Anda di halaman 1dari 27

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RINGKASAN EKSEKUTIF

EXECUTIVE SUMMARY

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan implikasi dari
pemanasan global yang semakin nyata
dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk
Indonesia. Perubahan iklim yang sedang
terjadi perlu disikapi dengan memperdalam
pemahaman tentang proses kejadiannya
secara ilmiah, baik penyebab maupun
dampaknya
terhadap
manusia
dan
lingkungan kita. Dengan pemahaman
tersebut
dapat
direncanakan
upaya
penyesuaian (adaptasi) dan pencegahannya
(mitigasi) dalam rangka pengendalian
perubahan iklim.
Dalam rangka meningkatkan koordinasi
pelaksanaan pengendalian perubahan iklim
dan memperkuat posisi Indonesia di forum
internasional dalam pengendalian perubahan
iklim, Pemerintah membentuk Dewan
Nasional
Perubahan
Iklim
(DNPI)
berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2008. DNPI
memiliki peranan penting dalam mendukung
komitmen pemerintah dalam antisipasi
perubahan iklim. Salah satu tugasnya adalah
merumuskan kebijakan dalam rangka
penyusunan
program
nasional
bagi
perubahan iklim dan menggerakkan seluruh
sumberdaya yang ada untuk ikut berperan
dalam antisipasi dampak perubahan iklim,
baik sebagai program adaptasi maupun
mitigasi.

INTRODUCTION
Background and The Context of Study
Climate change is the real implication of
global warming which continues to affect
human worldwide, include Indonesia. The
occuring climate change must be
addressed with real steps to get full
insights of its process scientifically, include
its cause and impacts to human and
environment. The information obtained on
climate change can be applied to formulate
adaptation and mitigation strategy to
overcome the issue.

Dalam program adaptasi, DNPI juga telah


melakukan beberapa kegiatan studi terkait
kerentanan dan adaptasi di tingkat nasional,
namun belum banyak mengkaji tentang
kerentanan di level messo, yaitu provinsi
padahal data dan informasi kerentanan di
tingkatan messo ini cukup penting untuk
melihat kesiapan pemerintah daerah,

In climate change adaptation program,


DNPI has conducted studies on national
vulnerability and adaptation but has not
done many studies on vulnerability on
messo level, which collect data and
information on provincial level. This data is
quite essential to measure provincial
governments preparedness to anticipate

In order to heighten coordination on


climate change control and strengthen
Indonesias position in international forum
in terms of climate change control, the
Indonesian Government formed National
Committee for Climate Change (DNPI) as
instructed by Indonesia Presidential
Regulation No. 46 Year 2008. DNPI plays
an important role to support the
government commitment to anticipate
climate change. One of its main roles is to
formulate policy on national program for
climate change control and drive all
available resources to participate in
adaptation and mitigation strategy to
overcome climate change.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

khususnya Pemerintah Provinsi dalam the impacts of climate change.


mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Dalam program mitigasi, sejak tahun 2009
DNPI telah melakukan beberapa program
terkait dengan riset dan studi tentang emisi
karbon secara nasional. Selain itu, DNPI
juga aktif berkoordinasi dengan kementerian
teknis yang membidangi sektor-sektor yang
menghasilkan emisi tersebut. Namun,
kegiatan yang menginventarisasi atau
mengidentifikasi kebijakan, peraturan, dan
kelembagaan yang terkait dengan antisipasi
perubahan iklim, baik mitigasi dan adaptasi
di level provinsi, terutama dalam kerangka
sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan
pemerintah
provinsi,
belum
pernah
dilaksanakan
padahal
DNPI
sangat
membutuhkan matriks kebijakan daerah
sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
perumusan kebijakan di pusat.
Oleh karena itu, kegiatan identifikasi tentang
kebijakan dan kelembagaan daerah provinsi
sangat diperlukan untuk memotret dinamika
kebijakan perubahan iklim terkini, khususnya
dengan adanya kebutuhan mendesak untuk
menerapkan sistem pengukuran, pelaporan,
dan verifikasi (Measurement, Reporting, and
Verification/MRV) dalam setiap kegiatan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kajian terhadap tanggapan daerah provinsi
terhadap sistem MRV, yang merupakan
konsep pemantauan yang digunakan dalam
REDD+, kemudian sangat diperlukan untuk
menyempurnakan konsep MRV di level
nasional. Oleh karena itu, untuk menjawab
permasalahan diatas, maka pekerjaan ini
dinamakan Inventarisasi Kebijakan Dan
Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi
Dampak Perubahan Iklim.

In mitigation program, DNPI has conducted


several programs related to research and
study on carbon emissions national level
since 2009. In addition, DNPI has been
coordinating with the technical ministry in
charge of the sectors which produce those
carbon emissions. However, DNPI has
never conducted inventory or identification
on policy, regulation and agency linked to
climate change mitigation and adaptation
on
provincial
level,
especially
in
synchronizing the central and provincial
governments policies on the issue. At this
point, the committee really needs matrix of
provincial
government
policy
as
consideration in formulating the central
government policy.

Maksud, Tujuan, dan Sasaran:


Maksud kegiatan ini adalah potret atau
kondisi terkini dari permasalahan kebijakan,
dan kelembagaan pemantauan kegiatan
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di
daerah provinsi (level messo).

Purpose, Goals, and Objectives:


The Purpose of this project is to portray
latest condition on policy issue and agency
monitoring climate change adaptation and
mitigation activities on provincial level
(messo level).

Tujuan kegiatan ini antara lain:

The Goals of this project are:

Hence,
identification
on
provincial
government policy and agency is urgently
needed to capture the dynamics of latest
climate change policy, especially with the
existence of urgent need to implement
Measurement, Reporting, and Verification
(MRV) in every climate change mitigation
and adaptation. Assessment on provincial
governments feedback on MRV system,
monitoring
concept
implemented in
REDD+, is essential to refine MRV concept
on national level. To answer this problem,
this project is titled Policy Inventory to
Anticipate Climate Change Impacts.

1) Menginventarisasi kebijakan pemerintah 1. Inventory the central and provincial


pusat dan daerah terkait dengan mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim.

governments policies on climate


change mitigation and adaptation.

2) Mengidentifikasi

kondisi kelembagaan 2. Identify the regional agency in charge of


daerah provinsi untuk pemantauan
monitoring climate change mitigation
kegiatan mitigasi dan adaptasi yang
and adaptation activities using MRV

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


menggunakan
(Measurement,
Verification).

konsep
Reporting

MRV
and

concept.

Sasaran dari kegiatan ini adalah:


The Objectives of this project are:
1) Tersedianya
data/informasi
tentang 1. Availability of data/information on the
kebijakan dan peraturan pemerintah
central and provincial governments
pusat dan daerah terkait dengan mitigasi
policies regarding climate change
dan adaptasi dampak perubahan iklim.
mitigation and adaptation.
data/informasi
kondisi 2. Availability of data/information on MRV
kelembagaan MRV eksisting di daerah
agency condition in provincial area,
provinsi, termasuk kompetensi yang
include
its
human
resources
harus dimiliki SDM dalam melakukan
competence in monitoring, reporting
pemantauan dan pelaporan maupun
and verification mitigation or adaptation
verifikasi terhadap suatu kegiatan mitigasi
activity.
atau adaptasi.

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

2) Tersedianya

Wilayah Studi:
Lingkup wilayah studi untuk mencapai tujuan
dan sasaran yang dimaksud, terbagi menjadi
2 (dua) kelompok, yaitu:

Scope:
Scopes of study to achieve the projects
goals and objectives are divided into 2
(two) categories:

1) Kegiatan inventarisasi kebijakan dan 1. Inventory


peraturan pemerintah pusat dan daerah,
wilayah yang akan dikaji dalam kegiatan
ini terdiri dari wilayah nasional dan
wilayah Pulau Kalimantan, yang meliputi
4 (empat) daerah provinsi, yaitu
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat
untuk
lingkup kegiatan
identifikasi
kebijakan dan peraturan. Pemilihan
wilayah Pulau Kalimantan ini disebabkan
karena proporsi luas wilayah hutan dan
lahan gambut yang signifikan secara
nasional serta potensi sumber daya alam
sebagai industri energi di masa depan,
khususnya sumber daya mineral (migas
dan batubara).

Activity on Central and


Provincial Governments Policies and
Regulations in this project consist of 4
(four) provinces, which are South
Kalimantan, Central Kalimantan, East
Kalimantan and West Kalimantan. The
four provinces were chosen for their
large area of forest and peatland which
are significant natural resources
potential for energy industry in the
future, specifically for oil, gas and coal
mining.

2) Kegiatan kajian potensi kelembagaan dan 2. The assessment on agency potential


kompetensi
SDM
dalam
rangka
pemantauan dan pelaporan kebijakan,
rencana dan program terkait mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim, wilayah yang
akan dikaji dalam kegiatan ini terdiri atas
level nasional, dan khususnya 2 (dua)
daerah provinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah. Pemilihan dua
wilayah ini disebabkan karena cukup
banyaknya studi-studi yang terkait
dengan perubahan iklim, khususnya
terkait sektor kehutanan yang memiliki
porsi signifikan terhadap emisi GRK
secara nasional.

and human resources competence in


order to monitor and report policy, plan
and program related to climate change
mitigation and adaptation, there are two
regions to be assessed, which are
South
Kalimantan
and
Central
Kalimantan. The two provinces were
chosen as there are already many
studies conducted related to climate
change, especially in forestry sector
which has significant portion on GRK
emission nationally.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


Luaran Studi:
Dengan adanya kedua kegiatan tersebut,
maka luaran kegiatan ini adalah suatu potret
permasalahan
yang
dihadapi
oleh
Pemerintah Provinsi dalam merencanakan,
melaksanakan maupun memantau kebijakan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Inventarisasi kebijakan menggambarkan
proses perumusan kebijakan pemerintah
provinsi baik adaptasi dan mitigasi yang
sebenarnya terjadi dari pengalaman empat
provinsi di Pulau Kalimantan, dan yang
terakhir
identifikasi
kelembagaan
menghasilkan kondisi kelembagaan dalam
rangka pemantauan terhadap kebijakan
mitigasi dan adaptasi yang ada. Sehingga
pada akhirnya dapat diberikan suatu
kesimpulan
terhadap
potret
kondisi
pemerintah
daerah
provinsi
dalam
penyelenggaraan pengendalian perubahan
iklim,
dan
rekomendasi
kebijakan
selanjutnya.

Secondary Study:
With the two previous factors, assessment
on secondary study is a reflection of issues
being faced by provincial government in
planning, implementation or monitoring
climate change mitigation and adaptation
policy. Policy inventory in four provinces in
Kalimantan will help to describe the
process
of
formulating
provincial
government policy for climate change
mitigation and adaptation program. And
last but not least, institutional identification
describes the current condition with
existing agencies in order to monitor
ongoing implementation of mitigation and
adaptation policy. In the end, the study can
provide clear picture on present provincial
government condition in implementing
climate change management. This study
can also contribute recommendation for
upcoming policy.

