PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit kelamin adalah penyakit yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara orogenital, atau ano-genital, sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit
kelamin ini tidak terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat juga pada
daerah-daerah ekstragenital (S.F.Daili, 1982).
Pada awalnya, penyakit kelamin dikenal sebagai Veneral Disease (V.D.)
dan yang termasuk dalam Veneral Disease ini, yaitu sifilis, gonore, ulkus
mole, limfogranuloma venereum, dan granuloma inguinale. Namun, setelah
adanya perbaikan sarana dan teknik laboratorium, penemuan beberapa
penyakit secara epidemi, dan penemuan penyakit yang ada akibatnya pada
anak dan ibu, bahkan dapat menumbulkan kemandulan, istilah V.D. makin
ditinggalkan dan diperkenalkan istilah Sexually Transmitted Disease
(Penyakit Menular Seksual) (S.F.Daili, 1982).
Pada tahun 1997, pada kongres IUVDT (International Union of Veneral
Diseases and Treponematosis) di Australia, istilah Sexually Transmitted
Disease diubah menjadi Sexually Transmitted Infection (Infeksi Menular
Seksual), oleh karena semua penyakit yang termasuk dalam kelompok
tersebut merupakan penyakit infeksi (Djajakusumah, 2008).
IMS menyebabkan beban kesehatan yang buruk di seluruh dunia dalam
proporsi yang besar. IMS dijumpai di seluruh dunia, tetapi di daerah-daerah
tertentu lebih banyak dijumpai. Penyebaran dan prevalensinua dipengaruhi
oleh faktor-faktir sosial dan ekonomi juga oleh faktor biologi dan tingkah
laku. Penyakit IMS seperti sifilis, gonore, dan chancroid menyebar lebih
cepat di daerah-daerah dengan masyarakat kumuh, daerah dengan banyak
pekerja musiman, dan daerah dengan banyak PSK (Pekerja Seks Komersial)
(Depkes RI, 2006).
Ditinjau dari sifat pekerjaan dan perilaku seks, PSK merupakan kelompok
yang berpotensi tertular dan menularkan Infeksi Menular Seksual (IMS)
(kasnodihardjo, 2010). Dari hasil penelitian, penggunaan kondom yang tidak
sesuai aturan, jenis kondom ekstra tipis, vaginal higiene yang tidak teratur,
penggunaan antiseptik yang tidak aman,, dan kurangnya pengetahuan
terhadap IMS merupakan faktor risiko terjadinya IMS pada PSK (Nur
Fitriana Arifin, 2012).