A. Pengertian
Secara bahasa, Mutazilah berasal dari kata azala, taazzala dan Itazala.
Artinya mengasingkan diri, menyingkir dan memisahkan diri. Ada beberapa
pandangan, mengapa mereka disebut Mutazilah, yaitu kelompok atau orang yang
mengasingkan dan memisahkan diri. Mereka adadalah Amr bin Ubaid, Washil bin
Atha al-Ghazzal dan para pengikutnya. Mereka disebut demikian, saat memisahkan
diri dari jamaah setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri awal abad kedua. Ketika itu
mereka dalam majelis dengan memisahkan diri dari jamaah, maka Qatadah dan
lainnya mengatakan, mereka adalah Mutazilah.1
Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (Itizal
siyasi), dimana mereka menamakan diri dengan mutazilah ketika Hasan bin Ali
membaiat Muawiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka
menetap di rumah-rumah dan masjid-mesjid.
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih karena perdebatan (Itizal kalam)
mengenai hukum pelaku dosa besar antara imam Hasan al-Bashri dengan Washil bin
Atha yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy2.
Disebutkan dalam kitab Al-Milal Wan Nihal ; pada suatu hari seorang laki-laki
masuk kedalam pengajian Imam Hasan al-Bashri dan bertanya: wahai imam, di
zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar
(yaitu kalangan waidiyah khawarij) dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan
maksiat tidak mempengaruhi iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama
sekali apabila bersama kekafiran (yaitu kalangan Murjiah). Bagaimana menurut
1
pendapat anda ? Imam Hasan al-Bahsri berfikir sejanak, namun Washil bin Atha
lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri; saya tidak mengatakan pelaku dosa
besar itu mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, namun dia berada
di satu posisi diantara dua posisi (al-manzilah bainal manzilatain), tidak mumin juga
tidak pula kafir. Berikutnya, dia pergi memisahkan diri dari masjid, maka Hasan alBashri berkata : Washil telah memisahkan diri dari kita..(Itazala anna washil).
Sejak itulah, Washil dan orang-orang yang mengikutinya disebut Mutazilah.
Tak terkecuali Amr bin Ubaid dan sahabat-sahabat (setelah kematian Hasan
al-Bahsri) yang meninggalkan halaqah para sahabat Hasan al-Bahsri semisal Qatadah.
Ayyub as-Sikhtiyani dan tokoh-tokoh lainnya.
Selain disebut Mutazilah pengikut aliran ini sering disebut kelompok Ahl atTauhid (golongan pembela tauhid), ahl at-Adl (pendukung paham keadilan Tuhan),
dan kelompok Qadariah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai
golongan Free will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak
dan berbuat ; al-Muatillah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan; dan Waidiah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang
yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa mereka.
Pendapat sebagian Orientalis, mereka dinamai Mutazilah kerna terdiri dari
orang-orang yang menjaga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenangsenang. Kata Mutazilah menunjukkan orang yang menyandang predikat itu hidup
zuhud terhadap dunia walaupun tidak semua penganut aliran ini demikian. Ada
sebagian yang betaqwa, ada pula yang melakukan pekerjaan-pekerjaan maksiat,
banyak yang baik dan ada pula yang jahat3.
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing
House, 1996) , cet.1 hal.150
Selain itu, menurut Ahmad Amin dalam Fajar al-Islam, berdasarkan catatancatatan al-Maqrizi bahwa diantara sekte Yahudi yang berkembang waktu itu dan
sebelumnya, sekte bernama Frosyem artinya Mutazilah (mengasingkan diri) yang
membicarakan masalah al-Qadr dan berpendapat
Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah, dan wasil mempunyai hubungan erat dengan
abu Hasyim. Jadi menurut al-Nasysyar, golongan mutazilah kedua timbul dari orangorang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, dan bukan dari
golongan mutazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.
Untuk mengetahui asal-usul mutazilah itu dengan sebenarnya memang sulit,
yang jelas ialah nama mutazilah sebagai designatic bagi aliran-aliran teologi rasionil
dan liberal dalam islam timbul setelah peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri di Basrah
dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa tersebut sudah terdapat kata-kata
itazala mutazilah5.
Dapat diketahui orang yang membina aliran mutazilah adalah Wasil Bin
Ata sebagaimana dikatakan Al-Masudi yakni kepala dan mutazilah pertama, ia lahir
di tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H, Wasil belajar pada Abu
Hasyim, Abdullah Ibn Muhammad,Ibn Al-hannafiah yang kemudian pindah ke basrah
dan belajar pada Hasan Al-Basri.
Bisa saja kata Mutazilah dipakaikan kepada kelompok orang yang memeluk
islam karena melihat adanya persamaan di antara keduanya. Mutazilah Yahudi
menafsirkan Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan Mutazilah islam
menawilkan semua sifat-sifat (Tuhan) yang disebutkan dalam al-Quran sesuai
dengan logika filsafat juga. Menurut al-Maqrizi tentang Frosyem yang mereka namai
dengan Mutazilah, bahwa mereka memahami apa yang terdapat dalam Taurat sesuai
dengan penafsiran para filosof pendahulu mereka.
mempunyai arti sama yaitu al ibtid ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam
ayat:
Artinya: Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta
mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu
(untuk melawan dan membunuh) mereka. (QS. An-Nisa: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mutazilah sebagai
satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain
dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho
dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan
murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mutazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran
Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar.
Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan
mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap
menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir.
Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu
menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya
mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi
antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara
surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang
diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Sebenarnya, kelompok Mutazilah ini telah muncul pada pertengahan abad
pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau
bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya
Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang
tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka
dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mutazilah muncul
karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mutazilah ini
menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut Mutazilah I: Muncul sebagai respon politik murni,
yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap
kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Seperti diketahui, setelah
Ustman terbunuh, Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini
mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. Aisyah, Zubair dan Thalhah
mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di
Damaskus, gubernur Muawiyah juga mengangkat senjata melawan Ali. Melihat
situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn Umar,
Saad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral6.
Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas.
Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (itazala) dan
memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
6
http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html di unduh
Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mutazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mutazilah
yang tumbuh di kemudian hari.
Golongan kedua disebut Mutazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murjiah akibat adanya peristiwa
tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa
besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang
sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mutazilah untuk golongan kedua ini terdapat
beberapa versi, di antaranya:
1.Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mutazilah ini bermula pada
peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha serta temannya, Amr bin Ubaid, dan
Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai
pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri
masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: Saya berpendapat
bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir. Kemudian dia
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid.
Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan
adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: Washil menjauhkan diri dari kita
(itazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa inilah yang disebut kaum Mutazilah.
2. Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha dan temannya, Amr
bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di
antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan
Mutazilah.
3. Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Daamah pada suatu hari
masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil
berkata, ini kaum Mutazilah. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mutazilah.
Ketika pertama kali muncul, aliran Mutazilah tidak mendapat simpati umat
Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaranajaran Mutazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini
kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap
tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran
Mutazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada
pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan
Mutazilah
semakin
kokoh
setelah
Khalifah
al
Ma'mun
menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al
Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa,
kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa
Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim).
Jika Al-Quran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini
hukumnya syirik.
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mutazilah adalah Wasil
Ibn Atha. Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam
forum ini muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa
besar. Wasil berkata dalam menentang pendapat Hasan.
Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah
washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya,
seperti Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah
Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang
asal usul aliran Mutazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat
mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah
menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja
tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mutazilah ini,
karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip
aliran tersebut.
buan pada uslubnya (gaya bahasa) dan balagah (retorika)-nya. Selain itu, ia juga
memberi penjelasan tentang alam Allah SWT, yaitu segala sesuatu yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat
baru dan tidak qadim11.
Al-Jahiz Abu Usman Bin Bahar (w.869), pencetus faham naturalism atau
kepercayaan aan huum alam yang oleh kaum mutazillah disebut sunnah Allah. Ia
antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudan oleh manusia itu sendiri, melainan ada pengaruh huum alam.
Al-JubaI (w.303 H), guru Abu Hasan al-Asyari, pendiri aliran asyariyah.
Pendapatnya yang masyhur yaitu tentang kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai kalam Allah SWT, ia sependapat
dengan Nazzam. Mengenai sifat-sifat Allah SWT, ia menerangan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak , dan mengetahui
berarti Dia berkuasa, dan berkehendak, dan mngetahui melalui esesnsi-Nya, bukan
dengan sifatnNya.
Tentang kewajiban manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok yaitu
kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalanya (wajibah aqliyah)
dan kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui ajaran-ajaran yang dibawa
para rasul dan nabi (wajibah syariah). Sementara itu daya akal menurut al-Jubai
sangat besar. Dengan akalnya, manusia dapat mengetahui yang baik dan yang buruk
serta mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini
menjadi ajaran mutazillah yang penting.
Muammar bin Abad, pendiri Mutazillah aliran Baghdad. Pendapatnya yang
penting yaitu tentang kepercayaan pada hukum alam, sama dengan pendapat al-Jahiz.
Ia mengatakan Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi, sementara al-arad
11
atau accidents (sesuatu yang dating pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum
alam.
Bisyr al-Mutamir (w. 210 H), ajarnya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Baginya, ana kecil tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di ahirat kelak karena ia belum mukalaf.
Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang
terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H), dianggap pemimpin Mutazillah yang yang
esktrim karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut
Syahrastani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Quran.
Ia juga menolak pendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di
akhirat.
Hisyam bin Amr al-Fuwati, berpendapat bahwa apa yang dinamakan syurga
dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan
adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum
waktunya orang memasuki surge dan neraka.
Sumamah bin Asyras (w. 213 H), berpendapat bahwa manusia sendirilah yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya arena dalam dirinya telah tersedia daya berbuat.
Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunya wahyu
dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk;
wahyu turun untuk memberikan konfirmasi12.
Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H), memberikan penafsiran yang berbeda
dengan pemuka Mutazillah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia
berpendapat bahwa jia Tuhan dikatakan berehendak, maka kehendak Tuhan itu
12
bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan bukan pula diwujudkan melalui zatNya. Jadi kehendak Tuhan itu bukan Zat-Nya dan terlebih lagi bukan sifatNya,
melainkan diinterpretasikan dengan Tuhan mengetahui dan berkuasa mewujudkan
perbuatanNya sesuai denganNya.
Dari tokoh-tokoh tersebut, sebagian mereka ada yang di Bashrah dan
sebagiannya ada yang di Baghdad dengan ajaran-ajarannya yang satu sama lainnya
ada persamaan da nada pula perbedaannya. Dalam beberapa sumber disebutkan,
bahwa Mutazilah merupakan sekte yang menganut paham atau pemikiran yang
mengandalkan rasio, mereka mengatakan bahwa akal (al-aql) mempunyai daya yang
kuat serta memberikan interpretasi secara liberal terhadap teks-teks Al-Quran dan alHadits.
Hal ini sama dengan filsafat Yunani dan Mutazilah termasuk yang paling
tertarik dengan filsafat tersebut.(Abddin Nata, Ilmu Kalam, Filafat dan Tasawuf, hal .
36). kesamaan yang ketertarikan tersebut lebih disebabkan karena terjadinya kontak
langsung antara ummat Islam dengan Filsafat Yunani yang secara historis dilakukan
oleh para khalifah Abbasiyah, yaitu Al-Manshur (756-775 M), al-Mahdi (w.784 M),
Harun al-Rasyid (786-808 M), al-Mamun (813-833 M), dan al-Mutashim (w. 841
M).
Mereka itulah yang menyuruh para ahli untuk menyalin buku-buku Yunani ke
dalam bahasa Arab dan menerbitkan kitab-kitab yang lengkap. Kegiatan tersebut
lebih semarak lagi pada masa al-Mamun, diantaranya dengan berdirinya Baitul
Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan penelitian yang
dilengkapi dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para ilmuwan
dan filosof. Dari gesekan pemikiran tersebut, nampak jelas dampaknya bahwa
Mutazilah menjadi landasan teologis kaum rasionalis.
