Anda di halaman 1dari 27

Menjerat Si Macan

TAHUN itu tidak ada serangan mendadak lagi dari


pihak Mino. Sementara itu, Tokichiro hampir selesai
dengan pekerjaan interior serta pekerjaan garis
pertahanan luar yang masih tersisa. Pada awal bulan
pertama di tahun berikutnya, ia, disertai Koroku,
menghadap Nobunaga untuk mengucapkan selamat
Tahun Baru, sekaligus memberikan laporan.
Selama Tokichiro pergi telah terjadi perubahan
besar. Rencana yang pernah diusulkannya ternyata
diterima. Benteng Kiyosu, yang memiliki kekurangan
dari segi letak maupun persediaan air, telah ditinggal-
kan. Nobunaga memindahkan tempat kediamannya
ke Gunung Komaki. Para penduduk kota Kiyosu pun
hijrah bersama junjungan mereka, dan sedang mem-
bangun kota baru di kaki Benteng Komaki.
Ketika Nobunaga menerima Tokichiro di benteng-
nya yang baru, ia berkata, "Aku telah berjanji. Kau
boleh menempati Benteng Sunomata, dan upahmu
kunaikkan menjadi lima ratus kan." Menjelang
berakhirnya pertemuan mereka. Nobunaga memper-
lihatkan rasa terima kasihnya dengan memberikan
nama baru pada pengikutnya yang telah berjasa. Mulai
saat itu Tokichiro akan dipanggil Kinoshita Hideyoshi.
"Kalau kau sanggup membangunnya, benteng itu
milikmu," begitulah janji Nobunaga semula. Tapi
ketika Hideyoshi kembali untuk melaporkan bahwa
pembangunan benteng telah selesai. Nobunaga hanya
berkata. "Kau boleh menempati Bentcng Sunomata."
dan tidak menyinggung soal kepemilikan. Sebenarnya
tak banyak bedanya, tapi Hideyoshi menganggapnya
sebagai isyarat bahwa kemampuannya untuk menjadi
komandan benteng belum terbukti. Hal ini disimpul-
kannya ketika mendengar bahwa Koroku yang baru-
baru ini menjadi pengikut marga Oda berkat
rekomendasi Hideyoshi ditugaskan di Sunomata
sebagai pembantu Hideyoshi. Tetapi Hideyoshi bukan-
nya mendongkol karena sikap junjungannya, melain-
kan berkata. "Dengan segala kerendahan hati. Tuanku,
daripada menerima upah lima ratus kan yang hendak
tuanku anugertahkan, perkenankanlah hamba me-
rebut tanah dengan nilai yang sama dari Mino. Setelah
memperoleh izin Nobunaga, pada hari ketujuh di
tahun yang baru Hideyoshi kembali ke Sunomata.
"Kita membangun benteng ini tanpa menyebabkan
satu pun pengikut Yang Mulia mengalami cedera, dan
tanpa menggunakan satu pun pohon atau batu dari
wilayah kesatuan Yang Mulia. Barangkali kita juga bisa
merebut tanah dari tangan musuh dan hidup dengan
upah dari para dewa. Bagaimana menurutmu,
Hikoemon?"
Koroku telah melepaskan nama lamanya, dan sejak
Tahun Baru, menggantinya menjadi Hikoemon.
"Menarik juga." Hikoemon membalas. Kini ia
sepenuhnya setia pada Hideyoshi. Ia bersikap seolah-
olah ia pengikut Hideyoshi, dan sama sekali melupa-
kan hubungan mereka sebelumnya.
Dengan mengerahkan pasukannya setiap kali ada
kesempatan, Hideyoshi menyerang daerah-daerah
sekitar. Tentunya tanah yang berhasil ia rebut semula
merupakan bagian dari Mino. Tanah yang ditawarkan
Nobunaga padanya bernilai lima ratus tapi tanah yang
ditaklukkan Hideyoshi bernilai lebih dari dua kali
lipat.
Ketika Nobunaga mengetahui ini, ia memaksakan
senyum. "Si Monyet itu saja sudah cukup untuk
merebut seluruh Provinsi Mino. Ternyata ada orang di
dunia ini yang tidak pernah mengeluh."
Sunomata telah diamankan. Nobunaga merasa
seolah-olah Mino sudah jatuh ke tangannya. Tetapi
meski mereka menyangka telah berhasil menggeser
perbatasan Mino, pusat kekuatan marga Saito, yang
dipisahkan oleh Sungai Kiso dari Owari, tetap tak
terusik.
Dengan memanfaatkan benteng baru di Sunomata
sebagai pangkalan, Nobunaga dua kali mencoba
menembus pertahanan Mino, tapi gagal. Ia merasa
seperti menghantam dinding besi. Namun ini tidak
mengejutkan bagi Hideyoshi maupun Hikoemon.
Bagaimanapun, kali ini pihak musuh bertempur
untuk mempertahankan nyawa. Pasukan Owari yang
kecil takkan mungkin mengalahkan Mino dengan
taktik-taktik biasa.
Dan masih ada lagi. Setelah pembangunan benteng
selesai, pihak musuh menyadari kelalaian mereka dan
mempetajari Hideyoshi dengan lebih saksama. Monyet
ini muncul entah dari mana, dan meskipun ia tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh marga Oda,
ia jelas pejuang yang hebat dan panjang akal, yang
tahu bagaimana menggerakkan anak buahnya.
Reputasinya justru lebih cepat menanjak di mata
pihak musuh daripada di mata orang-orang Oda, dan
akibatnya pasukan musuh semakin memperkuat
pertahanan mereka. Orang-orang Saito menyadari
bahwa mereka tak boleh lalai lagi.
