adalah nyeri dan pembesaran
payudara diikuti oleh rasa kelelahan yang kronis / menetap dan sering kencing. Ibu
akan mengalami dua gejala yang terakhir selama 3 bulan berikutnya. Morning
sickness atau mual dan muntah biasanya dimulai sekitar 8 minggu dan mungkin
berakhir sampai 12 minggu. Pada usia kehamilan 12 minggu pertumbuhan uterus
diatas simpisis pubis bisa dirasakan. Ibu biasanya mengalami kenaikan berat badan
sekitar 1-2 kg selama trimester pertama. (PusDikNaKes, 2003 : 11)
c. Trimester Kedua
Uterus akan terus tumbuh. Pada usia kehamilan 16 minggu uterus biasanya
berada pada pertengahan antara simpisis pubis dan pusat. Penambahan berat badan
sekitar 0,4 0,5 kg/minggu. Ibu mungkin akan mulai merasa mempunyai banyak
energi. Pada usia kehamilan 20 minggu fundus teraba dekat pusat. Payudara mulai
mengeluarkan kolostrum. Ibu merasakan gerakan bayinya. Ia juga mengalami

perubahan yang normal pada kulitnya meliputi adanya cloasma, linea nigra dan striae
gravidarum.
d. Trimester Ketiga
Pada usia kehamilan 28 minggu fundus berada pada pertengahan antara pusat
dan xiphoid. Pada usia kehamilan 32 36 minggu fundus mencapai proxesus xiphoid.
Payudara penuh dan nyeri tekan. Sering kencing kembali terjadi sekitar usia
kehamilan 38 minggu bayi masuk atau turun ke dalam panggul. Sakit punggung dan
sering kencing meningkat. Ibu mungkin menjadi sulit tidur. Kontraksi braxton hicks
meningkat.
4. Perubahan Perubahan Janin
a. Trimester Pertama
Dari gumpalan sel yang kecil, embrio berkembang dengan pesat menjadi janin.
Pada akhir 12 minggu pertama kehamilan, jantungnya berdetak, usus usus lengkap
di dalam abdomen, genetalia eksternal mempunyai karakteristik laki laki atau
perempuan, anus sudah terbentuk dan muka seperti manusia. Janin dapat menelan,
melakukan gerakan pernafasan, kencing, menggerakan anggota badan, mengedipkan
mata dan mengerutkan dahi. Mulutnya membuka dan menutup. Berat janin sekitar 15
30 gram dan panjang 56 61 mm.
b. Trimester Kedua dan Ketiga
Pada akhir kehamilan 20 minggu berat janin sekitar 340 gram dan panjang 16
17 cm. Ibu dapat merasakan gerakan bayi, sudah terdapat mekonium di dalam usus
dan sudah terdapat verniks pada kulit. Pada usia kehamilan 28 minggu berat bayi
lebih sedikit dari 1 kg dan panjangnya 23 cm. Ia mempunyai periode tidur dan
beraktivitas, merespon pada suara dan melakukan gerakan pernafasan. Pada usia
kehamilan 32 minggu berat bayi 1,7 kilo gram dan panjangnya 28 cm, kulitnya
mengerut dan testis telah turun ke scrotum pada bayi laki laki. Pada usia kehamilan
36 40 minggu, jika ibunya mendapatkan gizi yang cukup, kebanyakan berat bayinya
antara 3 3,5 kg dan panjang 35 cm. (PusDikNaKes, 2003 : 11)

5.

Perubahan Anatomi Dan Fisiologi Pada Ibu Hamil


Perubahan yang terjadi pada ibu hamil antara lain
1. Uterus
a. Ukuran
Untuk akomodasi pertumbuhan janin, rahim membesar akibat hipertrofi dan

hiperplasi otot polos rahim, serabut serabut kolagennya menjadi higroskopik


endometrium menjadi desidua ukuran pada kehamilan cukup bulan 30 x 25 x 20 cm
dengan kapitasi lebih dari 4000 cc.
b. Berat
Berat uterus naik secara luar biasa dari 30 gram menjadi 1000 gram pada akhir
kehamilan (40 pekan).
c. Bentuk dan Konsistensi
Pada bulan bulan pertama kehamilan bentuk rahim seperti buah alpokat. Pada
kehamilan empat bulan berbentuk bulat dan akhir kehamilan bujur telur. Rahim yang
kira kira sebesar telur ayam, pada kehamilan dua bulan sebesar telur bebek dan
kehamilan tiga bulan sebesar telur angsa. Pada minggu pertama, isthmus rahim
mengadakan hipertrofi dan bertambah panjang sehingga bila diraba terasa lebih
panjang sehingga bila diraba terasa lebih lunak (soft) disebut tanda hegar. Pada
kehamilan lima bulan, rahim teraba seperti berisi cairan ketuban, dinding rahim terasa
tipis, karena itu bagian bagian janin dapat diraba melalui dinding perut dan dinding
rahim.
d. Posisi Rahim
1. Pada permulaan kehamilan, dalam letak anteflexi atau retroflexi.
2. Pada 4 bulan kehamilan, rahim tetap berada dalam rongga pelvis.
3. Setelah itu, mulai memasuki rongga perut yang dalam pembesarannya dapat
mencapai batas hati.

4. Rahim yang hamil biasanya mobilitasnya, lebih mengisi rongga abdomen kanan
atau

kiri. (Rustam Mochtar, 1998 : 36)

e. Vaskularisasi
Aa.uterin dan aa. Ovarika bertambah dalam diameter panjang dan anak anak
cabangnya. Pembuluh darah balik (vena) mengembang dan bertambah. ( Rustam
Mochtar, 1998 : 36)
f. Gambaran besarnya rahim dan tuanya kehamilan

Pada kehamilan 16 minggu, kavum uteri seluruhnya diisi oleh amnion dimana
desidua

kapsularis dan desidua vera (parietalis) telah menjadi satu. Tinggi

fundus uteri terletak antara pertengahan simphisis dan pusat. Plasenta telah
terbentuk seluruhnya.

Pada kehamilan 20 minggu, tinggi fundus uteri terletak 2 3 jari di bawah pusat.

Pada kehamilan 24 minggu, tinggi fundus uteri terlatak setinggi pusat.

Pada kehamilan 28 minggu, tinggi fundus uteri terletak 2 3 jari di atas pusat.
Menurut Spiegelberg dengan mengukur tinggi fundus uteri dari simpisis adalah
26,7 cm diatas simpisis.

Pada kehamilan 36 minggu, tinggi fundus uteri terletak 3 jari di bawah processus
xiphoideus.

Pada kehamilan 40 minggu, tinggi fundus uteri terletak sama dengan 8 bulan tapi
melebar ke samping yaitu terletak diantara pertengahan pusat dan processus
xiphoideus. ( Rustam Mochtar, 1998 : 52)
2. Serviks uteri
Serviks bertambah vaskularisasinya dan menjadi lunak (soft) disebut tanda

goodell. Kelenjar endoservikal membesar dan mengeluarkan banyak cairan mucus,


karena pertambahan dan pelebaran pembuluh darah, warnanya menjadi livide disebut
tanda Chadwick. ( Rustam Mochtar, 1998 : 35)

