MASALAH PSIKOSOSIAL
(Disusun untuk memenuhi tugas Neurobehaviour System in Nursing II)
Disusun oleh:
Erik Perdian
220110120006
220110120042
Abdul Aziz
220110120054
Euis Yulianti
220110120078
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
DAFTAR ISI
BAB I
TEORI PSIKOSOSIAL
yang
menetapnya
suatu
kepribadian
yang
terjadi
akibat
kembali
ke
tahap
perkembangan
sebelumnya
utnuk
meneliti
pengaruh
proses
sosial
pada
pengembangan
krisis
perkembangan.
Keberhasilan
dari
setiap
tingkat
peraturan
dalam
kelompok,
tetapi
juga
mampu
tahap
perkembangan
ini
individu
akan
mencapai
generativitas:
1) Mau membagi pengalaman, pikiran dan pendapat dengan orang lain.
2) Bersedia memberi pengarahan kepada orang lain
Kegagalan dalam perkembangan ini berakibat individu mengalami stagnas:
1) Lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada mendengarkan orang
lain
2) Menunjukan perhatian pada diri sendiri secara berlebihan dan seakanakan tidak membutuhkan orang lain
8. Masa usia < 65 tahun
Terjadi konflik antara integritas dan putus asa (integrity-despair).
6
untuk
mempersiapkan
kebutuhan
pertahanan
potensial.
Karenanya banyak organ tubuh yang terpengaruh maka gejala stres akan
memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot. Pada saat yang sama daya tahan
tubuh berkurang.
BAB II
MASALAH PSIKOSOSIAL
Intervensi
1. Membina
hubungan
perawat-klien
yang
terapeutik.
2. Berikn
pendidikan
kesehatan sesuai dengan
kebutuhan klien.
3. Dorong
klien
untuk
merawat diri dan berperan
dalam proses keperawatan
secara
bertahap
dan
berlanjut.
3.
4.
5.
6.
7.
dimiliki.
Mengidentifikasi
perubahan citra tubuh.
Menerima peraaan dan
pikirannya.
Menetapkan masalah yang
dihadapinya.
Mengidentifikasi
kemampuan koping dan
sumber pendukung lain.
Melakukan tindakan yang
dapat
mengembangkan
integritas diri.
B. KECEMASAN (ANSIETAS)
Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena
ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons(sumber seringkali
tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); suatu perasaan takut akan
terjadi sesuatu yang diebabkan oleh antisipasi bahaya. Hal ini merupakan
sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya yang akan datang
dan memperkuat individu dengan mengambil tindakan menghadapi ancaman
(NANDA, 2009, dalam Fitria dkk, 2013)
Tingkatan Ansietas
Tingkat ansietas menurut Stuart dan Sundeen (2007) adalah sebagai berikut
(Fitria dkk, 2013):
1. Ansietas Ringan.
Tingkat ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang waspada dan meningkatkan lahan
11
2. Ansietas Sedang
Tingkat sedang memungkinkan seeorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas Berat
Tingkat berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung untuk memusatkan pada suatu yang terinci, spesifik, dan tidak
dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada area lain.
4. Tingkat Panik
Tingkat ini berhubungan degan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian
terpecah dari proporsinya, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun
dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi
peningkatkan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan
dengan orang lain, persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran
rasional.
Secara praktis kita dapat membedakan tingkatan ansietas ini dalam kehidupan
sehari-hari seperti berikut ini (Fitria dkk, 2013):
1. Tingkat Ringan: seseorang yang menghadapi suatu masalah mencoba
menjadikan stressor yang ada sebagai media untuk meningkatkan koping
dirinya dengan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah walaupun
perlu beberapa waktu secara mandiri untuk menghadapinya. Dalam kondisi
ini individu tida memerlukan oranglain yang membantu dirinya menghadapi
masalah.
2. Tingkat Sedang: seseorang mencoba menghadappi dan menyelesaikan
masalah dengan bantuan oranglain yang menjadi orang kepercayaan bagi
dirinya, misalnya sahabat, orangtua, dosen, dan lain-lain.
12
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (2007) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan
1. Pandangan Psikoanalitik.
Teori ini beranggapan bahwa ansietas terjadi apabila konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id
mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego
mencermikan hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma budaya
seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari kedua elemenyang
bertentangan, sedangkan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa
ada bahaya.
