Anda di halaman 1dari 8

Rehabilitasi Fisik, Psikologis dan

Komunitas Post Disaster


Di Indonesia
JUNE 6, 2013LOLADESPITA LEAVE A COMMENT
Rehabilitasi Fisik, Psikologis dan Komunitas Post Disaster Di Indonesia
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan
bencana. Indonesia berada di atas kerak bumi yang aktif dimana ada lima patahan lempeng
bumi yang bertemu, bertumbukan dan mengakibatkan pergerakan bumi Indonesia dinamis
(Sunarti, 2009). Indonesia sering disebut sebagai negara dengan laboratorium bencana,
sebab frekuensi bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti
mulai dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan
gunung meletus, belum lagi bencana yang secara lebih langsung disebabkan oleh kegiatan
manusia, seperti lumpur lapindo. Menurut International Strategy for Disaster Reduction
(ISDR) bencana adalah Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat,
sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi ,
ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk
mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (PNPM, 2008).
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat
tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta
adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko
terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi
lain juga kaya akan sumberdaya alam (BNPB, 2008). Frekuensi bencana alam yang terjadi di
Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi, tsunami,
banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus. Yasuhiro Otomo (2013)
menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk bencana yaitu: bencana yang diakibatkan oleh
alam, bencana oleh manusia dan complex humanitarian emergency (CHE). Bencana
meninggalkan dampak bagi korbannya baik dari segi fisik, psikologis, sosial , spiritual dan
material serta ekonomi (Ilyas,2008).
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut, penyelenggaraan penanggulangan
bencana mencakup serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi. Selain itu pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan tentang
tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana (BNPB, 2010).
Manajemen bencana menurut Hendro Wartatmo (2011) merupakan keseluruhan dari semua
tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kerusakan yang akan terjadi
terkait dengan bahaya dan untuk meminimalkan kerusakan setelah suatu peristiwa bencana
terjadi atau telah terjadi dan untuk pemulihan langsung dari kerusakan. Manajemen

bencana terdiri dari beberapa langkah diantaranya mitigation, preparadness, response dan
recovery (Joshi, 2007). Pada tahap recovery, terjadi proses pemulihan kondisi masyarakat
yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan
semula. Tahap recovery terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi baik dari fisik, psikologis dan
komunitas (PNPM, 2008). Perawat sebagai bagian dari tim tanggap darurat mempunyai
peran yang penting dalam penanganan bencana mulai dari setelah terjadi bencana sampai
dengan fase rehabilitasi/recovery post bencana, perawat juga dituntut untuk mampu
berkolaborasi dengan anggota tim tanggap darurat bencana yang lain dan masyarakat agar
mampu dihasilkan penanganan bencana yang tepat. (Magnaye et al, 2011). Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai rehabilitasi post
disaster baik secara fisik, psikologi dan komunitas bencana di Indonesia.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana rehabilitasi
post disaster baik secara fisik, psikologis, dan komunitas pada bencana di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisa kebijakan tentang peraturan pemerintah tentang penanggulangan bencana
tahap rehabilitasi.
b. Menaganalisa instansi yang bertanggung jawab terhadap rehabilitasi post disaster di
Indonesia
c. Menganalisa rehabilitasi post disaster di Indonesia.
d. Menganalisa solusi dalam proses rehabilitasi post disaster di Indonesia.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan dalam makalah ini adalah dari beberapa studi literatur dan jurnal-jurnal
penelitian yang terkait dengan rehabilitasi post disaster.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
A. Latar belakang
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
C. Metode penulisan
D. Sistematika penulisan
BAB II : Tinjauan Teori
A. Bencana
B. Manajemen Bencana
C. Rehabilitasi pasca bencana
D. Peran Perawat
BAB III : Pembahasan
BAB IV : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Bencana
Bencana adalah suatu peristiwa dimana kondisi normal dari suatu komunitas mengalami
gangguan baik dari faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengalami kegawatan yang mengakibatkan terjadinya dampak yang melebihi kemampuan
komunitas untuk melakukan penanganan secara mandiri dengan efektif baik dari segi fisik,
kerugian harta benda dan psikologis (National Academy of Science, 2007; WHO, 2011).
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
definisi bencana peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
B. Tahapan Manajemen Bencana
Taha-tahap dalam manajemen bencana menurut Joshi (2007) adalah :
1. Mitigation (Pencegahan)
2. Preparedness (Kesiapsiagaan)
3. Response
4. Recovery
C. Rehabilitasi Post Disaster
Rehabilitasi merupakan bagian dari tahapan recovery dalam manajemen bencana. Peraturan
tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (BNPB,
2010).
Pasal 1 dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun
2010 meyebutkan rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan
dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. (BNPB, 2010).
Peraturan tersebut juga menyebutkan instansi yang terkait yang berperan yang saling
berkordinasi dalam penanggulangan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekontruksi
bencana yaitu lembaga BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di
tingkat daerah. Tujuan dari proses rehabilitasi dan rekontruksi untuk membangun
kesepahaman dan komitmen semua pihak dan menyelaraskan seluruh kegiatan
perencanaan pascabencana yang disusun oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang terkena bencana. Rencana rehabilitasi
dan rekontruksi, terdapat dalam substansi Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(RENAKSI) yang disusun dalam kelompok meliputi aspek aspek seperti yang terdapat pada
pasal 3 ayat (3) dalam peraturan tersebut yang meliputi pembangunan manusia,
perumahan dan permukiman, infrastruktur, perekonomian, sosial dan lintas sektor.
Pendanaan untuk proses rehabilitasi dan rekontruksi pasca bencana berasal dari APBD
Kabupaten/Kota untuk bencana skala Kabupaten/Kota, APBD Provinsi untuk bencana skala
Provinsi dan APBN untuk bencana skala Nasional (BNPB, 2010).
D. Peran Perawat
Peran perawat daalam bencana menurut Ishii (2013) yang disampaikan dalam materi
distance learning adalah :
1. Menetapkan kebutuhan pelayanan kesehatan
2. Menentukan besarnya bencana
3. Menentukan tujuan dan prioritas tindakan