Setelah mengalami dua kekalahan, Nobunaga
mundur ke Gunung Komaki untuk menanti
penghujung tahun. Tapi Hideyoshi tidak menunggu.
Dari bentengnya ia dapat memandang Dataran Mino
sampai ke Pegunungan Tengah. Berdiri dengan tangan
terlipat, ia bertanya dalam hati. "Apa yang harus kita
lakukan dengan Mino?" Pasukan besar yang
dikerahkannya tidak bermarkas di Gunung Komaki
maupun di Sunomata. melainkan di dalam benaknya.
Begitu turun dari menara jaga dan kembali ke
ruangannya, Hideyoshi menyuruh Hikoemon meng-
hadap.
Hikoemon muncul seketika. dan bertanya. "Apa
yang dapat hamba lakukan untuk tuanku?" Tanpa
mcngindahkan hubungan mereka sebelumnya, ia
memberi hormat pada laki-laki yang lebih muda itu.
"Mendekatlah sedikit."
"Dengan izin tuanku.
"Yang lain boleh pcrgi sampai aku memanggil
kalian." Hideyoshi berkata kepada para samurai yang
mengelilinginya. Kemudian ia berpaling pada
Hikoemon. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu."
"Baik. Apa itu?"
"Tapi pertama-tama," Hideyoshi berkata sambil
merendahkan suara. "kurasa kau lebih mengenal
kondisi Mino daripada aku. Menurutmu, di mana
letak dasar kekuatan Mino, yang membuat kita tak
dapat tidur nyenyak di Sunomata?"
"Pada orang-orang mereka yang paling mampu.
hamba rasa."
"Pada orang-orang yang paling mampu. Jadi, pasti
tidak berkaitan Saito Tatsuoki."
"Tiga Serangkai dari Mino mengucapkan sumpah
setia pada masa ayah dan kakek Tatsuoki."
"Siapa Tiga Serangkai itu?"
"Hamba rasa tuanku pasti sudah mendengar kabar
mengenai mereka. Ada Ando Noritoshi, komandan
Benteng Kagamijima." Hideyoshi meletakkan satu
tangan pada lutut dan menjulurkan satu jari sambil
mengangguk. "Iyo Michitomo, komandan Benteng
Sone."
"He-he." Jari kedua.
"Dan Ujiie Hitachinosuke, penguasa Benteng
Ogaki." Jari ketiga.
"Ada lagi?"
"Hmm." Hikoemon memiringkan kepala. "Selain
mereka, masih ada Takenaka Hanbei. Tapi sudah
beberapa tahun terakhir ini dia menghentikan
pengabdiannya pada marga Saito, dan hidup
menyendiri di Bukit Kurihara. Hamba rasa tuanku
belum memperhitungkan dia."
"Hmm, kalau begitu, pertama-tama kita bisa
menyimpulkan bahwa Tiga Serangkai itu merupakan
tonggak utama kekuatan Mino. Betulkah itu?"
"Hamba kira begitu."
"Itulah yang ingin kubicarakan denganmu.
Menurutmu, adakah cara untuk merobohkan tonggak
itu?"
"Hamba menyangsikannya," Hikoemon menang-
gapi. "Laki-laki sejati adalah laki-laki yang berpegang
teguh pada ucapannya. Dia tidak tcrgoda oleh nama
dan kemasyhuran. Sebagai contoh, seandainya
Tuanku diminta mencabut tiga gigi sehat, tuanku
tentu takkan melakukannya, bukan?"
"Masalahnya tidak sesederhana itu. Pasti ada
jalan...." Hideyoshi menjawab perlahan-lahan.
"Pasukan musuh beberapa kali melakukan serangan
pada waktu kita sedang membangun benteng, tapi
ketika itu ada satu jendral musuh yang tidak berbuat
apa-apa."
"Siapa itu?"
"Osawa, komandan Benteng Unuma."
"Ah, Osawa Jirozacmon, si Macan dari Unuma."
"Orang itu... si Macan... mungkinkah kita bisa
menghubungi dia melalui seorang kerabatnya?"
"Osawa mcmpunyai adik laki-laki, namanva
Mondo." ujar Hikoemon. "Sudah beberapa tahun adik
hamba, Matajuro, maupun hamba sendiri, menjalin
hubungan baik dengannya."
"Ini berita bagus." Hideyoshi melampiaskan
kegembiraannya dengan bertepuk tangan. "Di mana
tempat tinggal Mondo ini?"
"Kalau hamba tidak salah, dia mengabdi di kota
Inabayama."
"Utus adikmu sekarang juga. Moga-moga saja dia
bisa menemukan Mondo."
"Kalau perlu, hamba sendiri yang akan pergi," jawab
Hikoemon. "Apa rencana tuanku?"
"Dengan menggunakan Mondo. aku ingin menjauh-
kan Osawa dari marga Saito. Setelah itu, aku akan
memanfaatkan Osawa untuk mcmisahkan Tiga
Scrangkai dari Mino satu per satu, persis seperti
mencabut gigi."
"Hamba ragu apakah tuanku sendiri dapat
melakukannya, tapi untung saja Mondo tidak seperti
kakaknya, dan sangat memperhatikan keuntungan
pribadi."
"Tidak. Mondo saja tidak cukup untuk membujuk
si Macan dari Unuma. Kita memerlukan pemain lain
untuk memasukkan harimau itu ke dalam kerangkeng.
Dan kupikir kita bisa menggunakan Tenzo untuk itu."
"Bagus! Tapi rencana apa yang telah tuanku siapkan
untuk mereka bcrdua?"
"Begini, Hikoemon." Hideyoshi bergerak mendekat
dan membisikkan rencananya ke telinga Hachisuka
Hikoemon.
