Anda di halaman 1dari 4

A.

Latar belakang
Konflik sampit adalah pecahnya kerusuhan antara dua etnis di Indonesia,
konflik ini terjadi pada Februari 2001 dan terjadi sepanjang tahun itu. Perang sampit
ini terjadi antara etnis Dayak sebagai penduduk lokal dan Madura sebagai pendatang.
Kerusuhan sampit ini pecah pada 18 Februari 2001 dan sekitar 500 orang Madura
tewas.10.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Suku Madura pertama tinggal di
Kalimantan pada tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya
dalam kasus ini terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dan pendatang.
Dimana pendatang disana menguasai perekonomian, perindustrian, perkayuan dan
perindustrian. Suku Dayak kerap kali mengalah kepada suku pendatang. Mereka juga
sangat terdesak di tanahnya sendiri. Hingga kampung mereka pun berkali-kali
berpindah karena mengalah dari para penebang kayu(suku Madura) yang terus
mendesak mereka masuk ke dalam hutan. Suku Dayak juga sering mendapatkan
ketidakadilan dalam hukum bilamana suku Dayak yang menjadi korban.

B. Awal mula kejadian


Kerusuhan yang terjadi di sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan
yang terjadi oleh suku Madura yang sejak berdirinya Kalimantan Tengah telah
melakukan lebih dari 13 kali kerusuhan besar dan banyak sekali kerusuhan tersebut
yang mengakibatkan korban dari pihak Dayak. Sangat banyak kasus-kasus yang telah
memicu pertikaian antara kedua suku ini,yaitu :
1.

Pada tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa. Kasus tersebut hanya
diselesaikan dengan hukum adat.

2.

Tahun 1982 terjadi pembunuhan seorang Dayak oleh suku Madura, pelaku
tidak tertangkap karena kemungkinan pembunuh kembali ke pulau Madura.

3.

Tahun 1983, pengeroyokan satu orang dayak oleh tiga puluh orang Madura,
diadakan perdamaian antara kepala suku Dayak dan Madura.

4.

Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan
dibunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya
ringan.

5.

Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok
oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40,dengan skor orang
Madura mati semua. Padahal orang Dayak pada saat itu hanya ingin
mempertahankan diri dari orang Madura yang jumlahnya sangat banyak. Kasus

ini ditutup dengan hukuman berat bagi orang Dayak.


6.

Tahun 1997, anak laki-laki suku Dayak yang bernama Waldi tewas dibunuh
oleh orang Madura yang berjualan sate di daerah itu. Waldi tewas secara
mengenaskan dengan lebih dari tiga puluh tusukan di badannya.

7.

Tahun 1998, terjadi lagi pengeroyokan orang Dayak oleh 4 orang Madura.
Orang Dayak itu tewas. Kasus ini tidak terselesaikan karena pengeroyok tidak
dapat ditemukan karena kemungkinan telah kembali ke asalnya.

8.

Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum)


dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya,
namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya
tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya
membebaskannya tanpa tuntutan hukum.

9.

Tahun 1999, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang
suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam
perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan
orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat
kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.

10.

Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten


Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara
suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang
emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak,
tanpa penyelesaian hukum.

11. Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri


bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD
Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung
oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah
pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki
rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya
mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat
istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut
cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
12. Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai
oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
13. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh
pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para
pelaku lari, tanpa proses hukum.
14. Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur,
terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok

oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya
sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang
tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
15. Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh
karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
16. Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak
terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di
bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku
Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan
Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut
(25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

C. Terjadinya perang
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan
oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para
tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat
penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan
ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi
(mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran tanah
larangan orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang
Madura. Orang Dayak merasa sangat tersudut ditanahnya sendiri. Mereka seolah
tidak dilindungi dari pihak hukum. Sementara orang Madura semakin merasa diatas
angin di kota Sampit. Seakan mereka tidak peduli akan perasaan warga lokal disana.
Situsi semakin hari semakin panas. Orang Madura mempunyai keinginan untuk
menjadikan kota Sampit sebagai kota Sampang ke-2. Mereka melupakan pepatah di
tanah Borneo tersebut yaitu, ''dimana tanah dipijak,disitu langit dijunjung''. Pada
tanggal 18 februari 2002 di sebuah pasar di kota Sampit,seorang ibu yang sedang
hamil dibunuh dengan kejam. Perutnya dibelah dan janin dalam perut ibu tersebut
dikeluarkan lalu dibuang. Darah dari seorang ibu dan janinnya tadi dijadikan tinta
untuk menulis di sebuah spanduk besar yang bertuliskan, ''Sampit sebagai Sampang
kedua''. Kejadian ini memang sepertinya telah direncanakan oleh pihak
Madura.Mereka juga berkeliling kota Sampit sambil meneriakkan ''Matilah kau

Dayak''.

Bom molotof pun berjatuhan di rumah-rumah orang Dayak. Tidak sedikit

juga mereka membakar rumah orang Dayak. Orang Dayak menjadi takut dan mereka
berlari masuk ke dalam hutan. Kepala suku mereka telah sangat murka dan memberi
ultimatum kepada orang bahwa apabila dalam 3 hari mereka tidak keluar dari Sampit,
maka Dayak akan memerangi warga Madura. Sudah sangat banyak pengungsi dari
pihak Madura dan Dayak. Lebih dari 10.000 pengungsi telah diungsikan ke Surabaya
dan ke Palangkaraya. Ultimatum tadipun tidak dihiraukan oleh warga Madura
sehingga terjadilah perang etnis disana. Suku Dayak berhasil mengambil kembali
rumahnya yang hampir diambil oleh suku lain.Banyak rumah yang terbakar,
toko-toko milik kedua etnis tadi lenyap serta kurang lebih 500 korban tewas. Tidak
ada yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam kata lain perang hanya
meninggalkan tangis dan air mata, dan juga kenangan yang sangat menyakitkan.

D. Kesimpulan
Adanya masalah kesukuan seperti perebutan kekuasaan dan sulitnya
bernegosiasi terhadap pihak suku sehingga lambat laun akan menjadi konflik
horizontal di daerah. Untuk menyelesaikan masalah kesukuan seperti ini yang lebih
bertanggung jawab adalah pemerintahan daerah sebagai aktor utama namun perlu
juga bantuan dari pemerintahan pusat sebagai mentor dari pemerintahan daerah juga
peranan dari daerah tersebut. Memegang kendali terhadap tetua-tetua adat, tidak
hanya waktu dibutuhkan saja mereka dirangkul namun sedikit demi sedikit daerah
melakukan pendekatan. Pola seperti diyakini dapat membantu menumbuhkan sikap
saling percaya antara daerah dan tetua-tetua adat. Lebih mudah juga pemerintah
berkomunikasi kepada tetua-tetua adat apabila ada kejadian lagi seperti kejadian
sampit tersebut. Otonomi daerah juga seharusnya memperhatikan daerah-daerah
yang

rawan

bertikai.

Membangun

pos-pos

polisi,

penugasan

BRIMOB,

perawat-perawat, alat kesehatan yang memadai bahkan di daerah pedalaman diberi


evaluasi-evaluasi yang baik dan benar.

Anda mungkin juga menyukai