4. Mengidentifikasi masalah aktual dan potensial dalam masalah kesehatan masyarakat


5. Menentukan sumber daya yang dibutuhkan sebagai respon identifikasi kebutuhan
6. Kolaborasi dengan disiplin ilmu lain, pemerintah dan non instansi lain yang terkait
7. Mempertahankan alur komando penanganan
8. Komunikasi
Bencana, banyak meninggalkan dampak bagi korban bencana, baik dari segi fisik,
psikologis, ekonomi dan material. Bencana alam yang terjadi akan memakan korban dan
kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka-luka, kerusakan fasilitas pribadi dan
umum, serta pengungsi yang umumnya rentan akan penyakit. Korban membutuhkan
pertolongan dari segi kesehatan. Banyak penyakit yang seringkali diserita pengungsi antara
lain diare, ISPA, campak, dan malaria.WHOmengindentifikasi empat penyakit itu sebagai The
Big Four. Kejadian penyakit ini sering kali muncul sesuai dengan karakteristik bencana (Feri
dan Makhfudli, 2009).
Peran perawat pada pasca bencana menurut Feri dan Makhfudli (2009) adalah perawat
berkerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam memberikan bantuan kesehatan kepada
korban seperti pemeriksaan fisik, wound care secara menyeluruh dan merata pada daerah
terjadi bencana. Saat terjadi stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga
terjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga kriteria
utama yaitu trauma pasti dapat dikenali, individu mengalami gejala ulang traumanya
melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacunya dan individu akan
menunjukkan gangguan fisik, perawat dapat berperan sebagai konseling. Tidak hanya itu
perawat bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsur lintas
sektor menangani masalah kesehatan masyarakat pasca-gawat darurat serta mempercepat
fase pemulihan menuju keadaan sehat dan aman. Selain itu Perawat dapat melakukan
pelatihan-pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar
daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang
dimilikinya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Rehabilitasi Post Disaster di Indonesia
Perencanaan rehabilitasi dapat dilakukan kepada perumahan, pemukiman penduduk. Status
kesehatan fisik dan psikis korban juga harus diperhatikan selama fase recovery pasca
bencana (Sunarti, 2009). Pembangunan yang baik haruslah bertahap serta terintegrasi.
Kesuksesan tidak hanya disebabkan formulasi kebijakan yang tepat, tetapi juga disebabkan
karena perencanaan yang baik dan matang. Perencanaan yang baik akan menghasilkan
pembangunan yang optimal (Soesilowaty, 2010). Dalam perencanaan pembangunan dan
pemulihan dukungan dari LSM, Pemerintah, dan Palang Merah Indonesia (PMI) sangat
dibutuhkan untuk tahap pemulihan post bencana (PNPM, 2008). Peraturan tentang
Rehabilitasi dan Rekontruksi post disaster di Indonesia telah tertuang dalam Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Dalam peraturan
tersebut telah disebutkan sasaran substansi rehabilitasi dan rekontruksi meliputi aspek
kemanusiaan (sosial psikologis, pelayanan kesehatan) aspek perumahan dan pemukiman,
infrastruktur bangunan, ekonomi, sosial dan lintas sektoral (BNPB, 2010).
Menurut Rajib (2003), waktu yang diperlukan untuk rescue selama tujuh hari, releif selama
tiga bulan, dan rehabilitasi selama lima tahun. Menurut Ishii (2013), waktu yang diperlukan
untuk tahap rehabilitasi (sub akut) selama dua tahun. Di Indonesia pelaksanaan rehabilitasi
sudah dilakukan, tapi masih banyak di fokuskan kepada rehabilitasi infrastruktur, ini terlihat
saat terjadinya bencana Tsunami tahun 2004 didaerah Aceh dan Nias telah diupayakan
pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana oleh masyarakat, pemerintah daerah,
pemerintah (pusat), pemerintah dari berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional
untuk membangun kembali Aceh dan Nias yang telah hancur yang lebih mengarah kepada

memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur serta prasarana dan sarana perekonomian
(Bappenas, 2008). Tidak hanya di Aceh dan Nias, Pemerintah telah melakukan fase
pemulihan atau rehabilitasi saat terjadi gempa bumi tahun 2009 di Padang, Padang
Pariaman dan Mentawai. BNPB bersama Bappenas telah menyusun Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi pascabencana serta Percepatan Pembangunan di Wilayah
Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, dan itu semua lebih ke
infrastruktur (BNPB, 2010).
Rehabiltasi fisik post disaster tidak hanya pada infrastruktur, tapi juga kesehatan fisik
korban. Ishii (2013) menyebutkan pada tahap sub akut disaster, rehabilitasi kesehatan fisik
pada korban bencana lebih di fokuskan kepada peningkatan penyembuhan pada korban
bencana seperti perawatan luka setelah terjadi bencana, oksigenasi korban bencana, dan
pencegahan untuk tidak terjadi komplikasi seperti komplikasi pada penyakit paru, oral care,
postural drainage bedsore, pencegahan tidak terjadi kontraktur pada korban bencana
seperti ROM training dan rehabilitasi dini. Selain itu Kumiko II (2013) juga menyebutkan,
seorang perawat rehabilitasi adalah perawat yang mempunyai keahlian atau kemampuan
standar disaster melalui pelatihan-pelatihan dalam manangani korban baik secara fisik dan
mental. Di Indonesia, standar keahlian dalam manangani disaster belum dimiliki oleh
perawat di Indonesia. Dalam penangananan pemulihan kesehatan fisik perawat bisa
melakukan home care untuk pemulihan kesehatan post disaster seperti perawatan luka,
mendirikan pos kesehatan untuk korban bencana seperti yang dilakukan oleh perawat di
puskesmas bersama PMI ketika terjadi bencana di Jawa Tengah. Mereka, mendirikan pos
pertolongan pertama untuk korban bencana serta merujuk korban dengan trauma fisik
kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan (LITBANG Jawa Tengah, (2008).
Selain dari segi fisik, bencana juga meninggalkan trauma psikologis terhadap korban
bencana. Rehabilitasi psikologis lebih di fokuskan kepada penanganan rasa trauma
psikologis yang dialami oleh korban bencana. Gangguan stress pasca trauma merupakan
gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman
traumatikdalam kehidupan jika tidak diobati bisa memperburuk gangguan stres pasca
trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) (Budiarto, 2010). Menurut Cut Husna
(2010), perawat harus menyiapkan keahlian dalam penanganan kejadian disaster salah
satunya dalam penanganan mental health atau PTSD. Nozumo (2013) menjelasakan
Evidence Based Treatment untuk PTSD yaitu Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy
(TF-CBT), Exposure-based therapy, Cognitive therapy, dan Pengobatan.
Budiarto menyebutkan dalam penelitiannya (2010), didapatkan sebanyak 83% respondenya
mengalami trauma pasca bencana tsunami di Aceh. Dalam penelitian juga disebutkan
perawat melakukan intervensi psikososial untuk mengatasi trauma pasca bencana pada
anak-anak dan remaja. Intervensi psikososial dapat berupa pemberian terapi seni atau
drama, sehingga gejala PTSD dapat segera teratasi untuk pemulihan rehabilitasi di Aceh.
Perawat juga bisa melakukan pemulihan kesehatan mental melalui sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah
solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang
efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat
lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah
taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan
lain sebagainnya. Sehingga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
Budiarto (2010) juga menyebutkan pemulihan PTSD pada korban bencana memerlukan
waktu delapan tahun lebih bagi mereka yang mengalami stress pasca bencana tsunami.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bryant (2006), manajemen kesehatan mental yang
efektif meliputi identifikasi awal dari orang yang beresiko tinggi mengembangkan gangguan
kejiwaan ketika mereka mengalami reaksi stres sementara pasca bencana dan intervensi
pengobatan yang tepat mungkin menjadi kunci positif keberhasilan jangka panjang
Selain itu, rehabilitasi dari segi komunitas perawat bisa melakukan kerja sama dengan lintas
sektoral dalam berbagai bidang ilmu untuk memulihkan kembali keadaan korban bencana.
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan
menjadi terkatung-katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana akibat

