Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi rahmat dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan tugas paper yang
berjudul Eritroderma.
Adapun tujuan tugas paper ini adalah sebagai salah satu persyaratan dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
RSUD dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Dame Maria Pangaribuan, Sp. KK atas bimbingan dan masukan yang telah
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas paper ini.
Penulis menyadari bahwa tugas paper ini masih belum sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan tugas paper ini. Semoga tugas paper ini dapat berguna bagi kita semua.

PematangSiantar, 2 Mei 2014


Penulis,

Octaviani Filantika
209 210 223

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..............................................................................................................

Kata Pengantar .............................................................................................................

Daftar Isi ........................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN .......................................................................................

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................

2.1. Definisi ........................................................................................................

2.2. Epidemiologi ................................................................................................

2.3. Etiologi .........................................................................................................

2.4. Patogenesis ...................................................................................................

2.5. Gambaran Klinis ...................................................................................

2.3.2. ..........................................................................................................

2.3.3. Patogenesis ......................................................................................

2.3.4. Klasifikasi .......................................................................................

2.3.5. Manifestasi Klinis ...........................................................................

2.3.6. Diagnosis .........................................................................................

11

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................

13

2.3.8. Diagnosis Banding ..........................................................................

13

2.3.9. Komplikasi ......................................................................................

13

2.3.10. Penatalaksaan ..................................................................................

14

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................

16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................

19

BAB I
PENDAHULUAN

Kulit merupakan organ terluar tubuh. Organ ini sangat mudah


menunjukkan gejala apabila timbul kelainan. Salah satu kelainan yang dapat
terjadi pada kulit adalah eritroderma. Eritroderma, juga dikenal sebagai dermatitis
eksfoliatif merupakan kelainan pada kulit dengan gambaran dermatologis berupa
eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90% area permukaan kulit.
Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang dermatosis,
sistemik, infeksi, keganasan dan congenital. Insiden eritroderma berdasarkan
beberapa studi sangat bervariasi antara 0,9-71 tiap 10.000. Rasio kejadian
penyakit eritroderma pada laki-laki lebih tinggi daripada wanita yaitu 2:1 hingga
4:1. Eritroderma lebih banyak terjadi pada rentang usia antara 41-61 tahun. Lebih
dari 50% kasus eritroderma dilatarbelakangi oleh penyakit yang mendasarinya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai eritroderma meliputi definisi,
epidemiologi, etiologi, pathogenesis, gambaran klinis, riwayat, manifestasi
dermatologi, komplikasi dan penatalaksanaan sehingga mendapat pemahaman
tentang eritroderma secara menyeluruh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Eritroderma juga dikenal sebagai exfoliative dermatitis atau pitriasis rubra.

Eritroderma adalah suatu penyakit kulit dengan gambaran dermatologis berupa


eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90% area permukaan kulit.

2.2.

Epidemiologi
Insiden eritroderma berdasarkan beberapa studi sangat bervariasi antara

0,9-71 tiap 100.000. Rasio kejadian penyakit eritroderma pada laki-laki lebih
tinggi daripada wanita yaitu 2:1 hingga 4:1. Eritroderma lebih banyak terjadi pada
rentang

usia

antara41-61

tahun.

Lebih

dari

50%

kasus

eritroderma

dilatarbelakangi oleh penyakit yang mendasarinya dimana psoriasis merupakan


penyakit terbanyak yang dapat mendasari terjadinya eritroderma yakni sebesar
25% kasus. Laporan terkini menyatakan 87 dari160 kasus eritroderma didasari
oleh psoriasis berat.

2.3.

Etiologi
Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.

Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang terbatas pada
kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik. Dermatosis yang menyebabkan
eritroderma merupakan penyakit yang terbanyak mendasari timbulnya eritroderma
yakni mencapai 52% dari kasus-kasus eritroderma. 23% dari kasus-kasus
eritroderma dicetuskan oleh psoriasis, spongiotic dermatitis menyebabkan
eritroderma sebesar 20%, eritroderma akibat reaksi obat sebesar 15% dan akibat
cutaneous T cell lymphoma (CTCL) atau sezary syndrome sebesar 5%. Sekitar
20% dari kasus-kasus eritroderma tidak dicetuskan oleh penyakit yang
mendasarinya dan diklasifikasikan sebagai eritroderma idiopatik.