2. Pandangan Interpersonal
Teori ini beranggapan bahwa ansietas timbul dari perasaan takut terhadap
tidak
adanya
penerimaan
dan
penolakan
interpersonal.
Ansietas
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dibedakan menjadi hal-hal berikut (Fitria dkk, 2013):
1. Ancaman terhadap integritas seseorang, meliputi ketidakmampuan fisiologis
yang akan dating atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari.
2. Ancaman terhadap system diri, seseorang dapat membahayakan identitas,
harga diri, dan fungsi social yang terintegraso seseorang.
Strategi Koping
Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis strategi koping
sebagai berikut (Fitria dkk, 2013):
1. Reaksi yang Berorientasi pada Tugas
Reaksi yang berorientasi pada tugas berupa upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitas tuntutan situasi
stress, misalnya perilaku menyerang untuk mengubah atau mengatasi
hambatan pemenuhan kebutuha, menarik diri untuk memindahkan dari
sumber stress, kompromi untuk mengganti tujuan, atau mengorbankan
kebutuhan personal.
14
Data Yang Perlu Dikaji (Nanda, 2009-2011, dalam Fitria dkk, 2013)
1. Perilaku.
Produktivitas menurun, mengamati dan waspada, kontak mata buruk,
gelisah, melihat sesuatu, pergerakan berlebihan (seperti: foot shuffing,
pergerakan tangan/lengan) , ungkapan perhatian berkaitan dengan
mengubah peristiwa dalam hidup, insomnia, dan perasaan gelisah.
2. Afektif
Menyesal, iritiabel, kesedihan mendalam, takut, gugup, sukacita berlebihan,
nyeri dan ketidakberdayaan meningkat secara menetap, gemertak,
ketidakpastian, kekhawatiran meningkat, fokus pada diri sendiri, perasaan
tidak adekuat, ketakutan, tertekan, dan perasaan gelisah.
3. Fisiologis
Suara bergetar, gemetar/tremor tangan, bergoyang-goyang, respirasi
meningkat (simpatis), kesegaran berkemih (parasimpatis), nadi meningkat
(simpatis), dilatasi pupil (simpatis), reflex-refleks meningkat (simpatis),
nyeri abdomen (parasimpatis), gangguan tidur (parasimpatis), perasaan geli
pada ekstermitas (parasimpatis), eksitasi kardiovaskular (simpatis), peluh
meningkat, wajah tegang, anoreksia, jantung berdebar-debar (simpatis),
diare (parasimpatis), keragu-raguan berkemih (parasimpatis), kelelahan
(parasimpatis), mulut kering (simpatis), kelemahan (simpatis), nadi
berkurang (parasimpatis), wajah bergejolak (simpatis), vasokonstriksi
superfisial (parasimpatis), berkedutan (simpatis), tekanan darah menurun
(parasimpatis), mual (parasimpatis), keseringan berkemih (parasimpatis),
pingsan (parasimpatis), sukar bernapas (simpatis), tekanan darah meningkat
(parasimpatis).
15
4. Kognitif
Hambatan berpikir, bingung, preokupasi, pelupa, perenungan, perhatian
lemah, lapang persepsi menurun, takut akibat yang tidak khas, cenderung
menyalahkan orang lain, sukar berkonsentrasi, kemampuan berkurang untuk
memecahkan masalah dan belajar, serta kewaspadaan terhadap gejala
fisiologis.
transmisi/penularan,
krisis
situasional/maturasi,
ancaman
2. Data Objektif.
a. Laju (rate) respirasi klien di atas batas normal (RR = 30x/menit).
b. Klien terlihat lesu dan tidak bersemangat dalam mengikuti aktivitas.
c. Klien tidak mampu menjawab pertanyaan perawat mengenai resume dari
topik yang telah dibicarakan dengan perawat.
Berdasarkan Tingkatan
Kecemasan
No.
1.
Tingkat
Tujuan
Tujuan
Kecem
Jangka
Jangka
Intervensi
asan
Panjang
Pendek
Berat Klien dapat 1. Membina 1. Dengarkan keluhan klien.
dan
mengurangi
hubungan 2. Dukung klien untuk
panik kecemasann
saling
mendiskusikan perasaannya.
ya sampai
percaya
3. Jawab pertanyaan klien secara
tingkat
langsung.
sedang atau
4. Tanyakan sikap menerima klien
ringan
tanpa pamrih.