3. Ovarium (indung telur)


Ovulasi terhenti. Masih terdapat korpus luteum graviditas sampai terbentuknya
uri yang mengambil alih pengeluaran estrogen dan progesterone (kira kira pada
kehamilan 16 minggu dan korpus luteum graviditas berdiameter kurang lebih 3 cm).
Kadar relaxin di sirkulasi maternal dapat ditentukan dan meningkat dalam trimester
pertama. Relaxin mempunyai pengaruh menenangkan hingga pertumbuhan janin
menjadi baik hingga aterm. (Rustam Mochtar, 1998 : 35)
4. Vagina dan vulva
Vagina dan vulva terjadi perubahan karena pengaruh estrogen. Akibat
hipervaskularisasi, vagina dan vulva terlihat lebih merah atau kebiruan. Warna livid
pada vagina atau portio serviks disebut tanda Chadwick. (Rustam Mochtar, 1998 : 35)
5. Dinding Perut (Abdominal Well)
Pembesaran rahim menimbulkan peregangan dan menyebabkan robeknya
serabut elastik di bawah kulit sehingga timbul striae gravidarum. Kulit perut pada
linea alba bertambah pigmentasinya dan disebut linea nigra. ( Rustam Mochtar,
1998 : 36)
6. Mammae
Selama kahamilan payudara bertambah besar, tegang, berat. Dapat teraba noduli
noduli, akibat hipertrofi kelenjar alveoli, bayangan vena vena lebih membiru.
Hiperpigmentasi pada puting susu dan areola payudara. Kalau diperas keluar air susu
jolong (kolostrum) berwarna kuning. ( Rustam Mochtar, 1998 : 40)
Perkembangan payudara ini karena pengaruh hormon saat kehamilan yaitu
estrogen, progesterone dan somatomamotropin.
a. Fungsi hormon yang mempersiapkan payudara untuk pemberian ASI, antara lain:

1. Estrogen, berfungsi :
Menimbulkan hipertrofi system saluran payudara.
Menimbulkan penimbunan lemak dan air serta garam sehingga payudara
tampak makin besar.
Tekanan serat syaraf akibat penimbunan lemak, air dan garam menyebabkan
rasa sakit pada payudara.
2. Progesteron, berfungsi :
Mempersiapkan asinus sehingga dapat berfungsi.
Menambah sel asinus.
3. Somatomamotropin, berfungsi :
Mempengaruhi

sel

asinus

untuk

membuat

kasein,

laktalbumin

dan

laktoglobulin.
Penimbunan lemak sekitar alveolus payudara. ( Hanifa Wiknjosastro, 2002 : 95)
b. Perubahan payudara pada ibu hamil
Payudara menjadi lebih besar
Areola payudara makin hitam karena hiperpigmentasi.
Glandula Montgomery makin tampak menonjol dipermukaan areola mamae.
Pada kehamilan 12 minggu keatas dari puting susu keluar cairan putih jernih
(kolostrum) yang berasal dari kelenjar asinus yang mulai bereaksi.
Pengeluaran ASI belum berjalan oleh karena prolaktin ini ditekan oleh PIH
(Prolaktine Inhibiting Hormone).
Setelah persalinan , dengan dilahirkannya plasenta pengaruh estrogen,
progesterone dan somotomammotropin terhadap hipotalamus hilang sehingga
prolaktin dapat dikeluarkan dan laktasi terjadi.( Hanifa Wiknjosastro, 2002 : 95)
7. Sirkulasi darah
a.

Volume darah

Volume dan darah total dan volume plasma darah naik pesat sejak akhir trimester
pertama. Volume darah akan bertambah banyak, kira kira 25 % dengan puncaknya
pada kehamilan 32 minggu, diikuti curah jantung (cardiac output) yang meningkat
sebanyak kurang lebih 30%. Akibat hemodilusi yang mulai jelas kelihatan pada
kehamilan 4 bulan, ibu yang menderita penyakit jantung dapat jatuh dalam keadaan
dekompensasio kordis. Kenaikan plasma darah dapat mencapai 40% saat mendekati
cukup bulan. ( Rustam Mochtar, 1998 : 37 )
b.

Nadi dan tekanan darah


Tekanan darah arteri cenderung menurun terutama selama trimester kedua dan

naik lagi seperti pada prahamil. Tekanan vena dalam batas batas normal. Pada
ekstremitas atas dan bawah cenderung naik setelah akhir trimester pertama. Nadi
biasanya naik, nilai rata ratanya 84 kali permenit. ( Rustam Mochtar, 1998 :38 )
c.

Jantung
Pompa jantung mulai naik kira kira 30%. Setelah kehamilan 3 bulan dan

menurun lagi pada minggu minggu terakhir kehamilan. ( Rustam Mochtar, 1998 :
38 )
8. Sistem respirasi
Wanita hamil sering mengeluh sesak dan pendek napas. Hal ini disebabkan oleh
usus yang tertekan ke arah diafragma akibat pembesaran rahim. Kapasitas vital paru
meningkat sedikit selama hamil. Seorang wanita hamil selalu bernafas dada (thoracic
breathing). ( Rustam Mochtar, 1998 : 38)
9. Saluran pencernaan
Pada bulan bulan pertama kehamilan terdapat perasaan enek (nausea).
Mungkin ini akibat kadar hormon estrogen yang meningkat. Tonus otot otot traktus
digestivus menurun sehingga motilitas seluruh traktus digestivus juga berkurang.
Makanan lebih lama berada di dalam lambung dan apa yang telah dicernakan lebih
lama berada dalam usus usus. Hal ini mungkin baik untuk resorpsi akan tetapi

menimbulkan pola obstipasi yang memang merupakan salah satu keluhan utama
wanita hamil. Tidak jarang dijumpai pada bulan bulan pertama kehamilan gejala
muntah (emesis). Biasanya terjadi pada pagi hari, dikenal sebagai morning sickness.
Emesis, bila terlampau sering dan terlalu banyak dikeluarkan disebut hiperemesis
gravidarum, keadaan ini patologik. Salivasi ini adalah pengeluaran air liur berlebihan
daripada biasa. Bila terlampau banyak, inipun menjadi patologik. (Hanifa
Wiknjosastro, 2002 : 97 )
10. Traktus urinarius
Pada bulan bulan pertama kehamilan kandung kencing tertekan oleh uterus
yang mulai membesar sehingga timbul sering kencing. Keadaan ini hilang dengan
makin tuanya kehamilan bila uterus gravidus keluar dari rongga panggul. Pada akhir
kehamilan, bila kepala janin mulai turun ke bawah pintu atas panggul, keluhan sering
kencing akan timbul lagi karena kandung kencing mulai tertekan kembali. Dalam
kehamilan ureter kanan dan kiri membesar karena pengaruh progesterone. Akan tetapi
ureter kanan lebih membesar daripada ureter kiri karena mengalami lebih banyak
tekanan dibandingkan dengan ureter kiri. Hal ini disebabkan olehkarena uterus lebih
sering memutar ke arah kanan. Mungkin karena orang bergerak lebih sering memakai
tangan kanannya atau disebabkan oleh letak kolon dan sigmoid yang berada di
belakang kiri uterus. Akibat tekanan pada ureter kanan tersebut lebih sering dijumpai
hidroureter dekstra dan pielitis dekstra. Disamping sering kencing tersebut diatas
terdapat pula poliuri. Poliuri disebabkan oleh adanya peningkatan sirkulasi darah di
ginjal pada kehamilan sehingga filtrasi glomerulus juga meningkat sampai 69 %.
Reabsorbsi di tubulus tidak berubah sehingga lebih banyak dapat dikeluarkan urea,
asam folik dalam kehamilan. ( Hanifa Wiknjosastro, 2002 : 97)
11. Kulit
Pada kulit terdapat deposit pigmen dan hiperpigmentasi alat alat tertentu.
Pigmentasi ini disebabkan oleh pengaruh Melanophore Stimulating Hormone (MSH)

yang meningkat. MSH ini adalah salah satu hormon yang juga dikeluarkan oleh lobus
anterior hipofisis. Kadang kadang terdapat deposit pigmen pada dahi, pipi, dan
hidung dikenal sebagai cloasma gravidarum. Di daerah leher sering terdapat
hiperpigmentasi yang sama juga di areola mamae. Linea alba pada kehamilan
menjadi hitam dikenal sebagai linea grisea. Tidak jarang dijumpai kulit perut seolah
olah retak retak, warnanya berubah agak hiperemik dan kebiru biruan disebut
striae livide. Setelah partus striae livide ini berubah warnanya menjadi putih dan
disebut striae albikantes. Pada seorang multigravida sering tampak striae livide
bersama striae albikantes. ( Hanifa Wiknjosastro, 2002 : 97 98 )
12. Sistem Endokrin
Beberapa kelenjar endokrin terjadi perubahan seperti :
a) Kelenjar tiroid : dapat membesar sedikit
b) Kelenjar hipofise : dapat membesar terutama lobus anterior
c) Kelenjar adrenal : tidak begitu terpengaruh
13. Metabolisme
Umumnya kehamilan mempunyai efek pada metabolisme, karena itu wanita
hamil perlu mendapat makanan yang bergizi dan dalam kondisi sehat.
a) Tingkat metabolic basal(basal metabolic rate,BMR) pada wanita hamil meninggi
hingga 15-20%, terutama pada trimester akhir.
b) Keseimbangan asam alkali (acic base balance) sedikit mengalami perubahan
konsentrasi alkali:
(1) Wanita tidak hamil :155 mEg/liter
(2) Wanita hamil : 145 mEg/liter
(3) Natrium serum : turun dari 142 menjadi 135 mEg/liter
(4) Bikarbonat plasma : turun dari 25 menjadi 22 mEg/ liter
c) Dibutuhkan protein yang banyak untuk perkembangan fetus,alat kandungan,
payudara, dan badan ibu, serta untuk persiapan laktasi.