INVENTARISASI KEBIJAKAN
Studi kasus: Provinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
dan Kalimantan Timur
Dalam inventarisasi kebijakan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim ini, setidaknya ada
dua level kebijakan yang dikaji, yaitu di level
nasional dan di level provinsi. Untuk level
nasional, inventarisasi dilakukan pada
kementerian/lembaga yang menjadi anggota
dari DNPI, baik kebijakan yang berupa
produk kebijakan (regulation) maupun yang
masih bersifat studi (visioning policy). Untuk
produk kebijakan, yang dikaji dari level
undang-undang sampai dengan peraturan
menteri, apabila ada, yang memiliki
keterkaitan dengan upaya adaptasi maupun
mitigasi perubahan iklim.

POLICY INVENTORY
Case study: West Kalimantan, Central
Kalimantan, South Kalimantan and East
Kalimantan
In policy inventory on climate change
adaptation and mitigation, at least two
levels of policy being assessed, national
and provincial levels. As for national level,
inventory
must
be
conducted
on
ministry/agency which are members of
DNPI, include their regulation and visioning
policy. As for regulation, assessment must
be conducted on constitution to minister
regulation, if available, regulation related to
climate change adaptation or mitigation.

Di level provinsi, inventarisasi juga dilakukan


menyeluruh, namun sebagian besar terbagi
menjadi dua bagian, yaitu produk kebijakan,
baik berbentuk peraturan daerah maupun
peraturan Gubernur, dan rencana strategi
Pemerintah Provinsi, baik yang bersifat
renstra lima tahunan maupun rencana kerja
tahunan. Dokumen kebijakan tersebut
dianalisis untuk mengetahui kesenjangan
kebijakan yang terjadi, khususnya antara
pusat dan daerah. Hasil analisis tersebut
kemudian dituangkan dalam peta kebijakan.

On provincial level, inventory must be


conducted
thoroughly
on
regional
regulation,
governor
regulation
and
provincial government strategic planning
for 5 years period of time or annual. All
documents on climate change policy must
be assessed to figure out ongoing policy
gap between the central and provincial
governments. Report on the analysis will
be included in policy map.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

Matriks Kebijakan di Level Nasional


Berdasarkan hasil kompilasi berbagai
peraturan maupun hasil studi kebijakan pada
kementerian/lembaga yang terkait dengan
kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim, maka temuan tersebut dapat dijelaskan
(tabel 1) sebagai berikut:
1. Peraturan (legal basis), sampai dengan
saat ini belum ada produk UU dan PP
yang secara holistik dan spesifik
mengatur
tentang
penyelenggaraan
perubahan iklim. Isu perubahan iklim
hanya tercantum dalam undang-undang
(UU)
sektor,
seperti
pengelolaan
lingkungan hidup dan perencanaan
pembangunan dan pada tingkatan
Peraturan Pemerintah (PP) tentang
RPJMN, Kawasan Industri, Energi, dan
lain-lain. Sedangkan pada level aksi,
justru terlihat sekali banyak sekali produk
kebijakan yang spesifik sudah ditetapkan
di level Peraturan Presiden (Perpres),
seperti tentang pembentukan DNPI,
invetori GRK, RAN GRK. Namun, pada
level petunjuk pelaksanaan (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis) yang umumnya
berbentuk peraturan menteri, belum ada
produk yang ditemukan terkait atau
spesifik mengatur tentang ketentuan atau
tata cara pelaksanaan kegiatan mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim. Sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa peraturan
yang disusun di level nasional masih
bersifat responsif-aktif terhadap isu
perubahan iklim, namun belum berupa
suatu kerangka kerja jangka panjang
maupun yang bersifat normatif.
2. Studi Kebijakan (belum ada legal basis),
sampai dengan saat ini studi kebijakan
yang telah dilakukan lebih banyak
mengarah pada kegiatan mitigasi yang
berbentuk roadmap maupun strategi.
Beberapa
kementerian
juga
telah
mengemukakan rencana strategisnya,
seperti Green Building oleh Kementerian
Pekerjaan Umum, Green Industry oleh
Kementerian Perindustrian, Clean Energy
Initiative oleh Kementerian ESDM, dan
pemberian fasilitas perpajakan dan
kepabeanan untuk pemanfaatan sumber
energi terbarukan dari Kementerian
Keuangan. Berbagai rencana strategis
tersebut tentunya perlu diperkuat dan
didukung oleh perangkat peraturan teknis

Policy Matrix on National Level


According to compilation result from
various regulation and policy assessment
in ministry/agency related to climate
change adaptation and mitigation policy
(table 1), there are three main points:
1. On legal bases, up until now there is not
a single legislation or government
regulation
which
holisticaly
and
spesificaly regulate actions needed to
cope with climate change. Issues on
climate change are only mentioned on
sectoral regulations, such as Living
Environment
Management
and
Development
Planning
and
on
Government Regulation (PP) regarding
RPJMN, Industrial Sector, Energy and
others. On action level, there are
already many spesific regulations
issued by Presidential Regulation
relating to climate change, include
forming DNPI, GRK, RAN GRK
inventory, and others. However, on
implementation level and technical
instructions which normaly issued by
minister regulation, no single regulation
has been issued to determine
procedures
on
climate
change
mitigation and adaptation. It can be
interpreted that regulation on national
level still serve as responsive-active
towards climate change issue, but a
normative or long-term framework to
combat the issue has not been formed.

2. On policy assessement (non-legal


bases), recent policy study shows that
policy being carried out are mostly
related to climate change mitigation in
form of roadmap or strategy. Several
ministries
have
announced
their
strategic planning, include Green
Building by Public Works Ministry,
Green Industry by Industrial Ministry,
Clean Energy Initiative by Energy and
Mineral
Resources
Ministry
and
providing facilities on tax and excise for
energy resources utilization by Finance
Ministry. All strategic planning must be
strengthen and supported by a set of
technical and operational regulation to
allow easy implementation on all

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


dan operasional sehingga memudahkan
daerah dalam mengimplementasikan
berbagai rencana strategis tersebut.

strategic
planning
government.

by

regional

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

Tabel 1. Matriks Kebijakan Nasional terkait Perubahan Iklim


Table 1. National Policy Matrix on Climate Change

Dalam konteks mitigasi, kebijakan nasional


yang penting untuk ditekankan adalah
penetapan target penurunan emisi dalam
Rencana Aksi Nasional penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dengan
target 26% atas skenario usaha sendiri,
maka paling tidak ada 5 (lima) sektor yang
ditargetkan menjadi kontributor utama, yaitu
pertanian, hutan dan lahan gambut, energi
dan transportasi, industri, serta pengelolaan
limbah.
Berdasarkan
hasil
analisis
keterkaitan Renstra Kementerian terkait
kelima sektor tersebut dengan RAN GRK,
setidaknya ada beberapa kebijakan yang
belum terakomodir (potential gap), yaitu
antara lain:
- Bidang
Pertanian

Penerapan
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB)
melalui pembuatan kompos, arang dan
briket arang.
- Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut
Pengelolaan
lahan
gambut
untuk
pertanian berkelanjutan di Kementerian
Kehutanan dan penyusunan kriteria baku
kerusakan ekosistem gambut
dan
pengendaliannya
di
Kementerian
Lingkungan Hidup.

In mitigation context, national policy


needed to be emphasized is setting target
to reduce emission through National Act for
Green House Gas Emission Reduction
(RANGRK). With target to reduce 26% of
gas emission, there are at least five
sectors act as main contributors include
agriculture, forestry and peatland, energy
and transportation, industrial and waste
management. Based on analysis related to
ministry strategic planning on the five
sectors, there are several policy with
potential gap:

- Agricultural Sector Implementation of


Land Clearing without Fire (PLTB) by
creating compost, charcoal and charcoal
briquettes.
- Forestry and Peatland Sector
Peatland management for sustainable
agriculture by Forestry Ministry and
Formulating Default Criteria on Peatland
Ecosystem
Damage
and
Its
Rehabilitation by Environment Ministry.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


- Bidang Energi dan Transportasi - Energy and Transportation Sector
Congestion Charging and Road Pricing
Congestion Charging and Road Pricing
(dikombinasikan dengan angkutan umum
(combined
with
mass
rapid
massal
cepat)
di
Kementerian
transportation) by Transportation and
Perhubungan
dan
Kementerian
Finance Ministries, plus Training and
Keuangan,
serta
Pelatihan
dan
Socialization on Smart Driving and Non
Sosialisasi Smart Driving dan Non
Motorized Transport by Transportation
Motorized Transport di Kementerian
Ministry.
Perhubungan.
- Bidang Industri Penghapusan Bahan - Industrial Sector Elimination of Ozone
Depleting Subtances (BPO) and force its
Perusak
Ozon
(BPO)
dan
implementation in refrigerant, foam,
implementasinya di industri refrigerant,
chiller and fire extinguisher industries by
foam, chiller dan pemadam api di
Industry and Environment Ministries.
Kementerian
Perindustrian
dan
Kementerian Lingkungan Hidup.
- Bidang
Pengelolaan
Limbah
- Waste Management Sector Utilization
of waste produced from land clearing as
Pemanfaatan limbah hasil pembukaan
substance to make compost, charcoal
lahan untuk bahan pembuatan kompos,
and charcoal briquettes by Environment
arang dan briket arang di Kementerian
Ministry.
Lingkungan Hidup.
Tentu saja, kemudian tuntutan terhadap Furthermore, the demand on these five
kelima sektor ini akan berimplikasi pada sectors will implicate on provincial policy
kebijakan Pemerintah Provinsi, khususnya related to RAD PE GRK.
dalam penyusunan RAD PE GRK.
Sedangkan
dalam
konteks
adaptasi,
kebijakan nasional umumnya lebih bersifat
panduan kepada pemerintah daerah maupun
masyarakat dalam melakukan tindakan
adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
sesuai dengan jenis dan tingkat kerentanan
masing-masing.
Contohnya
adalah
Ketahanan
Pangan
Nasional
oleh
Kementerian Pertanian, pengenalan penyakit
dan kesehatan lingkungan oleh Kementerian
Kesehatan, dan Pengelolaan Sumber Daya
Air oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Faktor spesifikasi wilayah tentunya sangat
menentukan
formulasi
kebijakan
adaptasinya. Dan berdasarkan hasil analisis
pada bagian sebelumnya, yaitu studi kasus
di Gorontalo dan Sulawesi Selatan, diketahui
bahwa pendekatan penyusunan kebijakan
dapat
didasarkan
pada
indeks
kerentanannya. Oleh karena itu, invetarisasi
kebijakan di level provinsi, akan membahas
juga proses dan produk
kebijakan
pemerintah provinsi di Pulau Kalimantan.

Meanwhile on the adaptation context,


national policy generally acts as guidance
for regional government and society to
adapt with climate change impact
according to region vulnerability level. For
example, National Food Resilience by
Agriculture
Ministry,
Environmental
Disease and Health by Health Ministry and
Natural Resources Management by Public
Works Ministry. Each region specific factor
plays important role on adaptation policy
formulation. Based on previous study in
Gorontalo and South Sulawesi, formulating
adaptation policy is based on each region
vulnerability index. Therefore, provincial
policy inventory will also discuss the
process
and
regional
government
regulation in Kalimantan.

Matriks Kebijakan Pemerintah Provinsi


A. Adaptasi Perubahan Iklim
Dalam memetakan kebijakan adaptasi
perubahan iklim, maka faktor yang paling
menentukan adalah jenis dan tingkat

Provincial Policy Matrix


A. Climate Change Adaptation
In mapping policy for climate change
adaptation, the key factors are one region
type and level of vulnerability. As described

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


kerentanan daerah tersebut. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk level
messo, yaitu daerah provinsi, kajian
terhadap kerentanan masih belum banyak
dilakukan di Indonesia sehingga masih
membutuhkan beberapa studi kasus untuk
bisa menetapkan menjadi panduan bagi
daerah. Selain itu, perkembangan data
maupun metodologinya selalu dinamis
sehingga
memerlukan
waktu
untuk
penerapan
standarisasi
penghitungan
kerentanan dan biaya adaptasi.

previously, vulnerability study on messo


level (provincial) has not been widely
conducted
in
the
country.
More
vulnerability study on messo level
(provincial) is needed in order for regional
government to formulate its climate change
adaptation regulation more effectively.
Aside from that, development in data and
methodology stays dynamic. It takes time
to implement vulnerability measurement
and adaptation cost.

Pendekatan indeks kerentanan sebenarnya


akan lebih memudahkan bagi pemerintah
daerah
provinsi
dalam
merumuskan
kebijakan adaptasi bagi daerahnya karena
dari hasil inventarisasi kebijakan adaptasi
pada 5 (lima) sektor pembangunan, yaitu (i)
sumber dan manajemen air bersih, (ii)
properti, barang dan jasa terkait ekosistem,
(iii) pangan, serat, dan produk hutan, (iv)
kesehatan, dan (v) pesisir dan dataran
rendah terdapat beberapa isu kebijakan di
level provinsi yang harus dapat diatasi, yaitu
antara lain:
- Masih belum didukung oleh studi/
penelitian/kajian lokal terkait tingkat
kerentanan dan kapasitas adaptasi
daerah
provinsi,
tercatat
hanya
Kalimantan Timur yang memiliki indeks
kerentanan bencana iklim tertentu.
Namun belum mempertimbangkan unsur
kerentanan sosial dan ekonomi.
- Belum berdasarkan perhitungan biaya
adaptasi perubahan iklim di level provinsi,
khususnya Pulau Kalimantan sehingga
kebijakan adaptasi yang dihasilkan sulit
untuk diukur keberhasilannya karena
cenderung hanya bersifat kualitatif.
- Belum bersifat lintas sektor dan lintas
wilayah, padahal dampak perubahan
iklim tidak mengenal batasan wilayah,
sehingga perlu pemetaan kerentanan
yang holistik.
- Belum terpadu karena ketiadaan kajian
kerentanan dan adaptasi (vulnerability
and adaptation assessment) di level
provinsi.
- Belum mendorong kerja sama antar
Pemerintah
Kabupaten/Kota
ketika
dampak perubahan iklim terjadi lintas
wilayah dan lintas sektor.
- Belum memberikan ruang waktu yang

Based on study in Gorontalo and South


Sulawesi, vulnerability index approach will
be useful for provincial governments to
formulate adaptation regulation for their
regions as based on inventory on 5 (five)
development sectors, which are (i) clean
water resources and management, (ii)
property, goods and service related to
ecosystem, (iii) food, fiber and forestry
goods, (iv) health, and (v) coastal and
lowland, there are several issues on
provincial level need to be overcome:
- Absence in study / research / local
assessment on region vulnerability and
adaptation
capacity.
Only
East
Kalimantan so far recorded vulnerability
index although it is still lack of social
economic vulnerability.
- Absence in climate change adaptation
cost calculation for provincial level,
especially for Kalimantan Island. It will
be difficult to measure adaptation policy
success due to its qualitative trait.

- Absence in climate change study crosssector and cross-region as impacts of


climate change know no boundaries,
therefore holistic vulnerability mapping is
required.
- Absence of integrated vunerability and
adaptation assessment on provincial
level.
- Absence of coordination between
regency and city governments in coping
with climate change impact cross-region
and cross-sector.
- Absence of providing condusive space

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

kondusif bagi masyarakat dan swasta


and time for society and private sectors
untuk berpartisipasi.
to participate in the cause.
- Dapat diintegrasikan dengan kebijakan - Capability to integrate policy on natural
pencegahan
bencana,
khususnya
disaster prevention, especially natural
bencana akibat perubahan iklim (extreme
disaster cause by extreme weather
weather event) untuk mengefisiensikan
event, to drive available resources
sumber daya yang ada di provinsi.
efficiently.
B. Mitigasi Perubahan Iklim
Dalam memetakan kebijakan mitigasi
perubahan iklim di keempat provinsi, maka
setidaknya ada 4 (empat) sektor yang dikaji,
yaitu (i) pertanian, (ii) kehutanan dan lahan
gambut, (iii) industri, transportasi, dan
energi, serta (iv) pengolahan limbah.

B. Climate Change Mitigation


In mapping climate change mitigation
policy in four provinces, there are four
sectors being assessed which are (i)
agricultural, (ii) forestry and peatland, (iii)
industrial, transportation and energy, and
(iv) waste management.

Bidang Pertanian
Berdasarkan
hasil
analisis
terhadap
kebijakan pertanian utama diatas, maka
terdapat beberapa hal yang tidak terkait
(gap) dengan substansi RAN GRK sehingga
perlu dipertimbangkan dalam penyusunan
RAD GRK nantinya, yaitu antara lain untuk:
- Kalimantan Barat, meliputi kebijakan
pengembangan areal perkebunan (sawit,
karet, kakao) di lahan tidak berhutan/lahan
terlantar/lahan terdegradasi (APL) dan
penerapan Pembukaan Lahan Tanpa
Bakar (PLTB) melalui pembuatan kompos,
arang dan briket arang.
- Kalimantan Tengah, meliputi kebijakan
penerapan Pembukaan Lahan Tanpa
Bakar melalui pembuatan kompos, arang
dan briket arang, serta penelitian dan
pengembangan teknologi rendah emisi dan
metodologi MRV sektor pertanian.

Agricultural Sector
Based on analysis on agricultural sector,
there are several factors not related yet to
RAN GRK substances and need to be
considered in upcoming RAD GRK
formulation, which are for:
- West Kalimantan, include policy on
plantation area expansion (palm trees,
rubber, cacao) in non-forestry land/
abandoned land/degraded land and
implementation of Land Clearing without
Fire (PLTB) by creating compost,
charcoal and charcoal briquettes
- Central
Kalimantan,
include
implementation of Land Clearing without
Fire (PLTB) by creating compost,
charcoal and charcoal briquettes plus
research and development on lowemission
technology
and
MRV
methodology in agricultural sector.

- Kalimantan Timur, meliputi: kebijakan - East Kalimantan, include policy on


pengembangan areal perkebunan (sawit,
plantation area expansion (palm trees,
karet, kakao) di lahan tidak berhutan/lahan
rubber, cacao) in non-forestry land/
terlantar/lahan
terdegradasi
(APL),
abandoned land/degraded land (APL);
pemanfaatan kotoran/urine ternak dan
utilization of livestock feces/urine and
limbah pertanian untuk biogas, biofuel dan
agriculture waste for biogas, biofuel and
pupuk
organik,
penelitian
dan
organic
fertilizer;
research
and
pengembangan teknologi rendah emisi,
development
on
low-emission
metodologi
MRV
sektor
pertanian,
technology and MRV methodology in
pengawasan pemanfaatan ruang dan
agricultural sector; monitoring and
evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan
evaluation on land use based on its
daya
dukung
dan daya
tampung
integrated
carrying
capacity
and
lingkungan yang terpadu dan bersifat lintas
environment capacity which have cross
K/L, serta penelitian dan pengembangan
K/L trait; along with research and
teknologi rendah emisi, metodologi MRV
development
on
low-emission
pada areal pertanian di lahan gambut.
technology and MRV methodology in
agricultural sector for peatland.
Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

- Kalimantan Selatan, meliputi: kebijakan - South Kalimantan, include utilization of


pemanfaatan kotoran/urine ternak dan
livestock feces/urine and agriculture
limbah pertanian untuk biogas, biofuel dan
waste for biogas, biofuel and organic
pupuk organik serta penelitian dan
fertilizer; research and development on
pengembangan teknologi rendah emisi
low-emission technology and MRV
serta pengembangan metodologi MRV
methodology in agricultural sector.
sektor pertanian.
Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut
Berdasarkan
hasil
analisis
terhadap
kebijakan hutan dan lahan gambut utama di
atas, maka terdapat beberapa hal yang tidak
terkait (gap) dengan substansi RAN GRK
sehingga perlu dipertimbangkan dalam
penyusunan RAD GRK nantinya, yaitu
antara lain untuk:
- Kalimantan Barat, meliputi kebijakan
pengelolaan ekosistem gambut provinsi,
inventarisasi dan pemetaan kesatuan
hidrologis ekosistem gambut, inventarisasi
dan pemetaan karakteristik ekosistem
gambut, dan peningkatan, rehabilitasi dan
pemeliharaan jaringan reklamasi rawa.
- Kalimantan Tengah, meliputi kebijakan
pengelolaan
ekosistem
gambut
berkelanjutan dan pengendalian kerusakan
ekosistem gambut, pembentukan Tim
Koordinasi
Penyusunan
Perencanaan
Lahan Rawa Berkelanjutan, percepatan
penetapan Perda RTRW Provinsi dan
Kab/Kota berbasis KLHS, dan penyusunan
Perpres Kawasan Strategis Nasional dan
RTR Pulau serta RTRW Sungai.
- Kalimantan Timur, meliputi kebijakan
pembangunan
Kesatuan
Pengelolaan
Hutan (KPH), pengelolaan Ekosistem
Gambut Provinsi, peningkatan, rehabilitasi
dan pemeliharaan jaringan reklamasi rawa
(termasuk lahan bergambut yang sudah
ada), percepatan Penetapan Perda RTRW
Provinsi dan Kabupaten/Kota berbasis
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS),
Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian
berkelanjutan, serta rehabilitasi, reklamasi
dan revitalisasi lahan gambut terlantar,
terdegradasi, pada areal pertanian.
- Kalimantan Selatan, meliputi kebijakan
penjaminan hutan desa, pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan, peningkatan
Usaha Hutan Tanaman, dan pengukuhan
Kawasan Hutan.