5. Hargai pribadi klien
2. Menyad 1. Bersikap terbuka
ari dan
2. Terima perasaan positif maupun
mengont
negatif termasuk perkembangan
rol
kecemasannya.
perasaan 3. Pahami perasaan klien dengan
sendiri.
cara yang terapeutik.
3. Meyakin 1. Terima dan berikan dukungan
kan
pada klien tanpa menentang
klien
keyakinannya.
tentang
2. Sadari tentang keyakinan rasa
manfaat
sakit yang dikaitkan dengan
mekanis
mekanisme koping.
me
3. beri umpan balik pada klien
koping
mengenai
perilaku
stresor,
yang
penilaian dan sumber koping
bersifat
4. Beri batasan perilaku maladaptif
melindu
dengan cara yang mendukung.
nginya.
17
4. Mengide
ntifikasi
situasi
yang
dapat
menyeba
bkan
kecemas
an.
5. Menganj
urkan
klien
meningk
atkan
aktivitas
seharihari
2.
Sedang
6. Meningk
atkan
kesehata
n fisik
dan
kesejaht
eraan
pasien
Klien dapat 1. Menjalin
menyelesaik
dan
an
mempert
masalahnya
ahankan
dan
hubunga
mengatasi
n saling
stress
percaya.
2. Memban
tu klien
untuk
menyada
ri dan
mengena
18
l stress.
3. Memban
tu
dirinya
untuk
mengena
l
kecemas
annya.
C. KETIDAKBERDAYAAN (POWERLESSNESS)
Ketidakberdayaan adalah keadaan dimana individu tidak mampu
mengontrol dirinya sendiri pada kejadian atau situasi apa pun (Muttaqin, 2010,
dalam Fitria dkk, 2013). Ketidakberdayaan juga merupakan persepsi individu
bahwa segala tindakannya tidak akan mendapat hasil atau suatu keadaan
diamana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau jika yang
baru dirasakan.
20
Tujuan
Intervensi
Tujuan :
1. Klien
dapat
melakukan
cara
pengambilan
keputusan
yang
efektif
untuk
mengendalikan
situasi
kehidupannya.
2. Klien
dapat
mengenali
dan
mengekspresikan
emosi.
3. Klien
dapat
memodifikasi pola
kognitif
yang
bersifat negatif.
4. Klien
dapat
berpartisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
yang
berkenan dengan
perawatannya.
5. Pasien
dapat
termotivasi aktif
untuk
mencapai
tujuan
yang
realistis
22
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
menyimpulkan.
Identifikasi
pemikiran
yang
negative dan bantu untuk
menurunkannya melalui interupsi
atau subtitusi.
Bantu klien untuk meningkatkan
pemikiran yang positif..
Evaluasi ketepatan persepsi,
logika, dan kesimpulan yang
dibuat klien.
Kurangi penilaian negative klien
terhadap dirinya.
Bantu klien untuk menyadari
nilai yang dimilikinya atau
perilakunya dan perubahan yang
terjadi.
Libatkan klien dalam menetapkan
tujuan-tujuan perawtannya yang
ingin dicapai.
Motivasi klien untuk membuat
jadwal
aktivitas
perawatan
dirinya.
Bantu klien untuk menetapkan
tujuan-tujuan yang realistis.
Fokuskan kegiatan pada saat ini
bukan pada kegiatan masa lalu.
23
Faktor Penyebab
1. Faktor predisposisi
a. Faktor yang memengaruhi harga diri diantaranya adalah penolakan orang
tua, harapan orang tua yang tidak realistis, ketergantungan pada orang
lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang memengaruhi performa peran adalah steriotif peran gender,
tuntutan peran kerja, nilai-nilai budaya yang tidak dapat diikuti oleh
individu.
c. Faktor yang memengaruhi identitas pribadi adalah ketidakpercayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya dan perubahan struktur sosial.
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma, seperti mengalami hal yang tidak menyenangkan atau
menyaksikan peristiwa yang mengancm kehidupan.
b. Ketegangan peran, individu mengalami frustasi ketika dihadapkan
dengan situasi yang berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan. Ada tiga jenis transisi peran :
1) Transisi peran perkembangan, perubahan normatif terkait dengan
pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu, keluarga, nilai dan norma budaya, serta tekanan
untuk menyesuaikan diri.