Sesaat Hikoemon menatap Hideyoshi. Rambut
Hideyoshi dan rambutnya sendiri sama-sama hitam,
jadi dari mana ide gemilang itu muncul? Ketika mem-
bandingkan kecerdikan Hideyoshi dengan dirinya
sendiri, Hikoemon terkagum-kagum.
"Hmm, aku ingin Matajuro dan Tenzo segera mulai
bergcrak." Hideyoshi berkata.
"Hamba mengerti. Tapi mereka akan menyusup ke
wilayah musuh. Jadi mereka harus menunggu sampai
tengah malam sebelum menyeberangi sungai."
"Kuminta kau menjelaskan rencana ini secara
terperinci pada mereka, lalu memberikan perintah
selanjutnya."
"Tentu, tuanku."
Setelah tahu apa yang harus dilakukannya.
Hikoemon mengundurkan diri dari ruangan
Hideyoshi. Saat ini, lebih dari setengah pasukan di
benteng terdiri atas bekas ronin dari Hachisuka. Kini
mereka telah menetap dan menjadi samurai.
Adik Hikoemon, Matajuro, dan kcponakannya,
Tcnzo, menerima perintah dari Hikoemon, menyamar
sebagai saudagar dan meninggalkan benteng malam
itu untuk menuju sarang musuh, kota Inabayama.
Baik Tenzo maupun Matajuro cocok sekali untuk misi
semacam ini. Satu bulan kemudian, setelah
menyelesaikan tugas, mereka kembali ke Sunomata.
Di seberang sungai di Mino, desas-desus mulai
beredar:
"Ada sesuatu yang mencurigakan pada diri si Macan
dari Unuma."
"Osawa Jirozaemon sudah bcrtahun-tahun ber-
sekongkol dengan Owari."
"Pantas saja dia tidak mengindahkan perintah Fuwa
ketika pembangunan benteng di Sunomata sedang
berlangsung. Seharusnya mereka bekerja sama, tapi
Osawa sama sekali tidak mengerahkan pasukannya."
Desas-desus ini mengundang spekulasi lebih lanjut.
"Dalam waktu dekat, Yang Mulia Tatsuoki akan
memanggil Osawa Jirozaemon ke Inabayama untuk
minta pertanggungjawaban atas kekalahan di
Sunomata."
"Benteng Unuma akan disita. Segera setelah si
Macan pergi ke Inabayama."
Scsungguhnya desas-desus yang beredar di Mino ini
timbul akibat hasutan Watanabe Tenzo, dan di
baliknya ada Hideyoshi yang duduk di bentcng di
Sunomata.
"Tidakkah kau sependapat bahwa waktunya sudah
tiba? Berangkatlah ke Unuma sekarang juga."
Hideyoshi berkata pada Hikoemon. "Aku telah
menulis surat yang harus kauserahkan pada Osawa."
"Baik, tuanku."
"Kau harus bisa membujuknya. Atur hari dan
tempat pertemuan." Dengan membawa surat
Hideyoshi. Hikoemon diam-diam mengunjungi
Unuma.
Ketika mendengar bahwa utusan rahasia dari
Sunomata tiba di bentengnya. Osawa bertanya-tanya
apa gerangan maksudnya. Si Macan dari Unuma yang
garang ini sudah beberapa waktu kelihatan sedih dan
tidak bahagia. Berpura-pura sakit, ia menghindari
semua orang. Belum lama ini ia menerima panggilan
untuk segera datang ke Inabayama, dan baik keluarga
maupun para pengikutnya merasa cemas. Osawa
sendiri mengumumkan bahwa sakitnya terlalu parah
untuk melakukan perjalanan, dan sepertinya ia
memang tidak berminat meninggalkan bentengnya.
Desas-desus tadi juga telah sampai ke Unuma, dan
Osawa menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Ia
menyesalkan tuduhan palsu yang dilontarkan oleh
pengikut-pengikut yang gemar memfitnah. Ia pun
menyesalkan kekacauan yang melanda marga Saito
karena kebodohan Tatsuoki. Namun tak ada yang
dapai diperbuatnya, dan ia tahu bahwa suatu hari ia
akan terpaksa melakukan seppuku. Pada saat inilah
Hikoemon mendatanginya secara diam-diam dari
Sunomata. Osawa memutuskan untuk bertindak.
"Aku akan menemui dia," kata Osawa.
Surat Hideyoshi diserahkan pada Osawa. Begitu
selesai membaca surat itu. Osawa membakarnya.
Kemudian ia memberikan jawaban secara lisan.
"Waktu dan tempat pcrtemuan akan kuberitahukan
dalam beberapa hari. Kuharap Yang Mulia Hideyoshi
akan berada di sana."
Setelah itu, dua minggu berlalu. Sebuah pesan dari
Unuma tiba di Sunomata dan Hideyoshi, disertai
sepuluh orang saja, termasuk Hikoemon, menuju
tempat pcrtemuan yang telah ditentukan, sebuah
rumah sederhana tepat di tengah-tengah antara
Unuma dan Sunomata. Sementara para pengikut dari
kedua belah pihak tetap berjaga-jaga di tepi sungai.
Hideyoshi dan Osawa menaiki perahu kecil dan
menuju ke tengah Sungai Kiso. Pada waktu mereka
duduk berlutut saling berhadapan, yang lain bertanya-
tanya apa gerangan yang sedang mereka bicarakan.
Perahu kecil itu bagaikan selembar daun yang
dipermainkan arus sungai dan pembicaraan itu ber-
akhir tanpa kejadian yang tak diinginkan.