kehilangan harta benda yang mereka miliki, sehinnga banyak diantara mereka yang patah
arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan
keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat (PNPM, 2008). Masyarakat
perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat
dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi
dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan
masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan
lewat kemampuan yang miliki seperti yang telah dilakukan di Aceh dan Nias pasca bencana
Tsunami (Sosesilowati, 2010).
Partisipasi warga masyarakat dalam rehabilitasi dan rekontruksi akan mempengaruhi
keberhasilan dalam program rehabilitasi dan rekontruksi seperti rehabilitasi daerah Nias
yang melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait dalam rehabilitasi dan rekontruksi
daerah (Muktiali, 2008). Penanggulangan bencana berbasis komunitas merupakan suatu
upaya untuk mengkolaborasikan penanggulangan bencana sebagai upaya bersama antara
masyarakat, LSM, swasta dan Pemerintahpada saat pra bencana, bencana dan pasca
bencana (PNPM, 2008).
B. Instansi yang Bertanggung Jawab dan Terlibat
Dalam tahap rehabilitasi dan rekontruksi banyak instansi yang terlibat dan bertanggung
jawab dalam tahap pemulihan ini seperti yang tertuang dalam Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Lembaga penanggungjawab
pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi adalah BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di
Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah. BNPB dan BPBD adalah lembaga fungsional/struktural
yang ada di dalam struktur BNPB dan atau BPBD Provinsi/Kab/Kota yang sesuai dengan
tugas pokok fungsi dan kewenangannya. Apabila dipandang perlu dapat dibentuk lembaga
koordinatif yang bersifat adhoc atau bersifat sementara yang fungsinya membantu
BNPB/BPBD dan ditetapkan dengan keputusan Kepala BNPB dan atau Kepala BPBD atas
nama Presiden dan atau Gubernur/ Bupati/Walikota untuk jangka waktu maksimal 3 (tiga)
tahun (BNPB, 2010).
C. Solusi Rehabilitasi Post Disaster di Indonesia
1. Merencanakan penanggulangan berbasis komunitas yang melaibatkan masyarakat dalam
tahap pra bencan, bencana dan pasca bencana.
2. Lebih tanggap lagi pada tahap rehabilitasi dan perawat lebih meningkatkan lagi ilmu dan
skil yang dimilkinya dalam manangani korban pada tahap rehabilitasi baik dari segi
kesehatan fisik dan psikologis dan mengikuti pelatihan untuk menangani masalah disaster.
3. Pemerintah lebih memperhatikan lagi rehabilitasi fisik yang dialami korban bencana tidak
hanya pada infrastruktur tapi juga pada kesehatan fisik korban bencana.
4. Memasukan mata kuliah disaster kedalam kurikulum pembelajaran mengingat daerah di
Indonesia rawan terhadap terjadi bencana dan khususnya pada daerah yang beresiko
terjadinya bencana
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kebijakan tentang peraturan pemerintah tentang penanggulangan bencana tahap
rehabilitasi terdapat dalam Peraturan tentang Rehabilitasi dan Rekontruksi post disaster di
Indonesia telah tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana

2. Rehabilitasi post disaster di Indonesia sudah berjalan tapi belum maksimal, masih butuh
untuk ditingkatkan terutama dalam peran perawat dalam hal skill dan pengetahuan dalam
penanganan bencana tahap rehabilitasi.
3. Intansi yang bertanggaung jawab dalam rehabilitasi post disaster adalah BNPB di tingkat
nasional dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah
4. Solusi dalam proses rehabilitasi post disaster di Indonesia salah satunya merencanakan
penanggulangan rehabilitasi berbasis komunitas.
B. Saran
1. Bagi Pemerintah
Diharapkan pemerintah lebih meningkatkan tahap rehabilitasi terhadap korban bencana
tidak hanya dari segi infra struktur tapi juga dari kesehatan fisik dan psikologis korban
bencana
2. Bagi Perawat
Diharapkan perawat lebih dapat meningkatkan perannya dan skill serta pengetahuan dalam
tahap rehabilitasi bencana bagi korban bencana dari segi kesehatan fisik dan psikologis
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat lebih berperan akitif dan tanggap terhadap bencana baik saat pra
bencana, bencana dan pasca bencana
DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pascabencana Gempa BUMI dan Tsunami di Kepulauan Mentawai Bidang pemulihan
perumahan dan permukiman
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (BNPB). (2008). Tsunami.
BAPPENAS. (2008). Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias,
Sumatra Utara, serta daerah pasca bencana lainnya. Diakses
darihttp://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6223/ tanggal 27 Maret 2013
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah (2008). Penelitian post traumatic
stress disorder (gangguan stress pasca trauma bencana) di Jawa Tengah
Bryant, Richard. A. (2006). Recovery after the tsunami: timeline for rehabilitation. J Clin
Psychiatry 2006:67(suppl 2):50-55.
Budiarto, Eko Kusumo. (2010). Kesehatan Mental di Aceh Pasca Tsunami. Jurnal Sosiologi
Dilema. ISSN; 0215-9635, Vol 21 No. 2 Tahun 2009
Cut Husna. (2010). Clinical Skills for Tsunami Care and Its Relating Factors Perceived by
Nurses in Indonesia. The 2nd International Conference on Humanities and Social Sciences
April 10th, 2010 Faculty of Liberal Arts, Prince of Songkla University Health
Development_008
Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehtan Komunitas: Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Hendro. Wartatmo.(2011). Seminar Strategi Untuk Menyusun Hospital Disaster Plan (HDP).
Di akses dari http://www.bencana-kesehatan.net tanggal 1 April 2013
Ilyas Tommy. (2008). Mitigasi Gempa dan Tsunami di Daerah Perkotaan. Seminar Bidang
Kerekayasaan Fakultas Teknik-Unsrat.
Joshi, Madhavi., Ravindranath, Shailaja., Jain, Gopal Kumar & Nazareth, Keren. (2007).
Understanding disasters. Internship Series, Volume-III. ISBN: 978-81-89587-24-6.
Kumiko. Activities of Japanese Nursing Association in The Great east Japan Earthquake.
Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.
Ishii. Mieko. (2013). Disaster Nursing 2. Institute for Graduate Nurses, Japanese Nursing
Association Senior Lecturer in Emergency Nursing at the Department of Courses for Certified
Nurses. Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.
Magnaye, Bella., Ma. Muoz., Steffi Lindsay M., Muoz, Mary Ann F., Muoz, Rhogen Gilbert V
& Muro, Jan Heather M. (2011). The role, preparedness and management of nurses during
disasters. E-International Scientific Research Journal, Volume III, Issue- 4, ISSN 2094-1749.
Muktiali, Muhammad. (2008). Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Rehabilitasi dan
Rekontruksi Pasca Bencana: Studi Kasus Nias Selatan Sumatera Utara. Disampaikan pada
seminar nasional tentang kebelanjutan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Yogyakarta
National Academy of Science. (2007). Successful response starts with a map: improving
geospatial support for disaster management. Washington: NAP.
Nozomu Asukai, M.D., Ph.D . (2013). Disaster Mental Health and Psychological Support for
Survivors. Tokyo Metropolitan Institute of Medical Science. Disampaikan saat Distance
Learning pada tanggal 18 Maret 2013.
Otomo. Yosuhiro. (2013). Department of Acute Critical Care an Disaster Medicine. Unpublish;
Materi distance learning tanggal 18 Maret 2013.
PNPM Mandiri (2008). Modul Khusus Fasilitator : Penanganan Pengelolaan Bencana.
Direktorat Jenderal Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum
Rajib. Shaw. (2003). Rehabilitation/Reconstruction. Post-Disaster Reconstruction and
Recovery: Issues and Best Practices. Diakses dari http://www.adrc.asiatanggal 27 Maret 2013
Sunarti Euis (Ed). (2009). Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson Learned
2006-2007). Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Soesilowati, Ety. ( 2010). Implementasi Integrasi Sektoral Program Kebijakan Rehabilitasi
Aceh Singkil Pasca Bencana. Diakses dari http://ep.unnes.ac.idtanggal 31 Maret 2013
WHO. 2011. Disaster. Diakses dari http://www.who.int/topics/disasters/en/. Diakses tanggal
30 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai