2.1
muka bumi ini. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh gempa-gempa beberapa tahun
terakhir ini yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa di Aceh, Padang,
Yogyakarta, Pangandaran, Bengkulu dan masih banyak lagi. Banyak sekali
definisi dari seismisitas antara lain sebagai (Iqbal, 2007):
- Aktivitas gempa
- Distribusi gempa secara global atau lokal pada suatu tempat dan waktu
tertentu
- Suatu studi tentang lokasi, frekuensi dan magnitudo gempa
Untuk memahami seismisitas wilayah Indonesia, maka diperlukan
pengetahuan mengenai tatanan tektoniknya dan sejarah kegempaan di wilayah
Indonesia.
2.1.1
juta tahun yang lalu, Sulawesi dan Laut Maluku mulai terbentuk sebagai akibat
tumbukan benua-benua mikro.
Perubahan bentuk tersebut diakibatkan karena penunjaman atau subduksi
sehingga kepulauan Indonesia terbentuk karena proses pengangkatan. Lempeng
yang berperan dalam penunjaman tersebut adalah lempeng Samudera Pasifik dan
India-Australia yang bergerak 2-5 cm per tahun relatif terhadap lempeng Eurasia
(oaseislam, 2003). Ketiga lempeng tersebut saling berinteraksi satu sama lain.
Lempeng Eurasia dan lempeng Australia bertumbukan di lepas pantai barat
Sumatera, lepas pantai selatan Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusa
Tenggara dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan.
Sedangkan tumbukkan antara lempeng Australia dan lempeng Pasifik di sekitar
pulau Papua. Dan ketiga lempeng tersebut bertemu di sekitar Sulawesi. Interaksi
antara ketiga lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya dua sabuk gunung api
yang melewati Indonesia yaitu Sirkum Mediterania akibat penunjaman lempeng
Australia ke dalam lempeng Eurasia dan Sirkum Pasifik akibat penunjaman
lempeng Pasifik ke dalam lempeng Eurasia. Interaksi ketiga lempeng tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki
aktivitas kegempaan tertinggi di dunia.
Adapun zonasi aktivitas gempa bumi di Indonesia berdasarkan sejarah
kekuatan sumber gempa (Pirba, 2006), dapat terbagi menjadi :
Daerah sangat aktif yaitu magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi antara lain di
Halmahera dan pantai utara Irian.
Daerah aktif yaitu magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi
antara lain di lepas pantai barat Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi
tengah.
Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa terjadi
antara lain di Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi tengah.
Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin
terjadi antara lain di pantai barat Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan
bagian timur.
8
Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 jarang terjadi antara lain di
daerah pantai timur Sumatera dan Kalimantan tengah.
Daerah stabil, tidak ada catatan sejarah gempa yaitu di pantai selatan Irian dan
Kalimantan bagian barat.
Lokasi dari gempa-gempa yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
2.1.2
Australia. Tumbukkan kedua lempeng ini bertemu pada kedalaman 5000 meter di
bawah permukaan air laut dan membentuk Palung Jawa sehingga laut di daerah
tumbukkan ini sangatlah dalam. Jalur palung Jawa ini membentang dari Aceh
hingga Flores mendorong lempeng Eurasia dengan kecepatan yang berbeda.
Minster dan Jordan (1978, dalam Ghose and Oike, 1988) memperkirakan
kecepatan lempeng 6 cm/tahun dekat ujung utara Sumatra sampai 7,8 cm/tahun di
dekat pulau Sumba.
Selain kecepatan dorongannya, arah penunjamannya pun bervariasi. Yang
paling mencolok adalah daerah yang dipisahkan oleh selat Sunda. Arah
penunjaman yang hampir tegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur
menghasilkan ragam penunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di
bagian Sumatra. Hal tersebut berimplikasi pada letak kedalaman aktivitas gempa.
Di sebelah barat selat Sunda, aktivitas gempa umumnya tidak melebihi kedalaman
200 km sedangkan di sebelah timur selat Sunda aktivitas gempa terletak pada
kedalaman 350-500 km.
Penampang fisiografi dari palung Jawa dapat dilihat dari gambar 2.2 di bawah ini.
10
menunjukkan bahwa zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude dan waktu
terjadinya kegempaan yang lebih kecil dibandingkan dengan zona subduksi
Sumatera (Natawidjaya, 2006). Hal itu salah satunya dimungkinkan karena
lempeng Jawa yang sudah berusia lebih dari 150 juta tahun sehingga gerakan
tektoniknya tidak terlalu mendorong pulau Jawa. Magnitude dan kedalaman
kegempaan di sekitar pulau jawa dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini.
11
Sejarah gempa yang terekam di pulau Jawa hanya tersedia dalam rentang
waktu 1849-2000 (LIPI) atau sumber lain menyebutkan dalam selang waktu 18332003 telah terjadi 68 kali dengan kategori gempa yang merusak (BMG). Pada
tahun 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Kemudian di
Yogyakarta pernah terjadi gempa besar yang menewaskan 500 orang lebih pada
tahun 1867. Dan dua gempa besar terakhir adalah gempa Jogja Mei 2006 lalu
dengan magnitude 6,3 SR dan gempa Pangandaran Juli 2006 dengan magnitude
6,8 SR dengan pusat gempa yang berdekatan dengan gempa yang terjadi pada
tahun 1921. Demikian juga dengan data sejarah kegempaan yang menimbulkan
tsunami tidak tercatat secara alami dikarenakan di pesisir selatan Jawa tidak
ditemukan koloni terumbu karang. Pesisir selatan Jawa memiliki topografi yang
berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan dangkal sehingga kecil
kemungkinan tumbuhnya terumbu karang. Jika terdapat terumbu karang maka
sejarah terjadinya gempa besar dapat diketahui. Ketika gempa akibat sesar naik
maka pesisir pantai akan naik yang menyebabkan terumbu karang naik ke
permukaan dan mati. Tetapi ketika pesisir tersebut tenggelam kembali akibat
proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali atau
12
dengan kata lain periode naik turunnya permukaan pesisir dalam ratusan tahun
dapat tercatat secara alami.
Sedikitnya informasi kegempaan di sekitar pantai selatan jawa ini
menyebabkan sulitnya memperkirakan potensi gempa yang diiringi tsunami di
daerah ini.
2.2 Gempa Bumi
Gempa bumi dapat disebabkan oleh tumbukan antar lempeng, aktifitas
gunung api, runtuhan batuan dan ledakan. Dalam kaitannya dengan gempa
Pangandaran 2006, maka tumbukan antar lempeng adalah penyebabnya. Pada
zona subduksi Pangandaran, lempeng samudera menumbuk hingga menyusup ke
bawah lempeng benua. Kemudian gerakan terus-menerus tersebut akan
mengalami perlambatan akibat gaya gesekan antar kedua lempeng yang
menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan.
Pergerakan tersebut akan terus berlangsung hingga batas elastisitas tumbukan
tersebut terlampaui, maka kedua lempeng akan melepaskan energi secara tiba-tiba
dan menimbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa
bumi. Mekanisme tumbukkan yang menyebabkan gempa bumi dapat dilihat pada
gambar 2.3 di atas.
Gempa bumi dapat terjadi dimana pun namun para peneliti kegempaan
berkesimpulan bahwa 95 % gempa bumi terjadi sekitar batas lempeng. Suatu titik
di sepanjang bidang temu antar lempeng atau di sepanjang patahan tempat
dimulainya gempa disebut fokus atau hiposenter, sedangkan titik di pemukaan
bumi tepat di atas sumber gempa disebut episenter (Setyawan, 2007). Gambar dari
kedua titik tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini.
13
2.2.1
perulangan gempa karena gempa bumi yang terjadi di suatu daerah akan terjadi
lagi di masa yang akan datang. Dalam satu siklus gempa bumi biasanya akan
berulang dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan tahun. Periode perulangan
gempa dapat ditunjukkan oleh gambar 2.5 di bawah ini.
14
Untuk dapat melakukan analisis terhadap suatu siklus gempa bumi maka
diperlukan data-data berupa penelitian dokumen sejarah gempa dan penelitianpenelitian geologi dan geofisika seperti stratigrafi batuan, terumbu karang dan
paleo-tsunami untuk gempa yang terjadi di laut, likuifaksi dan lain-lain (Andreas
et al, 2006). Dengan adanya data geologi batuan, diharapkan dapat memprediksi
kejadian
gempa
yang
telah
lampau
yaitu
dengan
cara
mempelajari
15
a)
Interseismik
Tahapan ini merupakan tahapan awal dari siklus gempa bumi, dimana
energi di dalam bumi menggerakkan lempeng hingga bertemu pada suatu bidang
temu. Kemudian dapat terjadi kuncian akibat gaya gesek antara kedua lempeng
yang bertemu dan energi mulai terakumulasi di sekitar bidang temu lempeng
tersebut. Akumulasi energi ini menyebabkan terjadinya akumulasi deformasi atau
interseismic deformation. Pada kasus subduksi, arah dari laju interseismik ini
searah dengan laju lempeng samudera yang menunjam lempeng benua.
b)
Preseismik
Preseismik terjadi sesaat sebelum terjadinya gempa bumi. Sampai saat ini
preseismik merupakan tahapan gempa bumi yang masih diperdebatkan oleh para
ahli karena terkadang terdapat sinyal preseismik tapi lebih sering kejadian gempa
bumi tidak menunjukkan sinyal apa-apa. Contoh sinyal preseismik yang terekam
adalah pada gempa besar di Haiceng Cina ditemukan adanya perilaku anomali
dari binatang, kemudian pada gempa Tonakai 1944 ditemukan adanya akselerasi
deformasi sekitar 4 hari sebelum gempa utama. Contoh terakhir adanya anomali
muka air tanah yang menurun secara drastis sebelum terjadinya gempa Chici di
Taiwan tahun 1999.
16
c)
Coseismik
Tahapan coseismik terjadi ketika gempa utama atau mainshock, dimana
getaran bumi paling kuat dirasakan pada tahapan ini. Gempa utama ini
menyebabkan sebagian kerak bumi tergeser atau terdeformasi secara permanen
sampai orde meter. Coseismik dapat terjadi secara vertikal maupun secara
horisontal. Secara vertikal dapat berupa naiknya permukaan tanah (uplift) maupun
penurunan tanah (subsidence). Laju dari arah pergerakan coseismik ini
berlawanan arah dengan arah laju interseismik.
d)
After Slip
After slip adalah tahapan ketika sisa-sisa energi gempa dilepaskan kembali
Gambar 2.7 Distribusi gempa bumi utama dan susulan di selatan Jawa Barat (BMG, 2006)
17
e)
Postseismik
Tahapan postseismik sebenarnya hampir sama dengan afterslip karena
baik postseismik maupun after slip terjadi setelah gempa utama. Namun yang
membedakan jika pada after slip masih terjadi gempa-gempa susulan sedangkan
pada postseismik energi dilepaskan tanpa gempa atau bersifat aseismik. Jadi
postseismik dapat didefinisikan sebagai tahapan setelah gempa terjadi dimana
sisa-sisa energi dilepaskan secara perlahan dalam kurun waktu yang lama namun
tetap menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari satu
meter atau bahkan untuk gempa berkekuatan besar dapat menghasilkan deformasi
postseismik mencapai lebih dari satu meter. Contoh pergeseran dari deformasi
postseismik yang terjadi pada gempa Parkfield tahun 2004 di California dapat
dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Pergeseran akibat coseismik dan postseismik pada gempa Parkfield 2004
(J. Langbein)
Pergeseran dari deformasi postseismik ini biasanya kurang dari satu meter
tetapi nilai deformasi postseismik dapat memberikan nilai deformasi hampir dua
kali lipat dari deformasi coseismik. Hal tersebut terjadi pada gempa Mine Hector
di Amerika (Herring, 2002). Untuk lama terjadinya deformasi ini tergantung
banyak faktor salah satunya kekuatan gempa yang terjadi. Hasil penelitian di
18
Deep Afterslip
Deformasi postseismik tipe ini diindikasikan dengan adanya pergeseran
signifikan komponen horisontal dari titik-titik pengamatan GPS (Shen et al., 1994;
Savage and Svarc, 1997; Bock et al., 1997). Deep afterslip terletak di bawah
tumbukan antar lempeng dan dapat dilihat pada gambar 2.9 di bawah ini.
