Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi rahmat dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan tugas paper yang
berjudul Eritroderma.
Adapun tujuan tugas paper ini adalah sebagai salah satu persyaratan dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
RSUD dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Dame Maria Pangaribuan, Sp. KK atas bimbingan dan masukan yang telah
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas paper ini.
Penulis menyadari bahwa tugas paper ini masih belum sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan tugas paper ini. Semoga tugas paper ini dapat berguna bagi kita semua.
Octaviani Filantika
209 210 223
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................................
BAB II
2.3.2. ..........................................................................................................
11
13
13
13
14
16
19
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Eritroderma juga dikenal sebagai exfoliative dermatitis atau pitriasis rubra.
2.2.
Epidemiologi
Insiden eritroderma berdasarkan beberapa studi sangat bervariasi antara
0,9-71 tiap 100.000. Rasio kejadian penyakit eritroderma pada laki-laki lebih
tinggi daripada wanita yaitu 2:1 hingga 4:1. Eritroderma lebih banyak terjadi pada
rentang
usia
antara41-61
tahun.
Lebih
dari
50%
kasus
eritroderma
2.3.
Etiologi
Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang terbatas pada
kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik. Dermatosis yang menyebabkan
eritroderma merupakan penyakit yang terbanyak mendasari timbulnya eritroderma
yakni mencapai 52% dari kasus-kasus eritroderma. 23% dari kasus-kasus
eritroderma dicetuskan oleh psoriasis, spongiotic dermatitis menyebabkan
eritroderma sebesar 20%, eritroderma akibat reaksi obat sebesar 15% dan akibat
cutaneous T cell lymphoma (CTCL) atau sezary syndrome sebesar 5%. Sekitar
20% dari kasus-kasus eritroderma tidak dicetuskan oleh penyakit yang
mendasarinya dan diklasifikasikan sebagai eritroderma idiopatik.
2.4.
Patogenesis
Patogenesis timbulnya eritroderma berkaitan dengan patogenesis dari
unsur protein
yang
lebih
tinggi
daripada
umumnya
akan
2.5.
Gambaran klinis
Riwayat
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan etiologi
anamnesis
dapat
diperoleh informasi
mengenai
Manifestasi dermatologi
Secara klinis eritroderma ditandai dengan adanya eritema dan sisik yang
lebih dari 90% luas permukaan kulit. Penyakit ini umumnya diawali sebagai plak
eritema yang timbul akibat dilatasi kapiler. Setelah beberapa hari hingga minggu
plak eritema akan menjadi lebih terang dan menyebar hampir ke seluruh
permukaan kulit.
Deskuamasi mulai beberapa hari setelah onset eritem dan tampak pertama
kali pada fleksura. Skuama yang terbentuk biasanya berwarna putih atau kuning.
Akibat proses deskuamasi ini kulit akan tampak kering berwarna merah tua yang
dilapisis kuama yang mengelupas.
Eritroderma kronis juga akan bermanifestasi pada kulit kepala dimana
pada kulit kepala timbul sisik (skuama), kelainan kuku berupa onikolisis,
hiperkeratosis subungual, perdarahan, paronikia, beau lines, dan bahkan dapat
terjadi onikomadesis.
2.6.
Pengobatan
Penyakit eritroderma memerlukan perawatan medis yang serius, oleh
Manajemen awal
Pada fase ini perlu dilakukan pengawasan dan pengontrolan asupan cairan dan
elektrolit karena dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi ataupun
menyebabkan pasien menjadi gagal jantung akibat overload.
Mencegah hipotermia
Pada pasien erittroderma dapat timbul komplikasi berupa hipotermia yang
disebabkan gangguan pada fungsi termoregulasi di kulit sehingga kulit akan
melepaskan panas tubuh secara spontan. Untuk mencegah komplikasi tersebut
perlu dilakukan pengaturan suhu lingkungan sekitar pasien agar tetap hangat.
Selain itu untuk mencegah penguapan panas tubuh yang berlebihan dapat
dimanfaatkan wet dressings.
Menghindari menggaruk
Penggunaan antihistamin dapat diberikan pada pasien eritroderma sebagai terapi
simtomatis terhadap rasa gatal. Sensasi gatal yang timbul pada permukaan kulit
merupakan bagian dari alergi imunologi yang disebabkan oleh histamin yakni
pada reseptor H1. Sehingga antihistamin H1 akan menekan reseptor H1 akibatnya
rasa gatal akan berkurang.
karena
kolonisasi
bakteri
dapat
menyebabkan
eksaserbasi
eritroderma.
Mengurangi edema
Pada pasien eritroderma akan terjadi peningkatan pembentukan skuama.
Pembentukan skuama ini memerlukan protein sebagai bahan dasar. Akibatnya
protein di dalam tubuh menurun, terjadi hipoalbuminemia. Albumin yang rendah
di dalam darah menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga cairan intrasel
akan mengisi jaringan interstitiel (terjadi edema). Untuk mengurangi edema dapat
diberikan obat-obat diuretika.
Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien eritroderma yang dicetuskan
oleh
psoriasis
karena
dapat
menyebabkan
reborn
flare.
Eritroderma
Methotrexate
Methotrexate
adalah
golongan
antimetabolik
yang
awalnya
ditujukan
Cyclosporin
Cyclosporin adalah golongan obat imunosupresif. Selain digunakan sebagai obat
transplantasi, cyclosporin juga digunakan pada psoriasis, dermatitis atopik berat,
kadang digunakan pada rheumatoid arthtritis.
Mycophenolat mofetil
Mycophenolat mofetil (MMF) termasuk dalam golongan obat imunosupresif yang
merupakan etil ester asam mycofenolic yang dimetabolisme menjadi obat
aktif mycofenolic acid (MPA). Metabolit aktif MPA telah digunakan sejak dulu
untuk mengobati psoriasis rekalsitrans yang berat. MMF efektif dan aman untuk
pengobatan beberapa kelainan kulit autoimun dan inflamasi termasuk pemfigus,
pemfigoid, lupuseritematosus, dermatomiositis, pioderma gangrenosa, lichen
planus, penyakit graft versus host, dermatitis actinic kronik dan cutaneus
vaskulitis.
2.7.
Komplikasi
Komplikasi sistemik eritroderma meliputi gangguan keseimbangan cairan
hipoalbuminemia. Pada lesi akan mudah terbentuk kolonisasi bakteri yang akan
menimbulkan reaksi inflamasi, pecah-pecah, dan ekskoriasi pada kulit. Pasien
eritroderma akibat CTCL atau HIV-AIDS sebagai penyakit yang mendasari akan
lebih rentan terjadi sepsis oleh bakteri stafilokokus.
BAB III
KESIMPULAN
1. Eritroderma
adalah
suatu
penyakit
kulit
dengan
gambaran
dermatologis berupa eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari
90% area permukaan kulit.
2. Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang
terbatas pada kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik.
3. Prinsip pengobatan pasien eritroderma antara lain manajemen awal,
menghindari faktor pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein,
menjaga kelembaban kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah
infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik, mengurangi edema,
penggunaan kortikosteroid sistemik, methotrexate, cyclosporin, dan
mycophenolat mofetil.
DAFTAR PUSTAKA