Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I

Penanganan Hewan Percobaan

Kelompok

: 10

Nama Kelompok

: Gadis Trieska Dewi (13011089)


Meika Desty Juliani (10012023)
Saptiyowati

(13012002)

Taufik Prabowo

(12010083)

Tanggal Praktikum

: Jumat, 23 Oktober 2014

Dosen Pembimbing

: Siti Mariam, M.Far., Apt

LABORATORIUM FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2014

I.

Tujuan percobaan
1. Mampu menangani hewan mencit untuk percobaan farmakologi.
2. Mengetahui cara menangani hewan secara manusiawi serta factor-faktor yang
mempengaruhi responnya.
3. Mengetahui sifat-sifat hewan percobaan.
4. Mengetahui rute pemberian obat berdasarkan respon pada hewan percobaan

II.

Dasar Teori
Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis
yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,
tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya
serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah
seperti berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik


Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-

macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya
obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek
terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah,
sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief,
1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal

b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan


c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung,
telinga
b. intrarespitotoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur,
saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada
keringat badan atau larut dalam cairan badan.
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan,
dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian
secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan
intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran
darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain
adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses
penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan
atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Penggunaan

hewan

percobaan

dalam

penelitian

ilmiah

dibidang

kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model
atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara
lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu
memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan
Rahardja,K, 2002).

Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula
diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbedabeda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa

sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G,
1989).
Hal-hal ini menyebabkan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerjanya
dalam waktu tertentu berbeda, tergantung pada rute pemberian obat. Meskipun rute
pemberian obat secara oral merupakan yang paling lazim, seringkali rute ini tidak
digunakan mengingat hal-hal yang dikemukakan, kondisi penerima obat itu sendiri.
Dalam percobaan ini yang akan dilakukan adalah pemberian obat secara oral,
intravena, intraperitonial, intramuscular, sub kutan dan rektal.
MENCIT
Mencit merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari mencit liar yang
paling umum, digunakan sebagai hewan percobaan dengan pemakaian 40%-80%.
Banyak keunggulan yang dimiliki oleh mencit adalah memiliki kesamaan fisiologis
dengan manusia , siklus hidup relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak,
variasi sifat yang tinggi, dan mudah dalam penanganan. Adapun ciri-ciri mencit
sebagai berikut :

Penakut dan fotofobik


Cenderung bersembunyi dan berkumpul dengan sesamanya
Mudah ditangani
Lebih aktif pada malam hari
Aktifitas terganggu dengan adanya manusia
Suhu normal badan 37,4oC
Laju respirasi 163 kali per menit

Volume Obat pada mencit


Cara pemberian obat
Intravena
Intramuskular
Intraperitonial
Subkutan
Oral

Volume (ml)
0,5
0,05
1
0,5
1

III.

Alat dan bahan

Alat suntik 1 ml,


Jarum oral,
Beaker glass
Batang pengaduk
Kapas alkohol
Tikus
putih,
jantan

(mencit)
NaCl (Natrium Clorida)
Larutan diazepam

IV.

Cara kerja
a. Rute pemberian obat secara oral (lewat tenggorokan)

Tikus dipegang tengkuknya, jarumoral telah dipasang pada alat suntik

berisi obat
Diselipkan dekat langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke

esophagus.
Larutan didesak keluar dari alat suntik
Maksimum pemberian 5 ml/100 g
b. Rute pemberian secara subkutan (tengkukan)
Pegang tikus yang akan disuntik
Penyuntikan biasanya dilakukan dibawah kulit tengkuk atau abdomen.
Seluruh jarum ditusukkan langsung kebawah kulit
Larutan obat didesak keluar dari alat suntik
c. Rute pemberian obat secara intravena (diekor)
Tikus dimasukkan kedalam alat khusus yang memungkinkan ekornya

keluar
Sebelum disuntikkan sebaliknya pembuluh vena pada ekor dilatasi
dengan cara dihangatkan atau dengan cara dioleskan dengan pelarut

organik seperti aseton atau etanol


Bila jarum suntik tidak masuk vena,terasa ada tahanan,jaringan ikat

disekitar daerah penyuntikan memutih.


Bila piston alat suntik ditarik tidak ada darah yang masuk kedalam
Bila harus dilakukan penyuntikan berulang maka penyuntikan harus
dimulai didaerah ekor.

d. Rute pemberian obat secara intraperitonial (sejajar kaki)

Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen

lebih tinggi dari kepala


Larutan obat disuntikkan pada abdomen bawah tikus disebelah garis
midsagital.

e. Rute pemberian obat secara intra muscular (di paha)

Larutan obat disuntikan kedalam sekitar gluteus maximus atau

kedalam otot paha lain dari kaki belakang.


Harus selalu dicek apakah jarum tidak masuk kedalam vena, dengan
menarik kembali piston alat suntik.

V.

Hasil Pengamatan

a. tabel data penyuntikan

Sistem
PO (2)
IM (2)

Ulangan ke-1
Tidur
Bangun
(waktu)
(waktu) (waktu)
10,15
10,44
13,02
20,5
1,45
Suntik

IV (3)
IP (3)

10,47
11,03

SC (2)

11,35

menit
10,54
11,4
11,15

menit
11,14
13,2
13,12

Ulangan ke-2
Tidur Bangun
(waktu)
(waktu) (waktu)
10,03
10,39
15,15
20
1,45
Suntik

10,5
10,47
10.53

menit
10,57
11,4
11.32

menit
11,25
13,02

Ulangan ke-3
Tidur
Bangun
(waktu)
(waktu) (waktu)
Suntik

10,52

11
22,46

11,2
2,24.23

menit

menit

12.08

b. perhitungan awal kerja obat phenolbarbital


rumus : waktu tidur waktu suntik

c. perhitungan lama kerja obat


Rumus : waktu bangun waktu tidur

VI.