Viscoelastic Rebound
Mekanisme dari viscoelastic dapat digunakan sebagai model postseismik.
Contohnya adalah pada patahan Emerson and Camp diasumsikan terjadi
pergeseran coseismik ke arah timur sebesar 0.7 meter sehingga dapat menyatakan
bahwa patahan tersebut berupa normal fault. Berbeda dengan deep after slip, jika
pada tipe Viscoelastic Rebound terletak pada seluruh daerah horisontal di lokasi
yang sama dengan deep afterslip atau terletak di sepanjang kerak bumi bagian
bawah. Letak dari postseismik tersebut menyebabkan daerah tumbukan
19
bidang tumbukan dikarenakan tertutupnya kerak bumi yang terbuka selama gempa
bumi pada zona tumbukan yang terpenuhi fluida. Mekanisme ini diterangkan
pertama kali oleh Massonet et al (1996) untuk menjelaskan berbagai macam dari
tipe deformasi postseismik dengan mengkombinasikan interferogram. Manfaat
lain dari mekanisme ini adalah dapat menghitung kekuatan dari zona patahan yang
diikuti gempa bumi untuk menjelaskan pertambahan kecepatan seismik yang
didapatkan dari survei seismik setelah gempa.
pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi atau bersifat aseismik.
Tahapan ini berlangsung sangat lambat berkisar beberapa hari sampai beberapa
minggu. Mekanisme tahapan ini terjadi ketika lempeng menunjam lempeng yang
lainnya sehingga menghasilkan deformasi interseismik dengan arah vektor
pergeseran menuju lempeng yang tertujam, namun pemantauan GPS kontinyu
menunjukkan suatu waktu vektor pergeseran berubah arah ke sisi lempeng yang
menunjam.
Keenam tahapan gempa bumi tersebut dapat diamati dengan menggunakan
ilmu dan teknologi seperti ilmu seismologi, geologi, geofisika, geodesi dinamis
dan lain-lain. Data seismologi dapat merekam tahapan coseismik dan afterslip
dengan mencatat ukuran dan lokasi gempa utama dan gempa susulan. Data
geofisika dapat merekam tahapan interseismik melalui kajian penjalaran energi
gelombang pada struktur bumi, dan tahapan preseismik seperti penelitian
akselerasi deformasi dan penelitian anomali muka level air tanah. Dan data
21
geodetik dapat merekam hampir seluruh tahapan gempa bumi melalui penelitian
deformasi (Andreas et al, 2006).
2.2.3
Keterangan :
Sumber BMG
Sumber USGS
Sumber Geofon
Pada gempa Pangandaran pun terjadi gempa susulan yang diamati mulai
tanggal 17 hingga 23 Juli 2006 dari jaringan stasiun gempa Gunung Guntur dan
stasiun gempa temporer Pangandaran dan Pameungpeuk. Sampai tanggal 21 Juli
2006 tercatat telah terjadi 77 kali gempa susulan dengan magnitude 4-6 Skala
Ritcher dengan 3 kali gempa susulan berkekuatan cukup besar.