2) Transisi peran situasi, perubahan karena bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga.
3) Transisi peran sehat-sakit, perubahan yang terjadi akibat dari keadaan
sehat menjadi sakit. Dapat dicetuskan oleh hal-hal seperti kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh, serta prosedur
medis dan keperawatan.
25
Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah situasional
2. Ketidakefektifan koping
3. Gangguan citra tubuh
4. Gangguan identitas personal
5. Ketidakberdayaan
6. Keputusasaan
Tujuan
Intervensi
pasien
dalam
kegiatan
sesuai
kemampuan pasien
26
pasien
untuk
mencobanya
E. KEPUTUSASAAN
Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang
melihat keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan pribadi yang
tersedia dan tidak dapat memobilisasi energi yang dimilikinya (Fitria dkk,
2013).
27
Faktor Penyebab
1. Faktor Predisposisi
a. Teori kehilangan, berhubungan dengan faktor perkembangan seperti
kehilangan orang tua pada masa anak-anak. Teori ini menjelaskan bahwa
seseorang tidak berdaya dalam mengatasi kehilangan.
b. Teori kepribadian, ada kepribadian seseorng yang menyebabkan
seseorang rentan terhadap rasa putus asa.
c. Model kognitif, putus asa merupakan masalah kognitif yang didominasi
oleh penilaian negatif seseorang terhadap diri sendiri, lingkungan dan
masa depan.
d. Model belajar ketidakberdayaan, putus asa dimulai dari hilangnya
kendali diri yang kemudian menjadi pasif dan tidak mampu
menyelesaikan masalah. Setelah itu , akan timbul keyakinan akan
ketidakmampuan mengendalikan kehidupan sehingga individu menjadi
tidak berupaya untuk mengembangkan respon yang adaptif.
e. Model perilaku, putus asa terjadi karena kurangnya pujian positif selama
berinteraksi dengan lingkungan.
f. Model biologis, dalam tubuh seseorang terjadi penurunan zat kimiawi
yaitu katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan terjadi peningkatan
sekresi dari kortisol.
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor biologis, putus asa dapat terjadi jika seseorang mengalami
gangguan fisik yang diakibatkan penyakit tertentu atau pengobatan yang
berlangsung lama.
b. Faktor psikologis, putus asa dapat terjadi jika seseorang kehilangan kasih
sayang dari seseorang yang dicintainya atau kehilangan harga dirinya.
c. Faktor sosial budaya, putus asa terjadi jika seseorang mengalami
kehilangan peran, misalnya karena perceraian atau kehilangan pekerjaan.
Klien yang mengalami keputusasaan akan menampilkan perasaan diri
negatif terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar akibat dari
keyakinan akan ketidakmampuan diri dalam menghadapi kehidupan. Jika
28
Diagnosa Keperawatan
1. Keputusasaan
2. Resiko bunuh diri
3. Kehilangan
4. Harga diri rendah situaional
5. Isolasi sosial
keputusasaan
3.
Tujuan Jangka Pendek :
1. Klien menyampaikan
penderitaan
yang
dialami secara terbuka
dan konstruktif.
2. Klien
dapat
mengenang
dan
mengulas
kehidupannya yang
positif.
3. Klien
dapat
mempertimbangkan
nilai-nilai dan makna
kehidupannya.
4. Klien
dapat
mengungkapkan
perasaan
optimis
tentang kehidupan.
5. Klien dapat menjalin,
membina
dan
mempertahankan
hubungan yang positif
dengan orang lain.
6. Klien
dapat
mengekspresikan
keyakinan spiritual.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
keputusasaannya
Bantu
klien
untuk
mengungkapkan
perasaan
sedih dan keputusasaannya
Bantu klien berpartisipasi
dalam segala aktivitas yang
positif
Dukung
klien
untuk
mengungkapkan pengalaman
yang mendukung pikiran dan
perasaan positif
Libatkan
keluarga
klien
sebagai sistem pendukung
klien
Identifikasi masalah yang
dialami
keluarga
terkait
kondisi putus asa klien
Dengarkan perasaan klien
dengan
seksama
dan
perlakukan ia sebagai seorang
individu
Bantu
klien
mempelajari
keterampilan koping yang
efektif.
F. DUKA CITA
Dukacita merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Ada dua
tipe dari berduka yaitu (Fitria dkk, 2013):
a. Dukacita adaptif, pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang
aktual ataupun yang dirasakan seseorang atau ketidakmampuan fungsional
tetapi dukacita masih dalam batas normal.
b. Dukacita maladaptif, pengalaman individu berupa respon yang dibesarbesarkan saat mengalami kehilangan secara aktual maupun potensial.
Dukacita ini dapat mengarah pada kesalahan/kekacauan.
30
b. Fase II
: Berkembangnya kesadaran.
c. Fase III
d. Fase IV
e. Fase V
b. Konfrontasi
c. Akomodasi
Jenis Berduka
Jenis berduka menurut Worden tahun 1982 (Fitria dkk, 2013):
T : To accept the realityof the loss (menerima realita dari kehilangan).
E : Experience the pain of the loss (mengalami kepedihan akibat kehilangan).
A : Adjust the new environment without the lost object (menyesuaikan
lingkungan baru tanpa objek yang hilang tersebut).
R : Reinvest in the new reality (memberdayakan kembali energi emosional
kepada hubungan yang baru).
31
Respon Berduka
1. Dukacita adaptif (dukacita fungsional) termasuk proses berkabung, koping,
interaksi, perencanaan dan pengenalan psikososial. Dukacita adaptif terjadi
pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka
panjang pada fungsi tubuh. Klien saat didiagnosis mungkin akan merasa
sehat, tetapi mulai berduka ketika merespon informasi tentang kehilangan
yang akan ia alami di masa mendatang berkaitan dengan penyakitnya.
Dalam situasi ini dukacita adaptif dapat mendalam dan terbuka, dukacita
adaptif tersebut mencakup melepas harapan, impian, dan harapan terhadap
masa depan jangka panjang. Dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal
memiliki akhir yang pasti dan akan menghilang seirirng dengan kematian
klien.
2. Dukacita terselubung (Dukacita disfungional), terjadi ketika seseorang
mengalami rasa berduka yang tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang
luas dan didukung secara sosial. Dukacita terselubung juga bisa diartikan
sebagai seuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang
dirasakan. Individu menjadi terfiksasi pada satu tahap berduka untuk suatu
periode waktu yang terlalu lama atau gejala berduka menjadi berlebihan
hingga mengganggu fungsi kehidupan.
Diagnosa Keperawatan
a. Dukacita
b. Resiko tinggi bunuh diri
c. Ketidakefektifan koping
d. Gangguan pola tidur
e. Distress spiritual
f. Isolasi sosial
g. Resiko tinggi bunuh diri
Tujuan
Intervensi
1. Identifikasi
tahapan
berduka
klien
yang
terfiksasi dan perilakunya.
2. Bina
hubungan
saling
percaya dengan klien
3. Perlihatkan sikap menerima
dan membiarkan klien
mengekspreikan
perasaannya secara terbuka.
4. Dorong
pasien
untuk
mengekspresikan
rasa
marah
dan
bantu
mengeksplorasi
rasa
marahnya.
5. Bantu pasien mengarahkan
rasa marahnya kepada
aktivitas motorik kasar.
6. Bantu
pasien
untuk
mengerti perasaan yang
33
percaya
2. Klien
mengenali
peristiwa
dukacita
dan kehilangan
3. Klien
dapat
mengidentifikasi
cara-cara mengatasi
dukacita
yang
dialaminya
4. Klien
dapat
memanfaatkan faktor
pendukung
untuk
menghadapi
dukacitanya
G. PENYALAHGUNAAN NAPZA
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan
sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang
parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada
perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala
putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah
peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus
zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen,
1998, dalam Fitria dkk, 2013).
34
biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf
coba-coba.
2. Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman
sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang
tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama temantemannya.
3. Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan
kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara
untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya
individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan
frustasi.
4. Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai
digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi
penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan
sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
5. Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan
adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu
yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu
menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga
menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan.
Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami
peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa
diinginkannya.
lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat
berbahaya yang berasal dari tanaman ataubukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun
perubahan kesadaran, hilangnya rasa,mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
b. Stimulan
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika
adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
36
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang
tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang
membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf
simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy
(metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan
speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah
halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan
dapat
terganggu.