Forestry and Peatland Sector


Based on analysis on forestry and peatland
policy, there are several factors not related
yet to RAN GRK substances and need to
be considered in upcoming RAD GRK
formulation, which are for:
- West Kalimantan, include policy on
Peatland
Ecosystem
Management,
Inventory and Integrated Peatland
Hydrology Ecosystem Mapping; plus
rehabilitation and conservation of
swamp reclamation.
- Central
Kalimantan,
include
management policy on sustainable
peatland ecosystem and rehabilitation of
peatland ecosystem damage; form
Coordinating Team for Drafting Plan on
Sustainable
Swamp
Conservation;
accelerate establishment of provincial
and regency/city regulation with KLHS
basis; and formulation of Presidential
Regulation on National Strategic and
Island Spatial Area and River Spatial
Area Planning.
- East Kalimantan, include development
policy on Forest Management Unit
(KPH); Province Peatland Ecosystem
Management;
swamp
reclamation
improvement,
rehabilitation
and
conservation (include existing peatland);
accelerate establishment of provincial
and regency/city regulation on spatial
area planning based on Strategic
Environmental Assessment (KLHS);
peatland management for sustainable
agriculture,
include
rehabilitation,
reclamation
and
revitalization
of
abandoned and degraded peatland in
agriculture area.
- South Kalimantan, include guarantee
policy for village forest, forming Forest
Management Unit, increase in Forest
Plant Enterprise and inauguration of
Forestry Area.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

10

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


Bidang Energi, Transportasi, dan Industri
Beberapa kebijakan yang tidak terkait
dengan substansi RAN GRK sehingga perlu
dipertimbangkan dalam penyusunan RAD
GRK nantinya, yaitu antara lain untuk:
Kalimantan Barat, meliputi kebijakan
audit energi, program lampu hemat
energi, pemanfaatan biogas, penyusunan
kebijakan teknis pengurangan emisi CO2
di industri semen dan baja, fasilitasi dan
insentif pengembangan teknologi low
carbon dan ramah lingkungan di industri
semen dan baja, serta konservasi dan
audit energi industri semen dan baja.
Kalimantan Tengah, meliputi kebijakan
audit energi dan program lampu hemat
energi, pembangunan kilang mini plant
LPG dan monitoring pasokan gas bumi,
pembangunan/peningkatan & preservasi
jalan, penyusunan dan pengembangan
roadmap/peta jalan Green Industry dan
implementasinya, pengujian pada seluruh
kendaraan bermotor termasuk kendaraan
pribadi dan sepeda motor, standar emisi
CO2 untuk mobil penumpang.
Kalimantan Timur, meliputi kebijakan
program
lampu
hemat
energi,
pemanfaatan
biogas,
peningkatan
sambungan rumah yang teraliri gas bumi
melalui pipa, pembangunan kilang mini
plant LPG, pembangunan ITS, penerapan
Traffic Impact Control/TIC, reformasi
sistem
transit
(BRT/semi
BRT),
peremajaan armada angkutan umum,
dan
pemasangan
Converter
Kit
(Gasifikasi angkutan umum).
Kalimantan Selatan, meliputi program
lampu hemat energi, pembangunan
kilang mini plant LPG dan monitoring
pasokan gas bumi (periode 2015-2020),
reklamasi lahan pasca tambang, dan
penyusunan klasifikasi data potensi dan
cadangan
panas
bumi
untuk
ketenagalistrikan
dan
pemanfaatan
langsung energi panas bumi.

Energy, Transportation and Industrial


Sector
There are several factors not related yet to
RAN GRK substances and need to be
considered in upcoming RAD GRK
formulation, which are for:
West Kalimantan, include Energy Audit,
Compact Fluorescent Lamp Program,
Biogas utilization, form technical policy
to reduce CO2 emission in cement and
steel industries; provide facility and
incentive
for
low
carbon
and
environmental
friendly
technology
development in cement and steel
industries; and Conservation and
Energy Audit for cement and steel
industries.
Central Kalimantan, include Energy
Audit and Compact Fluorescent Lamp
Program; build LPG mini plant refinery
and monitor natural gas supply; road
development/increase and preservation;
Green Industry road map drafting and
development and its implementation;
conduct CO2 emission on public and
private vehicles.
East Kalimantan, include Compact
Fluorescent Lamp Program; Biogas
utilization; increase number of housing
pipe being flown by natural gas; build
LPG plant refinery; build ITS; Traffic
Impact Control/TIC Implementation;
Reform Transit System (BRT/semi
BRT); rejuvenize public transportation;
and Coverter Kit instalation (public
transportation Gasification).
South Kalimantan, include Compact
Fluorescent Lamp Program; build LPG
mini plant refinery and monitor natural
gas supply (20152020 period); land
reclamation after mining; draft and
classify potential and geothermal supply
for electricity and direct utilization of
geothermal energy.

Bidang Pengelolaan Limbah


Beberapa kebijakan yang tidak terkait
dengan substansi RAN GRK sehingga perlu
dipertimbangkan dalam penyusunan RAD
GRK nantinya, yaitu antara lain untuk:
- Kalimantan
Tengah,
meliputi
pembangunan sarana prasarana air limbah

Waste Management Sector


There are several factors not related yet to
RAN GRK substances and need to be
considered in upcoming RAD GRK
formulation, which are for:
- Central Kalimantan, include building
waste water infrastructure with on-site

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

11

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

dengan sistem on-site dan pembangunan


system and final waste disposal site and
TPA dan pengelolaan sampah terpadu 3R.
3R integrated waste management.
- Kalimantan Timur, meliputi pembangunan - East Kalimantan, include building waste
sarana prasarana air limbah dengan sistem
water infrastructure with on-site system
on-site dan pembangunan TPA dan
and final waste disposal site and 3R
pengelolaan sampah terpadu 3R.
integrated
waste
management
infrastructure.
- Kalimantan
Selatan,
meliputi
pembangunan sarana prasarana air limbah - South Kalimantan, include building water
dengan sistem on-site dan off-site (untuk
infrastructure with on-site and off-site
sistem off-site Banjarmasin diprioritaskan
system
(For
off-site
system
in
pada
periode
2015-2020),
serta
Banjarmasin is set for period 2015
pembangunan TPA, pengelolaan sampah
2020), final waste disposal site and 3R
terpadu 3R, Provinsi Kalimantan Selatan
integrated
waste
management
ditetapkan untuk dapat mengembangkan
infrastructure (South Kalimantan is set to
TPA dengan konsep sanitary landfill di
develop its own final waste disposal site
enam lokasi yang ditetapkan sendiri oleh
with sanitary landfill concept in six
pemerintah provinsi tersebut.
locations).
Analisis Kondisi Kebijakan Mitigasi
Analysis on Province Mitigation Policy
Provinsi
Condition
Kondisi kebijakan mitigasi di empat provinsi Analysis on mitigation policy in four
di Pulau Kalimantan dapat dipetakan melalui provinces in Kalimantan Island can be
tiga faktor, yaitu keberadaan produk hukum, explained with three factors, which are
kelembagaan, dan program. Ketiga faktor existence of legislation, agency and
tersebut dibedakan atas dua jenis, yaitu program. The three factors can be
spesifik dan terkait. Spesifik, apabila berupa classified into two categories, specific and
kegiatan mitigasi, sedangkan terkait, apabila related. Specific refers to mitigation activity
memiliki keterkaitan tidak langsung dengan while related refers to indirect activity
mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan hasil concerning climate change mitigation.
inventarisasi di keempat provinsi di Pulau Based on inventory in the four provinces in
Kalimantan, maka dapat diinterpretasikan Kalimantan, it can be concluded that
bahwa Provinsi Kalimantan Tengah dan Central Kalimantan and East Kalimantan
Kalimantan Timur relatif lebih maju dalam are slightly more advanced in mitigation
pengembangan kebijakan mitigasi.
policy development.
Tabel 2. Kondisi Kebijakan Mitigasi Provinsi
Table 2. Province Mitigation Policy Condition
Kalimantan
Timur/
East
Kalimantan

Kalimantan
Barat/
West
Kalimantan

Kalimantan
Tengah/
Central
Kalimantan

Kalimantan
Selatan/
South
Kalimantan

Produk hukum spesifik/Specific regulation

X*

Produk hukum terkait/Related regulation

Kelembagaan spesifik/Specific agency

**

Kelembagaan dengan tupoksi mengenai perubahan


iklim/Agency with main task and agenda concerning
climate change

Program spesifik/Specific program

Program terkait/Related program

Aspek/Aspect

*) masih dalam tahap penyusunan Perda/Still in regional regulation drafting stage


**) kinerja Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) belum optimal/Regional Council for Climate
Change (DDPI) shows low performance
Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

12

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


Oleh
karena
itu,
apabila
dianalisis
kebelakang (retrospektif), maka secara
umum permasalahan kebijakan mitigasi
provinsi dapat diuraikan sebagai berikut:
- Kebijakan mitigasi perubahan iklim masih
berada dalam tataran perencanaan
(planning policy), belum sampai pada
tahap implementasi (action).
- Kebijakan yang ada sangat tergantung dari
pengetahuan yang dimiliki oleh aktor
pembangunan, sehingga proses tukar
menukar
informasi
menjadi
kunci
berkembangnya kebijakan mitigasi di
daerah.
- Kebijakan mitigasi di daerah masih bersifat
penjabaran dari kebijakan pusat dan
sangat bergantung dengan kemauan
pemerintah daerah (government driven),
belum banyak inisiatif NGO atau swasta,
kecuali di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.
- Kebijakan mitigasi REDD+ dan LULUCF
belum menjadi domain dari Pemerintah
Provinsi di Pulau Kalimantan, kecuali
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Through retrospective analysis, provincial


mitigation policy can be described as:
- Climate change mitigation policy is still
in planning policy stage and has not
reach implementation stage (action).
- Mitigation policy is very dependant on
information
owned
by
developer
therefore knowledge sharing plays a key
role for regional mitigation policy
development.
- Regional mitigation policy still elaborate
the central government policy and very
dependant on regional government will
(government driven). NGO or private
sectors have not shown many initiative,
except Central Kalimantan and East
Kalimantan.
- Mitigation policy REDD+ and LULUCF
have not become domain from local
government in Kalimantan, except
Central
Kalimantan
and
East
Kalimantan.

Dengan demikian, Pemerintah Provinsi perlu


mengembangkan
beberapa
kebijakan
sebagai berikut, yaitu:
- Meningkatkan kapasitas personil yang
berperan didalam pengelolaan perubahan
iklim agar dapat melaksanakan kewajiban
yang diamanatkan oleh pusat.
- Berperan sebagai aktor utama dalam
penyelarasan target penurunan emisi antar
pusat-daerah.
- Melakukan inventarisasi GRK serta
melakukan perhitungan potensi reduksi
emisi untuk wilayahnya secara koordinatif
dengan Pemerintah.
- Mengusulkan kontribusi penurunan emisi
GRK sesuai spesifik wilayah dan sektor
dominannya.
- Menyiapkan
kelembagaan
MRV
(Measurement, Reporting, and Verification)
dan proses evaluasi untuk melihat
kontribusi nyata kegiatan mitigasi dalam
penurunan emisi GRK.
- Mendorong
partisipasi
Pemkab/Kota,
swasta dan masyarakat dalam upaya
menurunkan emisi GRK melalui perangkat
insentif daerah.