Gempa Pangandaran ini kurang dirasakan getarannya oleh masyarakat di
sekitar pantai Pangandaran, getaran cukup terasa oleh orang-orang yang berada di
rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, bahkan gempa
dirasakan di gedung-gedung tinggi beberapa kota di Jawa Barat. Namun sama
halnya seperti gempa Aceh bahwa bencana sesungguhnya adalah bukan gempa
tersebut melainkan gelombang tsunami. Kira-kira 40 menit setelah gempa utama,
Gempa yang diiringi gelombang tsunami ini telah menelan korban jiwa
yang banyak yaitu 378 orang meninggal dan ratusan lainnya cedera serta puluhan
jiwa dinyatakan hilang. Selain itu ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai
Krapyak, Kalipucang, Parigi, dan Cipatujah, Kab. Tasikmalaya hancur serta hotelhotel sepanjang daerah wisata Pangandaran bagian barat. Adapun peta kerusakan
yang diakibatkan oleh gempa Pangandaran beserta tsunaminya dapat dilihat pada
gambar 2.13 berikut ini.
Gambar 2.13 Peta Kerusakan Akibat Gempa dan Tsunami Pangandaran 2006
(United Nation, 2006)
24
2.3
merupakan salah satu metode yang saat ini sangat sering digunakan. Pada metode
ini yang dipelajari adalah pola dan kecepatan deformasi yang terjadi pada sebuah
blok kerak bumi. Dan untuk menghasilkan pola dan kecepatan deformasi tersebut
diperlukan informasi posisi yang akurat dari titik-titik pengamatan deformasi.
Salah satu teknologi yang dapat memberikan informasi posisi tersebut adalah GPS
sehingga GPS dapat digunakan dalam upaya pemantauan deformasi, termasuk
deformasi postseismik yang diakibatkan gempa Pangandaran 2006.
2.3.1
and Ranging Global Positioning System). Dengan mengamati satelit GPS, para
pengguna GPS dapat memperoleh informasi mengenai posisi secara akurat di
permukaan bumi. Informasi lainnya yang dapat diperoleh dari pengamatan GPS
adalah informasi mengenai kecepatan, arah, jarak dan waktu.
Pada dasarnya sinyal GPS terdiri dari 3 komponen (Abidin, 2000), yaitu :
- Penginformasi Jarak (kode) berupa kode-P dan kode-C/A.
- Pesan Navigasi yang berisi informasi mengenai satelit dan orbit.
- Gelombang Pembawa (L1 dan L2) yang bertugas membawa data kode dan
pesan navigasi.
Dari ketiga komponen tersebut terdapat dua data pengamatan dasar GPS
yaitu waktu tempuh dari kode-P dan kode-C/A dan fase dari gelombang L1 dan
L2. Waktu tempuh tersebut akan menghasilkan jarak pseudorange, sedangkan fase
() adalah data pengamatan GPS berupa jumlah gelombang penuh yang terhitung
sejak saat pengamatan dimulai dan data fase ini yang digunakan dalam aplikasiaplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang sangat tinggi.
25
2.3.2
waktu
26
Gambar 2.14 Penggunaan GPS dalam studi dinamika bumi secara episodik
Pada studi deformasi kerak bumi ini, metode survei GPS memberikan
beberapa keunggulan (Friedrik, 1999), antara lain :
GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran dalam tiga dimensi sehingga
dapat memberikan informasi pergerakan titik-titik pantau baik dalam arah
horisontal maupun dalam arah vertikal.
GPS memberikan nilai vektor pergeseran dalam suatu sistem referensi yang
tunggal.
GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran yang teliti sampai dengan
fraksi milimeter.