d) Hidrat arang: seorang wanita hamil sering merasa haus, nafsu makan kuat, sering
kencing, dan kadang kala dijumpai glukosuria yang mengingatkan kita pada diabetes
melitus. Dalam keadaaan hamil, pengaruh kelenjar endokrin agak terasa, seperti
somatomamotropin, plasma insulin dan hormon-hormon adrenal 17-ketosteroid.
Untuk rekomendasi, harus diperhatikan sungguh-sungguh hasil GTT oral dan GTT
intravena.
e) Metabolisme lemak juga terjadi. Kadar kolesterol meningkat sampai 350 mg atau
lebih per 100 cc. Hormon somatomamotropin mempunyai peranan dalam
pembentukan lemak pada payudara. f) Metabolisme mineral
(1) Kalsium dibutuhkan rata rata 1,5 gram sehari sedangkan untuk pembentukan
tulang terutama dalam trimester terakhir dibutuhkan 30 40 gram.
(2) Fosfor : dibutuhkan rata-rata 2 g/hari.
(3) Zat besi : dibutuhkan tambahan zat besi kurang lebih 800 mg, atau 30-50 mg
sehari.
(4) Air : Wanita hamil cenderung mengalami retensi air.
g) Berat badan wanita hamil akan naik sekitar 6,5-16,5 kg. Kenaikan berat badan
yang terlalu banyak ditemukan pada keracunan hamil pre-eklamasi dan eklamsi)
kenaikan berat badan wanita hamil disebabkan oleh :
(1) Janin , uri, air ketuban, uterus.
(2) Payudara,kenaikan volume darah,lemak, protein,dan retensi air.
h) Kebutuhan kalori meningkat selama kehamilan dan laktasi. Kalori yang
dibutuhkan untuk ini terutama diperoleh dari pembakaran zat arang,khususnya
sesudah kehamilan 5 bulan keatas. Namun bila dibutuhkan, dipakai lemak ibu untuk
mendapatkan tambahan kalori.
i) Wanita hamil memerlukan makanan yang bergizi dan harus mengandung banyak
protein. Di Indonesia masih banyak dijumpai penderita defisiensi zat besi dan vitamin
B, oleh karena itu wanita hamil harus diberikan Fe dan roboransia yang berisi mineral
dan vitamin. ( Rustam Muchtar, 1998 : 39-40 )

14. Sistem Muskuloskeletal


Pengaruh dari peningkatan estrogen, progesterone dan elastin dalam kehamilan
menyebabkan kelemahan jaringan ikat dan ketidakseimbangan persendian.
Akibat dari perubahan fisik selama kehamilan adalah :
a) Peregangan otot - otot
b) Pelunakan ligamen - ligamen
Area yang paling dipengaruhi oleh perubahan perubahan tersebut adalah :
a) Tulang belakang (curva lumbar yang berlebihan)
b) Otot otot abdomal (meregang ke atas uterus hamil)
c) Otot dasar panggul (menahan berat badan dan tekanan uterus)
Bagi ibu hamil, bagian ini merupakan titik-titik kelemahan struktural dan bagian
bermasalah yang potensial dikarenakan beban dan menekan kehamilan . Oleh karena
itu masalah postur merupakan hal biasa dalam kehamilan :
a) Bertambahnya beban dan perubahan struktur dalam kehamilan merubah
dimensi tubuh dan pusat gravitasi.
b) Ibu hamil mempunyai kecenderungan besar membentur benda-benda ( dan
memar biru) dan kehilangan keseimbangan ( lalu jatuh ). ( PusDikNaKes, 2003 :100 )
6.

Pengaruh Konsumsi Obat Terhadap Janin


Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun

letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan paga saat minum obat. Pengaruh
toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan
terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan
biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat
bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada
petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis
subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan
kematian janin dalam kandungan.

Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan
fase-fase berikut,
1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase
ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi
pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan
(abortus).
2. Fase embrional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8
minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi
anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi
pada fase ini antara lain,

Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul
kemudian,

jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya

pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti


berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di
kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).

Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.

Pengaruh

sub-letal,

yang

biasanya

dalam

bentuk

malformasi

anatomis

pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.


3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini
terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa
asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi
mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik
atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat
pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh
adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan,
ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek
samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat yang
diberikan selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and Drug Administration (FDAUSA) maupun Australia Drug Evaluation Commitee, obat-obat dikategorikan sebagai
berikut (Australian Drug Evaluation Commitee).

Kategori A:

Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak digunakan
oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh
buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam kategori A antara lain adalah
parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan
hemopoetik seperti besi dan asam folat.

Kategori B:

Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita


hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau
pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya pengalaman pemakaian
pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuantemuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:
B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan
janin (fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya
simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak
meningkatnya

kejadian

kerusakan

janin,

tikarsilin,

amfoterisin,

dopamin,

asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam kategori ini.
B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin,
tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin,
pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.

Kategori C:

Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa
disertai malformasi anatomik semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya

bersifat reversibel (membaik kembali). Sebagai contoh adalah analgetika-narkotik,


fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.

Kategori D

Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin


pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak
dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek
farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin,
pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan
antikoagulansia.

Kategori X

Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai
risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika
diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi
mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.
7.

Pemakaian Beberapa Obat Selama Periode Kehamilan


1. Antibiotika & antiseptika
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko

terjadinya infeksi pada periode ini mlebih besar, seperti misalnya infeksi saluran
kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan
dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan
dengan infeksi, pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu,
tetapi juga segi janin, mengingat hampir semua antibiotika dapat melintasi plasenta
dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan
maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik
dapat tercapai semaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan
seminimal mungkin.
1.a. Penisilin

Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah


menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan
amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun
perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat
kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
- Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya
pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal
kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum
sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu
dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan
alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru
lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama
kehamilan.
Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula
volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira
hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin
perlu dilakukan selama masa kehamilan.

- Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik
dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah
pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan
dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah
ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin,
kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
1.b. Sefalosporin

Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat
selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak
terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada
bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat
terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada
trimester terakhir kehamilan.
1.c. Tetrasiklin:
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah
melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan
pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang
in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang,
terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan
dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan
pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan,
tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi
kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat
kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka
pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.
1.d. Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh
wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin
yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak
dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada
janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial
VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
aminoglikosida pada kehamilan.
1.e. Kloramfenikol

Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III,
di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey
pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan),
hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak
menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi.
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek
farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi

anatomik.

Pengaruh

ini

dapat

bersifat

reversibel.

