Anda di halaman 1dari 23

TUGAS BIOLOGI MOLEKULER

Dosen Pengampu : Dr. Siswa Setyahadi, Msc, PhD

Disusun oleh :
EKO MUGIYANTO SSI., APT
NIM 5414220021
Angkatan XXIII

KONSENTRASI OBAT BAHAN ALAM


PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2014

EPIGENETIK
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu cabang ilmu biologi, kemajuan penelitian dan teknologi informasi
telah membantu perkembangan pesat dari biologi molekuler. Sejak dicetuskan pada tahun
1958 dan dipublikasikan di Nature pada tahun 1970 oleh Francis Crick, dogma sentral
biologi telah menjadi acuan dari pemahaman proses pembacaan materi genetik menjadi protein
yang berperan di setiap tahap metabolisme pada tubuh suatu organisme eukariotik [1].
Pertama, dogma tersebut menjelaskan proses pembentukan asam ribonukleat (RNA) dari
asam deoksiribonukleat (DNA) melalui proses transkripsi. Pada proses ini, informasi genetik
di dalam DNA dialihkan ke RNA. Kedua, RNA dengan kode genetik yang diterima dari
DNA membentuk protein melalui proses translasi [2].
Perkembangan pemahaman tentang komplek- sitas sel baik secara struktural maupun
mekanisme regulasinya telah bermuara pada suatu perdebatan antara

kelompok

performasionis-reduksionis dan epigenetikholis tentang bagaimana mekanisme ekspresi


genomik dalam menampilkan suatu fenotipe (Stotz, 2005). Gen sebagai elemen penyusun
genom merupakan merupakan sekuens kode yang menunjukkan spesifikasi sekuens linier
asam-asam amino dalam suatu rantai polipeptida (central dogma theory). Oleh karena itu,
kelompok performasionis reduksionis meyakini bahwa sekuens kode dari suatu gen adalah
faktor deterministik terhadap ekspresi suatu fenotipe.
Pada era pasca genomik, debat historis ini telah muncul kembali ke permukaan seiring
dengan penemuan fakta-fakta baru pada level molekuler suatu sel. Meskipun reduksionisme
molekuler abad 20 telah memperlihatkan keberhasilan yang spektakuler, penemuanpenemuan tentang gen, protein, dan metabolit saja belum cukup untuk memahami
kompleksitas sel. Penemuan fakta-fakta bahwa faktor-faktor penting seperti sekuens kode
(informasi genetik) melakukan regulasi ekspresi genomik secara interaktif dengan elemenelemen lingkungan ekstra organisme terutama sekali intra organisme (selama ini belum
menjadi perhatian) merupakan kritik terhadap pemahaman genetik deterministik dalam
ekspresi genomik. Bahkan secara ekstrim Stotz et al. (in press) sebagaimana dikutip oleh
Stotz (2005) menyatakan bahwa gen bukan hanya merupakan kesatuan yang telah ditentukan sebelumnya (diwariskan) yang tersusun secara linier pada suatu genom seperti halnya
manik-manik pada tali/benang, tapi mereka lebih merupakan things an organism can do
with its genome (sesuatu yang suatu organisme dapat lakukan dengan genomnya) dan di

tempat itu membuat cetakan untuk suatu produk yang dibutuhkan sel pada waktu tertentu.
Sekuens DNA yang sama secara potensial dapat menghasilkan berbagai produk gen yang
berbeda. Sebaliknya, sekuens DNA yang berbeda dapat mengkode produk-produk gen yang
identik. Oleh karen itu, informasi genetik untuk suatu produk tidak cukup hanya dengan
pengkodean dalam sekuens DNA target saja tapi harus diinterpretasikan bersama elemen
lain di luar sekuens kode tersebut. Elemen-elemen selain sekuens kode merupakan
lingkungan bagi gen. Lingkungan intra organisme dalam konteks gen terdiri atas regulasi
dan sekuens intronik yang menjadi target pengikatan oleh faktor transkripsi dan splicing
factors (protein dan noncoding RNAs), dan sinyal-sinyal lingkungan

spesifik

yang

memberikan isyarat pada faktor-faktor tersebut sehingga mempengaruhi ekspresi gen.


Realitas pascagenomik ini berimplikasi pada pemahaman kita bahwa perkembangan
(development) tidaklah gen deterministik tapi sebuah proses epigenetik (Muller dan
Olson, 2003 sebagaimana dikuti oleh Stotz, 2005). Terminologi epigenetik digunakan untuk
menyatakan adanya pengaruh pada aktivitas gen yang diwariskan dimana pengaruh tersebut
tidak melibatkan perubahan pada DNA (Gehring et al., 2004). Terjadinya proses epigenetik
(epigenesis) merupakan konsekuensi adanya interaksi antara gen dan lingkungannya dan
dapat terjadi akibat tidak terekspresinya informasi genomik (silenced genes). Peristiwaperistiwa molekuler seperti metilasi DNA,

modifikasi histon, dan lain-lain dapat

menyebabkan tidak tercetaknya informasi pada genom (genomic imprinting) (Holliday,


2005).
Pada masanya, dogma sentral biologi tidak mencakup proses metilasi DNA hingga
modifikasi protein pasca translasi. Pada tahun 1993, RNA mikro atau yang lazim disingkat
miRNA ditemukan [3]. RNA mikro merupakan molekul RNA yang tidak mengkode protein
dan berukuran 21-24 nukleotida. Sebuah teori mengatakan bahwa RNA mikro dikode oleh
gen pre-miRNA yang berada di daerah intergenik DNA yaitu intron pada hewan. Sedangkan
pada tanaman, gen yang mengkode RNA mikro tersebut terletak pada DNA yang ditranskrip
oleh RNA Poly-II dan membentuk prekursor primer panjang dari miRNA (pri-miRNAs)
[4,5]. RNA mikro tersebut berperan menghambat ekspresi gen target melalui regulasi pasca
transkripsi [6]. Penemuan ini merevolusi paradigma tentang regulasi gen pada organisme
eukariotik dan memunculkan pemahaman epigenetik. Epigenetik dapat dimaknai sebagai
studi tentang perubahan ekspresi gen yang diturunkan namun tidak disandi oleh perubahan
sekuens DNA yang terkait. Pada tanaman perkebunan, fenomena variasi somaklonal pada
kultur jaringan kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu contoh dari epigenetik

yang hingga saat ini belum dapat diatasi [7].

VARIASI SOMAKLONAL
Variasi somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang
dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel
gamet. Variasi somaklonal yang terjadi dalam kultur jaringan merupakan hasil kumulatif dari
mutasi genetik pada eksplan dan yang diinduksi pada kondisi in vitro. Variasi somaklonal
merupakan perubahan genetik yang bukan disebabkan oleh segregasi atau rekombinasi gen,
seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan.
Variasi somaklonal dapat dikelompokkan menjadi keragaman yang diwariskan
(heritable), yaitu yang dikendalikan secara genetik, dan keragaman yang tidak diwariskan,
yakni yang dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang dikendalikan secara
genetik biasanya bersifat stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke generasi selanjutnya.
Keragaman epigenetik biasanya akan hilang bila diturunkan secara seksual (Skirvin et al.
1993).
Variasi somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur
tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan
(sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau tidaknya media seleksi dalam kultur
in vitro(Skirvin et al. 1993; Jain 2001). Zat pengatur tumbuh kelompok auksin 2,4 D dan
2,4,5-T biasanya dapat menyebabkan terjadinya variasi somaklonal. Pada tanaman kelapa
sawit, perlakuan 2,4-D pada kultur kalus yang mampu beregenerasi membentuk tunas
menyebabkan variasi somaklonal saat aklimatisasi di lapangan (Linacero dan Vazquez 1992;
Jayasankar 2005). Beberapa sifat tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun
sifat lainnya tetap menyerupai induknya. Dengan demikian, variasi somaklonal sangat
memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa sifat yang diinginkan dengan tetap
mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh tanaman induk. Tanaman
yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan
klon baru yang berbeda dengan induknya.
Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal telah banyak dilakukan, antara lain
untuk sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Cara tersebut bermanfaat bila
dapat menambah komponen keragaman genetik yang tidak ditemukan di alam serta
mengubah sifat dari kultivar yang ada menjadi lebih baik, terutama untuk tanaman yang
diperbanyak secara vegetatif atau menyerbuk sendiri (Ahloowalia 1990).

Dapat dikatakan bahwa variasi somaklonal telah berhasil memperbaiki sifat produksi
beberapa tanaman seperti tomat, tebu, seledri, jagung, padi, dan sorgum Tetapi juga harus
dikatakan tentang ketidaksuksesan beberapa percobaan dengan pendekatan ini, misalnya pada
tanaman gandum, jagung, dan barley meskipun diusahakan dengan skala yang besar dan
ekstensif (Maralappanavaret al., 2000). Meskipun hasil (regeneran) dari variasi somaklonal
tidak dapat diprediksi, beberapa kelebihannya dibandingkan dengan alat (teknik) lainnya
adalah: 1) lebih murah dibandingkan dengan pendekatan bioteknologi dengan hibridisasi
somatik dan transformasi genetik, 2) sistem kultur jaringan dapat menggunakan lebih banyak
spesies tanaman daripada manipulasi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik, 3)
tidak perlu identifikasi sifat (trait) berdasarkan sifat genetik dibanding de-ngan transformasi
yang memerlukan identifikasi genetik untuk isolasi dan kloning gen dimaksud, dan 4)
dilaporkan varian-varian noveltis telah ba-nyak dihasilkan di antara somaklon yang
dihasilkan variasi somaklonal. Bukti genetik dan sitogenetik mengindikasikan bahwa
frekuensi dan distribusi terjadinya rekombinasi genetik dapat diubah dengan jalan lintas
melatui kultur jaringan (Duncan dan Widholm, 1990, Karp, 1995)

Studi epigenetik tidak hanya meliputi RNA mikro namun juga beberapa jenis RNA
kecil (small RNA, sRNA) seperti Short interfering RNA (siRNAs), Tiny noncoding RNA
(tncRNA), dan small modulatory RNA (smRNA) [8]. Sebagian besar dari jenis RNA kecil
tersebut telah diketahui fungsinya. Sebagai contoh, pada tanaman karet (Hevea brasiliensis),
RNA kecil telah diidentifikasi [9] dan diprediksi memiliki peran penting dalam respon
terhadap penyakit kering alur sadap (KAS) [10]. Studi dan pemahaman mendalam terhadap
regulasi RNA kecil ini terhadap gen-gen target terkait merupakan faktor penting dalam
usaha mengatasi penyakit KAS pada tanaman karet tersebut.

EPIGENOTIPE DAN EPIGENETIK


Dalam suatu organisme kompleks dengan sel-sel yang terdiferensiasi, sel-selnya
memiliki berbagai fenotipe yang berbeda. Meskipun demikian, genotipe-genotipe sel-sel
tersebut adalah sama. Perbedaan fenotipe-fenotipe tersebut disebabkan oleh suatu
mekanisme yang menetapkan sekelompok gen menjadi aktif pada sel-sel tertentu sementara
sekelompok gen lainnya inaktif. Mekanisme ini merupakan mekanisme epigenetik yang
menenetukan epigenotipe dari sel-sel tersebut (Holliday,2005). Dengan demikian, suatu
organisme kom- pleks memiliki banyak epigenotipe sel.
Istilah epigenotipe diperkenalkan oleh Wad-dington (1939) sebagaimana dikutip oleh

Holliday (2005) dan didefinisikan sebagai total sistem perkembangan yang terdiri atas
lintasan-lintasan perkembangan yang saling berhubungan di mana melalui interelasi
lintasan-lintasan tersebut bentuk dewasa suatu organisme terlihat. Holliday (2005) secara
lebih spesifik mendeskripsikan pengertian epigenotipe sebagai berikut: meskipun seluruh
gen-gen yang diwariskan pada semua sel-sel zigot sama, produk gen-gen tersebut berbeda
pada tiap tipe sel yang berbeda. Misalnya, pada embrio yang sedang berkembang terdapat sel
otot, saraf, sel-sel jaringan penghubung dan lain-lain. Ini terjadi karena adanya perbedaan
ekspresi gen.
Setiap sel memiliki set gen aktif standar yang diperlukan untuk metabolisme normal.
Produk gen tersebut umumnya merupakan enzim atau protein housekeeping. Ketika sel-sel
tertentu terdiferensiasi, set protein lainnya juga dibentuk. Protein tersebut umumnya dikenal
dengan protein mewah (luxury protein). Dengan demikian tipe sel A memiliki satu set
protein mewah A, dan tipe sel B memiliki set protein B di mana keduanya memiliki protein
housekeeping yang mirip atau sama. Sel A tidak mensintesis protein B dan sel B tidak
mensintesis protein A. Pada beberapa kasus, keduanya dapat mensintesis protein mewah C,
atau bisa jadi sama sekali tidak ada protein yang dibentuk oleh kedua tipe sel. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa perbedaan fenotipe sel tipe A dan B disebabkan oleh berbedanya
epigenotipe sel-sel tersebut.
Epigenesis mencakup seluruh mekanisme yang menyebabkan perbedaan ekspresi gen
pada sel-sel tertentu. Mekanisme tersebut mencakup metilasi DNA, konfigurasi kromatin,
atau kombinasi kedu- anya. Konsekuensi dari mekanisme tersebut adalah sebuah spektrum
gen-gen yang aktif dan gen-gen yang tidak aktif (silent) pada setiap tipe sel yang ada.
Epigenesis juga meliputi mekanisme yang bertanggung jawab menentukan program genetik
untuk perkembangan (development) di mana mekanisme ini bergantung pada proses-proses
seperti pensinyalan sel dan berbagai interaksi seluler lainnya. Proses tersebut juga mencakup
perilaku sel batang (stem line cell) yang membelah untuk menghasilkan dua sel anak yang
identik, dan sel lainnya yang menghasilkan satu atau lebih tipe sel yang terdiferensiasi.
Misalnya, sel batang tulang sum-sum menghasilkan seluruh tipe sel dalam darah, tetapi sel
batang kulit hanya memproduksi keratinocytes. Epigenesis juga bertanggung jawab atas
terjadinya genomic imprinting di mana beberapa gen yang berasal dari gamet jantan dan
betina memiliki ekspresi yang berbeda.

a. Epigenetik pada fetus

Epigenetik adalah mekanisme intrinsik yang merubah ekspresi gen bukan dengan
merubah sekuens DNA tetapi dengan memodifikasi DNA dan protein kromosom histon.
Epigenetik terlibat dalam genomic imprinting dan aktivasi kromosom X pada manusia
dan kegagalan dari mekanisme ini menyebabkan kelainan kongenital dan timbulnya
kanker (Kubota, 2008).
Terjadinya proses epigenetik (epigenesis) merupakan konsekuensi adanya interaksi
antara gen dan lingkungannya dan dapat terjadi akibat tidak terekspresinya informasi
genomik (silenced genes). Epigenesis mencakup seluruh mekanisme yang menyebabkan
perbedaan ekspresi gen pada sel-sel tertentu. Regulasi epigenetik dimungkinkan karena
DNA pada setiap sel dibungkus dalam struktur dinamik spesifik tertentu yang disebut
kromatin. Kromatin terdiri dari DNA yang dibungkus oleh protein histon. Ketika struktur
kromatin di sekeliling daerah genom dibungkus erat, tanpa memperhatikan sekuens
DNA, ekspresi gen akan ditekan. Sebaliknya, kromatin yang terbuka, dimana DNA dan
histon berinteraksi lebih longgar, menyebabkan akses faktor transkripsi dan mesin
transkripsi pada regulator gen menginisiasi ekspresi gen (Li et al., 2007).

Struktur kromatin dalam DNA


Struktur kromatin ditentukan oleh DNA metilasi dan modifikasi pada protein histon.
Mekanisme ini merupakan mekanisme utama epigenetik untuk mengontrol ekspresi gen.
Metilasi DNA adalah salah satu modifikasi epigenetik yang tidak merubah urutan
sekuense utama DNA, namun merupakan faktor kritis bagi perkembangan yang normal,
pola ekspresi gen, dan stabilitas genomik, dengan cara penambahan kovalen gugus metil

pada ujung 5 sitosin dalam CpG dinukleotida dan CpNpG trinukleotida yang sebagian
besar berkelompok pada daerah genom yang disebut sebagai CpG island. Proses ini
difasilitasioleh suatu enzim yaitu DNA metiltransferase (DNMTs). Secara umum, hipo
dan hipermetilasi berhubungan dengan ekspresi gen dan silent gen. Pola metilasi DNA
diprakarsai dan dikelola oleh DNMTs(Hsieh dan Fischer, 2005).
Sekitar 75 gen imprinted telah diidentifikasi pada manusia. Diestimasikan bahwa 100600 gen imprinted ada pada genom manusia. Namun tidak semua gen imprinted
mengkode protein, melainkan menkode untranslated RNA, antisense RNA atau micro
RNA yang berpengaruh terhadap ekspresi genetik. Gen imprinted dicirikan dengan
memiliki daerah khusus dengan panjang beberapa kilobase DMD. Pada daerah ini,
tingkat DNA metilasi berbeda antara alel paternal dan maternal. Metilasi terjadi pada
tempat spesifik berupa CpG dinukleotide didalam DMD. Di dalam DMD, salah satu alel
parental dimetilasi dengan sempurna/sebagian besar termetilasi, sementara satu sisi tidak
termetilasi atau sedikit termetilasi. Di luar DMD pola yang hampir sama metilasi
dipresentasikan pada kedua alel (Giacobino, 2007).
Metilasi DNA memerlukan beberapa enzim; kelompok 3 Dnmt yaitu, Dnmt1, Dnmt2,
Dnmt3. Dnmt1 merupakan DNA methyltransferase terbesar pada sel mamalia. Dnmt 1
memiliki 3 isoform: somatik Dnmt1, varian DNMGT1b dan isoform spesifik-oosit
Dnmt1o. Fungsi dan cara kerja Dnmt2 masih belum dapat diketahui. Dnmt3 merupakan
kelompok DNA methyltransferase yang dapat memetilasi hemimetilated dan
unmethylated CpG-dinucleotide (Giacobino, 2007).
Kelompok donor metilasi mengandung kelompok gugus metil pada DNA dan histon
melalui S-adenosylmethionin (SAM) dan mempengaruhi ekspresi gen. Remetilasi
metionin dari homosistein memerlukan zinc, selenium dan vit B6 dan B12. Donor
metilasi berasal dari makanan yang mengandung methionine, serine, folat, biotin dan
cholin (Gambar 2) (Zeisel, 2009).
Protein histon juga merupakan subjek dari modifikasi pos translasi yang meliputi,
proses asetilasi, metilasi, fosforilasi, ubiquitinasi, sumoilasi dan ribosilasi ADP.
Kombinasi spesifik dari modifikasi ini dapat berpengaruh secara signifikan pada kondisi
kromatin dan penanda gen untuk meningkatkan aktifitas atau transcriptional silencing
(Berger, 2007).
Diketahui pula bahwa metilasi DNA dan penanda histon sering berfungsi untuk
meregulasi ekspresi gen. Sebagai contoh, metilasi histon (H3K9) dapat berkombinasi

dengan metilasi DNA untuk memperkuat efek represif pada aktifitas gen dan modifikasi
ini disertai dengan deasetilasi histon pada daerah genom yang sama (Fuks, 2005).
b.

Epigenetik pada Pre-eklamsia


Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh
trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron
menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak
50%, hipertensi dan penurunan volume plasma (Yuen, 2010).
Preeklamsia dikaitkan dengan peningkatan aktivasi sistem koagulasi yang dibuktikan
dengan peningkatan pembentukan fibrin, aktivasi sistem fibrinolitik, aktivasi trombosit,
dan penurunan jumlah trombosit. Ketidakseimbangan tromboksan, vasokonstriktor dan
aktivator trombosit, prostasiklin, vasodilator dan inhibitor aktivasi trombosit, dapat
menjelaskan terjadinya hipertensi. Selain itu, pada preeklamsia terjadi penurunan aliran
darah uteroplasenta, dan hiperkoagulopati. Tromboksan dan prostasiklin memiliki
prekursor umum yaitu prostaglandin H2, tetapi disintesis oleh enzim yang berbeda.
Tromboksan sintase adalah enzim yang mengkatalisis isomerisasi prostaglandin H2
menjadi tromboksan. Peningkatan sintase tromboksan ditunjukkan dalam trofoblas dan
desidua pada sel-sel plasenta yang mengalami preeklamsia. Tetapi peningkatan ekspresi
dalam jaringan maternal sampai sekarang belum terbukti. Jika tromboksan sintase
meningkat

pada

pembuluh

darah

perempuan

yang

mengalami

preeklamsia,

vasokonstriksi dan aktivasi trombosit dapat terjadi karena peningkatan tromboksan.


Peningkatan produksi tromboksan pada preeklamsia bisa berhubungan dengan ekspresi
yang berubah sintase tromboksan gen (TBXAS1) akibat variasi genom atau aktivasi
transkripsi. Yang terakhir dapat mencakup epigenetik regulasi, termasuk metilasi DNA.
Metilasi DNA adalah mekanisme epigenetik dalam pengendalian ekspresi gen utama.
Secara umum, hipometilasi dikaitkan dengan peningkatan ekspresi gen, sedangkan
hipermetilasi dikaitkan dengan penurunan ekspresi gen. Telah dijelaskan bahwa metilasi
DNA terlibat dalam regulasi TBXAS1. Penurunan metilasi gen TBXAS1 bisa
mengakibatkan peningkatan sintease tromboksan dan peningkatan tromboksan. Metilasi
DNA pada preeklamsia mungkin berhubungan dengan stres oksidatif. Oksidasi DNA
menyebabkan

hilangnya

metilasi

dan

preeklampsia

dikaitkan

dengan

stress

oksidatif(Hogg, 2013).
Meskipun mekanisme molekuler yang berkontribusi terhadap pengembangan

preeklamsia tidak diketahui dengan pasti, plasenta dianggap berperan dalam terjadinya
preeklamsia. Gangguan perkembangan plasenta pada trimester pertama kehamilan
diduga terlibat dalam etiologi gangguan seperti preeklamsia dan menghambat
pertumbuhan janin intrauterin (Yuen, 2010).

Epigenetik tidak berkaitan dengan sekuen DNA (di dalam) tapi bermain di luar. Sekuen
tidak ada perubahan, tidak ada mutasi, persis sama. Namun beda di gugus-gugus yang
menempel pada DNA. Epigenetik prosesnya bisa balik (reversibel), beda dengan mutasi yang
tidak bisa balik. Perusahaan farmasi melihat celah ini dan mulai mengembangkan obat-obat
kanker bertarget pada epigenetik untuk pegobatan masa depan
Epigenetik berhasil menjawab orang yang kembar identik, mereka secara genetik adalah
persis sama. Namun contoh ekstrimnya jika mereka dipisah pada kondisi yang berbeda, maka
beberapa tahun kemudian akan ada perbedaan fenotip. Contoh nyata satu ada di kota besar
bekerja sebagai seoran dokter. Satunya hidup di kutub dan bekerja sebagai pemburu.
Beberapa tahun ketika mereka bertemu, mereka sungguh-sungguh berbeda. Yang di kota
jarang olahraga, suka makan junk food, hidup penuh polusi, dll. Yang tinggal di kutub
gerakan fisiknya bagus, makanan bergizi karena sering makan ikan, dll. Lingkungan di atas
akhirnya memberikan fenotip yang berbeda.
Ada 3 epigentik yang setidaknya di pelajari akhir-akhir ini yaitu Metilasi DNA, modifikasi
histon tail, dan mikroRNA.

Metilasi DNA memicu pada silencing gen. Metilasi terjadi pada basa sitosin yang

bersebalahan dengan gunanin, sitosin berubah menjadi 5-metil-sitosin (CpG-methylation). Di


daeah promoter misal pada tumor suppressor gene jika banyak termetilasi maka gen tadi tidak
bisa terkespresi. Metilasi DNA lebih sering terjadi pada fase early, sedangkan pada fase akhir
kanker sudah sedikit.

Modifikasi histon tail, ini lebih kompleks dan ribet. Seperti yang telah diketahui,

chromosome terdapat dalam histons. Histon sendiri ada 4 maca yaitu H2A, H2B, H3 dan H4
dan masing-masing histon ada ekornya masing-masing. Penambahan gugus bisa terjadi pada
tiap ekor, tiap urutan AA pada ekor, dan semuanya menghasilkan efek yang berbeda. Obat
terkenal misal HDAC inhibitor, dia bekerja pada tumor suppressor gene, sehinga ekspresinya
dipicu tinggi. mikroRNA, diproduksi oleh tubuh, ada gen penyandinya

Metilasi DNA dan inaktivasi gen (gene silencing)


Kontrol ekspresi gen merupakan faktor utama dalam mekanisme epigenetik.
Struktur kromatin sangat menentukan aksesibilitas DNA yang pada akhirnya menentukan
proses transkripsi. Faktor- faktor yang mempengaruhi struktur kromatin adalah kompleks
remodeling yang bergantung pada ATP (ATP-dependent remodelling complex), modifikasi
histon (histon modification), group Polycomb dan Trithorax, Metilasi DNA, varian histon,
dan inaktivasi gen yang diinduksi RNA (RNA- induced gene silencing) (Hsieh dan Fischer,
2005).
Metilasi DNA adalah salah satu modifikasi epigenetik yang paling banyak terjadi
pada tanaman dan hewan. Modifikasi tersebut tidak mengubah sekuens utama DNA namun
merupakan faktor kritis bagi perkembangan yang normal, pola ekspresi gen, dan stabilitas
genomik. Metilasi DNA merupakan reaksi penambahan kovalen gugus metil pada ujung 5
sitosin dalam dinukleotida CpG dan trinukleotida CpNpG yang difasilitasi oleh enzim
DNA metiltransferase (Plass dan Soloway, 2002; Hsieh dan Fischer, 2005). Karena 5CG3
adalah palindromik, metilasi dapat terjadi hanya pada satu rantai (hemi-methylated) ataupun
kedua rantai DNA (homo-methylated) (Plass dan Soloway, 2002). Metilasi DNA dalam
konteks di- nukleotida CpG yang simetrik (homomethylated) ini merupakan modifikasi
yang dipertahankan. Pola metilasi simetrik ini dipertahankan setelah replikasi DNA di mana
setiap setiap rantai DNA tetua menyimpan setengah dari informasi metilasi. Pemeliharaan
(maintenance) DNA metil transferase, seperti DNMT1 pada hewan dan MET1 pada tanaman, terjadi dengan cara mengkopi tanda (area) metilasi pada rantai DNA anak. Dengan
cara tersebut, metilasi DNA memperlihatkan mekanisme yang efisien dalam menyimpan
informasi epigene- tik yang dengan stabil dapat diwariskan melalui pembelahan sel (Hsieh
dan Fischer, 2005).

Metilasi yang terjadi pada ujung 5- sitosin.

Replikasi DNA homometilasi menghasilkan DNA hemimetilasi dimana satu rantai


DNA tetap termetilasi dan rantai yang baru terbentuk tidak termetilasi. DNA yang

hemimetilasi dapat menjadi homometilasi dengan enzim metiltransferase pemeliharaan


(maintenance) yang meletakkan grup metil pada komplementer 5-CG-3 ke 5-CG-3 yang
termetilasi. Metiltransferase yang pertama kali diidentifikasi, DNMT1, diketahui memiliki
baik aktivitas metilasi de novo dan aktivitas peme- liharaan (activity maintenance), meskipun
aktivitas de novo jauh lebih lemah dibandingkan aktivitas pemeliharaan. Hasil penelitian
memperlihatkan pentingnya metilasi DNA dalam perkembangan yang normal.
Demetilasi DNA dapat terjadi secara aktif oleh suatu enzim dengan aktivitas
demetilasi, atau secara pasif melalui beberapa kali replikasi pada saat tidak terdapat aktivitas
metiltransferase pemeliharaan. Terdapat bukti-bukti bahwa kedua proses ini terjadi.
Demetilasi aktif terjadi secara predominan pada kromosom dalam zigot yang diwariskan
secara paternal sedangkan kromosom yang diwariskan

secara

maternal

mengalami

demetilasi pasif pada tahap pembelahan berikutnya.


Dalam konteks epigenetik, konsekuensi penting dari metilasi DNA adalah inaktivasi
gen (gen silencing/inactivity). Seperti diketahui bahwa regulasi ekspresi gen memerlukan
faktor transkripsi yaitu protein spesifik yang mengikat DNA promotor. Inaktivasi terjadi
ketika faktor transkripsi tidak dapat mengikat DNA yang termetilasi. Inaktivasi akibat
metilasi bahkan dapat terjadi pada keseluruhan kromosom. Meskipun metilasi DNA memiliki
peran penting dalam inaktivasi gen, mekanismenya tidak terlepas dari adanya peran
modifikasi histon ataupun varian histon (Hsieh dan Fischer, 2005). Secara umum, regulasi
ekspresi gen melibatkan asetilasi histon oleh HATs (histon acetyl transferases) yaitu
penambahan grup COCH3 pada histon. Asetilasi berfungsi menguraikan struktur kromosom
yang padat sehingga kode-kode pada rantai DNA dapat ditranskripsikan. Sebaliknya,
terjadinya deasetilasi histon oleh deasetilase (protein yang membuang gugus metil dari
histon) atau HDACs (histone deacetylases) akan memadatkan kromosom kembali. Dengan
demikian, bagian-bagian DNA yang terkait dengan wilayah histon yang terdeasetilasi tidak
dapat ditranskripsikan (silent) (Hsieh dan Fischer, 2005)
Mekanisme inaktivasi gen lainnya melibatkan adanya noncoding RNA. Akhir-akhir
ini, para peneliti telah mengalihkan perhatian mereka padan98% DNA sampah (junk DNA)
pada organisme tingkat tinggi yang memiliki mekanisme genomik baru dalam mengeset gen
untuk ondan off selama perkembangan normal dan regulasi pemrosesan mRNA.
Mekanisme kontrol tersebut adalah nonprotein coding

RNAs

(ncRNAs)

yang

secara

umum berfungsi dalam dua cara yaitu:


1. terlipat dalam cara 2- dan 3-dimensional, RNA tersebut menunjukkan fungsi yang sama

dan analog sebagai faktor protein seperti mengkatalisis reaksi kimia (ribozim) atau
membentuk kantong pengikat untuk molekul (riboswitches),
2. Sebagai sinyal digital untuk DNA, RNA dan protein melalui kapasitas perpasangan
basa komplementernya (Mattick, 2004).

Lima dari sembilan ribozim alami yang telah dikenal mengkatalisis pemotongan
sendiri (self- cleavage) dengan menggunakan suatu reaksi transfer fosforester internal.
Selfsplicing introns membantu proses mRNA matang (mature) dengan cara mengaktifkan
baik sambungan cis- dan trans- pada bakteri, virus, kloroplas tanaman, dan mitokondria
pada eukariot (Sturm dan Campbell, 1999). Riboswitches adalah porsi noncoding yang
panjang dari berbagai mRNAs yang mengkontrol ekspresi gen dengan cara melipat ke
reseptor pada molekul lingkungan spesifik. Mereka terlibat dalam mekanisme regulasi yang
berbeda seperti inhibisi inisiasi translasi dan atenuasi (mengurangi) baik transkripsi ataupun
translasi. Hal ini meng- akibatkan aktivasi ataupun represi dari ekspresi gen.

Metilasi pada CG island.

Inaktivasi keseluruhan kromosom (inactivation of entire chromosom)

Asetilasi histon.
Terdapat diversitas non-coding RNAs yang luas dengan fungsi digital. Grup yang
terbesar adalah kisaran RNAs kecil yang menginaktifkan ekspresi berbagai gen dengan cara
menghancurkan mRNA ataupun dengan mempengaruhi translasinya. RNA interference
(RNAi) melalui small interfering RNAs (siRNAs) rantai ganda telah terimplikasi pa- da
berbagai proses berbeda yang mencakup regu- lasi temporal ekspresi gen perkembangan,
pencegahan mobilisasi transposon, dan suatu mekanisme ketahanan terhadap infeksi virus
(Novina dan Sharp, 2004). Ribuan RNA mikro (miRNA) telah diidentifikasi baik pada
vertebrata maupun invertebrata. RNA tersebut mengikat faktor transkripsi spesifik mRNAs
untuk menghambat translasi. RNAmikro tersebut meregulasi sedikitnya sepertiga gen-gen
manusia yang terlibat dalam proliferasi dan kematian sel, waktu perkembangan, atau pemolaan sistem saraf (Ambros, 2004).
Secara umum, regulasi yang dimediasi oleh RNA terlibat dalam berbagai prosesproses yang berbeda seperti replikasi kromosom, regulasi transkripsi (berkaitan dengan
inaktivasi gen), pemrosesan mRNA, penyambungan (splicing) dan modifikasi, transpor dan
stabilitas mRNA, translasi, degradasi dan translokasi protein, sistem imunitas genom,
remodelling kromatin, DNA dan histon metilasi, yang secara bersama-sama fungsi-fungsi
tersebut membenarkan pernyataan bahwa regulasi yang dimediasi RNA adalah sistem
regulasi digital yang paralel (Mattick, 2004).
Dalam konteks mekanisme inaktivasi gen (silencing gene), terdapat hasil-hasil
penelitian yang menyatakan bahwa metilasi DNA dan histon bergantung pada aktivitas
RNAi. Lippman et al. (2004) sebagaimana dikutip oleh Hsieh dan Fischer (2005)
melaporkan bahwa pada knob hk4s pada Arabidopsis terdapat level dimetilasi H3K9 dan
metilasi DNA yang tinggi. Distribusi metilasi H3K9 berkorelasi signifikan dengan lokasi
elemen transposabel di mana ini menunjukkan bahwa formasi heterokromatin ditentukan

oleh adanya elemen transposabel elemen. DDM1 memiliki peran krusial dalam mengkontrol
inaktivasi heterokroma- tin karena pada mutan ddm1 tidak terdapat metilasi DNA dan H3K9.
Metilasi DNA dan H3K9 digantikan dengan metilasi H3K4 yang seragam dengan reaktivasi
yang bersamaan dengan beberapa elemen transposabel. Melalui hipotesis bahwa siRNA
(small interfering RNA) memiliki target elemen transposabel untuk metilasi H3K9, Hsieh
dan Fischer (2005) mengidentifikasi bahwa sumber utama siRNAs yang komplementer
terhadap wila- yah hk4s berasal dari elemen transposabel. Oleh karena itu, tanskripsi
elemen transposabel memiliki target untuk metilasi histon dan DNA dan formasi kromatin.
Lebih jauh lagi, elemen transposabel dengan siRNAs yang sesuai adalah elemen yang
secara khusus direaktivasi dengan latar belakang ddm1. Hal ini menyatakan bahwa DDM1
di- pandu oleh siRNAs (Lippman et al., 2004 sebagai- mana dikutip oleh Hsieh dan Fischer,
2005).

Genomic imprinting
Imprinting adalah mekanisme regulasi ekspresi gen epigenetik di mana satu dari dua
kopi gamet tetua terekspresi sedangkan yang lainnya tidak (Plass dan Soloway, 2002;
Holliday, 2005). Dengan kata lain, aktivitas suatu gen dimodifikasi dengan bergantung pada
jenis kelamin tetua yang mentransmisikannya dan dalam hal ini gamet jantan dan betina
memiliki epigenotipe yang berbeda (Holliday,

2005).

Gen-gen imprinted

saling

melengkapi satu sama lain dalam zigot, sehingga perkembangan menjadi normal.
Sebaliknya, dua genom yang berasal dari jantan, atau dua genom yang berasal dari betina
akan menghasilkan embrio yang abnormal.
Pada mamalia, gen-gen imprinted biasanya dijumpai pada klaster kromosom dan
mungkin berkaitan dengan metilasi DNA pada area kontrol yang bertindak sebagai cis
(cis acting control regions). Karena metilasi DNA dan metilasi histon terkait erat, dapat
dikatakan bahwa struktur kromatinlah yang pada akhirnya menentukan kondisi on dan
off suatu gen imprinted (Hsieh dan Fischer, 2005).