2.3.2.1 Mekanisme Pengolahan Data GPS Untuk Keperluan Deformasi
Prinsip dasar penentuan posisi menggunakan GPS adalah dengan cara
reseksi jarak (pengikatan ke belakang) yaitu dengan pengukuran jarak secara
simultan ke beberapa satelit yang koordinatnya telah diketahui. Namun dalam
pergerakannya, satelit mengalami beberapa gangguan seperti kesalahan ephemeris
(orbit) dan kesalahan jam satelit sehingga informasi orbit yang terdapat pada
pesan navigasi sinyal GPS (Broadcast ephemeris) masih mengandung kesalahan
sehingga ketelitian informasi orbit tersebut kurang baik. Oleh karena itu,
27
diperlukan informasi orbit dengan ketelitian yang tinggi karena dalam pemantauan
deformasi diperlukan hasil posisi yang menuntut tingkat ketelitian hasil yang
tinggi (fraksi mm). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan data precise
ephemeris yang memiliki tingkat ketelitian kurang dari 5 cm, sedangkan pada
broadcast ephemeris memiliki ketelitian 2,6 m (Warren, 2002). Visualisasi dari
proses pemilihan data fase dan informasi orbit untuk keperluan deformasi dapat
ditunjukkan pada gambar 2.15 sebagai berikut.
RINEX
Informasi Orbit
(Precise ephemeris)
Tidak digunakan
Pada saat sinyal GPS dalam perjalanannya dari satelit sampai pengamat
tidak terlepas dari berbagai kesalahan dan bias. Kesalahan dan bias tersebut dapat
terkait karena satelit GPS, medium propagasi yang dilalui sinyal satelit, receiver
GPS, data pengamatan dan lingkungan sekitar pengamat (Abidin, 2000) :
a) Kesalahan Orbit (Ephemeris)
Kesalahan ephemeris adalah kesalahan dimana orbit yang dilaporkan
ephemeris orbit tidak sama dengan orbit yang sebenarnya sehingga dapat
mempengaruhi ketelitian posisi titik-titik yang ditentukan.
28
b) Bias Ionosfer
Radiasi matahari menyebabkan lapisan ionosfer mempunyai sejumlah
elektron dan ion bebas yang bergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari
serta densitas gas pada lapisan tersebut. Hal tersebut akan mempengaruhi
kecepatan, arah, polarosasi, dan kekuatan sinyal yang melaluinya. Dalam hal ini,
ionosfer akan memperlambat data pseudorange dan mempercepat data fase. Oleh
karenanya ukuran jarak yang dihasilkan menjadi kurang teliti.
c) Bias Troposfer
Pada saat sinyal satelit melewati lapisan troposfer, sinyal akan mengalami
refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah sinyal sehingga
dapat mempengaruhi hasil ukuran jarak. Lapisan troposfer ini memperlambat data
pseudorange dan data fase.
d) Multipath
Multipath adalah fenomena yang terjadi karena sinyal dari satelit tiba di
antena GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Abidin, 2000). Dalam
hal ini satu sinyal merupakan sinyal yang sebenarnya dan sinyal yang lain
merupakan sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda di sekitar
antena seperti gedung, pepohonan, mobil, dan lain-lain. Adanya lebih dari satu
lintasan menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinteferensi.
e) Cycle Slip
Cycle slip adalah terputusnya jumlah gelombang penuh pada saat
pengamatan berlangsung. Hal tersebut salah satunya bisa diakibatkan karena
matinya receiver GPS.
f) Ambiguitas Fase
Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh berupa bilangan bulat
dan merupakan kelipatan panjang gelombang yang tidak terukur oleh receiver
pada saat pengamatan berlangsung (Zikra, 2004). Penentuan ambiguitas
diperlukan pada saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga
dihasilkan ketelitian yang sangat presisi. Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap
selama pengamatan tidak terjadi cycle slip. Penentuan ambiguitas fase ini
29
dilakukan dengan cara pemberian koreksi terhadap nilai ambiguitas fase yang
mengembang (float) sehingga didapat nilai ambiguitas fase yang integer.
g) Kesalahan Jam
Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan
jam receiver. Bentuk kesalahan jam ini adalah dalam bentuk offset waktu atau
offset frekuensi yang dapat mempengaruhi ukuran jarak.
Ada beberapa macam cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan
atau mengurangi efek kesalahan dan bias pengamatan yaitu mengestimasi
parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan, pengurangan data
pengamatan (differencing), menghitung besar kesalahan dan bias secara langsung
atau dari model, menggunakan strategi pengamatan dan pengolahan data yang
tepat, dan mengabaikan kesalahan dan bias itu sendiri (Abidin, 2000).