Setelah kembali ke Sunomata, Hideyoshi mem-
beritahu Hikoemon bahwa Osawa mungkin akan
berkunjung dalam waktu sekitar satu minggu. Dan
benar saja, beberapa hari kemudian Osawa diam-diam
pergi ke Sunomata. Hideyoshi menerimanya dengan
ramah, dan pada hari itu juga ia membawa Osawa ke
Benteng Komaki, sebelum orang lain sempat
menyadari kehadirannya. Seorang diri Hideyoshi lalu
menghadap Nobunaga.
"Hamba datang bcrsama Osawa Jirozaemon, si
Macan dari Unuma." Hideyoshi melaporkan pada
Nobunaga. "Setelah mendengar uraian hamba,
pendiriannya berubah dan dia bertckad meninggalkan
orang-orang Saito untuk bergabung dengan marga
Oda. Kalau tuanku sudi berbicara langsung dengan-
nya, tuanku akan mendapatkan seorang jendral yang
luar biasa berani, sekaligus mempcroleh Benteng
Unuma, tanpa perlu berbuat apa-apa."
Nobunaga, dengan kesan heran pada wajahnya,
tampak merenungkan ucapan Hideyoshi. Hideyoshi
agak terpukul karena junjungannya tidak memper-
lihatkan kegembiraan. Ia tidak mengharapkan pujian
atas usahanya, tapi menarik si Macan yang garang dari
Unuma dari tangan musuh, dan membawanya ke sini
untuk menemui Nobunaga, sesungguhnya mcrupakan
hadiah yang sangat berarti.
Semula Hideyoshi menyangka Nobunaga akan
senang. Tapi ketika memikirkannya, ia sadar bahwa ia
telah bertindak tanpa memohon restu terlebih dulu
dari Nobunaga. Mungkin itulah sebabnya. Raut muka
Nobunaga mendukung kesimpulan itu. Seperti bunyi
pepatah lama, paku yang terlalu menonjol akan
dihantam dengan palu. Hideyoshi menyadari hal ini,
dan ia terus-menerus mengingatkan dirinya bahwa ia
terlalu menonjol. Meski demikian, ia tak sanggup
duduk berpangku tangan, tidak melakukan sesuatu
yang ia tahu menguntungkan bagi pihaknya.
Akhimya dengan enggan Nobunaga mengangguk-
kan kcpala. Hideyoshi membawa Osawa ke dalam.
"Tuanku sudah dewasa sekarang." kata Osawa
dengan nada ramah. "Mungkin tuanku mengira ini
pertama kali kita bertemu, tapi sesungguhnya hari ini
hamba mendapat kehormatan untuk berjumpa kedua
kalinya. Pertemuan pertama terjadi lima betas tahun
lalu, di Kuil Shotoku di Tonda, ketika tuanku
menemui bekas junjungan hamba, Yang Mulia Saito
Dosan. Ketika itu hamba salah seorang pembantunya."
Nobunaga hanya menjawab. "Begitukah?" Seperti-
nya ia sedang mempelajari watak tamunya.
Osawa berbicara dengan tulus, tanpa berusaha
menyanjung Nobunaga. Ia pun tidak mencoba
menyenangkan hati Nobunaga sambil merendah.
"Mcski tuanku musuh hamba, hamba terkesan dengan
sepak terjang tuanku dalam tahun-tahun terakhir.
Ketika hamba pertama kali melihat tuanku di Kuil
Shotoku, tuanku kelihatan seperti anak muda yang
nakal. Tapi setelah apa yang hamba lihat hari ini,
hamba menyadari bahwa pemerintahan tuanku ber-
lainan dengan pendapat umum." Osawa berbicara
sebagai orang dengan kedudukan setaraf, terus terang
dan seadanya. Osawa bukan saja laki-laki pemberani, ia
pun berbudi luhur, pikir Hideyoshi.
"Kita akan bertemu lagi dalam kesempatan lain dan
meneruskan perbincangan ini. Ada beberapa urusan
yang harus kuselesaikan hari ini." ujar Nobunaga, lalu
berdiri dan mengakhiri pertemuan.
Beberapa waktu kemudian ia memanggil Hideyoshi
untuk bertemu empat mata. Apa pun yang dikatakan
Nobunaga, setelah itu Hideyoshi tampak bingung
sekali. Tapi, tanpa menceritakan apa-apa pada Osawa,
ia memainkan peran tuan rumah yang baik dan meng-
hibur Osawa di Bentcng Komaki.
"Ucapan Yang Mulia akan kubeberkan setelah kita
kembali ke Sunomata."
Setelah mereka kembali ke benteng Hideyoshi dan
mendapat kesempatan bcrbicara berdua saja.
Hideyoshi berkata. "Jendral Osawa, aku telah menem-
patkan Tuan ke dalam posisi sulit, dan satu-satunya
cara untuk menebusnya adalah dengan kematianku.
Tanpa berunding dengan Tuan Nobunaga, aku men-
duga bahwa Yang Mulia berpikiran sama denganku,
dan akan menyambut gembira kedatangan Tuan
sebagai sckutu. Tapi ternyata pandangan beliau
berlainan sekali dengan pandanganku." Hideyoshi
mendesah. Kemudian, sambil terdiam, ia menunduk-
kan kcpala.
Osawa pun telah mcnyadari bahwa sambutan
Nobunaga kurang menggembirakan. "Tuan kelihatan
cemas sckali, tapi sebenarnya tak ada alasan untuk
bersikap demikian. Aku bukannya tak bisa hidup
tanpa upah dari Yang Mulia. Berbicaralah terus
terang."
"Aku takkan cemas kalau hanya itu masalahnya."
Hideyoshi nyaris tak sanggup bicara, tapi tiba-tiba ia
duduk lebih tegak seakan-akan baru saja menemukan
jalan keluar. "Lebih baik kuceritakan semuanya.