Penyebab eritroderma yang kurang umum pada pasien dewasa antara


lain penyakit imunobulosa, penyakit jaringan ikat, infeksi yang meliputi skabies
dan dermatofit, pitiriasis rubra piliaris (PRP) dan penyakit keganasan.

2.4.

Patogenesis
Patogenesis timbulnya eritroderma berkaitan dengan patogenesis dari

kelainan yang mendasari timbulnya penyakit ini. Mekanisme kelainan yang


mendasari akan bermanifestasi sebagai eritroderma seperti dermatosis yang
menimbulkan eritroderma atau bagaimana timbulnya eritroderma secara idiopatik
tidak diketahui secara pasti. Riset terbaru mengenai imunopatogenesis dari infeksi
yang diperantarai toksin, misalnya teori yang mengatakan bahwa kemungkinan
kolonisasi stafilokokus aureus atau antigen lain, seperti toksin-1 toxic shock
syndrome, berperan dalam patogenesis eritroderma. Pada pasien eritroderma
ditemukan kolonisasi S. Aureus di hidung pada 83 persen dan pada kulit dan
hidung pada 17 persen pasien.
Peningkatan immunoglobulin E (IgE) dapat terjadi pada berbagai kelainan
yang mendasari terjadinya eritroderma, dan mekanismenya pun dapat berbedabeda.Misalnya pada eritroderma karena psoriasis, dimana peningkatan IgE adalah
akibat perubahan dari profil sitokin T helper 1 pada psoriasis menjadi sitokin
Thelper 2 pada eritroderma karena psoriasis. Mekanisme ini berbeda dengan over
produksi IgE primer pada dermatitis atopik. Sindroma hiper IgE adalah suatu
defisiensi imun yang berhubungan dengan eritroderma, pada kasus ini produksi
IgE tinggi akibat ketidakcukupan sekresi interferon selektif. Peningkatan IgE ini
mungkin terkait dengan proses penyakit yang mendasari atau dengan manifestasi
penyakit sebagai eritroderma.
Jumlah sel germinal dan kecepatan mitosis pada kulit dengan eritroderma
meningkat dibandingkan dengan kulit normal, sehingga waktu transit sel melalui
epidermis menjadi lebih pendek. Akibatnya protein, asam amino, dan asam
nukleat yang memediasi proses tersebut akan lebih cepat hilang dari tubuh.
Kehilangan

unsur protein

yang

mempengaruhi proses metabolisme.

lebih

tinggi

daripada

umumnya

akan

2.5.

Gambaran klinis
Riwayat
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan etiologi

dari eritroderma. Dari

anamnesis

dapat

diperoleh informasi

mengenai

kemungkinan faktor pencetus termasuk diantaranya riwayat penyakit sebelumnya


(riwayat dermatosis, keadaan kesehatan sistemik), riwayat keluarga, dan
penggunaan obat-obatan.
Pada pasien yang memiliki riwayat psoriasis dan dermatitis atopik harus
ditanyakan dengan jelas mengenai pengobatan dengan kortikosteroid topikal dan
sistemik, methotrexate, dan pengobatan sistemik lainnya; iritan topikal,
penyakitsistemik; infeksi; dan stres emosional. Waktu onset sangat penting untuk
menentukan etiologi dari eritroderma. Eritroderma yang dicetuskan oleh reaksi
obat biasanya waktu onsetnya cepat. Kecuali yang menjadi pencetusnya obat-obat
seperti antikonvulsan, antibiotik, dan allopurinol, dimana reaksinya terjadi 2-5
minggu setelah pengobatan.

Manifestasi dermatologi
Secara klinis eritroderma ditandai dengan adanya eritema dan sisik yang
lebih dari 90% luas permukaan kulit. Penyakit ini umumnya diawali sebagai plak
eritema yang timbul akibat dilatasi kapiler. Setelah beberapa hari hingga minggu
plak eritema akan menjadi lebih terang dan menyebar hampir ke seluruh
permukaan kulit.
Deskuamasi mulai beberapa hari setelah onset eritem dan tampak pertama
kali pada fleksura. Skuama yang terbentuk biasanya berwarna putih atau kuning.
Akibat proses deskuamasi ini kulit akan tampak kering berwarna merah tua yang
dilapisis kuama yang mengelupas.
Eritroderma kronis juga akan bermanifestasi pada kulit kepala dimana
pada kulit kepala timbul sisik (skuama), kelainan kuku berupa onikolisis,
hiperkeratosis subungual, perdarahan, paronikia, beau lines, dan bahkan dapat
terjadi onikomadesis.