Secara umum, metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi menjadi
dua, yaitu Metode Penentuan Posisi Absolut dan Metode Penentuan Posisi Relatif.
Penentuan posisi absolut hanya membutuhkan satu receiver GPS saja, sedangkan
pada penentuan posisi relatif atau diferensial membutuhkan minimal 2 buah
receiver GPS. Dalam survei GPS yang menuntut ketelitian tinggi misalnya pada
survei deformasi Pangandaran ini, metode yang digunakan adalah metode
diferensial dengan moda Jaring artinya titik-titik pengamatan di sekitar
Pangandaran diikatkan ke beberapa titik ikat atau referensi.
Metode diferensial dengan moda jaring dapat didefinisikan sebagai proses
penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah
diketahui koordinatnya dengan menggunakan data pengamatan fase dari sinyal
GPS (Abidin, 2002). Pada umumnya jenis survei yang dilakukan adalah survei
statik.
Titik-titik pengamatan deformasi diletakkan pada daerah sekitar patahan
sehingga dapat dilihat pola pergerakannya. Selanjutnya titik-titik pengamatan
tersebut diikatkan ke sebuah kerangka referensi yaitu ITRF (International
Terrestrial Reference Frame). Kerangka ini terdiri dari 300 titik yang menyebar di
seluruh permukaan bumi dan didapatkan dengan pengukuran secara kontinu
30
31
32
Pemrosesan Awal
(outlier detection)
Solusi Baseline
Definitif
Gambar 2.17 Tahapan penentuan suatu baseline GPS (double-difference)
titik ikat IGS digunakan untuk menghasilkan koordinat final. Tujuan dari perataan
jaring terikat adalah untuk memeriksa konsistensi data ukuran baseline dengan
titik-titik IGS yang telah ada. Setelah solusi dari jaring didapat, semua titik-titik
IGS yang digunakan dilakukan sebuah uji berdasarkan rata-rata dari 3 parameter
translasi menggunakan transformasi Helmert. Jika ada titik IGS yang tidak sesuai
maka titik tersebut harus dihilangkan dari proses pengolahan data dan proses
perataan jaring kembali dilakukan.
Jika semua koordinat final telah ditentukan maka para pengguna bisa
melakukan transformasi dari datum WGS84 ke dalam datum tertentu yang
diperlukan.
2.3.2.2 Pengaruh Pergerakan Lempeng Dalam Studi Deformasi
Lempeng-lempeng di muka bumi ini yang berjumlah kurang lebih 20
lempeng utama dan lempeng-lempeng kecil lainnya mengalami pergerakan setiap
tahunnya misalnya lempeng Eurasia yang bergerak 2 cm/tahun ke arah timur dan
lempeng Australia yang bergerak 7 cm/tahun ke arah utara, demikian juga dengan
lempeng-lempeng kecil. Titik-titik pengamatan deformasi terletak pada suatu
lempeng atau blok yang bergerak sehingga hasil pengamatan data GPS saja tidak
dapat dijadikan sebagai indikator pergeseran karena masih dipengaruhi
pergerakan lempeng tersebut. Dalam kasus deformasi postseismik Pangandaran
ini, titik-titik pengamatan GPS terletak pada Sunda block. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah perhitungan yang dapat memodelkan pergerakan lempeng atau
blok di tempat titik pengamatan berada. Penentuan pergerakan lempeng tersebut
dapat dijelaskan oleh Leonhard Euler (1776) melalui teorema Euler fixed point
yang menyatakan bahwa setiap pergerakan pada permukaan bumi dapat
direpresentasikan sebagai rotasi dari titik rotasi kutub yang dipilih yang disebut
Euler Pole. Para ahli menggunakan teorema ini untuk memahami pergerakan dari
tektonik lempeng.
Euler pole menjelaskan pergerakan lempeng yang satu misal lempeng B
relatif terhadap lempeng yang lainnya misal A maka pergerakan lempeng B akan
34
35