Untuk mengetahui corak rasional ajaran Mutazilah, dapat dicermati dalam
ajaran-ajaran pokok mereka yang disebut al-Ushul al-Khamsah, yaitu lima dasar
keyakinan Mutazilah
a. Al-Tauhid (Keesaan Tuhan)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan
tentang mustahilnya melihat Allah di Akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah
substansi Dzatnya sendiri serta Al-Quran adalah makhluk. Dengan demikian, mereka
pun disebut kaum Muaththilah yaitu penganut paham yang mengingkari adanya
sifat-sifat Allah. Mereka berkata : Kami menghendaki sifat-sifat maany. Juga
mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan Dzatnya sendiri (yakni tanpa perantara
sifat-sifatNya). (Mahmud Basuni Fuadah, at-Tafsir wa manahijuh, hal 101).
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik
golongan
Mutazilah
saja.
Tetapi
mereka
menafsirkan
sedemikian
rupa
dan
Tuhan dalam arti sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada berarti Tuhan
tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha Mengetahui, maha mendengar, maha
hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan.
Sifat-sifat Tuhan itu merupakan esensi Tuhan
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) di kutip
pandangan al-Asyari yang menyebutkan bahwa kaum Mutazilah menafsirkan
Tauhid sebagai berikut : Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamaiNya, bukan benda
(jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradhtidak berlaku
padanya tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bias disifati dengan sifatsifat yang ada pada mahkluk yang menunjukkan ketidak azaliaNya. Tidak dibatas,
tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai panca indra, tidak
dapat dilihat mata kepala dan tidak bias di gambarkan akal pikiran. Ia Maha
Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang
yang berkuasa dan orang yang hidup, hanya Ia sendiri yang Qodim, dan tidak ada
lainnya yang Qodim, tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang
diciptakanNya dan tidak membikin makhluk karena contoh yang telah ada terlebih
dahulu.
Dengan kecenderungan tauhidnya yang sungguh-sungguh, maka mereka di
kenal dengan Ahli Tauhid atau Ashhabut tauhid wal Adl (Ahmad Hanafi, Hal.42 dan
as-Syahrastani, al-Milal wan Nihal,hal.43).
b. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Berdasarkan prinsip ini, mereka membina keyakinannya bahwa Allah
bukanlah yang menciptakan semua makhluk yang ada dalam alam ini. Maksdunya
paham keadilan yang dikehendaki Mutazilah adalah bahwa Tuhan tidak
menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat
mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan
Qudrah (kekuasaan) yang di tetapkan Tuhan pada diri manusia itu.
kewajiban-kewajiban seperti
memberikan
rizqi
bagi
manusia,
mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia
dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Hal ini tidak bisa diterima oleh golongan Ahl alsunnah wa al-jamaah.
berbuat dosa besar tanpa ia bertobat, tiada sebagaimana faham murjiah yang mengatakan
bahwa dapat saja orang berbuat dos abesar tanpa berbuat Tuhan akan mengampuni, jika
Tuhan menghendaki. Yang erat hubungannya dnegan ajaran dasar ini ialah ajarannya tentang
al-shalah wa al-ashlah, yaitu berbuat baik dan terbaik bagi manusia, kemudian al-luthf,
pengiriman rasul kepada umat manusia dan al-quran bersifat qadim
e. Al-amr bil maruf wa al-nahi an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan
larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mutazilah saja, tetapi
juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran
tersebut menurut Mutazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan
atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja 14.
Dengan berpengangan kepada Al-Quran surat Ali-Imran ayat 104 dan surat Luqman
ayat 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk
berbuat jahat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mutazillah ; dalam keadaan
normal pelaksanaan al-amru bil maruf wan nahyu anil munkar itu cukup dengan seruan
saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsip ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan
berselisih pandangab dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil
maruf wan nahyu anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak
cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, dan
jika dengan tangan juga tidak cukup, maka prinsip tersebut haruslah dilaksanakan dengan
senjata. Dalam hal ini mereka tidak pandang bulu antara penguasa dan rakyat biasa.
E. Mazhab-mazhab Mutazillah dan ajaran-ajaranya
a. Al-washiliyah
Meraka adalah pengikut Abu hudzaifah Washil bin Atha al-Ghazal al-Altsag (80131 H), dengan empat dasar ajarannya meniadakan sifat-sifat Allah, meniadakan tadir
Allah( sependapat dengan Mabad al-Juhani dan Ghilan ad-Dimasyqi), serta paham Manzilah
bainal man zilatain. Dan mengatakan salah satu dari dua pihak yang etrlibat dalam perang
jamal (perang unta) dan shiffin bersalah tanpa menunjukkan pihak yang mana. Mereka juga
mengatakan pihak yang membunuh dan membela Utsman fasik tanpa menunju pihak yang
mana. Derajak fasik yang paling rendah menurut mereka kesaksiannya tidak diterima.
b. Al-Hudzailiyyah
Mereka adalah pengikut Abu Huzail Hamdan Bin al-Huzail al-Allaf (135-226 H),
dia mengambil fikrah Mutazillah dari Utsman Bin Khalid athwil (murid Washil) diantara
14
http://idhamstain.blogspot.com/2009/04/mutazilah-dan-pemikirannya.htm
pandangannya adalah manusia didunia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan Allah
sedikitpun (Qadariyul Ula) namun di akhirat mereka diciptakan Allah (jabariyul akhirat),
proses orang yang kekal dalam neraka terputus dan tidak menerima perubahan (pendapat ini
mirip dengan jahm bin sofwan yang menurutnya surge dan neraka fana juga), dan dalam
masalah yang ghoib hujjah tidak akan tegak kecuali dengan khabar dari 20 orang dan diantara
yang 20 ini ada seorang atau lebih ahli surga karena bumi tidak kosong dari wali Allah yang
masum. Merekalah yang menjadi hujjah bukan hadits mutawatir karena bias saja
sekelompok orang berdusta jika mereka bukan wali Allah. Adapun yang mendukung Abu
Huzail diantaranya Abu Yaqub as-Syaham dan al-Adami.
c. An-Nazhzhamiyah
Mereka adalah pengikut Ibrahim bin sayar bin Hani an-Nazhzham (tokoh Mutazillah
yang banyak mengkaji filsafat). Di antara pendapatnya: Allah tidak mampu menciptakan
keburukan dan kemaksiatan seluruh perbuatan hamba itu adalah gerak dan diam termasuk
gerak hati, ijma dan qiyas bukanlah hujjah, hujjah itu hanya imam yang masum dan mereka
cenderung kepada Rafidhah.
d. Al-Khobithiyah dan al-Haditsiyah
Merea adalah pengikut Ahmad Bin Khabit (w. 232 H) dan fadhl al-Haditsi (w. 257 H)
keduanya murid an-Nazhzham. Diantara ajarannya: menetapkan sifat keTuhanan al-Masih
bin Maryam, manusia yang berbuat dosa nantinya akan dihidupkan kembali dalam wujud
binatang atau manusia yang sesuai dengan kadar kejahatan dan kebaikannya, menawilkan
seluruh hadits shahih tentang melihat Allah dan berpengang pada hadits palsu tentang akal;
makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah akal al-Khabit pun berpendapat,
seluruh hewan adalah ummat, karenanya setiap umat ada rasul dari bangsanya. Dengan
demikian ada rasul dari semu gajah dan seterusnya.
e. Al-Bisyriyyah
Mereka adalah pengikut Bisyr bin Mutamar. Di antara ajarannya adalah : siapa
bertaubat atas dosa lalu mengulangi dosa itu lagi, maka ia kan mendapat hukuman atas dosa
yang pertama yang dikerjakan sebelum taubat.
f.
Al-Muammariyyah
Mereka dalah pengikut Muammar bi Ibad as-Sulami (220 H). Di antara ajaranya
adalah bahwa yang dimiliki manusia adalah hanya keinginan saja, adapun perbuatan
taklifiyah seperti makan, bergerak, ibadah dan seterusnya tak lain adalah wujud dari
keinginannya. Allah mustahil mengetahui dirinya karena apabila hal itu terjadi berarti antara
alim (mengetahui) dengan yang malum (Yang diketahui) tidak satu.
g. Al-Mardariyyaah
Mereka adalah pengikut Isa bin Shabih (226 H), yang dijuluki dengan nam Abu
Musa atau Mardar (ia murid Bisyir bin Mutamar). Dikenal dengan hidup zuhudnya sehingga
dijuluki rahibul mutazillah, artinya pendeta mutazilah.daianatar ajarannya adalah : alQuran itu makhluk, karena itu manusia bias saja membuat buku yang semisal alQuran baik
segi balahgah, fashahah, maupun mazm nya. Ia mengkafirkan orang yang meetapkan alQuran
itu kekal (qadim), bahkan mengkafirkan seluruh umat islam. Ibrahim asindi menyindir sikap
berlebihannya dengan mengatakan : surge itu seluas tujuh lapis langit dan bumi, yang boleh
masuk ke dalamnya hanya anda dan tiga orang teman anda yang sependapat dengan anda.
Adapun murid-murid Mardar, diantaranya Ja;far al- Harb as-tsaqafi, Jafan bin Mubasyir alHambali (keduanya dikenal Jafaran), abu Jufar dan Muhammad bin suwaid.
h. As-Tsumamiyyah
Mereka adalah pengikut Tsumamah bin an-Numairi (213 H). Dia merupakan
pemimpin Mutazillah zaman al-Maun al-Mutasim dan al-Watsiq. Pendapatnya merupakan
sinkrestisme ajaran dan filsafat. Salah satu pendapatnya adalah orang fasik yang tetap dalam
kefasikkanya tanpa berobat sampai akhir hayatnya akan kekal dalam neraka dan orang kafir,
musyrik, penganut majusi, nasrani, yahudi, zindiq dan atheis pada hari kiamat nanti menjadi
tanah seperti juga binatang dan anak orang yang tak beriman.
i.
Al-Hisyamiyyah
Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amr al-fuwathi (226 H). tokoh ini
pandangannya lebih ekstrim dari rekan-rekannya yang semazhab tentang takdir, yaitu
menolak penyandaran suatu perbuatan kepada Allah. Allah tidak mempersatukan hati kaum
muslimin, Allah tidak akan menjadikan orang beriman mencintai iman dan tidak pula
menghiasi keindahan iman kedalam hatinya, menolak bahwa Allah berkuasa mengunci hati
manusia dan saat ini surga belum diciptakan karena tidak ada gunanya. Dalam hal politik
menolak imamah yang diangkat pada masa fitnah.
j.
Al-Jahizhiyah
Mereka pengikut Amr bin Bahr Abi utsman al-Jahiz. Dia termasuk Mutazilah yang
banyak menulis buku mazhab Mutazillah yang dalam tulisannya, al-Jahizh menggunakan
metode, gaya bahasa, dan argumentasi yang sangat menarik. Hidup apada masa pemerintahan
al-Mutashim dan al-Mutawakkil. Salah satu ajarannya adalah diantara penduduk neraka ada
yang tidak kekal, namun sifatnya berubah menjadi sifat api dan al-quran mempunyai jasad,
suatu saat bias berwujud laki-laki dan bias berwujud hewan.
k. Al-Khayyathiyyah dan Al-Kabiyyah
Mereka adalah pengikut Abu Husain bin Abi Amr al-Khayyat (300 H). Guru Abu Qasim bin
Muhammad al-Kabi. Diantara ajarannya adalah : kehendak Allah (iradah) bukan sifat yang
terdapat pada Zat Allah; iradah bukan sifat ZatNya, iradah sifat dan bukan ZatNya. Yang
dimaksud Allah berkehendakdalam perbuatanNya dan tidak ada yang mempengaruhinya.
Maka apabila dikatakan bahwa Allah Maha Berkehendak dalam perbuatannya itu berarti
Allah yang memerintah dan Allah senang terhadap perbuatan manusia.
l.
Mereka adalah pengikut Abu Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubai (w.295 H) dan
anaknya Abu Hasyim Abdus Salam (w. 231 H). Keduanya mengakui bahwa Allah Maha
berkata-kata dan kalam Allah adalah ciptaanNya yang ditempatkan pada suara dan huruf.
Karena itu hakikat kalam menurut mereka berdua terdiri dari suara yang terputus-putus dan
terdiri dari huruf.
