Case TB Bikrul
Case TB Bikrul
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila
kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis
TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal,
jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau
TB ekstrapulmoner.1,2
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh
anak <15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak
yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap
ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang
menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut
menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya,
pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma atau
kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji
tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat
gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen
toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.1,2
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika
penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman
TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan
menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil
Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang
lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB.
Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman
TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem
kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi
lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat
secara lengkap dan teratur.1,2
1.2 Epidemiologi
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di
negara maju.1,2
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada
anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.1,2
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang
per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di
Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok
usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan
didapatkan 16,5%.1,2
1.3 Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari
Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis,
M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M.
Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada
Resiko infeksi TB
Faktor resikonya antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
Resiko sakit TB
Yang pertama adalah usia, semakin kecil usia seorang anak terinfeksi TB
maka semakin tinggi kemungkinan anak tersebut sakit TB. Hal ini disebabkan
sistem imun dari anak tersebut belum matur.1
Selanjutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya uji
tuberkulin yang awalnya negatif menjadi positif pada satu tahun terakhir,
malnutrisi, imunokompromais, diabetes militus dan gagal ginjal kronik.1
1.5 Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi
pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang
konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ.
TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis
yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak
berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas
paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan
terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan
hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit
ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis
segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan
diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling
sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang
dikeluhkan.
TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer.
Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi
10
TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada
anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan
pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang
dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan
penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat
badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau
digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada
anak kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5
tahun. Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan
gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi
nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu.
11
Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang
timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai
negatif.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi
10 mm
15 mm sangat
5mm.
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
12
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
1.7.4 Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,
mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi,
hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
1.7.5 Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada
kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter
spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum
digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.
1.7.6 Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma
yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya
sel datia langhans.
Untuk
memudahkan
diagnosis
TB
paru
pada
anak,
IDAI
13
Kontak TB
Tidak jelas
Laporan
BTA(+)
keluarga (BTA
negatif
atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin
Negatif
Positif ( 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat
badan
/ -
Status Gizi
Klinis
gizi -
atau
buruk
Demam
tanpa -
2 minggu
3 minggu
Pembesaran
1 cm, jumlah
kelenjar
koli,
> 1, tidak nyeri
aksila, inguinal
Pembengkakan
tulang
panggul,
sendi
Ada
pembengkakan
lutut,
falang
Foto Thorak
Normal/kelainan Gambaran
tidak jelas
sugestif TB
14
Catatan:
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7
hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.
1.8 Penatalaksanaan
1.8.1. Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin
dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
15
16
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin
tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,
dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin
adalah
gangguan
gastrointestinal
(mual
dan
muntah),
dan
termasuk
kuinidin,
siklosporin,
digoksin,
teofiin,
kloramfenikol,
17
hepatotoksisitas,
anoreksia,
dan
iritasi
saluran
cerna.
Reaksi
18
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
g/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik
pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Nama Obat
Dosis harian
Dosis maksimal
Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
Isoniazid
5-15*
300
Rifampisin*
10-20
600
15-30
2000
Etambutol
15-20
1250
19
Streptomisin
*
15-40
1000
Ototoksis, nefrotoksik
**
Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi
dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu
jam sebelum makan.
Gambar. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya
20
tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah
2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.
2 Bulan
6 Bulan
9 Bulan
12 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
21
rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,
sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan
setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila
pada awal pengobatan nilainya tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan
tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan
evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi
adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya
pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang
lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi
evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.
Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat
dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan
dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi
menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan
pengobatan 6 bulan.
1.8.1.3 Evaluasi efek samping pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang
cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek
samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan
Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat
Transaminase (SGPT) hingga 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40
U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta
22
23
rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada
perbaikan
dengan
pengobatan.
Manajemen
TB
semakin
sulit
dengan
24
25
1.8.3 Pencegahan
1.8.3.1 Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan
lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda
baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan
dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di
klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman,
jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan
adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%.
Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya
defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur,
BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.
1.8.3.2 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya
infeksi
TB,
sedangkan
kemoprofilaksis
sekunder
mencegah
26
ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan
sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif),
maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi
status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah
dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk
evaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam
kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis
sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan
terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.
1.9 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa
yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten
terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan
komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya
meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan
rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
27
28
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
:G
MR
: 85 14 57
Umur
: 4 tahun 11 bulan
: 3 dari 3 bersaudara
Demam sejak 2 hari yang lalu, tidak tinggi, tidak terus menerus, tidak
menggigil, tidak berkeringat dan tidak disertai kejang, riwayat demam
berulang ada sejak 6 bulan yang lalu.
Batuk disertai pilek sejak 2 minggu yang lalu, riwayat batuk berulang ada
sejak 6 bulan yanh lalu
29
Pasien anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir spontan di tolong oleh bidan
di rumah bersalin, langsung menangis kuat, berat badan lahir 3700 gram
dan panjang badan lahir 54 sentimeter.
Riwayat makanan dan minuman : ASI (0-1 tahun), Susu Formula (1-3
tahun), biskuit dan bubur susu (3 bulan 1 tahun), nasi tim (1-2 tahun) dan
nasi biasa (2 tahun - sekarang)
Kesan : Kuantitas cukup kulaitas kurang
30
Rumah semi permanen, sumber air minum dari sumur, jamban di dalam
rumah pekarangan cukup luas dan sampah di buang di tempat pembuangan
sampah dan dijemput oleh petugas.
Kesan: Higiene dan sanitasi lingkungan baik.
: sakit ringan
Kesadaran
: sadar
Frekuensi nadi
: 98x/menit
Frekuensi nafas
: 24x/menit
Suhu
: 36,8 C
Berat Badan
: 15 kg
Tinggi badan
: 107 sentimeter
Status gizi
BB/U= 15/ 18 x 100% = 83%
TB/U= 107/114 x100% = 93,8 %
BB/TB= 15/17 x 100% = 88%
Kesan : gizi kurang
31
Pemeriksaan sistemik :
Kulit
: teraba hangat
Kepala
: Bulat, simetris
KGB
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Ternggorok
Leher
Paru
Inspeksi
: normochest, simetris
Palpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
32
Perkusi
: batas jantung atas RIC II, batas kanan Linea Sternalis Dextra,
batas kiri 1 jari medial Linea Mid Clavicula Sinistra RIC
V
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Punggung
Ekstremitas
: Hb ?
Leukosit ?
Diff.count ?
LED ?
Kesan : ?
Urine
: tidak dilakukan
Feses
: tidak dilakuakn
33
Darah rutin
LED
Mantoux test
Rontgen thoraks
Ambroxol 15 mg
34
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien anak laki-laki umur 4 tahun 11 bulan
dengan diagnosis kerja tuberculosis paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis didapatkan demam sejak 2 hari yang lalu, tidak tinggi,
tidak terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat dan tidak disertai kejang,
riwayat demam berulang ada sejak 6 bulan yang lalu, batuk disertai pilek sejak
minggu yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran KGB di regio Coli dextra
ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5 cm, konsistensi kenyal, mobil dan tidak ada nyeri tekan.
Rencana tindakan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan darah rutin dan laju endap darah, mantoux test dan rontgen thorax.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian obat
simptomtik berupa paracetamol 200 mg bila demam, ambroxol 15 mg 3 kali
dalam sehari ( 3 x tablet)
35
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rahajoe, Nastiti, dkk (ed). Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta.2008. hlm 162-227
2.
3.
36