Sedative
dan
hipnotika
seperti
barbiturat
dan
maupun
campuran
yang
dapat
membahayakan
kesehatan
lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat
karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahanbahan
berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika
dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik
seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang
termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol)
yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%)
seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari
5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C
(kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky.
Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya
dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan
koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat
adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
37
38
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab
seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim
UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun
1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota
keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari
pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu
(misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya
penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik
dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak,
maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang
tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti
apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau
demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa diberi
kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya
mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai
dalam banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan
dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering
berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
b. Faktor kelompok teman sebaya (peer group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok,
yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi
seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat
lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat
39
Ganja
eforia
mata
merah
mulut
kering
banyak
Sedatif
Hipnotik
pengendalian
diri berkurang
jalan
sempoyongan
mengantuk
memperpanjan
40
Alkohol
Amfetamin
kesadaran
bicara dan
g tidur
tertawa
hilang
nafsu
kesadaran
makan
meningkat
gangguan
persepsi
persepsi
penurunan
kemampuan
menilai
gemetar
cemas
depresi
paranoid
Ganja
* nyeri
jarang
* mata dan
ditemukan
hidung
berair
* perasaan
panas dingin
* diare
* gelisah
* tidak bisa
tidur
Sedatif
Hipnotik
cemas
tangan
gemetar
perubahan
persepsi
gangguan
daya ingat
tidak
bisa
tidur
Alkohol
Amfetamin
cemas
depresi
muka
merah
mudah
marah
tangan
gemetar
mual
muntah
tidak bisa
tidur
cemas
depresi
kelelahan
energi
berkurang
kebutuhan
tidur
meningkat
masyarakat,
bangsa,
dan
negara.
Penyalahgunaan
NAPZA
43
Tujuan
Intervensi
Fase pencegahan :
1. Berikan informasi dan
pendidikan yang efektif
tentang NAPZA
2. Pantau perubahan perilaku
klien
Fase pengobatan :
1. Lakukan
detoksifikasi
tanpa
subtitusi
yaitu
penggunaan zat langsung
diberhentikan atau dengan
detokifikasi substitusi yaitu
penggunaan
zat
diberhentikan
secara
bertahap
dengan
pengurangan dosis
Fase rehabilitasi :
1. Kolaborasi
untuk
melakukan
terapi
detoksifikasi
dan
konsultasi medis selama 1
minggu.
2. Fasilitasi
klien
untuk
melakukan
proses
pascadetokifikasi selama 2
minggu
3. Fasilitasi
klien
untuk
menjalani
rehabilitas
berupa
rehabilitasi
psikososial
(persiapan
untuk
kembali
ke
masyarakat), rehabilitasi
kejiwaan
(merubah
perilaku
maladaptif
menjadi
adaptif),
rehabilitasi
komunitas
(melatih
keterampilan
mengelola waktu dan
44
45
BAB III
RESUME ANALISIS KASUS
Lanjut atau Tidak ?
Saya X, 21 tahun, mahasiswa tingkat akhir di sebuah Universitas Swasta
di Kota Bandung. Meskipun berat, saya sangat menikmati proses perkuliahan
yang berlangsung di awal perkuliahan. Berbagai tugas dan masalah yang melanda
dapat saya lalui dengan baik. Pada tahun ke-3 masa perkuliahan lalu, saya
mendapat cobaan yang sangat berat untuk dihadapi. Ayah saya yang merupakan
tulang punggung keluarga mengalami sakit parah. Sehingga, keluarga saya
mengalami kesulitan ekonomi.
Kenyataan ini membuat saya bimbang untuk melanjutkan kuliah atau
berhenti ditengah jalan. Tapi, saya bersyukur karena cobaan berat ini mampu saya
lewati dengan adanya bantuan beasiswa dari pihak kampus. Beasiswa ini sangat
membantu keberlanjutan pendidikan saya. Di sisi lain, beasiswa ini juga menjadi
beban bagi saya karena banyak hal yang harus dipenuhi. Salah satu beban terberat
yaitu beasiswa yang mensyaratkan untuk lulus tepat waktu dengan IPK minimal
3,3. Hal tersebut mengharuskan saya untuk mencapai target dengan belajar lebih
baik lagi. Tapi, hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan karena saya
mengalami penurunan IPK secara drastis. Sehingga, saya mendapat SP 1 dari
bantuan beasiswa yang saya dapatkan. Bagi saya, sangat mustahil untuk mengejar
syarat IPK tersebut karena beban SKS yang tersisa hanya sedikit lagi. Saya
menjadi sulit berkonsentrasi dalam menjalani perkuliahan dan mengerjakan
skripsi dan apabila target IPK tersebut tidak bisa dicapai, maka uang yang telah
diberikan oleh pihak kampus tersebut harus dikembalikan oleh penerima
beasiswa.