Pembahasan
Mencit merupakan salah satu hewan yang sering digunakan sebagai objek
percobaan, dikarenakan adanya kesamaan fisiologi manusia. Pada praktikum kali ini,
mencit dijadikan objek percobaan terhadap cara kerja obat melalui beberapa cara
pemberian. Cara pemberian obat yang kami lakukan adalah dengan cara oral, subkutan,

intravena, intramuskular, dan intraperitonial. Pada percobaan ini, kami melakukan cara
pemberian obat secara intravena, obat yang kami gunakan adalah Phenobarbital.
Mencit dikondisikan dalam keadaan tenang, tidak dalam keadaan stress, untuk
mengurangi kesalahan penyuntikan. Sebelum diinjeksikan, bagian ekor mencit
disterilkan menggunakan kapas beralkohol.
Bagian ekor mencit diberikan alkohol terlebih dahulu, lalu diinjeksikan obat di
area tersebut, dengan sudut penyuntikan 45o. Obat bereaksi pada menit ke 10 setelah
diinjeksikan.
Reaksi yang ditimbulkan adalah mencit menjadi lebih tenang dan diam di satu
tempat dibandingkan keadaan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan fungsi dari obat
phenobarbital yaitu sebagai obat sedative, dengan efek samping yang ditimbulkan adalah
rasa kantuk dan menenangkan. Kerja obat lebih cepat dibandingkan pemberian obat
subkutan karena kecepatan absorsi pada subkutan adalah total luas permukaan dimana
terjadi penyerapan, menyebabkan kontriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan atau diperlama. Sedangkan pemberian obat intravena, obat langsung masuk
dalam aliran darah dan mengalir ke seluruh tubuh.
Reaksi obat bergantung pada cara pemberian obat, karena meyesuaikan kecepatan
pengabsorpsian/ penyerapan obat. Bila diurutkan dari kecepatan reaksi obat, intravena
merupakan cara yang paling cepat untuk melihat reaksi obat, sedangkan dengan cara
interperitonial pada urutan akhir.
Hasil dari praktikum ini, dilakukan perbandingan waktu reaksi obat pada setiap
cara pemberian obat dengan menggunakan data pengamatan kelompok lain. Berdasarkan
kecepatan reaksi obat, maka dapat diurutkan sebagai berikut:
Intravena memerlukan waktu 7,33 menit
Intramuskular memerlukan waktu 20 menit
Oral memerlukan waktu 32,5 menit
Subcutan memerlukan waktu 41,5 menit
Interperitonial memerlukan waktu 56,23 menit
Pada hasil ini, kecepatan reaksi obat yang terjadi sudah sesuai dengan teori yang
ada, yaitu intravena mengalami reaksi obat paling cepat karena tidak ada fase absorpsi
dan langsung maasuk kedalam pembuluh vena, sedangkan yang paling lambat bereaksi
adalah pemberian secara oral dikarenakan absorbsi dilakukan pada seluruh organ dalam
tubuh. Tetapi, ada beberapa kesalahan pada pemberian subkutan dan intramuskular,
dimana intramuskular bereaksi lebih cepat dibandingkan subkutan. Padahal menurut teori
yang ada, pemberian obat secara intramuskular lebih lambat dari subkutan dikarenakan
penyerapan obat bergantung pada besar kecilnya partikel suspensi.

Hal ini mungkin dikarenakan kesalahan pada saat mengamati tanda terjadinya
reaksi obat, atau mungkin salah menetukan waktu terjadinya reaksi. Untuk lama
beraksinya obat intravena lebih cepat dibanding cara pemberian obat yang lain yaitu 7,33
menit karena tidak melalui proses absorbsi. Cara pemberian obat secara oral memiliki
panjang waktu reaksi yang paling lama yaitu 32,5 menit, dikarenakan obat diabsorbsi
kedalam seluruh organ tubuh.

VII.

Kesimpulan
Mencit merupakan hewan yang mudah dan sering digunakan sebagai objek penelitian
khususnya penelitian tentang kerja obat. Pada praktikum ini kami menggunakan
mencit sebagai objek cara pemberian obat yang baik. Cara pemberian obat secara
parental, dapat dilakukan melalui intravena, subkutan, intramuskular, intraperitonial
dan oral. Dari praktikum ini didapat kecepatan reaksi obat yang diurutkan dari yang
tercepat sebagai berikut : intravena > intramuskular > oral > subkutan >
intraperitonial. Sedangkan untuk lama kerja obat intravena memiliki waktu yang
sedikit dibandingkan oral. Kecepatan reaksi obat dan lama kerjanya diperngaruhi oleh
cara absorbsi dan luas permukaan daerah absorbsi. Kesalahan hasil kecepatan reaksi
obat juga dapat dipengaruhi oleh kurang tepatnya melihat gejala awal reaksi obat.

VIII.

Daftar Pustaka
Ernst Mutschler. 1986. Dinamika Obat. Farmakologi dan Toksikologi. ITB,

Bandung
Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Depkes RI, Jakarta
Mariam, Siti. Penuntun Praktikum Farmakologi. Sekolah Tinggi Teknologi

Industri dan Farmasi, Bogor


Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-UI.
Holck, H.G.O., 1959, Laboratory Guide in Pharmacology, Burgess Publishing
Company : Minnesotta, 1-3

Katzung, Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.

IX.

Levine, R.R., 1978, Pharmacology : Drug actions and Reactions, 2nd edition,
little, Brown & company, Boston.

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai