Oleh:
Eksy Andhika W
Amanda Yessica A
Finda Kartika G
Mutiara Rizky A
Aryo Seno
G99141067
G99141068
G99141069
G99141070
G99141071
Pembimbing :
dr. Adji Suwandono, S.H
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas
Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan
otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
4.
Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel
otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.
5.
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak.
Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan
hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright,
Aronowski, Barreto, 2008).
Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti
cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu
cedera penis dan skrotum.
d. Tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan
cedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas,
siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
e. Tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada
bagian lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke
arah distal lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James,
Corry dan Perry, 2000).
C. Penyebab Trauma Kepala
1. Mekanisme Terjadinya Kecederaan
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu
arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tibatiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
BAB III
VISUM ET REPERTUM
VISUM ET REPERTUM
Nomor : VER/
/SMF-ML/IX/2014
Pro Justitia
Berdasarkan surat dari Kepolisian, yang ditandatangani oleh: S. Rudi P, S.H.; Jabatan: -;
Pangkat: Brigadir; NRP 83091081; Nomor: -; Klasifikasi: Biasa; Lampiran: -; Perihal:
permintaan visum et repertum mayat atas nama Sukarno, maka saya yang bertanda
tangan di bawah ini dr. Adji Suwandono, SH sebagai dokter jaga pada Instalasi
Kedokteran Forensik Dan Medikolegal RSUD Dr. Moewardi menerangkan bahwa pada
hari Kamis, tanggal 11 September 2014 pukul 19.00 Waktu Indonesia Barat bertempat di
Ruang Otopsi Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD. Dr. Moewardi
telah melakukan pemeriksaan luar dan dalam atas jenazah yang menurut surat saudara:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------Nama
Jenis Kelamin
Usia
Agama
Pekerjaan
Kewarganegaraan
Tempat tinggal rumah
: Sukarno
: Laki - laki
: 63 tahun
: Islam
:: Indonesia
: Simo Mulyo 4/6 Kebak Kramat.
PEMERIKSAAN
Keadaan Jenazah
2.
Sikap Jenazah di
Atas Meja Otopsi
Kaku Jenazah
4.
Bercak Jenazah
5.
Pembusukan Jenazah
6.
Ukuran Jenazah
7.
Kepala
a. Rambut
b. Bagian yang
tertutup rambut
c. Dahi
d. Mata kanan
e. Mata kiri
8.
f. Hidung
g. Mulut
h. Dagu
i. Pipi kanan
j. Pipi kiri
k. Telinga
l. Leher
Dada
9.
Perut
10.
Jenis Kelamin
11.
12.
Anggota Gerak
Bawah
13.
Punggung
10
Pantat
15.
Dubur
II.
KESIMPULAN
Telah dilakukan pemeriksaan luar atas laki-laki beridentitas jelas pada hari Kamis
tanggal 11 September 2014 pukul 19.00. Waktu kematian kurang lebih 0-6 jam
sebelum pemeriksaan. Pada pemeriksaan luar di dapatkan adanya luka di kepala
sebelah kanan belakang dengan ukuran 2x2x0,5 cm berjarak 6 cm dari garis tengah,
luka lecet ukuran 2x2 cm dengan jarak 7,5 cm dari puncak kepala dan 7 cm dari garis
tengah, luka robek di belakang telinga kiri dengan ukuran 3x1x0,8 cm dengan jarak 5
cm dari telinga. Terdapat hematom di bagian belakang kepala dengan ukuran 10x10
cm. Dari kedua hidung dan telinga keluar darah. Pada perabaan dada didapatkan
seluruh tulang iga patah di sebelah kanan samping hingga ke belakang. Di sebelah kiri
terdapat retak tulang iga. Pada punggung didapatkan adanya patah pada tulang
belakang sepanjang 10 cm, dengan lokasi 20 cm dari perbatasan rambut dan leher.
Penyebab kematian diduga akibat adanya benturan pada kepala sehingga menyebabkan
perdarahan pada kepala. Penyebab pasti kematian tidak dapat ditentukan karena tidak
dilakukan visum dalam. Visum dalam tidak dilakukan sesuai dengan permintaan. ------III. PENUTUP
Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu
menerima jabatan berdasarkan Lembaran Negara Nomor 350 tahun 1937 dan Undangundang Nomor 8 Tahun 1981.--------------------------------------------------------------------Surakarta 11 September 2014
Dokter Pemeriksa,
11
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh saat melakukan visum, didapatkan adanya tanda
tanda khas perlukaan pada kecelakaan lalu lintas berupa adanya luka lecet, luka gesek,
luka robek, memar dan didapati adanya beberapa fraktur. Hasil visum menunjukkan
adanya luka robek di kepala sebelah kanan belakang dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 0,5 cm
berjarak 6 cm dari garis tengah, luka lecet ukuran 2 cm x 2 cm dengan jarak 7,5 cm dari
puncak kepala dan 7 cm dari garis tengah, luka robek di belakang telinga kiri dengan
ukuran 3 cm x 1 cm x 0,8 cm dengan jarak 5 cm dari telinga. Terdapat hematom di bagian
belakang kepala dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Dari kedua hidung dan telinga keluar
darah. Pada lengan atas terdapat luka lecet ukuran 15 cm x 13 cm. Pada perabaan dada
didapatkan fraktur costae dextra, dan retak costae sinistra. Pada punggung didapatkan
adanya fraktur pada vertebrae sepanjang 10 cm, dengan lokasi 20 cm dari perbatasan
rambut dan leher. Penyebab kematian diduga akibat adanya benturan pada kepala
sehingga menyebabkan perdarahan pada kepala. Dari hasil visum didapatkan adanya tanda
tanda fraktur basis cranii, diantara terdapatnya rhinorrhea dan ottorrhea.
Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Trauma tersebut
berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorang, perdarahan di ruang sekitar otak,
memar pada jaringan otak, atau kerusakan hubungan antar nervus pada otak. Fraktur basis
cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy
yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari benturan
pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak).
Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh
berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari
arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.
Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea
12
dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa
anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi
foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture
komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in
komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika
karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar
pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan
dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada
kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika
dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan
dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami
percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen
magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga
dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian
diteruskan ke arah occiput atau mandibula. Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah
pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial.
Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis
kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan
fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti
secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada
area kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini.
Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus),
daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis
ruda paksa kepala lainnya (14 kasus). Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher
terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi
skull fraktur hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi
wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al
13
1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu
menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms),
energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda
paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan
untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis cranii ketika
kepala mandibula yang dikenakan ruda paksa:
1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda
paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak
yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan uji
quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang
terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke
enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara
klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis cranii.
2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis cranii ketika beban langsung diberikan
kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan
secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap
kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur
ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk
fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini
konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa
ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula.
Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporomandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar
foramen magnum.
14