2.6.

Pengobatan
Penyakit eritroderma memerlukan perawatan medis yang serius, oleh

karena itu pasien

dengan eritroderma perlu dirawat di rumah sakit. Prinsip

pengobatan pasien eritroderma antara lain manajemen awal, menghindari faktor


pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein, menjaga kelembaban kulit
pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder baik lokal maupun
sistemik, mengurangi edema, penggunaan kortikosteroid sistemik, methotrexate,
cyclosporin, dan mycophenolat mofetil.

Manajemen awal
Pada fase ini perlu dilakukan pengawasan dan pengontrolan asupan cairan dan
elektrolit karena dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi ataupun
menyebabkan pasien menjadi gagal jantung akibat overload.

Menghindari faktor pencetus


Semua obat

yang dianggap sebagai faktor pemicu eritroderma harus

dihentikan pemakaiannya, termasuk obat-obat yang mengandung lithium dan obat


antimalaria yang dapat menjadi pencetus pada pasien dengan psoriasis.

Mencegah hipotermia
Pada pasien erittroderma dapat timbul komplikasi berupa hipotermia yang
disebabkan gangguan pada fungsi termoregulasi di kulit sehingga kulit akan
melepaskan panas tubuh secara spontan. Untuk mencegah komplikasi tersebut
perlu dilakukan pengaturan suhu lingkungan sekitar pasien agar tetap hangat.
Selain itu untuk mencegah penguapan panas tubuh yang berlebihan dapat
dimanfaatkan wet dressings.

Diet cukup protein


Pada pasien eritroderma terjadi penggunaan protein yang berlebihan karena terjadi
peningkatan pembentukan skuama. Kehilangan banyak protein ini akan
menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia. Karena itu asupan gizi yang cukup
protein sangat berguna dalam proses terapi pasien eritroderma.

Menjaga kelembaban kulit


Pada pasien eritroderma kulit akan cenderung kering dan bersisik. Kulit
yangkering dan menjadi retak-retak berisiko untuk terjadi infeksi sekunder yang
bersifat lokal. Untuk itu diperlukan bahan yang dapat menjaga kelembaban kulit.
Emollient merupakan bahan yang melembutkan dan melembabkan kulit.
Emollient merupakan bahan dasar untuk kosmetik dan berfungsi untuk membatasi
hilangnya cairan. Ada lima kategori emollient antara lain hidrokarbon, waxes,
natural lipid poliester, ester, dan eter dengan berat molekul rendah dan silikon.

Menghindari menggaruk
Penggunaan antihistamin dapat diberikan pada pasien eritroderma sebagai terapi
simtomatis terhadap rasa gatal. Sensasi gatal yang timbul pada permukaan kulit

merupakan bagian dari alergi imunologi yang disebabkan oleh histamin yakni
pada reseptor H1. Sehingga antihistamin H1 akan menekan reseptor H1 akibatnya
rasa gatal akan berkurang.

Mencegah infeksi sekunder


Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien yang terbukti mendapat infeksi
sekunder baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Pemberian antibiotik sistemik
pada pasien yang tidak terbukti mengalami infeksi sekunder juga memberikan
keuntungan

karena

kolonisasi

bakteri

dapat

menyebabkan

eksaserbasi

eritroderma.

Mengurangi edema
Pada pasien eritroderma akan terjadi peningkatan pembentukan skuama.
Pembentukan skuama ini memerlukan protein sebagai bahan dasar. Akibatnya
protein di dalam tubuh menurun, terjadi hipoalbuminemia. Albumin yang rendah
di dalam darah menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga cairan intrasel
akan mengisi jaringan interstitiel (terjadi edema). Untuk mengurangi edema dapat
diberikan obat-obat diuretika.

Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien eritroderma yang dicetuskan
oleh

psoriasis

karena

dapat

menyebabkan

reborn

flare.

Eritroderma

yangdisebabkan oleh psoriasis berespon baik metotrexat, cyclosporin, acitretin,


dan mycophenolat mofetil. Kortikosteroid sistemik berguna untuk eritroderma
yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas obat, spongiotic dermatitis dan
papuloerythroderma of Ofuji. Selain itu kortikosteroid sistemik dapat digunakan
sebagai terapi empiris pada eritroderma yang tidak diketahui etiologinya. Dosis
kortikosteroid yang digunakan adalah 1-2mg/kg/hari dengan taper.

Methotrexate

Methotrexate

adalah

golongan

antimetabolik

yang

awalnya

ditujukan

untuk pengobatan keganasan hematologi dan beberapa tumor epitel. Kemudian


obat ini digunakan untuk mengobati penyakit yang tidak tergolong penyakit
keganasan seperti rheumatoid arthritis, asma, penyakit graft versus host, psoriasis,
cutaneus celllymphoma dan sarcoidosis.

Cyclosporin
Cyclosporin adalah golongan obat imunosupresif. Selain digunakan sebagai obat
transplantasi, cyclosporin juga digunakan pada psoriasis, dermatitis atopik berat,
kadang digunakan pada rheumatoid arthtritis.

Mycophenolat mofetil
Mycophenolat mofetil (MMF) termasuk dalam golongan obat imunosupresif yang
merupakan etil ester asam mycofenolic yang dimetabolisme menjadi obat
aktif mycofenolic acid (MPA). Metabolit aktif MPA telah digunakan sejak dulu
untuk mengobati psoriasis rekalsitrans yang berat. MMF efektif dan aman untuk
pengobatan beberapa kelainan kulit autoimun dan inflamasi termasuk pemfigus,
pemfigoid, lupuseritematosus, dermatomiositis, pioderma gangrenosa, lichen
planus, penyakit graft versus host, dermatitis actinic kronik dan cutaneus
vaskulitis.
2.7.

Komplikasi
Komplikasi sistemik eritroderma meliputi gangguan keseimbangan cairan

dan elektrolit, gangguan termoregulator, infeksi, syok kardiogenik, sindrom gawat


napas, dekompensasi pada penyakit hati kronis, dan ginekomastia. Cairan dan
elektrolit hilang melalui kapiler-kapiler yang bocor akibatnya terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Hilangnya protein pada pasien eritroderma
terjadi melalui pembentukan skuama yang lebih dari normal dimana
pada pembentukan skuama meningkat hingga 20-30%.
Hilangnya protein yang signifikan menyebabkan negative nitrogen balance
(keseimbangan nitrogen negatif)

yang dapat menimbulkan edema dan

hipoalbuminemia. Pada lesi akan mudah terbentuk kolonisasi bakteri yang akan
menimbulkan reaksi inflamasi, pecah-pecah, dan ekskoriasi pada kulit. Pasien
eritroderma akibat CTCL atau HIV-AIDS sebagai penyakit yang mendasari akan
lebih rentan terjadi sepsis oleh bakteri stafilokokus.

BAB III
KESIMPULAN

1. Eritroderma

adalah

suatu

penyakit

kulit

dengan

gambaran

dermatologis berupa eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari
90% area permukaan kulit.
2. Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang
terbatas pada kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik.
3. Prinsip pengobatan pasien eritroderma antara lain manajemen awal,
menghindari faktor pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein,
menjaga kelembaban kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah
infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik, mengurangi edema,
penggunaan kortikosteroid sistemik, methotrexate, cyclosporin, dan
mycophenolat mofetil.

DAFTAR PUSTAKA

1. William D James, Timothy G Berger, Dirk M Elston. Exfoliative


Dermatitis. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10 th ed.
Canada: WBSaunders Company.2006:215-2162.
2. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff
K,Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed. Chicago:
McGraw-Hill Company,2008: 225-32.
3. Tugba Rezan Ekmekci, Adem Koslu. Erythroderma in a Young Healthy
Man. Dermatology Online Journal 12 (6): 23

Anda mungkin juga menyukai