Pemberian

kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada mingguminggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
1.f. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam
sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam
sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama
pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin
dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kernikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7
hari setelah bayi lahir.
1.g. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan
serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya
dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin
dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan
penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama.
Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk
infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
1.h. Trimetoprim

Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan


fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun
kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat
teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa
trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita
hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
1.i. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika
diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi
dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin
bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga
meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan
kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada
kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini
kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
2. Analgetika
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan
masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena
kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan
proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka
waktu relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya
diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama
terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat
yang paling tepat.
2.a.Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian
pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada

jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi


pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan
withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk
tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe.
Metadon:
Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih
lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena
metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu
sampai di atas 20 mg/hari
Petidin
Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi
kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama
proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah dibanding
bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal.
Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila
anestesi epidural memang tidak memungkinkan.
2.b. Analgetika-antipiretik
Parasetamol:
Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama
kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap
ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang dianjurkan.
Antalgin:
Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek
samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya
agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi pemakaian
selama kehamilan sebaiknya dihindari.
2.c. Antiinflamasi non-steroid

Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin,


efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi
pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada
janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi
yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah
berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini diberikan pada
trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid
mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi anatomik. Namun
demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi
yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini
misalnya dengan memilih obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan
risiko efek samping yang paling ringan.
3. Antiemetik
Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin
dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum
terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian
prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul
kongenital pada janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari
jika intervensi non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.
4. Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin
ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang
mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin
sama dengan kadarnya dalam sirku janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu.
Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat
dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selama

kehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan meningkatnya angka
kejadian kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa
malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial,
mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh
karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat
antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan
terjadinya malformasi kongendital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut selama masa
kehamilannya.
Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat
defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida
pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat selama masa
kehamilannya.
5. Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang
dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus
diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau
hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan
terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah
terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga
cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena
eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga
diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada bayi yang dilahirkan,
baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan
dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.
- Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi
plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin.

Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti meningkatkan kejadian
kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi
temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah
kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot
vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika digunakan selama masa
kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka
panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi
glukosa pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier
plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian
metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif aman
untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti
sedasi dan mulut kering. Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak
dianjurkan selama kehamilan meliputi:
1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin,
dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya
hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal.
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping
mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.
3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena
dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama
trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin
sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan hipotensi
postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.

5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti


kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena
meningkatkan kejadian mortalitas janin.

8.

Farmakokinetika dan Farmakodinamik Pada Kehamilan


a. Farmakokinetika
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi

farmakokinetika obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya


penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada
akhir semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan
aliran darah ke rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan
cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di
jaringan si ibu.
Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan kadar
puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air seperti
aminoglikosida dan obat dengan volume distribusi yang rendah. Peningkatan cairan
tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang
menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin. Steroid dan hormon yang dilepas
plasenta serta obat-obat lain yang ikatan protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih
banyak dalam bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinik karena
bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan bertambahnya
kecepatan metabolisme obat tersebut.
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek
yang bermakna pada absorpsi obat. Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau
demikian kenaikan kadar estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif
menginduksi metabolisme obat lain, misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme

obat lain misalnya teofilin. Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi
bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama lewat ginjal, contohnya
penicilin.
Perpindahan obat lewat plasenta.
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana
sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat
menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti juga pada membran biologis
lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini.
Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta
masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada
dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.
Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat
yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat
ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah.
Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat
ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati
akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya
kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas
membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan
konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam
jumlah besar.
Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati
pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obatobat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan
obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta.

Sebagai contoh adalah heparin,

mempunyai berat molekul yang sangat besar

ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga
merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati
membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan
mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam
lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi
gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta
lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan
terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya
ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting,
misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari
ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah,
kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein
plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai
tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama
metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi
aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya,
kapasitas

metabolisme

plasenta

ini

akan

menyebabkan

terbentuknya

atau

meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari
hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur molekulnya
analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di
plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena
umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya

akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin,
mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin,
walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada
metabolisme obat maternal. Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah,
misalnya talidomid, asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam
lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari
pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel
embrio.
b. Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat ibu hamil.
Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada kehamilan
kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan. Efek obat
pada jaringan tidak berubah bermakna karena kehamilan tidak berubah, walau
terjadi perubahan misalnya curah jantung, aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut
kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada
saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada
kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin yang
dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh
kehamilan.
Mekanisme kerja obat pada janin.
Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan
pesat, yang berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk
pengobatan janin walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya
kortikosteroid diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi
kelahiran prematur. Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim
hati untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens jaundice (bayi kuning) akan
berkurang. Selain itu fenobarbital juga dapat menurunkan risiko perdarahan

intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga diberikan pada ibu hamil untuk
mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung.
Kerja obat teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur
janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya
pada perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan.
Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu
selama minggu ke empat sampai minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme berbagai
obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan mungkin disebabkan
oleh multi faktor.
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta
sehingga mempengaruhi jaringan janin.
Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin,
misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada
abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan
insiden kerusakan pada selubung saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya
konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan , terutama pada kehamilan
trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang
berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.
Contoh soal kasus 1:
Seorang wanita hamil diberikan tablet artesunate 250 mg secara oral tiap 8 jam
selama 2 minggu. Obat tersebut terserap 75% secara sistemik. Vd = 121,5. Waktu
paruh 10 jam, tetapan laju absorbsi 0,9 /jam dan tetapan laju eliminasi 0,07 /jam.
Hitunglah konsentrasi obat dalam plasma pada 4 jam setelah dosis ke 7!

Jawab:
FKaDo
Cp

Vd ( Ka K )

Cp

C.

0,75.250.0,9

121,5(0,9 0,07)

1 e nKa

Ka
1 e

1 e ( 7 )( 0,9 )(8)

( 0 , 9 )( 8 )
1 e

1 e nK
e Kat
K

1 e

e Kt

1 e ( 7 )( 0,07 )(8)
e ( 0,9 )( 4 )
( 0 , 07 )( 8 )

1 e

e ( 0,07 )( 4) 2,86mg / l

Contoh jurnal tentang variabilitas farmakokinetik dan farmakodinamik


karena faktor gender dan pembahasan

Pharmacology & Pharmacy, 2011, 2, 31-41 doi:10.4236/pp.2011.21004 Published


Online January 2011 (http://www.SciRP.org/journal/pp)

Perbedaan gender dalam Farmakokinetik Obat


Oral
ABSTRAK
Pembentukan rejimen dosis rasional memerlukan pengetahuan farmakokinetik dan
farmakodinamik dalam suatupopulasi kehidupan. Telahdiuji bahwa efek samping
yang dihasilkan oleh obat,lebih seringterjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini
mungkin disebabkan oleh dua kemungkinan, satu adalah bahwa dosis normal yang
diterima oleh perempuan lebih tinggi dari laki-laki, dan kedua adalah karakteristik
anatomi

dan

fisiologis

yang

sangat

berbeda

anatara

pria

dan

wanita.

Dalam ulasan ini, beberapa aspek yang mungkin memainkan peran dalam generasi
perbedaan tersebut dianalisis, termasuk dampaknya pada penyerapan, metabolisme,
distribusi, dan ekskresiobat. Sebagian besar perubahan dapat dijelaskan oleh
perbedaan dalam volume distribusi dan klirens sistemik. Hasil akhir, secara umum,
bahwa wanita memiliki kadar obat dalam plasma yang lebih tinggi dan biasanya
perbedaan ini dihapuskan ketika data dinormalisasi oleh berat badan. Karena
pengaruh volume distribusi dan klirens sistemik. Namun, ada beberapa kasus di mana

perbedaan tetap. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui setiap


perbedaan anatomi dan fisiologis dalam farmakokinetik oral setiap obat.
1.