Begini, Jendral Osawa, ketika aku hendak pergi tadi,
Tuan Nobunaga memanggilku secara diam-diam dan
memarahiku karena tidak memahami seni siasat. Yang
Mulia bertanya, kenapa Osawa Jirozaemon, orang yang
memiliki reputasi begitu tinggi di Mino, bisa terbujuk
oleh kelincahan lidahku dan ingin menjadi sekutunya.
Aku sama sekali tidak berpikir sejauh ini."
"Ya, aku bisa membayangkannya."
"Yang Mulia juga memberitahuku bahwa Osawa
dari Benteng Unuma inilah yang menjadi macan
pelindung Mino, dan telah bertahun-tahun menimbul-
kan kesulitan bagi Owari. Yang Mulia mengisyaratkan
bahwa mungkin justru aku yang terkecoh dan
dikelabui oleh kepandaian lidah serta keberanian
Tuan. Tuan lihat sendiri, Yang Mulia penuh
prasangka."
"Memang."
"Yang Mulia juga merasa bahwa jika Tuan tinggal
lebih lama di Benteng Komaki, itu berarti kami
memberi kesempatan pada Tuan untuk mengamati
pertahanan provinsi. Karena itu aku diperintahkan
untuk segera mcmbawa Tuan kembali kc Sunomata.
Membawa Tuan kembali ke sana dan..." Hideyoshi
terdiam, seakan-akan tenggorokannya tersumbat.
Osawa pun mcrasa cemas, tapi ia menatap mata
Hideyoshi, mendesaknya untuk menyelesaikan kalimat
itu.
"Sulit bagiku untuk mengungkapkannya, tapi inilah
perintah Yang Mulia, jadi aku ingin Tuan
mengetahuinya. Aku diperintahkan untuk membawa
Tuan kembali ke Sunomata. mengurung Tuan di
dalam benteng, dan membunuh Tuan. Yang Mulia
menganggap ini sebagai kesempatan emas—yang tidak
boleh dilewatkan."
Ketika Osawa mcmandang berkeliling, ia menyadari
bahwa tak ada prajurit yang menyertainya, dan bahwa
ia berada di benteng musuh. Dan betapapun ia tak
mengenal takut, bulu kuduknya berdiri.
Hideyoshi melanjutkan. "Jika aku menaati perintah
Yang Mulia, aku akan melanggar janji yang telah
kuberikan pada Tuan, dan ini berarti menginjak-injak
kehormaian seorang samurai. Aku tak bisa berbuat
begitu. Namun di pihak lain, jika aku menegakkan
kehormatan samurai, aku melanggar perintah Yang
Mulia. Aku telah sampai di suatu titik di mana aku tak
bisa maju maupun mundur. Jadi, sepanjang
perjalanan dari Gunung Komaki, aku merasa sedih
dan patah semangat, dan ini kurasa telah menimbul-
kan kecurigaan dalam diri Tuan. Singkirkanlah segala
keraguan Tuan. Pemecahan masalah ini telah ter-
gambar jelas dalam benakku."
"Apa maksud Tuan? Apa yang akan Tuan lakukan?"
"Dengan melakukan bunuh diri, kurasa aku bisa
minta maaf, baik pada Tuan maupun pada Yang
Mulia Nobunaga. Tak ada jalan lain. Jendral Osawa,
mari kita angkai cawan perpisahan. Setelah itu, aku
pasrah pada nasib. Aku menjamin bahwa takkan ada
yang mengusik Tuan. Tuan bisa meninggalkan
benteng ini dalam perlindungan kegelapan malam.
Jangan risaukan aku, tenangkanlah hati Tuan!"
Osawa mendengarkan ucapan Hideyoshi sambil
membisu, tapi matanya berkaca-kaca. Berlainan
dengan kegarangan yang telah menyebabkan ia mem-
peroleh julukan si Macan, air mata ini merupakan air
mata laki-laki biasa. Terlihat jelas bahwa Osawa sangat
peka terhadap kebenaran. "Aku berutang budi pada
Tuan," ia terbata-bata, dan mengusap matanya.
Mungkinkah ini sang jendral yang telah ambil bagian
dalam pertempuran yang tak terhitung banyaknya?
"Dengarlah, Tuan Hideyoshi. Melakukan seppuku
merupakan tindakan yang tak dapat dimaafkan."
"Tapi kalau aku tidak melakukannya, tak ada cara
lain untuk memohon maaf pada Tuan dan Yang
Mulia Nobunaga."
"Tidak, apa pun alasan Tuan, tidak sepatutnya Tuan
membelah perut dan membantuku. Kehormatanku
sebagai samurai takkan mengizinkannya."
"Akulah yang memulai semuanya dan mengundang
Tuan ke sini. Aku jugalah yang keliru meraba jalan
pikiran Yang Mulia. Jadi, untuk memohon maaf pada
Tuan dan Yang Mulia, sudah seharusnya aku
membayar untuk kejahatan ini dengan menyerahkan
nyawaku. Kuharap Tuan tidak berusaha mencegahku."
"Tak peduli kesalahan apa yang menurut Tuan telah
Tuan lakukan, aku pun ikut bersalah. Urusan ini
tidak pantas ditebus dengan nyawa Tuan.
Peerkenankanlah aku menawarkan kepalaku untuk
membalas kepercayaan Tuan. Bawalah kepalaku
kembali ke Komaki." Osawa mulai mencabut pedang
pendeknya.
Dengan terkejut Hideyoshi menarik tangan Osawa.
"Apa yang hendak Tuan lakukan?"
"Lepaskan tanganku."
"Tidak. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada
membiarkan Tuan melakukan seppuku."
"Aku mengerti. Karena itulah aku menawarkan
kepalaku. Seandainya Tuan merencanakan siasat
busuk, aku akan memperlihatkan bahwa aku sanggup
melarikan diri dari sini, walaupun untuk itu aku
terpaksa meninggalkan tumpukan mayat. Tapi hatiku
tersentuh oleh jiwa samurai yang Tuan miliki."
"Tunggu dulu. Berpikirlah scjenak. Rasanya ganjil
bahwa kita sama-sama berlomba untuk menemui
kematian. Jendral Osawa, kepcrcayaan Tuan padaku
bcgitu besar. Aku punya rencana yang memungkinkan
kita tctap hidup, sekaligus mempertahankan
kehormatan kita scbagai samurai. Tapi apakah Tuan
masih memiliki kebesaran hati untuk membantu
marga Oda satu langkah lagi?"
"Satu langkah lagi?"
"Pada dasarnya, keraguan Nobunaga merupakan
ccrminan rasa hormatnya pada Tuan. Jadi, seandainya
Tuan melakukan sesuatu yang betul-betul membukti-
kan dukungan Tuan kepada marga Oda, keraguan
Yang Mulia akan segcra mencair."
Malam itu Osawa meninggalkan Benteng Sunomata
dan menuju suatu tempat yang tidak diketahui. Apa
rencana yang diperlihatkan Hideyoshi kepadanya? Tak
seorang pun mengetahuinya, tapi belakangan semua
orang mengerti. Seseorang mempengaruhi Iyo, Ando,
dan Ujiie—Tiga Scrangkai dari Mino, tonggak utama
kekuasaan marga Saito—dan mengusulkan agar mereka
mengikat janji dengan pihak Oda. Orang yang bicara
dengan begitu fasih dan yang berjasa memperkenalkan
mereka, tak lain dari Osawa Jirozaemon.
Tentu saja Hideyoshi tidak melakukan seppuku,
Osawa pun selamat, dan Nobunaga memperoleh
empat jendral termasyhur dari Mino sebagai sekutu,
tanpa pernah meninggalkan bentengnya. Kebijakan
Nobunaga atau kecerdikan Tokichiro-kah yang
membawa kebcruntungan ini? Sepertinya pikiran
junjungan dan pengikut saling mempengaruhi. dan
tak seorang pun sanggup memastikan siapa sesungguh-
nya yang memegang kendali.

***

Nobunaga berwatak tak sabar. Ia telah melakukan


pengorbanan besar untuk membangun benteng di
Sunomata, dan pembangunan itu pun memakan
waktu banyak, jadi dapat dimengerti kalau ia merasa
kecewa.
"Untuk membalas kematian ayah mertuaku, aku
akan menghancurkan marga tak bermoral itu, dan
akan membebaskan orang-orang yang menderita di
bawah pemerintahan yang lalim." Inilah penjelasan
mengenai motif Nobunaga, agar pertempurannya
dapat diterima oleh dunia. Tapi, seiring dengan
waktu, kata-kata itu tentu saja kehilangan pengaruh.
Di samping itu terbayang-bayang kemungkinan bahwa
kemampuannya dipertanyakan oleh marga Tokugawa
dari Mikawa, dan Nobunaga sadar bahwa mereka
mengawasi gerak-gcriknya dari belakang.
Kekuatan Oda menjadi pertanyaan, dan
persskutuan Oda-Tokugawa terancam karenanya.
Meski demikian, Nobunaga merasa tak sabar.
Memang, ia telah menarik Osawa dan Tiga Serangkai
dari Mino ke pihaknya, tapi ini saja belum
membuahkan kemenangan baginya.
Menundukkan Mino dengan sekali pukul merupa-
kan permintaan yang diucapkannya dalam suatu rapat
perang. Rupanya, sejak Okehazama, kepercayaan
Nobunaga pada konsep "sckali pukul" menjadi lebih
besar daripada sebelumnya. Karena itu, pada beberapa
kesempatan, orang seperti Hideyoshi mengemukakan
keberatan mereka. Dalam rapat uniuk membahas
pcnaklukan Mino pada musim panas itu, Hideyoshi
duduk mcmbisu di kursi paling rendah selama rapat
berlangsung.
Ketika dimintai pendapat, ia menjawab, "Hamba
pikir, mungkin waktunya belum tepat."
Jawaban ini amat tidak berkenan di hati Nobunaga
yang lalu bertanya dengan nada menjurus marah,
"Bukankah kau yang bcrkata bahwa jika si Macan dari
Unuma berhasil menarik Tiga Serangkai dari Mino ke
pihak kita, Mino akan runtuh dengan sendirinya,
tanpa kita harus mcninggalkan benteng?"
"Hamba mohon maaf, tapi kekuatan dan kekayaan
Mino sepuluh kali lebih besar daripada kekuatan dan
kekayaan Owari."
"Dulu kau khawatir mengenai jendral-jendral
tangguh yang dimiliki Mino. dan kini kau risau karena
kekayaan dan kekuatan provinsi itu. Kalau begitu,
kapan kau akan menyerang mereka?" Nobunaga tidak
lagi minta pendapat Hideyoshi mengenai apa pun.
Rapat perang berjalan terus. Akhirnya diputuskan
bahwa di musim panas nanti, sebuah pasukan besar
akan berangkat dari Gunung Komaki menuju Mino.
Sunomata akan digunakan scbagai pangkalan utama.
Pertempuran untuk menyeberangi sungai dan
memasuki wilayah musuh berlangsung lebih dari satu
bulan. Selama itu, banyak orang terluka dikirim
kembali. Laporan mengenai kemenangan tak pernah
terdengar. Pasukan yang telah lelah bertempur,
mundur sambil membisu. Para prajurit dan jendral
sama-sama merapatkan bibir dan bersikap murung.