Dikatakan mutakallim (yang pandai bicara) bukan yang sedang bicara. Al-Jubbai
berbeda pendapat dengan reka-rekannya semazhab khususnya mengenai Allah menciptakan
kalam pada saat orang sedang membaca kalam yang dilahirkan dalam bentuk suara dan
huruf. Oleh karena yang dibaca oleh pembaca buka kalam Allah, apa yang didengar buka
kalam Allah. Karena kalau dikatakan kalam Allah berarti mengakui adanya sesuatu yang
tidak akan terjadi pengakuan terhadap dua kalam pada suatu tempat.
Pendapat lainnya mereka sepakat dengan Ahlus sunnah bahwa imam itu dipilih,
urutan khulafaur Rasyidin menunjukkan keutamaan mereka. Meskipun ekstrim dalam
kemakshuman nabi baik dari dosa kecil maupun dosa besar sampai niat berbuat dosa
sekalipun, disamping itu mereka pun mengingkari karomah para wali baik dimasa sahabat
ataupun sesudahnya.
muqalafatililqawatisi, dsb. Jadi sangat jelas bahwa ajaran at-Tauhid ini menyimpang
dengan esensi Al-Quran. Pada kasus ini, orang-orang Mutazilah salah menafsirkan
sifat-sifat Allah. Sifat yang banyak tidak berarti Allah berbilang-bilang. Allah tetap
Esa dengan segala sifat-sifatnya.
At-Tauhid juga mengajarkan bahwa Allah tidak dapat diterka dan dilihat
mata walaupun di akhirat nanti. Ajaran ini juga tidak sesuai dengan Al-Quran,
karena di Al-Quran dikatan barang orang-orang soleh akan berjumpa dengan Allah
nanti di akhiat. Aliran Mutazilah juga tidak menyebutkan atas dasar apa ajaran ini
dikeluarkan, jadi kefalidannya tidak jelas.
Ajaran ketiga aliran Mutazilah adalah janji dan ancaman yang di dalamnya
tertulis bahwa di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan
al-Wadu wal Waid (janji dan ancaman). Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa
siapa yang selalu berolawat atas Nabi maka di hari akhir akan mendapat Syafaatnya.
Memang Syafaat ini hanya untuk orang-orang yang taat, jadi orang-orang yang
berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat sudah dipastiakan tidak akan
mendapat Syafaat di hari akhir. Sesuai eseni Al-Quran, Syafaat ada di hari akhir, jadi
ekali lagi ajaran ini menyimpang dari dasar-dasar agama Islam.
Selanjutnya yaitu ajaran tentang tempat diantara dua tempat, tempat bagi
orang Fasik, yaitu orang-orang Mutazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak
Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan
neraka. Ajaran ini sangat membingungkan, karena Mutazilah sendiri tidak
mendiskribsikan bagaimana keadaan tempat tersebut. Bisa tempat yang setengah
surga dan setengah neraka, atau mungkin bisa juga tempat yang setengah panas dan
setengah indah. Kalau dipikir secara logika sangat tidak rasional. Tidak adil juga jika
orang yang berbuat dosa besar tidak disiksa dalam neraka, padahal dikatakan dalam
Al-Quran, jangankan dosa besar, dosa sekecil zahro saja akan dipertangjawabkan
yaitu berupa siksa api neraga. Lalu bagaimana bisa orang yang berbuat dosa besar
tidak masuk dalam neraka.
Dalam ajaran amar maruf nahi munkar, Mutazilah mengatakan bahwa
Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau
diluruskan. Tercatat oleh sejarah bahwa kaum Mutazilah pernah membunuh ulamaulama Islam diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang ulama
pengganti Imam Syafii dalam suatu peristiwa Quran Makhluk. Pada ajaran ini
kaum Mutazilah menggunakan dasar al-Hadist yang artinya siapa diantaramu yang
melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu. Nampaknya salah
penafsiran terjadi kembali pada ajaran ini. Hadist mengatakan rubahlah dengan
tanganmu sendiri maksudnya tidak dengan kekerasan tangan (membunuh) seperti
yang dilakukan kaum Mutazilah tersebut. Namun bagaimana kita bertindak untuk
membenarkan mereka yang salah dengan halus dan sopan seperti cara Rasul
menyebarkan ajaran Islam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan amar
maruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya maruf (kebaikan) bagi kaum
Mutazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan maruf (kebaikan) yang sesuai
dengan Quran15.
15
http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html
di