Pendahuluan
Selama dekade terakhir, penelitian farmakologi sangat meningkatkan

pemahaman kita tentang beberapa variabel yang mempengaruhi resep obat. Salah satu
variabel penting semakin diakui gender. Dimana 5% dari seluruh pasien di Amerika
Serikat telah meninggal akibat hasil dari reaksi obat yang merugikan(ADR) [1].Faktorfaktor risiko dari reaksi obat yang merugikan biasanya terjadi pada orang lanjut usia,
polifarmasi, hati dan penyakit ginjal serta pada perempuan. Dalam perbedaan gender
hal yang mempengaruhi adalah farmakokinetik, farmakodinamik, imunologi dan
faktor hormonal serta perbedaan dalam penggunaan obat-obatan.
Telah terbukti bahwa perempuan memiliki akibat yang lebih tinggi dari reaksi
obat yang merugikan,dengan risiko1,5-1,7kali lipat[2].
Konsentrasi obat maksimum (Cmax) tergantung pada volume distribusi (Vd),
dan rata-rata konsentrasi steady state(Css) tergantung pada klirens(Cl). Pada sebagian
besar obat, Vd danCl tergantung pada berat badan. Umumnya, laki-laki berbobot
lebih dari perempuan. Oleh karena itu, berdasarkan perbedaan berat badan saja,
perempuan sering menerima dosis yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
2.

Absorpsi
Penyerapan obat didefinisikan sebagai lulusnya suatu obat dari situs administrasi

ke sirkulasi sistemik. Tergantung pada rute pemberian, obat harus melewati beberapa
hambatan yang dapat berkontribusi untuk mengurangi ketersediaan hayati. Ketika
obat yang diberikan secara oral maka, sekresi asam lambung, waktu pengosongan
lambung, aliran darah gastrointestinal, proses metabolisme dan aktivitas transporter
akan mempengaruhi penyerapan obat

. Pada perempuan, beberapa hormon dapat

[5,6]

mengubah sekresi asam lambung, pH lambung, dan waktu pengosongan lambung


yang lebih lambat [11,12].
Faktor lain yang dapat berkontribusi pada perbedaan gender dalam
farmakokinetik obat adalah aliran darah gastrointestinal [14]. Biasanya wanita memiliki

aliran darah yang lebih lambat, maka tingkat absorpsi obatnya lebih rendah dibanding
laki-laki[15].
Sebagian besar jalur enzimatik oksidatif yang terlibat adalah CYP3A4 dalam
usus. Dalam kasus ini, ada perbedaan yang berhubungan dengan perbedaan gender
dari gastrointestinal CYP3A4 yang diamati

, Para penulis menyimpulkan bahwa

[16,17]

perbedaan jenis kelamin dalam metabolisme obat terjadi di usus dan hati, dan
melibatkan beberapa jalur metabolisme dan hal yang penting adalah bahwa perbedaan
farmakokinetik yang akan mengubah respon farmakodinamik.
Dalam kasus ini, juga hasil yang bertentangan telah dilaporkan. Hasil dijelaskan
oleh beberapa penulis menunjuk kan, sepertiga sampai setengah obat di absorpsi lebih
rendah dalam hati pada perempuan [19]. Hal ini tidak mudah untuk menetapkan peran
PGP (P-glikoprotein) yang berkaitan dengan perbedaan gender pada farmakokinetik
obat oral.
Dalam semua kasus, kadar plasma yang lebih tinggi dicapai pada wanita bila
dibandingkan dengan pria[23-27]. Tetapi perbedaan menghilang ketika data yang
dinormalisasi dengan berat badan individu. Hasil ini menunjukkan PGP tidak
memainkan peran penting dalam perbedaan farmakokinetik oral obat pada perbedaan
jenis kelamin. Namun, tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan sebagai usul
perbedaan jenis kelamin terkait dalam farmakokinetik obat oral. Karena beberapa
faktor dapat berkontribusi untuk perbedaan gender dalam penyerapan obat, hasil akhir
akan tergantung pada karakteristik senyawa dan sejauh mana perbedaan gender dari
masing-masing faktor dijelaskan.
3.

Distribusi
Beberapa perbedaan seperti indeks massa tubuh, persen lemak tubuh, volume

plasma dan organ aliran darah dapat mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh[28,29].
Telah dijelaskan bahwa rata-rata wanita memiliki berat badan lebih rendah, lebih
tinggi persentase lemak tubuh, volume rata-rata plasma yang lebih kecil dan organ
aliran darah yang lebih rendah dibandingkan pria

. Faktor lain yang dapat

[28-30]

berkontribusi pada perbedaan gender dalam distribusi obat adalah ikatan protein,

karena kelompok protein utama yang bertanggungjawab untuk obat yang terikat
dipengaruhi oleh konsentrasi hormon seks. Maka dari itu, perubahan dalam distribusi
dapat berubah selama siklus menstruasi pada wanita[31, 32].
Sebagai aturan umum, senyawa yang larut air lebih banyakterjadi pada pria
dibandingkan pada wanita, karena kadar air dalam tubuh laki-laki yang lebih banyak.
Namun ketika dinormalisasi dengan berat badan, sekitar 15 sampai 20% senyawa
yang larut air lebih tinggi pada wanita. Beberapa contoh dari situasi ini adalah
flukonazol [33] dan metronidazole [34], di mana volume distribusi lebih besar pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan, dan perbedaan tersebut terbalik ketika
normalisasi berat dilakukan [33,34]. Sebaliknya, pada obat yang bersifat hidrofobik lebih
banyak larut pada tubuh wanita, karena kandungan persentase lemak yang lebih
tinggi[30]. Namun sebagian besar, perubahan volume distribusi obat benar-benar
dihapuskan ketika parameter dinormalkan oleh berat badan. Yang menjadi perhatian
utama adalah bahwa biasanya dosis rejimen yang digunakan untuk sebagian besar
obat saat ini tidak dinormalisasi dengan berat badan individu. Maka efek samping
yang terjadi lebih diamati kepada perempuan.
4.

Metabolisme
Mungkin, metabolisme obat telah menerima perhatian utama untuk menjelaskan

perbedaan gender dalam farmakokinetik obat. Telah dijelaskan bahwa beberapa


aktivitas jalur enzimatik berkurang pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.
Penting untuk dicatat bahwa, aktivitas enzimatik bukanlah satu-satunya faktor yang
mempengaruhi metabolisme obat. Kontribusi penting untuk proses metabolisme
diberikan oleh aliran darah dan ikatan protein obat.
Metabolisme hati dibagi dalam dua jenis reaksi,yaitu tahap I dan tahap II. Tahap
I adalah reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Sedangkan tahap II reaksi asetilasi,
sulfation, glucuronidation dan metilasi. Telah dilaporkan bahwa CYP3A4 adalah
isozim utama dari jalur enzimatik dan bertanggung jawab atas metabolisme sekitar
50% obat yang digunakan saat ini

. Di satu sisi, beberapa penulis telah

[35]

menyarankan (berdasarkan penelitian in vitro) bahwa CYP3A4 memiliki aktivitas

yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria, sedangkan CYP1A2 dan CYP2D6
memiliki aktivitas yang lebih tinggi pada pria, dan tidak ada perbedaan atau hasil
yang bertentangan telah dilaporkan di CYPs lainnya. Tabel 1 menunjukkan aktivitas
CYP di hati dan UDP-glucuronosyltransferase menurut jenis kelamin. Namun,
meskipun perbedaan telah dilaporkan secara in vitro, sering mereka tidak melibatkan
prose in vivo.

CYP1A2. Isozim ini bertanggung jawab atas metabolisme oksidatif dari


beberapa obat termasuk clozapine, olanzapine teofilin, dan ondansetron. CYP ini
adalah isozim yang paling diinduksi oleh rokok [36]. Aktivitas CYP ini meningkat pada
pria dibandingkan pada wanita. Contoh perbedaan tersebut dapat diamati pada
clozapine dan olanzapine, dimana kadar plasma lebih tinggi dan potensi efek samping
meningkat pada perempuan[37-39]. Hasil yang serupa diamati ketika farmakokinetik
oral ondansetron dibandingkan antara perempuan dan laki-laki, yaitu tingkat yang
lebih tinggi dicapai pada wanita

. Secara keseluruhan, data yang dilaporkan

[40]

menunjukkan bahwa aktivitas CYP1A2 lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan

perempuan, oleh karena itu harus dibentuk rejimen dosis yang berbeda berdasarkan
jenis kelamin pasien.
CYP2C9. Ini adalah isozim polimorfik yang bertanggung jawab atas
metabolisme berbagai obat, seperti beberapa non-steroid anti-inflammatory drugs /
NSAIDs(diklofenak, ibuprofen, piroksikam), dan sulfonilurea (glyburide, glimepiride
dan glipizide). Meskipun ini adalah isozim polimorfik, bukti yang ada menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan gender terkait, karena tidak ada perubahan farmakokinetik
oral obat yang dimetabolisme oleh jalur ini, seperti fenitoin, ibuprofen, tolbutamid,
glyburide dan ketoprofen [41, 42]. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Meyer
et al[43], menggambarkan tingkatan plasma yang lebih rendah dari fenitoin ketika
konsentrasi dinormalisasi oleh berat badan, dimana adanya peningkatan aktivitas
CYP2C9 pada wanita.
CYP2C19. Merupakan isozim polimorfik yang bertanggungjawab atas
metabolismedari S-mephenytoin, diazepam, dan inhibitor pompa proton (omeprazole,
lansoprazole dan pantoprazole)[44]. Beberapa penulis menunjukkan bahwa perempuan
memiliki aktivitasenzimini yang lebih dari laki-laki, namun, dalam penelitian lain
melaporkan

bahwa

wanita

memiliki

aktivitasenzimini

yang

lebih

rendah

dibandingkan dengan laki-laki, dan beberapa penulis menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang diamati

. Ada beberapa factor yang dapat menjelaskan dari hasil

[45]

yang bertentangan ini, yaitu dosis yang digunakandan etnisitas [45]. Meskipun sebagian
besar penulis telah melaporkan bahwa perempuan memiliki aktivitas kurang dalam
CYP2C19, studi lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi apakah ada perbedaan
berkaitan dengan gender dalam kegiatan ini isozim penting.
CYP2D6. Isozim polimorfik yang bertanggungjawab dari metabolisme oksidatif
beberapa obat termasuk betablockers, analgesik beberapa, antiarrhytmics dan
antidepresan

. Ada informasi terbatas mengenai gender terkait kemungkinan

[46]

perbedaan dalam aktivitas isozim ini. Di satu sisi,dilaporkan bahwa tidak ada
perubahan karena gender yang hadir

, namun, ketika farmakokinetik oral

[47]

metoprolol (obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6) tingkatan yang lebih tinggi dari

metoprolol ditemukan pada wanita, menunjukkan metabolisme yang lebih tinggi pada
laki-laki. Meskipun sebagian besar bukti menunjukkan kurangnya keterkaitan
perbedaan jenis kelamin dalam aktivitas CYP2D6, studi lebih lanjut diperlukan untuk
mengklarifikasi keraguan ini.
CYP2E1. Isozim ini bertanggung jawab atas metabolisme etanol, chlorzoxazone
dan beberapa anestesi seperti halotan, dietil eter isoflurane, dan methoxyflurance

[51-

. Kegiatan isozim ini telah diukur bahwa perempuan memiliki aktivitas sekitar 30%

52]

lebih rendah dibandingkan laki-laki

[45]

. Pentingnya perbedaan tersebut dalam

aktivitas CYP2E1 dalam perbedaan jenis kelamin dalam farmakokinetik obat tetap
belum jelas. Hal ini mungkin disebabkan rendahnya jumlah substrat dari isozim ini
dan rute administrasinya.
CYP3A4. Isozim ini adalah CYP paling melimpah di hati manusia dan saluran
usus. Selain itu, ia bertanggung jawab atas metabolisme oksidatif dari setidaknya
50% dari obat yang digunakan saat ini

. Telah dijelaskan bahwa aktivitas isozim ini

[35]

adalah 20% sampai 50% lebih tinggi pada wanita bila dibandingkan dengan laki-laki
. Namun, penulis lain belum menemukan perbedaan antar jenis kelamin ketika

[45]

farmakokinetik oral obat telah dibandingkan

. Selain itu studi-studi tersebut

[47,53,54]

hanya dievaluasi pada wanita Asia dan Kaukasia

. Dalam penelitian ini, faktor lain

[55]

yang terjadi adalah banyaknya variabilitas kegiatan pada jalur enzimatik ini, serta
kemungkinan peran PGP dalam perbedaan generasi. Dengan cara ini, telah
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang diamati pada CYP3A4 antar jenis
kelamin dan perbedaan benar-benar dijelaskan oleh aktivitas yang berbeda dari PGP
hati pada wanita [56].
UDP-glucuronosyl transferases (UGT) adalah kelompok isozim yang dibentuk
oleh dua keluarga. Aktivitas kegiatan UGT dapat dikurangi pada wanita dibandingkan
dengan

laki-laki,

berdasarkan

pengujian

terhadap

temazepam,

oxazepam,

asetaminofen, asam clofibric, diflunisal, labetalol dan asam Mycophenolic

[57]

Informasi ini terbatas untuk menyimpulkan mana dari keluarga UGP mungkin terlibat

dalam perbedaan tersebut dan studi lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan peran
tersebut dissimilarities dalam terapi.
5.

Pengeluaran
Ekskresi obat dapat dilakukan oleh beberapa jalur, bagaimanapun, ekskresi ginjal

merupakan salah satu rute paling penting pada ekskresi obat. Laju filtrasi glomerulus
(GFR) lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, apalagi, setelah dilakukan
normalisasi GFR oleh ukuran tubuh[58]. Oleh karena itu, pembersihan ginjal dapat
berkurang untuk berbagai macam obat. Mengenai mekanisme lain yang terlibat dalam
pembersihan ginjal, telah dilaporkan berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin
dalam sekresi tubular dan reabsorpsi. Telah dilaporkan bahwa klirens meningkat pada
tikus betina bila dibandingkan dengan tikus jantan, hal ini menunjukkan proses
reabsorpsi meningkat pada wanita [59,60]. Selain itu, telah juga dilaporkan ekskresi urin
meningkat dari anion organik pada tikus betina dibandingkan dengan tikus jantan,
menunjukkan bahwa pembersihan ginjal anion organik dapat ditingkatkan pada
wanita[60-62]. Namun, secara umum kerja ginjal diamati pada wanita lebih rendah dari
nilai yang diperoleh pada pria. Mungkin ini disebabkan oleh peningkatan GFR
diamati pada pria yang tampaknya memiliki peran utama dalam proses kerjaklirens
ginjal.
Dampak yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin dalam farmakokinetik
obat
Sebagaimana disebutkan di atas, ada jumlah yang penting dari faktor-faktor yang
mungkin berkontribusi pada perbedaan gender dalam farmakokinetik obat. Hasil
akhir akan berada pada fungsi mekanisme yang berbeda yang terlibat dalam distribusi
penyerapan metabolisme, dan ekskresi obat. Di satu sisi, rejimen dosis biasanya
diberikan tanpa normalisasi oleh berat badan, sehingga konsekuensi efek samping
lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Di sisi lain, ada kondisikondisi fisiologis yang berbeda antara jenis kelamin dan yang tercermin dalam
perbedaan farmakokinetik obat. Mungkin dua parameter yang lebih dipengaruhi oleh
situasi ini adalah volume distribusi dan klirens sistemik [63]. Keduanya tergantung pada