Ketika ditanya mengenai jalannya pertempuran oleh
orang-orang yang tetap tinggal di benteng, mereka
semua menundukkan kepala dan menggeleng. Mulai
saat itu Nobunaga pun terdiam. Kelihaian jelas ia
telah mendapat pelajaran bahwa tidak semua
pertempuran berlangsung seperti pertempuran
Okehazama. Benteng Sunomata menjadi sunyi dan
hanya dikunjungi oleh angin musim gugur dari arah
sungai.
Tiba-tiba Hikoemon dipanggil oleh majikannya. "Di
antara bekas ronin-mu. mestinya banyak yang lahir di
provinsi lain, dan tentunya juga ada beberapa yang
berasal dari Mino." Hideyoshi membuka percakapan.
"Ya, memang begitu."
"Adakah di antara mereka yang lahir di Fuwa?"
"Hamba akan mencari tahu."
"Bagus. Kalau kau menemukan seseorang, maukah
kau mcnyuruhnya ke sini?" Dalam waktu singkat
Hachisuka Hikoemon sudah membawa salah satu
bekas ronin, seorang laki-laki bernama Saya Kuwaju ke
pekarangan tempat Hideyoshi menunggu. Orang itu
tampak kuat dan berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Kau bernama Saya?" Hideyoshi bertanya.
"Ya, Tuanku."
"Dan kau berasal dari Fuwa di Mino?"
"Dari sebuah desa bernama Tarui."
"Hmm, kurasa kau cukup mengenal daerah itu."
"Hamba tinggal di sana sampai usia dua puluh
tahun, jadi sedikit-banyak hamba mengenalnya."
"Kau mempunyai sanak saudara di sana?"
"Adik perempuan hamba."
"Ceritakan sedikit mengenai adikmu."
"Adik hamba menikah dengan petani dan hamba
rasa dia sudah dikaruniai keturunan sckarang."
"Berminakah kau kcmbali ke sana? Sekali saja?"
"Hamba tak pcrnah memikirkannya. Kalau adik
hamba mendengar bahwa kakaknya, si ronin, hendak
pulang kampung dia mungkin akan mcrasa rikuh ter-
hadap kerabat suaminya dan para warga desa yang
lain."
"Tapi masa itu sudah bcrlalu. Sekarang kau
pengikut Benteng Sunomata dan samurai terhormat.
Kau tak perlu malu karenanya, bukan?"
"Tapi Fuwa merupakan titik strategis di bagian barat
Mino. Untuk apa hamba memasuki wilayah musuh?"
Hideyoshi mengangguk berulang kali, dan seperti-
nya memutuskan sesuatu dalam hati. "Aku ingin kau
menyertaiku. Kita akan menyamar, agar tidak menarik
perhatian. Datanglah ke gerbang kayu di pekarangan
ini menjelang malam."
Hikoemon bertanya dengan ragu-ragu, "Ke
manakah tuanku hendak pcrgi mendadak begini?"
Hideyoshi merendahkan suara dan berbisik ke
telinga Hikoemon. "Ke Bukit Kurihara."
Hikoemon menatap Hideyoshi, seakan-akan
menyangsikan kewarasannya. Ia telah menduga bahwa
Hideyoshi merencanakan sesuatu, tapi Bukit Kurihara!
Setelah mendengar jawaban majikannya, Hikoemon
tak sanggup mcnyembunyikan rasa kagetnya. Bekas
pengikut marga Saito, seorang laki-laki yang
dipandang scbagai ahli strategi, hidup menyendiri di
bukit itu. Orang tersebut bernama Takenaka Hanbei.
Beberapa waktu lalu, Hideyoshi telah mempelajari
watak orang itu serta hubungannya dengan marga
Saito.
Nah, seandainya kita bisa menuntun kuda ini
seperti kita menarik Osawa dan Tiga Serangkai dari
Mino... Inilah garis besar rencana Hideyoshi, namun
bahwa ia sendiri akan menyusup ke wilayah musuh
dan mendatangi Bukit Kurihara, itu tak terbayangkan.
"Tuanku sungguh-sungguh hendak pergi ke sana?"
tanya Hikoemon, seakan-akan tak percaya.
"Tentu saja."
"Sungguh-sungguh?" Hikoemon mendesak.
"Kenapa kau mempersoalkan ini?" Hideyoshi rupa-
nya berpendapai bahwa tak ada yang perlu dicemas-
kan. "Pertama-tama hanya kau seorang yang
mengetahui rencanaku, dan kami akan pergi secara
diam-diam. Kuminta kau mengatur semuanya di sini.
sementara aku pergi beberapa hari."
"Tuanku akan pergi seorang diri?*
"Tidak, aku akan membawa Saya."
"Pergi berdua dengan Saya sama saja dengan pergi
tanpa senjata. Tuanku yakin bahwa tuanku sanggup
membujuk Hanbei untuk menjadi sekutu kita dengan
memasuki wilayah musuh seorang diri?"
"Itu memang tugas berat." Hideyoshi seolah-olah
bergumam pada diri sendiri. "Tapi aku akan mencoba-
nya. Kalau aku pergi dengan hati terbuka, hubungan
Hanbei dengan marga Saito betapapun eratnya, tak-
kan berpengaruh banyak."
Tiba-tiba Hikoemon teringat kepandaian lidah
Hideyoshi ketika berdebat dengannya di Hachisuka.