In conclusion, provincial governments need


to develop several policies, which are:
- Increase number of human resources
involved in climate change management
to carry out obligation assigned by the
central government.
- Act as main actor to align emission
reduction target between central and
regional government.
- Conduct GRK inventory and calculate
potential emission reduction for each
region to later on coordinate with
regional government.
- Propose contribution to reduce GRK
emission according to region spesific
target.
- Prepare MRV agency (Measurement,
Reporting,
and
Verification)
and
evaluation process to see the real
contribution in mitigation act to reduce
GRK emission.
- Drive participation from regency/city,
private sector and society in effort to
reduce GRK emission rate.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

13

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

IDENTIFIKASI KELEMBAGAAN MRV


Studi kasus: Provinsi Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Selatan
Dalam rangka mengantisipasi dampak
perubahan iklim, dibutuhkan suatu tindakan
konkrit bagaimana mengurangi emisi dan
meningkatkan daya adaptasi daerah agar
tindakan (program) adaptasi dan mitigasi
berjalan sesuai dengan target. Oleh karena
itu, diperlukan satu sistem pengukuran yang
obyektif dan terstandarisasi untuk dapat
menilai suatu tindakan atau program dari
adaptasi atau mitigasi. Sistem MRV
(Measurement, Reporting, and Verification)
pada awalnya merupakan instrumen yang
dikembangkan oleh Pemerintah untuk dapat
memastikan keseragaman cara pengukuran,
pelaporan, dan verifikasi terhadap setiap
kegiatan
REDD+.
Namun
kemudian,
kebutuhan
sistem
pengukuran
untuk
kegiatan mitigasi maupun adaptasi lainnya
sangat tinggi, terutama dalam rangka
memantau perkembangan kegiatan adaptasi
dan mitigasi didaerah. Di level nasional
sendiri, Pemerintah sedang mencari format
yang baku, khusus untuk REDD sedang
dikembangkan oleh Satgas REDD+, untuk
kegiatan mitigasi dan adaptasi yang lain
karena memang sampai dengan saat ini
belum ada teknik pengukuran yang baku.

MRV AGENCY IDENTIFICATION


Case study: Central Kalimantan and
South Kalimantan
In effort to anticipate climate change
impacts, a concrete action is needed to
reduce emission rate and increase regional
adaptation capability in order for climate
change adaptation and mitigation program
being carried out effectively. An objective
and standardized measurement system is
needed to value activity or program for
climate change adaptation or mitigation.
MRV system (Measurement, Reporting
and Verification) serves as an early
instrument, which was later on developed
by the central government to align
measurement, reporting and verification
process on every REDD+ activity.
However, the demand for measurement
system of mitigation and adaptation activity
is very high, especially to monitor
development of adaptation and mitigation
activity in regional. On national level, the
government is looking for a standard
format, especially for REDD which is being
developed by REDD working group, to
measure mitigation and adaptation activity.

Untuk mengembangkan sistem MRV,


tentunya tidak lepas dari ketersediaan
mekanisme kelembagaan dan sumber daya
manusia yang ada. Sebagai jembatan antara
Pemerintah dengan Pemerintah Kabupaten/
Kota dalam era otonomi daerah saat ini,
maka Pemerintah Provinsi memegang peran
penting dalam rangka pengembangan sistem
tersebut. Dengan segala sumber daya yang
ada, sebenarnya MRV dapat dikembangkan
dengan memanfaatkan infrastruktur dan
SDM yang sudah ada, tentunya dengan
berbagai perbaikan dan penambahan
kapasitas. Oleh karena itu, persepsi
Pemerintah Provinsi sangat dibutuhkan
dalam membangun system pengukuran,
pelaporan, dan verifikasi kegiatan adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim.

To develop MRV system, the availability of


agency mechanism and human resources
plays important role. As bridge between
central and regency/city governments in
autonomy era, provincial government hold
important role to develop MRV system.
With all available resources in account,
MRV system can be developed by using
available
infrastructure
and
human
resources
and
add
in
necessary
improvement.
Provincial
government
perception is crucial in improving
measurement, reporting and verification
process for climate change adaptation and
mitigation.

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan


dalam mengembangkan MRV di daerah
provinsi, yaitu:
- Koordinasi terpadu, mengingat besarnya
peran mitigasi dan adaptasi dalam

There are several factors need to be


highlighted in improving MRV system on
provincial level:
- Integrated Coordination, considering the
important role of mitigation and

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

14

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


perubahan iklim, terbatasnya penanganan,
adaptation in coping with climate change
tatanan
kelembagaan
harus
and limited managament, institutional
memungkinkan
kemampuan
saling
order must show excellent coordination
berkoordinasi baik secara vertikal (dengan
vertically (with national and local
kementerian-lembaga dari nasional hingga
ministries/agencies) and horizontally
lokal/daerah) maupun secara horizontal
(with NGO, private sector and sectoral
(dengan departemen sektoral sampai
ministries).
dengan swasta, NGO).
- Menyeluruh, tatanan kelembagan harus - Comprehensive, institutional order must
cover climate change mitigation and
mencakup kegiatan mitigasi dan adaptasi
adaptation program.
terkait dengan dampak dari perubahan
iklim.
- Otonomi Daerah, sesuai dengan era - Regional Autonomy, institutional order
otonomi
daerah,
maka tatanan
must be based on regional autonomy
kelembagaan harus dilandaskan pada
with consideration each government has
prinsip bahwa pemerintah mempunyai
their own accountability on local
akuntabilitas pada konstituen terdekatnya,
constituent. All institutional order must
sehingga
semua
tatanan
harus
reflect this dynamic.
mencerminkan dinamika ini.
- Peran Serta Masyarakat, masyarakat - Society Participation, society has right
mempunyai hak dan kewajiban yang
and obligation as part of their basic
melekat pada hidup dan kehidupan mereka
human rights in this democratic system.
sebagai pengejawantahan demokrasi dan
hak asasi manusia.
Analisis Kelembagaan MRV Provinsi
Dalam mengkaji aspek kelembagaan MRV di
daerah provinsi, analisis dilakukan untuk
setiap fungsi yang melekat di lembaga MRV,
yaitu Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi.
Analisis dimulai dengan identifikasi kondisi
eksisting dari sistem kelembagaan yang
sudah berjalan, meliputi regulasi, SDM,
sarana, dan informasi. Setelah itu dilanjutkan
dengan analisis kebutuhan kelembagaan
terkait fungsi M, R, dan V, serta rekomendasi
kelembagaan MRV dari perspektif daerah
provinsi.

Analysis on MRV Provincial Agency


In MRV Provincial Institutional assessment,
analysis must be conducted on every
function
attached
to
the
agency,
Measurement, Reporting and Verification.
Analysis begins with identifying existing
condition at agency; include its regulation,
human resources, infrastructure and
information. Further analysis must be
conducted to measure M, R, and V
function and elaborate other regional
agency input and perspective on MRV
system.

Kelembagaan Eksisting
Kondisi kelembagaan pengendalian dampak
perubahan iklim antara Daerah Provinsi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
relatif berbeda, khususnya dari aspek
keberadaan lembaga khusus perubahan
iklim, perencanaan pengelolaan dampak
perubahan
iklim,
pelaksanaan
dan
pembiayaan kegiatan perubahan iklim,
pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta
pengawasan kegiatan. Tabel 3 di bawah ini
menjelaskan perbedaannya.

Existing Agency
Condition of controlling agency for climate
change impact in South Kalimantan and
Central Kalimantan relatively different,
especially from existence on special
climate change agency, management
planning for climate change impact,
budgeting for climate change program,
program monitoring and evaluation.
Table 3 below describes the difference.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

15

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


Tabel 3. Kondisi Kelembagaan Perubahan Iklim di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
Table 3. Institutional Conditions of Climate Change in
South Kalimantan and Central Kalimantan

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

Aspek/
Aspect

Kalimantan Selatan/
South Kalimantan

Kalimantan Tengah/
Central Kalimantan

Instansi Khusus/
Special Agency

Tidak ada/
None

Ada, DDPI (Dewan Daerah Perubahan


Iklim) dan Komda REDD+/
Climate Change Regional Agency (DDPI)
and REDD+ Regional Commission

Perencanaan/
Planning

Terpisah, pada masing-masing SKPD/


Separate, on each SKPD

Khusus REDD+ grand desain dikoordinasi


oleh Komda REDD+; DDPI belum optimal/
Climate Change Regional Agency (DDPI)
and REDD+ Regional Commission show
poor performance on REDD+ grand design

Pelaksanaan/
Implementation

Masing-masing dinas, terutama Dinas


Perhubungan, Energi, Pertanian,
Perkebunan, Kehutanan, BP DAS,
BKSDA, BPBD, Balai Rawa,BLHD/
Each agency, especially Transportation,
Energy, Agriculture, Plantation, Forestry,
BP DAS, BKSDA, BPBD, Swamp Hall,
BLHD

Masing-masing dinas, terutama Dinas


Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas
Energi dan SDM, dan BLHD/
Each agency, especially Energy and
Human Resources, Plantation, Forestry
and BLHD

Pemantauan dan evaluasi/


Monitoring and evaluation

Berkoordinasi dengan
Kementerian/Lembaga Teknis/
Coordinate with Ministry/Technical
Agency

Berkoordinasi dengan
Kementerian/Lembaga Teknis/
Coordinate with Ministry/Technical Agency

Pengawasan/
Monitoring

BLHD untuk bidang lingkugan, yang lain


oleh masing-masing SKPD/
Environment Agency for environmental
issue while others are being monitored by
each SKPD

Pengawasan internal oleh masing-masing


SKPD sendiri/
Internal monitoring by each SKPD

Berdasarkan hasil identifikasi di atas, maka


terlihat bahwa Kalimantan Tengah mencoba
menerapkan sistem kelembagaan baru untuk
mengoptimalkan kegiatan mitigasi dan
adaptasi di wilayahnya. Pembentukan DDPI,
yang diikuti dengan pembentukan KOMDA
REDD
dan
kantor
pendukungnya
menyiratkan
tingginya
perhatian
dan
komitmen
kepala
daerah
terhadap
penyelenggaraan pengendalian perubahan
iklim di Kalimantan Tengah. Selain itu,
Kalimantan
Tengah
juga
tengah
mempersiapkan
Rancangan
Peraturan
Daerah tentang perubahan iklim yang
diperkirakan akan rampung akhir tahun ini.
Adapun
faktor
yang
mempengaruhi
perubahan kelembagaan tersebut ada dua,
yaitu faktor eksternal, yaitu dengan adanya
program percontohan REDD+ dimana
lembaga adhoc Satgas REDD+ hanya

Previous report indicates that Central


Kalimantan
is
implementing
new
institutional order to optimize climate
change adaptation and mitigation program
in its region. Presence of Climate Change
Regional Agency (DDPI), followed by
formation of REDD Regional Commission
and their supporting office indicate the
regional government high attention and
commitment in controlling climate change
in the province. Moreover, Central
Kalimantan has also prepared Regional
Regulation Bill on Climate Change which is
set to be ratified by end of 2012. Two
factors affecting the agency changes are
external; existence of REDD+ pilot project
which triggered the formation of REDD
Regional Commission as its local partner;
and internal factor which is influenced by
Central Kalimantan Governor leadership.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

16

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


berusia dua tahun, sementara untuk
implementasi program REDD+ butuh partner
daerah, oleh karena itu terbentuklah KOMDA
REDD. Sedangkan faktor internal lebih
disebabkan karena faktor kepemimpinan
Gubernur
Kalimantan
Tengah
yang
menginginkan adanya Dewan Daerah
Perubahan Iklim seperti halnya DNPI di level
nasional.