berat badan individu. Namun, ada karakteristik fisiologis lain yang mungkin
mempengaruhi mereka. Selain berat badan individu, volume distribusi adalah hasil
dari pengikatan protein dan jaringan, lemak tubuh dan volume plasma. Setidaknya
konsentrasi lemak tubuh mungkin berbeda pada wanita dibandingkan dengan lakilaki, sehingga profil distribusi yang berbeda [28-31].
Selain perbedaan distribusi, kerja sistemik memainkan peran utama dalam
perbedaan farmakokinetik antar jeniskelamin[11,30,45]. Selain itu, peran clearance
presystemic (karena PGP atau usus metabolisme) tidak boleh dikesampingkan, karena
dalam beberapa kasus sangat penting dalam pengurangan bioavailabilitas dan
mungkin bertanggung jawab berkaitan dengan farmakokinetik oral obat pada
perbedaan jenis kelamin.
Meskipun keterbatasan, dalam kasus yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin
telah diamati, disimpulkan bahwa kadar plasma dicapai pada wanita lebih tinggi dari
yang diperoleh pada pria.
Dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pembentukan perbedaan jenis
kelamin dalam farmakokinetik, kelompok kami mengevaluasi farmakokinetik oral
tiga obat, pantoprazole, levofloksasin dan losartan pada wanita dan laki-laki. Dalam
studi pertama, farmakokinetik oral dievaluasi pada 52 sukarelawan sehat (26
perempuan dan 26 laki-laki). Diamati bahwa kadar plasma tinggi yang dicapai pada
wanita, namun perbedaan tersebut menghilang ketika data dinormalisasikan dengan
dosis yang diberikan (Gambar 1), ini tercermin dalam perbedaan parameter
farmakokinetik beberapa Cmax, AUC dan CL / F. Ketika nilai-nilai yang
dinormalisasi dengan berat badan individu, dapat dilihat bahwa volume distribusi
sedikit lebih rendah pada wanita (Tabel 2). Hasil ini tampaknya menunjukkan bahwa
volume distribusi berkurang sekitar 20% pada wanita dibandingkan pria, yang
mungkin karena adanyaperbedaan komposisiair dalamtubuh wanita dan pria.

Gambar 1. Plasma tingkat-waktu kurva pada wanita (lingkaran terbuka) dan laki-laki
(lingkaran hitam) setelah pemberian dosis tunggal oral 40 mg pantoprazole. A) Baku
data dan B) dinormalisasi dengan data dosis (dalam mg / kg). Data dinyatakan
sebagai nilai mean s.e.m.

Tabel 2. Data demografi dan parameter farmakokinetik dari pantoprazole diperoleh


pada wanita dan laki-laki setelah pemberian dosis 40 mg tunggal oral. Data
dinyatakan sebagai nilai mean s.e.m. * P 0,05.
Dalam studi kedua, oral farmakokinetik levofloksasin dievaluasi dalam 28
wanita dan 27 pria. Gambar 2 menunjukkan kadar plasma kurva waktu setelah
pemberian obat sebelum dan sesudah normalisasi dosis oleh berat badan. Hal ini

dapat dilihat kadar plasma yang dicapai sekitar 20% lebih tinggi pada wanita, namun
perbedaannya benar-benar menghilang ketika data dinormalisasi dengan berat badan
individu. Parameter farmakokinetik (baku dan normalisasi) diberikan dalam Tabel 3.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa perbedaan secara eksklusif dari obat ini karena
dosis yang diberikan (dosis tinggi normalisasi diberikan pada wanita).

Gambar 2. Plasma tingkat-waktu kurva pada wanita (lingkaran terbuka) dan laki-laki
(lingkaran hitam) setelah pemberian dosis tunggal oral 500 mg levofloxacin. (Kiri)
Data mentah dan (kanan) dinormalisasi dengan data dosis (dalam mg / kg). Data
dinyatakan sebagai nilai mean s.e.m.

Tabel 3. Data demografi dan parameter farmakokinetik dari levofloxacin diperoleh


pada wanita dan laki-laki setelah pemberian dosis tunggal 500 mg oral. Data
dinyatakan sebagai nilai mean s.e.m. * P <0,05, **p <0,0005, *** p <0,0001.
Dalam studi ketiga, farmakokinetik oral losartan dievaluasi pada 26 wanita dan
26 pria. Gambar 3 menunjukkan kadar plasma kurva waktu setelah pemberian 50 mg
obat. Hal ini dapat dilihat bahwa kadar plasma mencapai lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pada pria. Ketika parameter farmakokinetik yang dinormalisasi dengan
berat badan, klirens meningkat diamati pada wanita (Tabel 4).

Gambar3. Plasma tingkat-waktu kurva pada wanita (lingkaran terbuka) dan laki-laki
(lingkaran hitam) setelah pemberian dosis tunggal oral 50 mg losartan. A) data selama
periode waktu sampel utuh dan B) data dalam 4 jam pertama setelah pemberian
losartan. Data dinyatakan sebagai nilai mean s.e.m.

Tabel 4. Data demografi dan parameter farmakokinetik dari losartan diperoleh pada
wanita dan laki-laki setelah pemberian dosis 50 mg tunggal oral. Data dinyatakan
sebagai nilai mean s.e.m. * P <0,01, ** p <0.002, *** p <0,001.
Hasil yang diperoleh dalam tiga studi dan dua studi lain dilaporkan sebelumnya
oleh kelompok kami dengan flukonazol
kadar

plasma

mencapai

lebih

[33]

dan klindamisin

tinggi

pada

[54]

wanita,

menunjukkan bahwa
meskipun

jalur

metabolismenyaberbeda atau transporter yang terlibat (CYP3A4, CYP2C9,


CYP2C19, dan PGP).
Salah satu obat yang memungkinkan untuk mendirikan perbedaan dalam
distribusi obat antara laki-laki dan perempuan adalah flukonazol[33]. Seperti
flukonazol secara luas didistribusikan dalam air tubuh total (TBW) pada laki-laki,
karena laki-laki memiliki lebih banyak volume TBW, maka konsentrasi plasma lebih
rendah dibandingkan pada wanita. Disisi lain, untuk kasus yang dinormalisasikan
dengan dosis, lebih rendah terjadi pada wanita untuk metronidazol[34], di mana adanya
peningkatan klirens dan rendahnya waktu paruh yang diperoleh.
Dalam hal ini, tidak mungkin untuk mengantisipasi keterkaitan dosis dengan
perbedaan jenis kelamin pada farmakokinetik oral obat. Karena itu, penting untuk
mengevaluasi kasus per kasus dalam rangka untuk menetapkan regimen dosis yang
memadai sesuai dengan berat badan dan jenis kelamin, meskipun sebagian besar
kasus efek samping yang lebih tinggi dicapai pada wanita dibandingkan pria dan
perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh pemberian dosis normal yang lebih
tinggi pada wanita.
6.

Kesimpulan
Ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis kelamin

dalam farmakokinetik obat. Secara umum, tingkat plasma yang lebih tinggi dicapai
pada wanita dibandingkan pria dan perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh
perbedaan dalam volume distribusi, karena adanya perbedaan dari volume cairan
tubuh, dan karena aliran kerja ginjal dan aktivitas metabolik. Namun, penting untuk

mengamati tingkat yang lebih tinggi pada wanita adalah yang biasanya digunakan
dosis pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria ketika mereka dinormalisasi oleh
berat badan.