Meski demikian, Hikoemon meragukan apakah
Hideyoshi akan sanggup mengajak Hanbei turun dari
Bukit Kurihara. Biarpun dengan kefasihan bicara yang
dimilikinya. Kalaupun berhasil. dan Hanbei memutus-
kan untuk meninggalkan tempat tinggalnya, tetap ada
kemungkinan Hanbei memilih berpihak ke Mino.
Menurut desas-desus kala itu, Hanbei telah menarik
diri dari percaturan dunia, dan menjalani kehidupan
tenteram di Bukit Kurihara. Tapi jika suatu hari marga
Saito terancam bahaya, ia akan kembali untuk
memimpin pasukan mereka. Memang benar, ketika
orang-orang Saito menangkal serangan besar pasukan
Oda, Hanbei tidak muncul di barisan depan.
melainkan mengamati awan-awan perang dari Bukit
Kurihara, mengirim hasil renungannya satu per satu
kepada marga Saito dan mengajarkan strategi-strategi
rahasia pada mereka. Tidak sedikit orang yang
meneruskan cerita ini, seakan-akan kebenarannya
telah terbukti. Tugas ini memang sulit—Hideyoshi
sendiri mengakuinya, Hikoemon pun sependapat dan
ia melepaskan suara menyerupai erangan.
"Ambisi tuanku sungguh sulit diwujudkan." Roman
mukanya tampak waswas.
"Hmm..." Wajah Hideyoshi menjadi lebih cerah.
"Sebenarnya tak banyak yang perlu dicemaskan.
Mungkin saja sesuatu yang sukar ternyata mudah
sekali, sebaliknya sesuatu yang kelihatannya mudah
mungkin teramat sulit. Kurasa yang paling menentu-
kan adalah apakah aku sanggup membuat Hanbei
percaya pada ketulusanku atau tidak. Mengingat siapa
lawan bicaraku nanti, aku tidak merencanakan tipu
daya maupun muslihat."
Ia mulai melakukan persiapan untuk perjalanan
rahasianya. Walaupun beranggapan bahwa upaya
Hideyoshi sia-sia belaka. Hikoemon tak dapat men-
cegahnya. Hari demi hari rasa hormatnya terhadap
Hideyoshi yang panjang akal dan berbudi luhur
semakin besar dan ia yakin bahwa kemampuan orang
itu jauh di atas kemampuannya sendiri.
Malam pun tiba. Seperti telah disepakati. Saya
menunggu di gerbang kayu di pekarangan benteng.
Penampilan Hideyoshi sama lusuhnya dengan Saya.
"Nah, Hikoemon, uruslah segala sesuatu dengan
baik," kata Hideyoshi, lalu mulai melangkah seolah-
olah hanya ingin berjalan-jalan di taman. Sesungguh-
nya jarak dari Sunomata ke Bukit Kurihara tidak
seberapa jauh—mungkin sekitar sepuluh mil. Pada
hari-hari cerah, Bukit Kurihara kelihatan samar-samar
di kejauhan. Tapi barisan pegunungan itu merupakan
pertahanan Mino terhadap musuh. Hideyoshi meng-
ambil jalan memutar menyusuri pegunungan, dan
mcmasuki Fuwa.
Untuk mengetahui adat kebiasaan serta ciri khas
orang yang tinggal di sana, pertama-tama orang harus
mengamati keadaan alam kawasan itu. Fuwa terletak
di antara bukit-bukit di kaki pegunungan di bagian
barat Mino, dan merupakan semacam leher botol
pada jalan yang menuju ibu kota.
Warna-warni musim gugur di Sckigahara tampak
sangat indah. Tak terhitung banyaknya sungai yang
membelah daerah itu. seperti urat darah. Sejarah kuno
dan legenda-legenda melekat pada akar tumbuh-
tumbuhan, menandakan masa lalu yang berdarah.
Pegunungan Yoro mcmbentuk perbatasan dengan
Provinsi Kai dan awan-awan terus-menerus datang dan
pergi di sckitar Gunung Ibuki.
Takenaka Hanbei penduduk asli daerah itu. Konon
ia dilahirkan di Inabayama, tapi melewatkan sebagian
besar masa kanak-kanaknya di kaki Gunung Ibuki. Ia
lahir pada tahun Tmmon keempat, berarti usianya
kini baru dua puluh delapan tahun tak lebih dari
seorang anak muda yang masih mempelajari ilmu
kemiliteran. Satu tahun lebih muda dari Nobunaga,
satu tahun lebih tua dari Hideyoshi. Meski demikian.
ia telah menjauhi persaingan untuk meraih prestasi
besar di sebuah dunia yang dilanda kekacauan, dan
membangun tcmpat bertapa di Bukit Kurihara bagi
dirinya. Ia mencintai alam, berteman dengan kitab-
kitab kuno, dan menulis puisi, tanpa pernah menemui
para tamu yang mendatangi rumahnya. Penipukah
Hanbei? Tuduhan ini pun sering dilontarkan padanya,
tapi nama Hanbei dijunjung tinggi di Mino, dan
reputasinya telah sampai ke Owari.
Aku ingin benemu dan menilai wataknya, itulah
pikiran pertama yang melintas dalam benak
Hideyoshi. Patut disayangkan jika Hideyoshi berlalu
begitu saja tanpa pernah bertemu dengan laki-laki
yang begitu langka dan luar biasa ini, padahal mereka
dilahirkan ke dunia yang sama. Kecuali itu, jika
Hanbei terbawa ke kubu lawan, Hideyoshi akan
terpaksa membunuhnya. Dengan tulus Hideyoshi
berharap ini takkan pernah terjadi, sebab ia akan
sangat menyesali hal ini. Aku akan menemuinya, tak
peduli apakah ia menerima tamu atau tidak.
(Created by syauqy_arr)

Anda mungkin juga menyukai