Menanti Sebuah Nama
Menanti Sebuah Nama
Pagi yang sangat tidak cerah! Langit tertutup mendung, walau tak terlihat tanda-tanda akan
hujan. Aku tak suka suasana seperti ini. mungkin hari ini bukan hari yang menyenangkan,
kataku dalam hati. Hari ini, sudah lama semenjak kepergiannya, bukannya merasa senang
justru aku merasa kecewa dan menyesal. Padahal dulu dia aku anggap sebagai manusia
paling menjengkelkan dalam sejarah.
Pikir-pikir aku lebih senang melihat dia tertawa mengejekku daripada melihat senyum sinis
dari bibirnya yang pucat itu, matanya yang selalu melihatku saat kami bertemu, saat itu
enggan untuk terbuka lagi. aku rindu bisikku pelan sambil mengingat cerita tempo dulu
yang pasti akan membuatku kesal jika hari itu dia tidak pergi.
Tapi tidak! Dia benar-benar pergi dan aku tidak bisa mengingat kebencianku
kepadanya, yang aku ingat hanya gelagak tawa dari dirinya, seragam khas-nya
yang selalu di setrika rapi oleh ibunya tapi selalu dikotori dan tak terawat, dan
rasa bersalah yang membuatku tak bisa melupakannya
Dia, Udin namanya, tetapi teman-temanku memanggilnya Anang atau Helmi, nama yang
diberikan orangtuanya. Tapi bagiku nama itu terlalu bagus untuknya, mungkin pikiran itu
berahir setelah hari itu ada, hari kepergiannya. Dan hari itupun aku menyadari nama itulah
yang akan mendampingi hidupnya, dan nama yang paling cocok untuknya.
Akan kuingat masa-masa itu, walau tak ada satupun yang indah saat itu. Karena
bagaimanapun juga dia pernah menjadi satu dari berbagai gambar yang ada dalam
selembar kertas dalam hidupku, ya, sampai gambar itu berahir pada hari itu
Aku memang mengenalnya bukan dalam waktu yang lama, hanya sekitar tiga bulan, tapi
semua yang terjadi cukup membuatku mengingat apa yang dia lakukan sampai saat ini.
Hari itu, juga hari mendung tanpa hujan. Hari itu, hari yang buruk untukku, tapi akan lebih
buruk lagi untuk Anang. Aku masih ingat betul bagaimana itu semua terjadi dan aku masih
bisa merasakannya hari ini, rasa muak, rasa iba, dan rasa yang membuatku menganggap
dunia itu kejam.
Aku sagat tidak menyukai keadaan ini, ku ambil tas yang sedari tadi menungguku agar aku
segera berangkat ke sekolah. Aku sangat terkejut ketika jam di hapeku menunjukkan pukul
06.45, O M G ! ini benar-benar tidak mendukung, kupercepat langkah kakiku dan
menunggu angkot yang selalu mengantarku ke sekolah. Beruntung aku segera mendapat
angkot hari ini, sambil memasang wajah gelisah agar supir angkot itu menambah
kecepatannya, aku mengatakan tujuanku SMA pak!. Aku sedikit lega karena sesampainya
di gerbang sekolah aku masih diperbolehkan masuk walau jarum panjang di jam yag ada di
dinding SMA sudah melewati angka 12. Beruntung sekali aku hari ini, aku berlari menuju
kelasku karena aku tahu diri jika aku masuk kelas setelah guru memasuki kelas. Benar saja,
sampainya di kelas, sudah ada guru yang duduk di kursinya, kuketuk pintu dan salim pada
guru, aku tidak mempedulikan teman-temanku yang bersorak-sorak meledekku. Memang
kebiasaan dari Sekolah Dasar kalau aku sering terlambat seperti ini, mungkin sudah sangat
sulit dihilangkan karena hal ini bagai sudah mendarah daging padaku.
Aku memulai pelajaran hari ini dengan perasaan yang tak terlalu baik karena cuaca yang
buruk , dan aku mengahiri pelajaran juga tidak dengan perasaan senang karena lagi-lagi
aku di suguhi dengan tugas-tugas baru, apalagi tugas yang satu ini,
perbaiki atau aku menunggu angkot berikutnya, setelah 15 menit aku menunggu, belum ada
satupun angkot yang terlihat, aku sudah mulai putus asa karena jam sudah menunjukkan
pukul 07.05, aku tak akan sampai di sekolah tepat waktu. Tapi dari arah belakangku ada
Anang yang meringis padaku dan menawarkan tumpangan padaku. Aku sangat ingin
menolaknya, tapi naluri sekolahku mendorongku untuk tetap sampai di sekolah. Akhirnya,
dengan terpaksa aku membonceng Anang, aku tak menjawab satupun pertanyaan yang ia
lontarkan padaku ketika kami di jalan, juga ketika di bertanya siapa namaku. Sampai di
sekolah aku berlari menuju lapangan, tapi aku tetap saja terlambat. Aku berdiri di belakang
tiang bendera bersama anak-anak yang juga terlambat. Itu sangat memalukan bagiku,
dihukum 2 kali dalam acara yang sama.
