Anda di halaman 1dari 9

DEFINISI GAGAL NAFAS

Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan
tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan
istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson,
2006)
KLASIFIKASI GAGAL NAFAS
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I
merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan
antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi (Nemaa, 2003).

Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial O2 dalam
arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3) kuantitas
darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah yang
mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan cardiac output); (5) difusi
melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion matchine (Nemaa, 2003)
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah.
Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi
perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan
parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan
PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:


A. Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli
1. Hipoventilasi
2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi
3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)
B. Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)
C Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah)
1. Peningkatan kecepatan metabolisme
2. Penurunan cardiac output

3. Penurunan arterial O2 content (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):


1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Oedem Pulmo
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia
7. Pneumothorax
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)

Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):


Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang membuang
(washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas tipe II dapat disebabkan
oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi tranmisi sinyal
dari CNS (central nervous system), atau hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk
mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan
tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan
dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak
berubah (Kreit dan Rogers, 1995)

Penyebab gagal nafas tipe II:


A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis

3. Gullain-Barr syndrome
4. Spinal Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest (Kreit dan Rogers, 1995)

Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):


Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan
PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan
adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori ,
seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas
tipe III (Nemaa, 2003).

Penyebab tersering gagal nafas tipe III:


1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Chronic obstructive pulmonary disease (Kreit dan Rogers, 1995)

Mekanisme Kompensasi pada Gagal Nafas:


Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk mengenali
adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac output dan ventilasi
semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer yang berlokasi di arkus aorta
dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke otak (Nemaa, 2003).

Penilaian Fungsi Paru pada pasien Kritis:


Tujuan utama sistem respirasi adalah untuk pertukaran gas (hubungan kardiopulmoner) di
dalam parenkim paru. Jalan nafas menyediakan saluran lewatnya udara dari lingkungan ke paruparu, sistem neuromuskuler meyakinkan bahwa ventilasi dan parenkim paru menyediakan

hubungan antara ventilasi dan perfusi. Sehatnya parenkim paru dan jalan nafas menentukan work
of breathing (WOB) pada sistem neuromuskuler; peningkatan WOB akibat penyakit paru dan
jalan nafas dapat menekan dan memicu kegagalan sistem neuromuskuler. Pemburukan fungsi
paru pada pasien kritis dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya jalan nafas, parenkim paru,
interaksi kardiopulmoner dan sistem neuromuskuler. Penilaian fungsi paru sangatlah penting
untuk (1) memutuskan apakah bantuan ventilasi diindikasikan, (2) penilaian respon terapi, (3)
mengoptimalkan manajemen ventilator, dan (4) untuk memutuskan penyapihan dari ventilator
(Nemaa, 2003).
Penilaian klinis terhadap sistem respirasi sering berfokus pada penemuan auskultasi,
namun pertimbangan informasi dapat diperoleh dari inspeksi yang teliti dan pemeriksaan pola
pernafasan. Adanya wheezing, krepitasi, meningkatnya laju respirasi, retraksi interkostal dan
suprasternal, penggunaan otot bantu pernafasan, dan pergerakan paradoksal dinding dada
mengindikasikan peningkatan WOB. Terdapat berbagai tes untuk menilai komponen yang
berbeda. Pengukuran resistensi jalan nafas dan komplien paru memberikan evaluasi WOB
berdasarkan komponen neuromuskuler sedangkan penilaian fungsi pusat respirasi dan kekuatan
otot-otot respirasi memberikan evaluasi terhadap efisiensi komponen neuromuskuler.
Pengukuran tekanan penutupan jalan nafas (airway occlusion pressure /AOP) pada 0.1 detik
menggambarkan hubungan tertutup intensitas dari respiratory neural drive. (Whitelaw dan
Derenne, 1993).
Tekanan penutupan diukur secara temporer dan diam-diam menutup jalan nafas selama
awal inspirasi dan mengukur perubahan tekanan jalan nafas setelah 0.1 detik sebelum pasien
bereaksi terhadap penutupan tersebut. Meskipun nilai AOP (Airway Occlution Pressure) 0.1
menggambarkan tekanan negatif, tetapi biasanya dilaporkan dalam unit tekanan positif, yang
pada orang normal selama pernafasan istirahat adalah 0.93 0.48(SD) cm H2O. Nilai AOP 0.1
yang tinggi selama gagal nafas akut mengindikasikan peningkatan respiratory drive dan
neuromuscular activity dan jika menetap, mungkin akan menyebabkan kelemahan otot-otot
inspirasi. Ventilator modern menyediakan fasilitas pengukuran resistensi jalan nafas, komplien
paru dan AOP pada pasien on ventilator. Kekuatan otot dinilai dengan mengukur tekanan
maksimum inspirasi dan ekspirasi (Pimax and Pemax,) yang dihasilkan akibat penutupan jalan
nafas. Pengukuran ini dapat diperoleh dengan aneroid manometer. Kekuatan maksimal yang
dapat dihasilkan oleh otot inspirasi dan ekspirasi berhubungan dengan panjang inisiasinya.

