Anda di halaman 1dari 7

Definisi Ilmu (http://insistnet.

com/etika-menuntut-ilmudalam-islam-1/)
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata alilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata alilmu adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima
ya`lamu- `ilman. Dijelaskan bahwa lawan kata dari al-ilmu
adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu). Sehingga jika dikatakan
alimtu asy-syaia berarti saya mengetahui sesuatu.
Sementara secara istilah (terminologi) ilmu berarti
pemahaman tentang hakikat sesuatu[1]. Ia juga merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui dari dzat (esensi),
sifat dan makna sebagaimana adanya[2]. Sedangkan dalam kitab
Tafsir Aisar at-Tafaasir dijelaskan bahwa:

Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah,


barang siapa yang tidak mengenal Allah, maka dia tidak
mempunyai rasa takut pada-Nya. Sesungguhnya yang takut
kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama[3].
Penjelasan di atas berdasarkan firman Allah SWT dalam
Surat Fathir ayat 28, yaitu:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.
Adapun yang dimaksudkan dengan al-Khasyyah (rasa takut)
menurut Sa`id bin Jubair adalah sesuatu yang menghalangi
antara engkau dengan maksiat kepada Allah SWT[4].
Menurut Ibn at-Taimiyah ilmu adalah apa yang
datangnya dari Nabi SAW. yang berfungsi sebagai petunjuk
jalan yang sangat diperlukan bagi manusia dalam mengarungi
kehidupan. Apakah dia akan sukses dalam mengarungi
kehidupannya ataukah sebaliknya, sangatlah tergantung dengan
sejauh mana ia kuat dalam memegangi ilmu. Dan yang
dimaksudkan dengan ilmu yang dapat dijadikan petunjuk

kepada jalan keselamatan itu adalah ilmu yang diajarkan oleh


Rasulullah SAW. Ibn at-Taimiyah mengatakan: Barang siapa
meninggalkan petunjuk jalan, ia tersesat di jalan dan tidak ada
petunjuk jalan kecuali apa yang dibawa oleh Rasulullah.[5]
Senada dengan Ibn at-Taimiyah, Ahmad Karzun
memandang ilmu itu sebagai panglima sedangkan amal itu
pengikutnya. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu adalah
panglimanya, sedang amal pengikutnya. Setiap amal yang tidak
berpedoman kepada ilmu dan tidak mengikuti bimbingan ilmu,
maka amal itu tidak berguna bagi pelakunya bahkan dapat
membahayakannya. Karena itu sebagian ulama salaf berkata:
Barang siapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa
yang ia rusak lebih banyak dari apa yang ia perbaiki. Jadi, ilmu
adalah tolak ukur dan standar utama kebenaran.
Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani, mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syari`at. Hal ini beliau
ketengahkan ketika menafsirkan Firman Allah SWT dalam
surat Thaha ayat 114:
Dan Katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku
ilmu pengetahuan.
Beliau menjelaskan lebih jauh tentang keutamaan ilmu:
Sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu karena
Allah tidak pernah menyuruh Nabi SAW untuk
meminta tambahan apapun, kecuali ilmu. Maksud
ilmu di sini adalah ilmu syariat yang berguna untuk
mengetahui apa-apa yang diwajibkan pada setiap
orang yang mukallaf dari urusan agamanya, seperti
ibadah, muamalah, berilmu dengan asma wa sifat
Allah, kewajiban-keawijibannya harus ditunaikan
dari
apa
yang
diperintahkan
kepadanya,
membersihkan sifat-sifat Allah yang dikurangi , dan
yang berkisar sekitarnya dari tafsir, hadits, serta
fiqih.
Sedangkan menurut Quraisy Syihab, jika dikembalikan
kepada Al-Quran, maka yang disebut orang alim ialah orang
yang pengetahuannya menimbulkan sifat khasyyah (takut)

kepada Allah. Ada korelasi antara ilmu dengan khasyyah, karena


keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai
puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada
orang berilmu namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang
kokoh, berarti ilmunya tidak bermanfaat. Bahkan, orang yang
berilmu namun melepaskan tanggung jawabnya karena
mengikuti hawa nafsu, dalam Al-Qur`an diumpamakan seperti
seekor anjing yang tetap menjulurkan lidahnya, baik dihalau
maupun dibiarkan. Allah berfirman surat al-Araf ayat 175-176:
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah
Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan
tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari
pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai
Dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang
yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya
Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.[6]
Dengan demikian, hakikat ilmu bukanlah sekadar
pengetahuan atau kepandaian yang dapat dipakai untuk
memperoleh sesuatu, tetapi merupakan cahaya (nr) yang dapat
menerangi jiwa untuk berbuat dan bertingkah laku yang baik.
Dari sini tidak terdapat perbedaan antara ilmu agama dengan
ilmu umum. Fiqih tidak lebih utama daripada sejarah atau
matematika, selama semuanya menuju khasyyah kepada
Allah.[7]
Dari pembahasan di atas, dapatlah ditarik rumusan
tentang beberapa paradigma tentang ilmu yang bersumber dari
nash-nash Al-Qur`an dan hadits, serta penjelasan para ulama.
Beberapa paradigma tersebut dapat digunakan sebagai pisau