Kami digiring menuju ruang BP bersama-sama. Disana kami ditanyai alasan mengapa kami
terlambat. Aku menceritakan apa yang terjadi tadi dan merengek pada guru BP agar
mempercayai alasanku, tapi tak ada gunanya. Kemudian aku mendengar gelagak tawa dari
si Anang, dia terlihat mengejekku, aku melototpadanya, tapi suara tawanya malah semakin
menjadi-jadi. Dan semakin besar pula kebencianku padanya. Ketika bel istirahat berbunyi,
aku pergi ke kantin untuk memenuhi perutku yang sudah kosong, disana aku lagi-lagi
bertemu degan Anang, tapi kali ini dia memanggil ku dengan sapaan yang sangat asing
bagiku.
Heh, Cah cilek! Cah Cilek! Mimik susu dulu sana! ejeknya padaku. Mungkin
karena kejadian tadi pagi, tapi entah kenapa aku sangat tersinggung mendengar ejekan itu.
dengan spontan aku membalas ejekannya.
He? What? Gak nyadar diri ya kamu? Kamu tuh lebih sering telat daripada
aku, gak usah sok rajin deh! , kataku jika dia mengejekku begitu.
Emang iya aku sering telat, tapi aku kan cowok. Itu biasalah, sedangkan
kamu itu cewek, gak pantes kalo telat! Emang ngapain aja di rumah?
Ngempeng dulu ya?, katanya dengan nada yang lebih mengejek.
gak percaya!
Aku membuyarkan diri dari kelas yang membuat aku kacau itu, aku pergi ke lapangan
setelah mendengar pengumuman untuk berkumpul di sana. Aku yang anggota OSIS saat itu
mendapat kesempatan berbincang dengan guru, dengan perasaan cemas aku
memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu guru.
Pak, kenapa siswa dikumpulkan? Ada masalah apa?, tanyaku.
Begini, teman kalian, teman baru kalian, Anang Helmi Fahrudin baru saja meninggal
karena kecelakaan sepeda motor tadi pagi, jadi nanti akan ada sumbangan seiklasnya untuk
membantu keluarga Anang. Jawab pak Kiman, waka sekolah SMP.
DEG
Hantaman keras di dadaku, seperti tak bisa bernapas rasanya, Aku gak percaya,
ini gak mungkin terjadi kan? Gak mungkin kalau anak macam dia bisa mati karena
kecelakaan! Gak mungkin.
Aku gak percaya sampai aku liat dengan mata kepala sendiri! Akhirnya aku ikut dalam
acara layatan guru-guru dan OSIS hari itu juga. Sampai di RS ngesti Waluyo, kami
menemui orang tua Anang. Aku sangat terkejut, takut dan sedih ketika melihat Anang
terbaring tak berdaya di ranjang, aku tak sanggup melihat wajahnya yang pucat pasi, sagat
meyakinkan kalau dia berperan menjadi orang mati saat itu, aku di depannya. Aku
melihatnya, tapi aku tetap tak percaya kalau Anang sudah tak ada lagi. Aku ingin menangis,
tapi tertahan dengan cerita dari ibu Anang ketika guru-guru bertanya kronologis
kejadiannya. Kemudian, dengan terisak-isak, ibu Anang menjawab dengan suara sangat
pelan pada kami.
Tadi pagi tidak ada hal yang janggal, hanya terlihat buru-buru ketika sudah hampir jam
setengah tujuh, tak biasanya Anang terlihat buru-buru seperti itu, ketika saya Tanya
kenapa, dia menjawab kalau hari ini ada janji dengan teman, jadi berangkatnya harus pagi,
soalnya penting. Begitu kata Anang, saya senang saat itu, karena Anang yang biasanya
malas-malasan jadi rajin seperti itu, tapi saya juga tidak menyangka kalau itu hal terahir
yang di katakan pada saya
DEG
Satu lagi pukulan hebat, kini menyerang seluruh tubuhku, aku tidak menyangka semua
menjadi seperti ini. Aku merasa sangat bersalah, aku terus menyalahkan diriku sampai saat
ini. Mendengar perkataan tadi.. Anang, Anang menganggapku teman? Selama ini, yang aku
lakukan hanya menyusahkan dia, mungkin karena aku juga sekarang dia berbaring di sisi
tuhan di atas sana.
Anang, namaku Lia, senang berkenalan denganmu. Aku senang menjadi temanmu, semoga
kau juga senang berada di sana, maafin semua salahku ya? Mungkin akulah yang harusnya
disalahkan atas semua ini. Tapi aku tak berani mengungkapkan semua ini pada siapapun
sampai saat ini, dimana rahasia itu selalu kusimpan. Mungkin hanya dengan ini aku
mengakui kesalahanku padamu. Selamat jalan teman baruku.