D. Contoh jurnal tentang variabilitas farmakokinetik dan farmakodinamik


karena faktor kehamilan dan pembahasan
Pharmacokinetics and pharmacodynamics of artesunate and
dihydroartemisinin following oral treatment in pregnant women with
asymptomatic Plasmodium falciparum infections in Kinshasa DRC
Marie A Onyamboko, Steven R Meshnick*, Lawrence Fleckenstein, Matthew A Koch, Joseph Atibu1,
Victor Lokomba1, Macaya Douoguih, Jennifer Hemingway-Foday, David Wesche, Robert W Ryder, Carl Bose,
Linda L Wright, Antoinette K Tshefu, Edmund V Capparelli
Malaria Journal 2011, 10:49
http://www.malariajournal.com/content/10/1/49

I. LATAR BELAKANG
Kinshasa merupakan salah satu daerah endemik malaria. Dalam kasus ini,
malaria juga menyerang ibu hamil. Wanita hamil yang terkena malaria memiliki
resiko diantara lain : pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur, serta berat
badan bayi saat lahir rendah. Untuk mengurangi resiko ini, digunakan obat
pencegahan berkala yang disarankan WHO yaitu sulphadoxine-pyrimethamine (SP),
namun SP mengalami peningkatan resistensi diantaranya 57% untuk Plasmodium
falciparum. Dewasa ini, turunan artemisinin memberikan harapan pengobatan malaria
yang potensial yaitu melalui penggunaanya secara kombinasi dengan SP, contohnya
terapi kombinasi artesunate (AS) dan SP yang merupakan first line treatment untuk
kasus malaria akut. Belum ada data profil farmakokinetik, farmakodinamik, serta
keamanan terapi ini pada wanita hamil.
II.TUJUAN

Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mengetahui

profil

farmakokinetik,

farmakodinamik, serta data keamanan turunan artemisinin sebagai alternative terapi


malaria pada wanita hamil dibandingkan dengan kontrol.
III.
METODE PENELITIAN
III.1 Subjek Penelitian
Subjek utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita hamil dengan
kriteria sebagai berikut :
1. Wanita hamil trimester kedua ; selanjutnya disebut windows 1 dan trimester
ketiga ; selanjutnya disebut windows 2, (N=26)
2. Tidak demam (temperatur tubuh < 37.5C)
3. Terinfeksi oleh P. falciparum (jumlah 200 sampai < 300,000 parasit/mL)
4. Hematokrit 30%
5. HIV seronegativity
6. Tidak menderita penyakit major (diabetes, hipertensi kronis. dll)
Pada penelitian ini juga digunakan kontrol yaitu wanita tidak hamil (nonpregnant control, N = 25) yang terdiri dari dua kelompok kontrol yaitu :
1. Wanita dengan kondisi 3 bulan postpartum
2. Wanita tidak hamil namun positif terinfeksi P. falciparum asimptomatik
III.2 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Bersalin Maternit des Soeurs de Saint
Marc de Kingasani, Kinshasa.
III.3 Treatment dan Sampling
1.
Subjek penelitian diberi tablet Artesunate (AS) 200 mg oral (4 tablet 50
mg) (Guilin Pharmaceutical Co. Ltd, Guangxi, RRC) setelah 4 jam puasa dengan 240
mL air dibawah pengawasan petugas medis.
2.
Sampel darah (5 ml) diambil menggunakan IV catheter 30 menit sebelum
pemberian dan pada jam ke 0.25, 0.5, 0.75, 1, 1.5, 2, 3, 4, 6, dan 8 setelah pemberian.
Diberi antikoagulan sodium fluoride / potassium oksalat. Disentrifugasi pada suhu
-4C, 2600 rpm selama 10 menit
3.
24 jam setelah pemberian AS, pasien diberi 1725 mg SP
4.
Konsentrasi plasma AS dan metabolitnya dihidroartemisinin (DHA)
diukur dengan LC-MS. LOQ 1 ng/mL. Unbound DHA diukur dengan ultrafiltrasi
5.
Dianalisis data farmakokitenik, farmakodinamik, dan keamanan terapi.

IV.
HASIL
IV.1
DATA DEMOGRAFI SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian utama adalah 13 wanita hamil trimester kedua dan 13 lainnya
hamil pada trimester ketiga, serta subjek kontrol 25 wanita tidak hamil dengan
malaria asimptomatik. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal umur, tinggi badan,
dan tingkat pendidikan keseluruhan subjek. Semua subjek penelitian memiliki
tekanan darah normal, hematokrit 30%, negative HIV, pemeriksaan fisik normal,
serta tidak terdapat riwayat penyakit kronis dan pengobatan lain kecuali antipiretik.
Kadar hematokrit wanita hamil secara signifikan lebih rendah. Subjek antenantal
windows 1 menerima dosis sedikit lebih tinggi dalam mg/kg daripada windows 2
namun tidak ada perbedaan signifikan antara wanita hamil dengan kontrolnya.
Tabel 1. Karakteristik demografi subjek penelitian (pregnant case and controls)

IV.2
Data Farmakokitenik
Tabel 2. Data Farmakokinetik Dihidroartemisinin pada subjek hamil, postpartum,
dan tidak hamil dengan infeksi P. falciparum

Pada semua kelompok uji, baik subjek antenantal windows 1, windows 2, dan
kontrol, AS dengan cepat terhidrolisis menjadi Dihidroartemisinin (DHA), ditandai
dengan konsentrasi AS < LOQ (1 ng/mL) setelah 4 jam.

Gambar 1. Konsentrasi plasma DHA rata-rata pada subjek hamil, post partum,
dan tidak hamil
Rata-rata AUC (Area Under Curve) DHA secara signifikan lebih tinggi pada
subjek kontrol (non-pregnant) daripada subjek utama (pregnant). AUC DHA pada
wanita hamil lebih rendah diduga karena peningkatan hormon progesteron pada ibu
hamil memengaruhi absorbsi obat, meningkatnya aliran darah hepatic, serta
konsentrasi plasma pada kehamilan jauh lebih akibat peningkatan Vd, peningkatan
klirens, dan penurunan jumlah albumin dan protein binding. Penurunan jumlah

albumin dan protein binding ini juga mengakibatkan lebih banyaknya unbound DHA
pada wanita hamil.
IV.3
Data Farmakodinamik
Parameter penentuan data farmakodinamik pada penelitian ini adalah keadaan
parasitemia dan aparasitemia. Parasitemia merupakan jumlah parasit dalam darah,
diukur dengan real time PCR dengan sampel DNA hasil ekstraksi dari dried blood
spots. Dua subjek utama pada windows 2 dan sebelas subjek kontrol mengalami
aparasitemia sehari setelah skrining. Sisanya, sebelas subjek windows 2 aparasitaemia
pada 12 jam setelah pemberian AS. 13 orang dari 14 kontrol (93%) (non pregnant)
aparasitaemia 12 jam setelah pemberian AS. Satu orang kontrol aparasetimia pada
jam ke 28. Satu subjek windows 1 masih mengalami parasitemia pada hari ke 28. Dua
lainnya mengalami fase gametosit pada hari ke 7 dan 14. Tidak ada perbedaan
signifikan antara subjek utama dan kontrol yang mengalami aparasitemia pada jam
ke 12.
Tabel 3. Farmakodinamik dari Artesunate pada wanita yang terinfeksi malaria

IV.4
Data Keamanan
Tidak ditemukan toksisitas pada hasil penelitian, biasanya kebanyakan obat
cenderung tidak aman digunakan pada trimester pertama. Seluruh subjek dipantau
hingga proses kelahiran, tidak ada abnormalitas pada bayi.
V. KESIMPULAN

Penggunaan kombinasi artemisinin oral pada wanita hamil cukup efektif dan
tidak menimbulkan efek samping. Terdapat perbedaan signifikan nilai AUC
Dihidroartemisinin antara wanita hamil dan kelompok kontrol . Diperlukan studi
lebih lanjut mengenai penggunaan artemisinin pada masa kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA
Faull, F.R. 2007. Prescribing in Renal Disease. Australian Prescriber. 17-20.
Miriam and Francisco. 2011. Gender Differences in the Pharmacokinetics of Oral
Drugs. Pharmacology & Pharmacy, 2011, 2, 31-41.

Rowland, M. and Tozer, T.N. 1995. Clinical Pharmacokinetics: Concepts and


Applications 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins. 258.
Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy. Australian
Goverment Publishing Service, Canberra.
Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical
Book, California.
Speight TM (1987) Averys Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical
Pharmacology and Therapeutics, 3rd edition.ADIS press,Auckland.
Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium
Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta
M. Rustam. Mph. Prof. Dr. 1998. Sinopsis Obstetri dan patologi,jilid 1 edisi 2,
Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
M. Ida Bagus. DSOG. Prof. Dr. 1998. Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
dan KB,Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
Sulaiman, Prof. 1993. Obstetri Fisiologi, bagian obstetric dan ginekologi FK
UNPAD, Bandung
http://binfar.depkes.go.id/download/PEDOMAN_IBU_HAMIL.pdf [diakses tanggal
21 oktober 20012]

Anda mungkin juga menyukai