The province governor initiated the


formation of Climate Change Regional
Agency similar to Climate Change National
Agency (DNPI).

Beda halnya dengan Kalimantan Selatan


yang lebih fokus pada kelembagaan
eksisting, yaitu dengan mengandalkan
keberadaan dinas-dinas yang ada dengan
beragam program mitigasi dan adaptasinya
masing-masing. Keberadaan leading sector
sendiri masih belum eksplisit ditetapkan
pada BLHD karena untuk sebagian urusan
seperti perencanaan dan penganggaran
masih terpusat di Bappeda. Oleh karena itu,
koordinasi kegiatan mitigasi dan adaptasi
belum dilakukan secara spesifik di
Kalimantan Selatan.

Meanwhile South Kalimantan focuses


more on existing agency by depending on
existing agencies for their climate change
mitigation
and
adaptation
program.
However, Environment Agency has not
been appointed as leading sector to tackle
climate change issue. Climate change
program planning and budgeting is still
centralized in Regional Development
Planning Agency (Bappeda). Therefore,
coordination for climate change mitigation
and adaptation program is not being
carried
out
specifically
in
South
Kalimantan.

Kelembagaan Pengukuran (M)

Agency Measurement (M)


A. Data
1. Tabular data is obtained from Central
Statistic Bureau (BPS) but report on
environment
pollution
impact
is
provided by Environment Agency.
2. Data on pollution is not calculated
specifically in green house emission
measurement unit.
3. Usage of spatial data is only applied in
vector data and raster data (satellite
imagery data/remote sensing). Limited
budget hampers the usage of spatial
data regularly.
4. Agencies in Central Kalimantan and
South Kalimantan are not included in
Regional Spatial Data Network (JDSD).

A. Data
1. Data tabular didapatkan dari BPS, namun
pengukuran
dampak
(pencemaran
lingkungan) sudah ada di BLHD.

2. Data pencemaran belum spesifik pada


satuan ukuran emisi gas rumah kaca.
3. Penggunaan data spasial baru pada data
vektor dan sedikit menggunakan data
raster (data citra satelit/penginderaan
jauh) masih terbatas, terkendala pada
ketersediaan
anggaran
Pemerintah
Daerah, belum secara reguler.

4. Instansi/lembaga daerah di Kalimantan


Tengah dan Kalimantan Selatan belum
masuk dalam simpul JDSD (Jaring Data
Spasial Daerah).

B. Technology
B. Teknologi
1. Perangkat GIS (hardware dan software) 1. The available
sudah ada tetapi masih sangat standar
atau dengan spesifikasi minimum,
terkendala dengan alokasi pembiayaan di
daerah. Netware (web GIS) untuk sharing
informasi ke instansi lain belum
dilakukan.
2. Pemantauan lapangan sudah fasih
menggunakan GPS, tapi masih terbatas
pada skala peta yang kecil.

GIS hardware and


software have minimum standard due
to limited regional budget. Netware
(web GIS) for information sharing to
other
agency
has
not
been
implemented.

2. Field observation is already using GPS


but in small scope.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

17

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


3. Perangkat

pengukuran
masih terbatas.

yang

dimiliki
3. Available measurement equipments are
low standards.

C. Survey lapangan
Data time series, up-to-date dan akurat
hanya pada aspek pencemaran lingkungan
sesuai Kepmen LH, belum ada data yang
dapat digunakan untuk mengetahui berapa
emisi karbon yang dikeluarkan oleh sektor
dan tindakan adaptasi yang sudah
dilaksanakan di Kalimantan Selatan. Untuk
Kalimantan Tengah, sudah fokus pada
REDD.

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

D. Sumberdaya Manusia (SDM)


Aparatur Pemda masih belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam
menghitung emisi GRK ataupun emisi
karbon dan melaporkan kegiatan adaptasi
oleh masyarakat dan pemerintah dalam
standar format laporan yang sama, dan
terverifikasi dengan obyektif.
Kelembagaan Pelaporan (R)

A. Bentuk Laporan
1. Format laporan antar SKPD berbedabeda, sulit untuk dintegrasikan.

2. Secara time series, Laporan SKPD selalu


berubah-ubah, tidak konsisten.
3. Sosialisasi
laporan
masih
menggantungkan pada penggandaan
(copy cetak), hanya 1-2 SKPD yang
sudah versi digital.

B. Teknologi
1. Pembuatan laporan sudah menggunakan
komputer, tetapi juga
menggunakan mesin tik.

ada

yang

2. Pengisian form masih manual, belum


online.

3. Teknologi

GIS belum dimanfaatkan


dalam pelaporan, khususnya informasi
keruangan.

4. Perangkat pencetakan laporan sudah


memadai
(Printer
khususnya Bappeda.

besar,

Plotter)

C. Mekanisme Pelaporan
1. Laporan dilakukan secara bulanan dan
direkap setiap tahun.

2. Laporan diberikan kepada Gubernur via


Bappeda Provinsi.

C. Fields Observation
Time series, up-to-date and accurate data
only reported on environment pollution as
instructed by Environment Minister. There
is no specific report on carbon emission
and action taken to reduce emission in
South Kalimantan. As for Central
Kalimantan, the regional government is
focuses on REDD.
D. Human Resources
Regional government officials do not have
knowledge and skills to calculate GRK
emission or carbon emission and compose
report on society and local government
adaptation activity in verified standard
format.
Reporting Agency (R)
A. Report Form
1. Reporting form among each SKPD
varies and difficult to integrate.
2. In time series, report compiled by SKPD
always change and inconsistent.
3. Report distribution still depends on
duplication of reports instead of
distributing in digital format. Only one to
two SKPD use digital format.
B. Technology
1. Report writing is using computer but
several agencies still use typewriter.
2. Filling form is still being conducted
manually, not online.
3. GIS
technology
is
not
being
implemented
in
writing
report,
especially information on spatial.
4. Equipments to print out report are
sufficient (big printer, plotter, etc),
especially in Regional Development
Planning Agency (Bappeda).
C. Reporting Mechanism
1. Report is conducted monthly and being
recapped annually.
2. Report is handed to governor through
provincial Bappeda.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

18

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

3. Laporan kerja SKPD Provinsi belum


terintegrasi dengan yang dilakukan oleh
SKPD Kabupaten.

4. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam satu


Provinsi tidak memberikan laporan
kepada gubernur secara berkala, kecuali
dalam hal statistk (BPS).

D. Sumberdaya Manusia (SDM)


1. Aparatur Pemerintah Provinsi

belum
memiliki sikap (attitude) yang baik,
menempatkan laporan sebagai tanggung
jawab secara efektif dan transparan.

2. SDM

pemerintah
provinsi
hanya
memandang
laporan
sebagai
pertanggungjawaban administratif.

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

Kelembagaan Verifikasi (V)

A. Tingkat Akurasi informasi Laporan


1. Belum ada standarisasi tingkat akurasi
dari
suatu
pencatatan
maupun
perekaman data di lapangan, kecuali
untuk pengukuran tingkat kualitas udara.
2. Tingkat akurasi peta masih dalam skala
kecil, yaitu 1:250.000 yang digunakan
dalam RTRW provinsi, belum ada
keseragaman format dalam tingkat
kedalaman 1:50.000 untuk kabupaten.

B. Verifikator
Belum ada instansi/lembaga/badan yang
menjadi verifikator setiap pelaporan hasil
kegiatan sektor dalam konteks adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim. Hanya
untuk masalah keuangan oleh Badan
Keuangan
Daerah
dan
masalah
koordinasi perencanaan oleh Bappeda.

C. Mekanisme Verifikasi
Tidak seperti di Pusat, yang memiliki
UKP4 untuk memastikan mekanisme
verifikasi sektor. Di daerah provinsi belum
ada unit khusus yang melakukan
penilaian keakuratan laporan dari masingmasing dinas kepada Gubernur.

D. Sumberdaya Manusia (SDM) Verifikator


Belum terlihat adanya fungsi khusus yang
spesifik didalam kelembagaan pemerintah
daerah pada aparatur tertentu untuk
melakukan tugas verifikasi terhadap
program
pemerintah
atau
inisiatif

3. Working report on provincial official


performance is not well-integrated like
working report on regional official
performance.
4. Regency/city governments within one
province do not hand in report to
governor periodical except in statistical
form.
D. Human Resources
1. Provincial Government officials do not
have proper attitude in terms of
prioritizing report and writing effective
and transparent report.
2. Provincial Government officials only see
report as their administrative duty.
Verification Agency (V)
A. Report Accuracy Level
1. There is not a single accuracy
standardization on writing or recording
data on field, except for air quality
measurement.
2. Map accuracy level in small scale are
1:250,000, used in neighborhood unit,
and 1:50,000 used in regency.

B. Verificator
There is no single institution/agency/
unit acting as verificator for reports on
climate
change
mitigation
and
adaptation. Verificator only available for
financial issue in Regional Finance
Agency and development planning
coordination in Bappeda.
C. Verification Mechanism
Unlike the central government, who has
UKP4 board to assure verification
mechanism, provincial government is
missing such unit to verify report from
governor working unit.
D. Human Resources Verifier
Regional agency has not appointed
special team to verify regional
government program or society initiative
program.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

19

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


masyarakat.
Analisis Gap MRV Provinsi

a. MRV memerlukan data yang terintegrasi


antar instansi, sehingga diharapkan
memiliki standar format data baku yang
bisa dipakai bersama, namun di daerah
provinsi ditemukan:

- Adanya Knowledge Gap (K-gap) terkait

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

adaptasi dan mitigasi perubahan iklim


dalam instansi/lembaga daerah saat ini
sehingga aspek pengukuran dan
pelaporan belum menjadi prioritas
pembenahan.

MRV Province Gap Analysis


a. MRV need integrated data from
agencies in order to have standardized
data format. Moreover, several findings
indicate that:
- Existence of Knowledge Gap (K-gap)
in climate change adaptation and
mitigation between institution/agency.
Reporting and measurement aspects
are not listed as priority for
improvement.

- Semua

instansi
daerah
hanya
melakukan pekerjaan terkait dengan
elemen M dan R, namun belum
terstandarisasi,
terintegrasi,
dan
konsisten.

- All regional agencies only conduct


activity related to element M and R,
but their activities are not well
standardized,
integrated
and
consistent.

- Verifikasi laporan tidak dilakukan secara

- Report verification is NOT conducted


thoroughly, except for administration
and financial reports.
- Lack of data base management.

menyeluruh, kecuali untuk administrasi


dan keuangan.

- Adanya

keterbatasan
dalam
pengelolaan data (lack of data base
management).

- Data-data

yang tersebar dimasingmasing instansi masih memiliki standar


yang berbeda-beda, sementara MRV
system memerlukan unsur keterpaduan.

