PENDAHULUAN
Didasarkan pada pandangan bahwa undang-undang Pajak Penghasilan menganut
pemajakan yang berbasis neto. Basis tersebut berarti pengenaan pajak didasarkan pada
penghasilan bruto dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran dan pengurangan lainnya yang
diperkenankan oleh undang-undang.
Secara komersial sebagaimana diatur dalam SAK bahwa dalam laporan laba rugi biaya
diakui apabila terjadi penurunan manfaat ekonomis pada masa mendatang sehubungan
dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban yang dapat diukur dengan modal.
Sehubungan dengan terdapat beberapa perbedaan perlakuan yang sering menimbulkan
koreksi biaya. Pada bab ini akan disampaikan bagaimana praktik akuntansi komersial ini
membahas masalah biaya yang sekaligus dikaitkan dengan akuntansi pajaknya serta teknik
mengompensasi kerugian menurut undang-undang pepajakan yang memang diperkenankan.
1) Pembagian laba dengan nama dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi.
2) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu atau anggota.
3) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tidak tertagih
untuk usaha bank dan sewa dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syaratsyaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yang bersangkutan.
5) Penggantian atau Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai yang ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 4 ayat (3) huruf d
memberikan penjelasan bahwa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan tidak diaggap sebagai objek pajak, dengan sendirinya tidak dibebankan
sebagai biaya bagi si pemberi kerja.
6) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan.
7) Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha
kecil (termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan) serta bantuan atau
sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat.
8) Pajak penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Pajak diterapkan
atas penghasilan pajak itu sendiri.
9) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya.
10) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11) Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, serta sanksi pidana.
Penggantian
Pengobatan,
pemberian
tunjangan
pengobatan,
uang
10) Pemberian natura atau kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan dapat
dibebankan (deductible) dan bukan merupakan objek PPh 21. Sesuai Keputusan Meteri
Keuangan No. 446/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak No. Kep.
213/PJ/2001 perlu diperhatikan:
Daerah terpencil harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jendral Pajak, dengan
kondisi:
a.
b.
c.
Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, dilokasi tidak ada sarana pendidikan
yang setara.
d.
e.
Olahraga bagi pegawai keluarganya tidak termasuk boling, golf, atau pacuan kuda
sepanjang tidak tersedia sarana dimaksud.
5. KOMPENSASI KERUGIAN
Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada
kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami
kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak
Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak
Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan
untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun
tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah,
proses membawa kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini
dinamakan sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss).
8
kompensasi
vertikal
ini
dilakukan
yaitu
dengan
jalan
Wajib
Pajak
Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2009,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
tahun 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan
sampai dengan tahun 2014 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa
kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
tahun 2015 atau sesudahnya. Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2009 mengalami
kerugian fiskal Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A
sebagai berikut :
2010
2011
2012
2013
2014
(1,200,000,000.00)
200,000,000.00
(1,000,000,000.00)
(300,000,000.00)
(1,000,000,000.00)
NIHIL
(1,000,000,000.00)
100,000,000.00
(900,000,000.00)
800,000,000.00
(100,000,000.00)
Tahun 2010 :
Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2009 tinggal
Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2011 :
Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2009 karena tahun 2011 juga mengalami kerugian.
Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2012 :
Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2009 karena tahun 2012 laba fiskal nihil.
Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
10
Tahun 2013 :
Kompensasi kerugian Rp,100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2009 tinggal
Rp.900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2014 :
Kompensasi
kerugian
Rp.800.000.000,00
sehingga
sisa
rugi
tahun
2009
tinggal Rp.100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga
nihil. Sisa kerugian Rp.100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun
2015 atau setelahnya.
6. AKUNTANSI PAJAK
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2011. Sedangkan rugi fiskal 2011 sebesar Rp.300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2015 dan 2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak
tahun 2012 berakhir tahun 2016.
Kompensasi kerugian ini berlaku apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan.
Dalam praktik akuntansi komersial, kompensasi kerugian vertical ini dilakukan secara
otomatis, yaitu dalam akun saldo laba karena hasil operasi akhir tahun (penghasilan
setelah pajak) selalu dibukukan kea kun saldo laba. Sementara dalam akuntansi pajak,
perlu diperhatikan bahwa penghitungan laba fiskal berada di jalur ekstra komtable (di luar
jalur pembukuan).
Bagi perusahaan yang mempunyai cabang-cabang di luar negeri, sesuai dengan
penjelasan Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, tidak dapat mengkonsolidasikan
kerugian yang diderita cabang, karena laba cabang luar negeri ini selalu dikenakan pajak
tanpa memperhitungkan kerugian.
11