1. Hasil Pengkajian
1) Identitas Klien
Nama/Jenis Kelamin : Nn. X / P
Umur
: 21 tahun
Tanggal masuk RS
: -
No CM
: -
Alamat
: Bandung
Suku
: Sunda
Status perkawinan
: Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswi
46
Sumber data
: Wawancara
2) Faktor Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Berdasarkan teori Stuart dan Sundeen, terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan
ansietas,
yaitu
pandangan
psikoanalitik,
pandangan
47
b. Peran Diri
Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini, klien
tercatat
sebagai
mahasiswi
tingkat
akhir
yang
mengalami
48
4. Hubungan sosial
1) Klien menganggap orang paling berarti dalam kehidupannya yaitu
orangtua nya. Ia selalu mencurahkan segala masalah yang ia hadapi
kepada mereka. Tetapi, hal ini tidak membantu penyelesaian masalah
klien.
2) Klien tidak mengikuti organisasi apapun baik di internal maupun
eksternal kampus karena klien ingin fokus terhadap target yang ingin
dicapainya.
3) Klien tidak mengalami hambatan dalam berhubungan dengan orang
lain.
5. Pendidikan dan pekerjaan
Klien saat ini berstatus sebagai mahasiswa di salah satu Universitas
swasta di Kota Bandung.
1) Gaya hidup
Sebelum masalah melanda, klien selalu fokus dalam menjalani
perkuliahan. Namun setelah masalah muncul, klien mulai tidak fokus
dengan apa yang dijalaninya.
2) Budaya
Klien tidak mengalami konflik dalam dirinya yang berhubungan
dengan budayanya dalam menghadapi masalah.
6. Spiritual
Masalah yang dialami klien belum mengganggu segi spiritual klien.
Semua masih dalam tahap normal.
3. Tindakan Keperawatan
Tingkat
Tujuan
No Kecema
Jangka
san
Panjang
1.
Berat
Klien dapat
Tujuan
jangka
Pendek
1. Membina
mengurangi
hubungan
kecemasann
saling
ya sampai
percaya
tingkat
Intervensi
a. Dengarkan keluhan klien
b. Dukung
klien
untuk
mendiskusikan perasaannya
c. Jawab pertanyaan klien secara
langsung
sedang atau
ringan
a. Bersikap terbuka
b. Terima
perasaan
positif
mengontrol
maupun
perasaan
perkembangan kecemasannya
sendiri
negatif
termasuk
3. Meyakinkan
klien
tentang
keyakinannya
manfaat
mekanisme
koping
mekanisme koping
yang
bersifat
melindungi
nya
batasan
perilaku
4.Mengidentifi
kasi situasi
50
yang dapat
menyebabk
an
kecemasan
b. Ciptakan
situasi
dan
menimbulkan
kecemasan
d. Identifikasi
situasi
dan
modifikasi
yang
dapat
menyebabkan kecemasan
e. Beri bantuan terapi fisik seperti
mandi, massase
5.Menganjurka
n klien
mendukung
meningkatk
yang produktif
an aktivitas
sehari-hari
perilaku
sosial
6.Meningkatka
a. Kolaborasi
dengan
dokter
n kesehatan
pemberian
obat
untuk
fisik dan
menurunkan
kondisi
tidak
kesejahtera
an klien
51
4. Evaluasi
S : Klien merasa lebih tenang dalam menghadapi masalah serta bisa kembali
fokus dalam menjalani dua semester terakhir di perkuliahannya. Klien
merasa optimis dapat mencapai target yang ingin dicapai.
O : Klien terlihat lebih antusias dalam mencapai target persyaratan beasiswa.
A : Analisis diagnosa
52
DAFTAR PUSTAKA
53