- Konsep

standarisasi data spasial


sedang dibangun oleh komite INA-SDI
(Indonesia Spasial Data Infrastruktur)
yang nantinya terkait dengan Jaringan
Data Spasial Daerah, masih dalam
tahap awal.

b. MRV

diharapkan memiliki standar


pendekatan dan metodologi pengukuran
yang bisa dipakai bersama. Namun
sampai saat ini:
- Belum ada kegiatan mitigasi dan
adaptasi yang sudah dilaksanakan,
khususnya di Kalimantan Selatan
sehingga
menyulitkan
dalam
menganalisis metode perhitungan mana
yang paling sesuai. Sebagai contoh:
dalam penurunan emisi karbon dari
sektor pertambangan, belum ada
standar terhadap cara pengukurannya
untuk setiap tahapan yang dilakukan,
misalnya dalam menetapkan emitter,
memperkirakan besarnya emisi dari
seluruh kegiatan dan memproyeksikan

- Reports
compiled
by
regional
agencies have different standards
while MRV system requires integrated
element.
- Standardization concept for spatial
report is in early stage of drafting by
INA-SDI Committee (Indonesia Spatial
Data Infrastructure which connects to
Regional Spatial Data Network).
b. MRV system needs standardized
approach system and measurement
methodology which can be applied on
all system. But up until now:
- There is no mitigation and adaptation
program being carried out in South
Kalimantan, leaving difficulties for
agency to analize which measurement
method is suitable. For example:
There is no measurement standard for
carbon emission reduction in mining
sector. For instance in classifying
emitter, predicting the amount of
emission from all activities in South
Kalimantan and project the total
amount of Gton to be emitted in the
future.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

20

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


berapa total ton yang dikeluarkan pada
waktu yang akan datang.

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

- Belum adanya instansi khusus yang


melakukan pemantauan karbon. BLHD
sendiri masih fokus pada pencemaran
lingkungan. Padahal, sebenarnya emisi
GRK bisa ditempatkan didalamnya,
walaupun
diperlukan
penambahan
sumber daya pada bagian pemantauan
pencemaran
lingkungan
dengan
menambahkan unit khusus, karena
sampai saat ini:
Jumlah dan kapasitas SDM dalam
pemahaman aspek spasial dari tahap
akuisisi data, pengolahan hingga
analisis untuk perubahan iklim masih
terbatas.
Aparatur pemda sudah terbiasa
menggunakan GPS masih sedikit.
Standar perhitungan M untuk MRV
masih
dalam
tahap
usulan/
rekomendasi, belum ada ketetapan.

- Dalam studi kasus penggunaan citra


satelit
untuk
mengidentifikasi
kandungan karbon (carbon stock) di
lahan gambut daerah Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah yang
dilakukan oleh tim, diketahui bahwa:
Waktu yang dibutuhkan secara teknis
adalah 15 hari, dengan perincian 2
(dua) hari kerja untuk pengolahan data
citra seluas 200.000 ha, 7 (tujuh) hari
untuk Ground Truth Survey yang
bertujuan untuk penajaman kembali
hasil pengolahan citra satelit, 5 (lima)
hari
untuk
menghitung
indeks
kerapatan hutan (NDVI), dan 1 (satu)
hari untuk perhitungan kadar karbon
dengan rumus perhitungan yang
sudah
ditentukan
sebelumnya.
Pengolahan dilakukan dengan 1 (satu)
orang yang memiliki pengalaman
minimal 2 tahun di bidang remote
sensing.
Biaya yang dikeluarkan untuk membeli
citra satelit Landsat per scene adalah
sekitar Rp 1.000.000 (belum termasuk
PPN, PPH dan biaya Shipping). Untuk
luas area studi kasus ini meliputi 1/8
scene. Dengan citra resolusi rendah
seperti ini, biaya pengadaan relatif
lebih murah dibandingkan dengan

- There in no special agency in charge


of monitoring carbon emission.
Environment Agency is only focus on
environmental pollution, whereas GRK
emission can be included in the
category. Additional human resources
is needed for more effective
environmental pollution watch as up
until now:
There is limited amount of qualified
human resources who master
spatial aspect on climate change,
from data acquisition to report
analysis.
Only few regional government
officials are familiar with using.
Measurement standarization for M
in MRV is still in early stage of
proposal/talk/recommendation.
- Based on case study using satellite
imagery data to identify amount of
carbon stock in South Kalimantan and
Central Kalimantan peatland, the team
found several findings which are:
The team technically needs 15
days, 2 working days to process
satellite imagery data on 200,000
hectares of peatland; 7 days to hold
Ground Truth Survey to sharpen
the satellite imagery data; 5 days to
calculate Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI); and 1 day
to calculate the amount of carbon
stock.
Data
processing
is
conducted by 1 person with at least
2 years of experience in remote
sensing.

Budget spent to purchase satellite


imagery data per scene is around
Rp 1,000,000 (exclude tax and
shipping charge). The width of case
study area is 1/8 scene. With low
resolution image, budget spent on
research is lower than high

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

21

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


pengukuran insitu.
memerlukan
laporan
yang
terstruktur, tajam dan detail dari
daerahnya masing-masing, sehingga
diharapkan memiliki standar format
pelaporan yang bisa dipakai bersama.
Sementara kondisinya:

c. MRV needs well-structured, sharp and


detail report from each region to set
standards for reporting format. In
contrary, conditions found on field are:

- Pelaporan sudah dilakukan di masing-

- Reporting is conducted by each


agency based on its own standard but
varies in reporting format and
reporting time.

c. MRV

masing
instansi
sesuai
dengan
tupoksinya, tetapi belum seragam baik
cara maupun waktu pelaporannya.

- Jumlah aparatur Pemda masih sangat


sedikit
dan kompetensinya perlu
ditingkatkan untuk dapat membuat
laporan yang terstruktur, tajam dan
detail dari daerahnya masing-masing.

- Belum
RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

resolution image.

ada
pengetahuan
dan
ketrampilan yang cukup bagi aparatur
Pemda untuk menyusun laporan
kegiatan
adaptasi
dan
mitigasi
perubahan iklim.

- Standar pelaporan sangat tergantung


dengan masing-masing sektor dan
membutuhkan waktu. Contoh, untuk
MRV REDD+, masih dalam tahap
usulan/rekomendasi,
belum
ada
ketetapan. Apalagi kegiatan mitigasi
yang lain.

- Daerah

belum melihat manfaatnya


apabila melaporkan kegiatan mitigasi
dan adaptasinya yang terukur, kecuali
Kalimantan Tengah untuk kegiatan
REDD+.

- Daerah belum memiliki mekanisme


menerima laporan kegiatan mitigasi dan
adaptasi yang berasal dari masyarakat
atau non pemerintah.

d. MRV menggunakan metode tertentu


sehingga tercapai informasi yang benar,
ter-up to date dan dapat dipertanggungjawabkan serta diverifikasi oleh pihak
independen. Namun, sampai saat ini,

- Verifikasi

laporan belum menjadi


perhatian
utama,
kecuali
untuk
pertanggungjawaban administrasi dan
keuangan.

- Belum ada kegiatan verifikasi yang


terkait substansi kegiatan mitigasi dan
adaptasi yang dapat dijadikan acuan.

- The number of regional government


officials is still limited and their
competence need to be upgraded to
write well-structured, sharp and detail
report from each region.
- Regional government officials are lack
of competence to produce report on
climate
change
mitigation
and
adaptation program.
- Reporting standard is still dependant
on each sector and consumes time.
For example, for REDD+ MRV, is still
in early stage of proposal/talk/
recommendation.

- Regional governments do not see the


benefit from reporting climate change
mitigation and adaptation program,
except for Central Kalimantan which
already reports its REDD+ activity.
- Regional governments do not have
spesific mechanism to receive report
on climate change mitigation and
adaptation
program
from
nongovernment organization and society.
d. MRV uses spesific method to achieve
correct information, up to date and
accountable and can be verified by
independent body. However, up until
now:
- Report verification is not the main
concern, except for administrative and
financial report.
- There is no verification activity related
to report on climate change mitigation
and adaptation that can be used as

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

22

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


reference.
- Regional governments do not have
experience in requesting private
sector
and
non-government
organization to verify their activities.
- Regulation which requires verification
on mitigation and adaptation activities
is still new. Therefore, technical
operational on verification still requires
time, except for REDD and LULUCF.

- Daerah belum memiliki pengalaman


meminta pihak
independen nonpemerintah untuk memverifikasi hasil
kegiatannya.

- Ketentuan yang mengharuskan kegiatan

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

mitigasi maupun adaptasi melakukan


verifikasi masih sangat baru, sehingga
operasionalisasi teknik verifikasi masih
butuh waktu, kecuali untuk REDD dan
LULUCF.
Analisis Kompetensi SDM
Berdasarkan hasil analisis diatas, maka
kebutuhan terhadap kuantitas dan kualitas
SDM yang spesifik menjadi penting untuk
segera distandarisasi agar ketepatan waktu
dan validitas dari hasil pengukuran dapat
dipertanggungjawabkan. Setidaknya ada tiga
hal yang harus diperhatikan dalam
menyusun standar kompetensi profesi, yaitu
pengetahuan
(knowledge),
ketrampilan
(skill), dan sikap (attitude). Ketiga unsur ini
perlu diuraikan untuk setiap kegiatan mitigasi
atau adaptasi yang akan diukur. Namun,
secara umum, uraian terhadap ketiga unsur
tersebut dapat dilihat pada tabel 4 dibawah.

Analysis on Human Resources


Competence
Based on previous analysis, qualified
officials are urgently needed in order for
verification on mitigation and adaptation
activities to be carried out effectively.
There are at least three requirements in
setting human resources competence,
which are knowledge, skill and attitude.
The
description
of
these
three
requirements can be described as seen in
table 4 below.

Tabel 4. Kompetensi SDM dalam MRV


Table 4. Human Resources competence in MRV
Aspek/Aspect
Tenaga Ahli
Pengukuran
(M)/
Measurement
Staff

Surveyor/
Pencatat (R)/
Surveyor

Verifikator (V)/
Verificator

Pengetahuan/Knowledge

Keterampilan/Skill

- Memiliki latar belakang keilmuan yang


relevan dengan perubahan iklim
- Minimum Strata S1
- Berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun/
- Possess educational background related to
climate change
- Possess at least bachelor/ undergraduate
degree
- At least 3 years of working experiences
- Minimum strata D3 atau
- Pengalaman kerja minimal 2 tahun/
- Possess at least Diploma (D3) degree or
- At least 2 years of working experience

Bisa menggunakan
perangkat lunak komputer
dan familiar dengan
pemograman/
Master computer software
and familiar with
programming

Berintegritas dan
kreatif/
High integrity and
creative

Bisa menggunakan GPS,


mengerti basis data, dan
terampil menggunakan
OS windows/Mac/Linux/
Familiar with using GPS,
understand data bases
and master OS
Windows/Mac/Linux
Bisa menggunakan OS
windows/Mac/Linux/
Mastering
Windows/Mac/Linux OS

Jujur, cermat, dan


teliti/
Honest, have eyes
for details and
accuracy

Minimum strata D3 atau


Pengalaman kerja min 2 tahun/
Possess at least Diploma (D3) degree or
At least 2 years of working experience

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

Sikap/Attitude

Jujur, cermat, dan


taat asas/
Honest, have eyes
for details and
consistent

23

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

KESIMPULAN DAN SARAN


Kegiatan Pemetaan Kerentanan Daerah
Provinsi Serta Inventarisasi Kebijakan Dan
Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi
Dampak Perubahan Iklim memberikan
beberapa temuan sebagai berikut:

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


Activity on Provincial Vulnerability Mapping
and Policy Inventory to Anticipate Climate
Change Impacts resulted in several
findings:

1. Dasar Perumusan Kebijakan


- Ketersediaan Data yang dibutuhkan:

1. Policy Formulation Bases


- Data Availability: In vulnerability
mapping, availability of climatology
data is still poor and inadequate to
create more detail mapping on
provincial level. Based on policy
inventory,
majority
of
regional
agencies do not have data or
information
on
vulnerability.
Information on several topics on
vulnerability can be found at local
university or international NGO. Based
on analysis on MRV institutional, data
or information provided by regional
governments is poor and far from
expectation as creating standarized
reporting technical is not their main
agenda. The regional government
needs breakthrough policy to improve
reporting
and
data
availability
mechanism.

Dalam kegiatan pemetaan kerentanan,


ketersediaan data klimatologis relatif
belum memadai untuk melakukan
pemetaan yang lebih rinci dari level
provinsi. Sedangkan dari hasil kegiatan
inventarisasi kebijakan diketahui bahwa
data atau informasi kerentanan tidak
banyak tersedia di instansi pemerintah
daerah, malah pada beberapa topik,
tersedia di Perguruan Tinggi dan LSM
internasional. Dan kegiatan identifikasi
kelembagaan MRV menegaskan bahwa
informasi
yang
dihasilkan
oleh
pemerintah daerah masih jauh dari
harapan karena pembuatan laporan
bukan merupakan agenda utama
aparatur pemerintah daerah. Oleh
karena itu, perlu terobosan kebijakan
untuk memperbaiki sistem penyediaan
data dan pelaporan di daerah provinsi.

- Ketepatan Metode: Dari hasil kegiatan


inventarisasi kebijakan diketahui bahwa
hampir semua kebijakan adaptasi di
daerah provinsi belum dilahirkan dari
studi kerentanan ataupun perhitungan
biaya adaptasi yang terukur. Dan
berdasarkan kajian kelembagaan MRV
diketahui bahwa standarisasi untuk
teknik pengukuran yang sama tidak
mudah disepakati di level provinsi
karena daerah umumnya tergantung
pada nasional, belum ada catatan
inisiatif daerah untuk mengajukan teknik
perhitungan tertentu.

- Method Accuracy: Based on policy


inventory, the study found out that
adaptation policy on provincial level
was not formulated based on the
region vulnerability or measured
adaptation budget. Based on MRV
institutional, the study found out that
provincial governments have not
agreed on similar measurement
technical since they depend on central
government standard. The study did
not record local governments iniciative
to propose certain measurement
standard.

2. Regional Regulation Gap


2. Kesenjangan Kebijakan Daerah
- Regulatory Framework: In legislations,
- Regulatory framework: Dalam tataran
peraturan perundang - undangan,
kebijakan pengendalian perubahan iklim
belum disusun secara sistemik dalam
kerangka kerja jangka panjang atau
tatanan norma tertentu. Kebijakan yang

policy on climate change management


has not been drawn up systematically
in long-term regulatory framework or
special norm order. The regulation
being
implemented
only
act

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

24

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


ada masih bersifat responsif terhadap
isu perubahan iklim yang dinamis,
peraturan di level UU dan PP serta di
level
Peraturan
Menteri
untuk
kebutuhan juklak dan juknis masih
sangat sedikit. Kebutuhan terhadap
regulatory framework mulai dirasakan
terutama dalam rangka mensinergikan
kebijakan setiap sektor dan sebagai
landasan
bagi
daerah
untuk
memprioritaskan agenda kebijakan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

responsive to dynamic climate change


while technical regulation in legislation
and ministry regulation is still limited.
The need for regulatory framework is
urgent to align various regulations
from different sectors and transform it
as bases for regional government to
prioritize climate change mitigation
and adaptation policy in their agenda.

- RAD PE GRK: Di level provinsi,

- RAD PE GRK: On provincial level,


regional governments have set up
innovative policy to show their
committment on climate change. But
their
policy
does
not
touch
measurable unit. Therefore, the local
governments need to cluster every
sectors contribution to emission
reduction. Clustering will provide clear
picture on budget allocation for each
sector or for activity to attract funding
from international community. All
details can be included in Governors
Regulation on Green House Gas
Emission Reduction Act (RAD-GRK).

Pemerintah Daerah telah menyusun


berbagai kebijakan inovatif untuk
menunjukkan komitmennya terhadap
perubahan iklim. Namun, belum sampai
kepada satuan yang terukur, terutama
untuk kebijakan mitigasi. Oleh karena
itu, dibutuhkan pengklusteran kontribusi
tiap sektor di setiap provinsi terhadap
penurunan emisi. Pengklusteran yang
jelas akan memberikan gambaran
kebutuhan penganggaran dana APBN
untuk setiap sektor terkait maupun
kebutuhan bantuan dan pendanaan
dalam rangka menarik pembiayaan dari
komunitas internasional. Semua hal
tersebut dapat dituangkan dalam bentuk
Peraturan Gubernur tentang Rencana
Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAD-GRK).

- Adaptasi

- Cross-region
Adaptation:
On
provincial level, adaptation policy for
large scale of area is needed to
anticipate climate change impact
which might hit cross-regency/city
within one province. In additon,
provincial government is expected to
create strong coordination between all
regional government under its territory
to create condusive vibe for society
and private sectors to participate in
climate
change
mitigation
or
adaptation program.

- Optimalisasi

- Optimalize Regional Agency: In


managing activity related to climate
change, few regions have formed
working unit to implement climate
change mitigation and adaptation. The
model has not been tested yet for its
effectiveness as it is new.

lintas wilayah: Di level


provinsi, kebijakan adaptasi sangat
dibutuhkan
untuk
mengantisipasi
dampak perubahan iklim dalam skala
besar yang bersifat lintas wilayah
kabupaten/kota di dalam wilayah
provinsi dan/atau antar daerah provinsi.
Namun, Pemerintah Provinsi juga
diharapkan
mampu
mendorong
kerjasama daerah kabupaten/kota di
bawahnya dan menciptakan iklim yang
kondusif bagi masyarakat dan swasta
untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
adaptasi atau mitigasi perubahan iklim.
organ daerah: Dalam
pengelolaan kegiatan yang terkait
dengan perubahan iklim, beberapa
daerah telah membentuk satuan unit
tertentu yang bertugas dalam hal
penyelenggaraan kegiatan mitigasi dan
adaptasi. Model tersebut belum teruji

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

25

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


efisiensi dan efektifitasnya. Namun
demikian, Pemerintah Provinsi dapat
menempuh cara lainnya, yaitu dengan
menambahkan
fungsi
pelayanan
perubahan
iklim
pada
struktur
organisasi SKPD yang sudah ada, dan
menempatkan fungsi koordinasi pada
salah satu instansi yang kompeten
sesuai dengan karakteristik masingmasing daerah. Penambahan fungsi
tersebut disesuaikan dengan ruang
lingkup kerja mitigasi maupun adaptasi
pada masing-masing sektor.

Nevertheless, provincial government


can add climate change service unit
in its organization structure and place
coordinating unit to adjust to
upcoming changes. Adding new unit
can be adjusted with mitigation and
adaptation working scope according to
each sectors need.

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

3. Kelembagaan Perubahan Iklim di Daerah 3. Regional Climate Change Institutional


- Report Revitalization: In effort to
- Revitalisasi laporan: Dalam upaya
menerapkan sistem MRV, Pemerintah
Provinsi masih memiliki berbagai
kelemahan
untuk
dapat
mengimplementasikan sistem tersebut
secara cepat. Oleh karena itu, dalam
jangka pendek, utilisasi dari sumber
daya
kelembagaan
yang
ada
merupakan langkah yang lebih tepat,
terutama dalam aspek pengukuran dan
pelaporan. Produk-produk laporan yang
sudah ada dapat dimanfaatkan untuk
menambahkan materi laporan yang
terkait dengan mitigasi dan adaptasi
masing-masing sektor.

implement MRV system, provincial


government
still
have
several
disadvantages which might affect the
systems implementation. In short
term, maximum utilization of agency
resources is considered as the right
step, especially for reporting and
measurement
aspects.
Existing
products from report can be utililzed to
add reporting material related to
climate
change
mitigation
and
adaptation program.

- Keterlibatan

- Society Participation: In verification


context, include measurement and
reporting, if necesarry, the local
government must widen its working
area for certain period of time and
open
access
for
independent
consultant to participate in mitigation
and adaptation program verification.
The independent consultant can come
from academic world, members of
working association and NGO.

- Standarisasi

- Competence
Standardization:
In
measurement and reporting, human
resources involved must obtained
sertificate or acknowledgment from
related organization in terms of
mastering measurement technical for
emission. Local government can also
upgrade capability of available human
resources by implementing reward
and incentive system.

masyarakat:
Dalam
konteks verifikasi, dan juga termasuk
pengukuran dan pelaporan, apabila
dibutuhkan, perlu adanya perluasan
wilayah kerja para pelaksana dalam
kurun waktu tertentu, yaitu membuka
akses kepada konsultan independen
untuk turut serta dalam proses verifikasi
kegiatan mitigasi dan adaptasi, baik
yang berasal dari asosiasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, maupun
perguruan tinggi. Prinsipnya adalah
standar kompetensinya dapat dipenuhi.
Kompetensi:
Dalam
melaksanakan
pengukuran
dan
pelaporan, SDM harus mendapatkan
sertifikat
atau
pengakuan
dari
organisasi
yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah dalam hal penguasaan
teknik dan metode penghitungan emisi
yang dirinci per sektor. SDM yang
sudah tersedia, juga dapat ditingkatkan
kapasitasnya dalam hal pengukuran
dan pelaporan dengan dukungan

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

26

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM


perangkat insentif yang menjanjikan
sebagai suatu jabatan fungsional.

- Legal basis MRV: Konsep institusi MRV,

RINGKASAN EKSEKUTIF EXECUTIVE SUMMARY

sebaiknya memisahkan fungsi M, R dan


V dengan tetap mengacu pada kriteria
dan standar dari Pemerintah. MR dapat
ditempatkan pada satuan unit kerja
masing-masing dinas; V sebaiknya
terpusat pada satu unit tertentu.
Ketentuan dan tata cara pengukuran
dan pelaporan sebaiknya dirumuskan
dan ditetapkan oleh kementerian teknis
atau melalui Peraturan Menteri bersama
atau Peraturan Presiden, apabila
menyangkut urusan lintas sektor.

- MRV
Legal
Bases:
In
MRV
institutional concept, it is adviced for
local governments to separate MR
from V functions. MR can be placed in
one working unit while V should be
placed in specific working unit.
Procedures on measurement and
reporting should be formulated and
implemented by technical ministry
through Join Ministry Regulation or
Presidential Regulation.

Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Policy Inventory to Anticipate Climate Change Impacts

27

Anda mungkin juga menyukai