analisa terhadap tepat atau tidaknya penggunaan istilah ilmu


yang berkembang dewasa ini, serta mengungkapkan ruh Islam
yang terkandung dari istilah ilmu tersebut. Beberapa paradigma
tersebut adalah:
a. Yang disebut ilmu adalah apa yang datang dari Allah
SWT, baik yang berpangkal dari ayat-ayat tanziliyah
yang bersumber dari wahyu maupun ayat-ayat kauniyah
yang terbentang di alam jagad raya.
b. Ilmu itu sebagai panglima sedangkan amal sebagai
pengikutnya.
c. Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah
(khasyyah) dan rasa takut kepada Allah adalah sesuatu
yang dapat memisahkan seseorang dari berbuat maksiat
kepada-Nya.
A. Keutamaan Ilmu dan Menuntut Ilmu
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu,
karena itu Islam menempatkan orang yang memiliki ilmu pada
tempat yang istimewa dan strategis. Sebaliknya Islam
memberikan kecaman terhadap kebodohan dan orang-orang
yang enggan untuk menuntut ilmu. Maka tidak mengherankan
jika kejayaan Islam hanya akan bisa diraih jika kaum Muslimin
mampu menguasai lapangan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
kita perhatikan dalam banyak ayat Al-Qur`an dan Hadits, serta
penjelasan para ulama.
Ada banyak penjelasan dalam Islam mengenai
keutamaan ilmu dan para penuntut ilmu. Islam dengan sangat
tegas memandang bahwa ilmu itu bagaikan kehidupan dan
cahaya, sebab tidak akan ada kehidupan jika tidak ada cahaya
dan cahaya itu adalah ilmu. Sedangkan kebodohan itu adalah
sumber dari segala kehancuran. Kehancuran yang berpangkal
dari kegelapan karena tiada ilmu dan akan berujung pada
kematian. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Anam ayat
122:
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang,

yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah


masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya
berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.[8]
Ketika menjelaskan ayat di atas, Al-Hafidz Ibn Katsir
rahimahullah berkata: Ini merupakan sebuah misal yang telah
Allah Taala umpamakan untuk orang Mumin yang dulunya
mati (berada dalam kesesatan, kehancuran serta kebingungan),
kemudian dihidupkan oleh Allah dengan iman, dan memberikan
petunjuk serta taufik kepadanya dalam it-tiba para rasulNya.{Dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang
dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia}, yaitu : dengannya ia mendapatkan
petunjuk, bagaimana ia bertindak serta bersikap. Dan cahaya
yang dimaksud di sini adalah Al-Quran, sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh Al-Aufi dan Ibn Abi Tholhah dari Ibn
Abbas ra. Sedangkan As-Suddi berpendapat: cahaya yang
dimaksud di sini adalah Islam.[9]
Begitupun menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
rahimahullah, ia menjelaskan bahwa ilmu adalah kehidupan dan
cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan.
Semua kejahatan dan keburukan penyebabnya ialah tidak
adanya kehidupan dan cahaya.[10]
Karena itulah Islam sangat memuliakan para penuntut
ilmu. Salah satu bentuk pemuliaan itu adalah dengan
diberikannya janji surga bagi seorang penuntut ilmu yang
senantiasa komitmen dan sabar dalam menuntut ilmu.
Kerinduan seseorang untuk dimasukkan ke dalam surga dan
keengganan seseorang dimasukkan ke dalam neraka, sangat
bergantung sejauh mana komitmen dan kesabaran seseorang
dalam aktivitas menuntut ilmu. Ketika seseorang memiliki
kesungguhan dalam menuntut ilmu, terbuka luas jalan
membentang baginya menuju surga, namun sebaliknya
keengganan seseorang dalam menuntut ilmu, ancaman adzab
neraka sangat pantas baginya. Hal ini menunjukkan betapa
kemuliaan yang diberikan oleh Islam terhadap aktivitas

menuntut ilmu dan ini sekaligus menjelaskan akan penghargaan


Islam terhadap ilmu.
Mengenai janji surga yang diberikan kepada para
penuntut ilmu dapat dilihat dalam sabda Rasulullah SAW
berikut:
Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai
ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.
(HR. Abu Daud, At Timridzi, Ibn Hibban, dan Al Baihaqi,
dari sahabat Abu Darda ra)[11]
Sementara penyesalan orang-orang bodoh yang tidak mau
mendengarkan peringatan Allah SWT, dijelaskan dalam
Surat al-Mulk ayat 10-11:
Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan
atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami
termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyalanyala. Mereka mengakui dosa mereka. Maka
kebinasaanlah
bagi penghuni-penghuni neraka yang menyalanyala.[12]
Ayat dan hadits tersebut menegaskan beberapa hal penting:
Pertama, menuntut ilmu syari memudahkan jalan menuju
surga dengan dua makna. Pertama, Allah akan memudahkan
para thalib al-ilmi -yang memiliki tujuan hanya untuk mencari
keridhaan Allah semata dalam mendapatkan ilmu, mengambil
manfaat dari ilmu syari dan mengamalkan konsekuensinyauntuk memasuki surga-Nya. Kedua, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga pada hari kiamat ketika ia melewati
shirath dan dimudahkan dari berbagai ketakutan, baik
sebelum maupun sesudahnya.
Kedua, lalai menuntut ilmu adalah jalan menuju neraka.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata:
Allah SWT menjelaskan, bahwa di antara sifat penghuni neraka
adalah bodoh, dan Dia menutup pintu-pintu ilmu bagi mereka.
Allah SWT melukiskan orang-orang yang celaka itu tidak
mempunyai ilmu. Selain itu Ia menyerupakan mereka terkadang

dengan binatang ternak, terkadang dengan keledai yang


mengangkut muatan.

Anda mungkin juga menyukai