Konsekuensinya pengukuran ini dilakukan pada volume residual (Pimax) atau kapasitas paru
total (total lung capacity (Pemax)). Pimax dan Pemax pada dewasa sehat kira-kira masingmasing 11134 dan 15168 cm H2O. Nilainya cenderung turun dengan umur dan lebih rendah
pada wanita (Chen dan Kuo, 1989)
Pada pasien rawat jalan dengan penyakit neuromuskuler tetapi tidak mempunyai penyakit
paru, hiperkapnea lebih mudah berkembang saat Pimax menurun 1/3 dari nilai yang
diperkirakan. Sistem respirasi berjalan terus menerus dan untuk mempertahankan ventilasi, otototot respirasi harus mempunyai ketahan tanpa cepat lelah. Beberapa teknik seperti pengukuran
tekanan transdiafragma, stimulasi nervus frenicus dan penentuan indeks tekanan-waktu
digunakan untuk mendeteksi adanya suatu kelemahan otot (Tobin dan Laghi, 1998).
Ultrasonografi diafragma telah ditemukan untuk membantu menilai fungsi diafragma.
Caranya dengan menilai perubahan ketebalan diafragma selama inspirasi dan dengan mudah
dapat mengenali adanya kelemahan diafragma (Gottesman dan McCool, 1997).
Kapasitas vital/Vital capacity (VC) merupakan satu-satunya volume paru yang sering
diukur di ICU. Pada penelitian pasien dengan GBS (Guillain Barre syndrome), pengukuran VC
ditemukan sebagai prediktor gagal nafas beberapa jam sebelum dilakukan intubasi dan turunya
VC <15 ml/kgBB mengindikasikan perlunya dilakukan intubasi (Chevrolet dan Deleamont,
1991).

DIAGNOSIS
Kriteria Gagal Nafas
Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Diagnosis pasti gagal nafas akut adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi kadangkadang diagnosa sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja misalnya apnoe, dalam
hal ini tidak perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat
nafas adalah:
-

Apnoe

Batuk berdahak

Sianosis

Sesak nafas/dispnoe

Perubahan pola nafas:

o Frekuensi menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)


o Adanya retraksi dinding dada
o Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
o Pernafasan yang paradoksal
o Gerakan dinding dada yang tidak simetris
o Kelelahan
-

Suara nafas menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor, ronkhi atau wheezing

Takikardia/bradikardia

Hipertensi/hipotensi

Gangguan irama jantung

Gangguan kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia (Muhardi, 1989)

Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan:


Yaitu menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan mechanic of breathing, oksigenasi
dan ventilasi seperti pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kriteria Gagal Nafas Menurut Ponttopidan

Mechanic of
Breathing
Oksigenasi

Ventilasi

-RR (X/menit)
-Kapasitas Vital (ml/Kg)
-Inspiratory force (cm H2O)
-AaDO2 (mmHg)*
-PaO2 (mmHg)
-VD/VT
-PaCO2 (mmHg)

Acceptable
range
12-15
70-30
100-50
50-200
100-75
(room air)
0,3-0,4
35-45

Terapi

Gawat Nafas

Gagal Nafas

25-35
30-15
50-25
200-350
200-70
(On mask O2)
0,4-0,6
45-60
-Fisioterapi
dada
-Oksigenasi
-Close
monitoring

>35
<15
<25
>350
<70
(On mask O2)
>0,6
>60^
-Intubationtracheotomy
ventilation

Keterangan: * setelah pemberian O2 100% selama 15 menit


^ kecuali pada hiperkapnea kronik
(Wirjoatmodjo, 2000)

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus dilakukan
intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi. Fisioterapi, oksigenasi dan
monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal
nafas. Kesemuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang paling penting adalah
mengetahui keseluruhan keadaan pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal nafas
(Wirjoatmodjo, 2000).

Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)


Kriteria gagal nafas akut menurut Shapiro bila:
-

Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,

Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.


Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.
Kriteria gagal nafas menurut Petty adalah:

Acute Respiratory failure:


PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2

Acute Ventilatory Failure:


PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo, 2000)

PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS:


Dasar

penatalaksanaan

terdiri

dari

penatalaksaan

suportif/non

spesifik

dan

kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.

Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik


Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Penatalaksanaan Gagal Nafas secara suportif/nonspesifik


1. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen
2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi
a.

Perbaiki jalan nafas

b. Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag

c.

Ventilasi Mekanik
3. Fisioterapi dada
(Muhardi, 1989)

Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien
dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika
tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco
dan Pellegrino, 2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen

arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask
menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK
dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah
pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal
(Sue dan Bongard, 2003).
EMERIKSAAN DIAGNOSTIK GAGAL NAFAS
Pemeriksaan diagnostik meliputi biasanya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hb : dibawah 12 gr %
pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
pa O2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
pCO2 di bawah 35 atau di atau 45 mmHg
BE di bawah -2 atau di atas +2
Analisa gas darah :
1. Saturasi O2 kurang dari 90%
7. Ro : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat perpindahan letak
mediastinum
DIAGNOSA KEPERAWATAN GAGAL NAFAS
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan pernafasan ventilator mekanik
adalah :
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakit
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator yang
tidak tepat, obstruksi selang ETT
4. Cemas berhubungan dengan penyakti kritis, takut terhadap kematian
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang ETT

Anda mungkin juga menyukai