Gen imprinted berasal dari salah sa-tu tetua.

Terdapat bukti bahwa metilasi DNA berperan dalam gen imprinting pada
angiosperm. Tanaman mengandung de novo dan gen-gen pemeliharaan metiltransferase.
Pada

Arabidopsis, terdapat

transferase), famili

CMT

tiga kelas metil transferase yaitu famili MET1 (metil(chromo metilase), dan famili DRM (domain rearrange

metiltransferase) (Gehring et al., 2004). MET1, atau Dnmt1 (homo- log pada mamalia)
adalah metiltransferase peme- liharaan yang predominan. Mutan met1 telah me- reduksi
metilasi CpG dan CpNpG pada ulangan sentromerik (centro-meric repeats), ulangan gen
rDNA, dan sekuen gen kopi tunggal (single-copy sequence gene) (Kankel et al., 2003).
Studi-studi terakhir mengenai hubungan antara metilasi DNA pada dua gen
Arabidopsis yang imprinted menunjukkan bahwa pada kedua gen MEA (MEDEA) dan FWA
yang imprinted di endosperm, hanya alel maternal yang aktif sedangkan alel paternalnya
inaktif (Kinoshita et al., 1999). Gen FWA yang pada mulanya diidentifikasi dari mutan
epigenetik yang berhubungan dengan ulangan hi- pometilasi yang diwariskan yang berada di
situs transkripsi awal (faktor transkripsi) (Kinoshita et al., 1999; Hsieh dan Fischer, 2005).
Sedangkan gen MEA adalah gen grup polycomb yang meng- kode protein polycomb SET
pada Arabidopsis (Kinoshita et al., 1999; Choi et al., 2004). SET adalah singkatan yang
berasal dari tiga nama gen yang berbagi (share) 130 motif asam amino. Gen- gen tersebut
adalah Suppressor of position effect variegation gen Su(var)3-9, Enhancer of zeste
polycomb group gen E(z), dan Trithorax gene trx- G (Jenuwein et al., 1998 sebagaimana
dikutip oleh Kinoshita et al., 1999). Pada mamalia, serangga dan fungi, protein domain
polycomb SET

telah terbukti meregulasi transkripsi gen dengan berpartisipasi dalam

pembentukan kompleks pada situs spesifik dalam genom. Pada Arabidopsis, MEA berfungsi
sebagai supressor bagi perkembangan endosperm (Kiyosue et al., 1999).

Maternal imprinting.

Modifikasi histon dalam kromatin


Ekspresi alel MEA dan FWA endosperm dikontrol oleh gen DEMETER (DME), gen
yang memegang peran penting dalam regulasi gen imprinting pada Arabidopsis (Kinoshita et
al., 1999; Choi et al., 2004). DME mengaktifkan ekspresi alel MEA maternal yang imprinted
dengan mengkode suatu protein baru yang besar dengan suatu domain DNA glycosylase.
DNA glycosylase adalah enzim khusus dengan berat molekul rendah (200-300 aa) yang
bertanggung jawab untuk mengenali kerusakan basa (base lesion) di genom dan juga
bertang- gung jawab untuk menginisiasi penghilangan basa. Setelah penghilangan basa,
DNA lebih lanjut diproses melalui aksi endonuclease, DNA polimera- se, dan DNA ligase
(Choi et al., 2004). DME beraksi secara langsung pada promoter MEA di mana ekspresi
DME menghasilkan nick pada promoter MEA. Nick memperlihatkan terjadinya proses
penghilangan basa (base excision). Mutasi pada DME disupresikan oleh mutasi pada
MET1. Supresi ini beraksi pada lokus MEA secara spesifik pada gametofit betina,
menghubungkan antara metilasi DNA dan regulasi imprinting MEA oleh DME. Tiga wilayah
dari promoter MEA mengalami metilasi DNA, dan metilasi ini direduksi pada biji mutan
met1 (Hsieh dan Fischer, 2005). Namun demikian, masih belum diketahui apakah metilasi
promoter MEA meregulasi ekspresi MEA secara langsung. Bagaimana DME mengatasi
supresi MEA yang dimediasi oleh MET1 juga masih belum diketahui. Salah satu
kemungkinannya adalah bahwa DME bisa mengaktifkan MEA dengan membuang residu C
sitosin yang termetilasi, seperti yang diperlihat- kan oleh gen semacam DME (DME-like
gene), Repressor of Silencing 1 (ROS1), yang dapat menghilangkan 5-metilsitosin secara in
vitro (Gong et al., 2002).Perbedaan struktur kromatin antara alel paternal dan maternal telah

menjadi fokus dalam penelitian imprinting pada mamalia dan begitu pula pada tanaman.
Dalam mekanisme imprinting metilasi DNA dan struktur kromatin sangat berhubungan.
Metilasi histon pada histon H3Lys

berhubungan dengan

kromatin

inaktif. Pada

Neurospora, metilasi sitosin DNA ditiadakan/dihapuskan dalam mutan metiltransferase H3


histon

(Tamaru

dan

Selker,

2001).

Pada

Arabidop-

sis,

KRYPTONITE/KYP

(metiltransferase H3 his- ton spesifik untuk Lys 9) (Gambar 7), diperlukan untuk metilasi
CpNpG oleh CMT3 (Jackson et al.,2002). Decrease in DNA Methylation (DDM1) dan KYP
dibutuhkan untuk metilasi H3 K9 pada ulang- an sentromerik, retrotransposons (Johnson et
al.,2002) dan knob heterokromatin (Gendrel et

al.,2002). DDM1 mengkode protein

remodelling kro- matin yang bergantung pada ATP (ATP-dependent chromatin-remodelling


protein) yaitu famili yang sama dengan SWI2/SNF2 (Hsieh dan Fischer,2005). DDM1
rekombinan dapat berikatan dengan DNA bebas dan nukleosom, yang merangsang aktivitas
ATPase, dan juga dapat menginduksi perpindahan oktamer histon di sepanjang DNA melalui
suatu cara yang bergantung dengan ATP. DDM1 diidentifikasi sebagai suatu mutasi yang
mereduksi 5-metilsitosisn pada level hingga 70% (Vongs, 1993) di mana hal ini disebabkan
oleh pe- ngaruh enzim remodelling kromatin pada DNA metilasi.

Produk Bioteknologi: Rekayasa Genetik atau EpiGenetik?


Bioteknologi modern yang berbasis rekombinasi DNA atau rekayasa genetik telah
terbukti manfaatnya. Di tingkat global teknologi ini telah diterapkan secara luas pada
berbagai bidang. Di bidang kedokteran ada terapi gen. Bi bidang industri atau farmasi dikenal
dengan bioindustri, biosimilar atau molecular farming. Di Bidang pertanian telah beredar
luas tanaman PRG (produk rekayasa genetik) atau tanaman transgenik. Di Indonesia,
perkembangan dan penerapan rekayasa genetik masing terkendala oleh berbagai hal,
diantaranya besarnya input yang diperlukan untuk pengembangannya, ketat dan lamanya
proses pengkajian keamanan hayati maupun keamanan pangan PRG [11]. Alternatif
teknologi rekayasa genetik yang saat ini mengemuka adalah epigenetik. Pemahaman
molekuler yang semakin baik terhadap fenomena alami perubahan ekspresi gen pada
perkembangan seluler, membuka peluang bioteknologi alternatif berbasis epigenetik.
Epigenetik dapat diartikan sebagai perubahan ekspresi gen yang menurun
(heritable) yang tidak disandikan oleh sekuen DNAnya. Ada tiga komponen perubahan
epigenetik yang saling berinteraksi dalam keseimbangan yaitu metilasi DNA, silencing
terkait RNA dan modifikasi histon. Gangguan terhadap keseimbangan tersebut menyebabkan

terjadinya kelainan epigenetik atau epigenetic diseases [12]. Contoh pertama dari perubahan
keseimbangan metilasi DNA yang menyebabkan perubahan epigenetik adalah abnormalitas
buah mantel dari tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan [13]. Kedua, penyakit yang
terjadi akibat kelainan epigenetik adalah kanker, kelainan mental dan beberapa penyakit
degeneratif terkait dengan penuaan atau aging. Pemahaman yang medalam terhadap
proses molekuler kelainan epigenetik memunculkan gagasan pengobatan atau terapi
epigenetik.
Diferensiasi.

Salah

satu

tantangan

dalam

biologi

molekuler

adalah

pemahaman bagaimana informasi genetik dapat dikaitkan langsung dengan pembentukan


jaringan tertentu di dalam organisme multiseluler. Selama diferensiasi, perubahan struktur
kromatin menentukan pola penurunan ekspresi gen dalam merespon signal. Ekspresi gen dari
sel-sel yang sedang berdiferesiasi pada berbagai kondisi internal dan eksternal diilustrasikan
pada gambar dibawah. Beberapa sel, merespon suatu signal yang diterima selama diferensiasi
(anak panah hitam). Dalam model A, 3 sel yang berbeda masing-masing dengan struktur
kromatin permisif, dibedakan dengan ekspresi dari tiga faktor transcripsi yang berbeda.
Hanya sel pertama mengandung kombinasi faktor yang benar untuk transkripsi yang mampu
merespon signal. Dalam model B, ketiga tipe sel mengandung kombinasi faktor yang sama,
tetapi yang kondisi kromatinnya permisif hanya sel pertama. Sementara kondisi pada dua
lainnya, memiliki nukleosom yang padat ditunjukkan adanya segitiga atau oval merah [14].

Model diferensiasi berbasis faktor transkripsi dan kromaton [14].

Aktivasi gen-gen dorman. Tidak seperti produk rekayasa genetik yang mengandung
transgen, produk dari hasil bioteknologi aktivasi gen-gen endogenous dorman, pengendali
sifat-sifat unggul tanaman secara epigenetik, diperkirakan lebih dapat diterima oleh
konsumen. Contoh produk epigenetik yang telah ada, anggur tanpa biji yang bisa dibuat
menggunakan suatu homon tanaman. Dengan cara yang mirip, tanaman tahan terhadap
cekaman kekeringan atau salinitas dapat dibuat dengan cara mengkulturkannya pada
media yang mengandung senyawa kimia tertentu. Para peneliti dari sebuah lembaga riset di
Jepang aktif meneliti penggunaan obat (senyawa-senyawa kecil bioaktif) untuk induksi
ekspresi gen-gen endogenous dorman melalui pemahaman epigenetik sehingga tercipta
mikroba maupun tanaman unggul [15].

Chemical Epigenetics. Meskipun dalam prakteknya telah lama dilakukan, dengan


pemahaman yang lebih mendalam tentang epigenetikan, bidang kimia genetika saat ini
sedang menarik perhatian banyak pihak di dunia. Chemicals epigenetics berupa senyawasenyawa kimia ukuran kecil yang dapat berinteraksi dengan enzim-enzim atau molekul
terkait dengan epigenetic seperti HAC (histone acetylase) atau HDAC (histone
deacetylase). Senyawa tersebut bisa bersifat alami ataupun sintetis.

Salah satu temuan yang diperkirakan membawa dampak besar dalam bidang kesehatan
manusia dan yang banyak disitasi oleh publikasi ilmiah terkait adalah ditemukannya
Sirtuin atau Sir2, adalah suatu kelas protein yang memiliki aktivitas mono- ribosyltransferase
atau deacylase termasuk deacetylase, desuccinylase, demalonylase, demyristoylase dan
depalmitoylase. Nama Sir2 berasal dari gen yeast silent mating-type information regulation
2. Sirtuin berpengaruh terhadap berbagai proses seluler seperti penuaan, transkripsi,
apoptosis, inflamasi, ketahanan stess, kewaspadaan terhadap keadaan efisiensi energi dan
kekurangan kalori serta biogenesis mitokondria. Beberapa STAC
compound)

yang

bersifat

alami

telah

ditemukan.

(sirtuin-activating

Senyawa tersebut masuk dalam

kelompok senyawa polifenolik, diantaranya adalah turunan dari trans-Stilbene seperti


Piceatannol dan Resveratrol, derivat Chalcone seperti Butein dan Isoliquiritigenin

serta

turunan Flavone seperti Luteolin dan Quercetin. STAC mengaktivasi Sirtuin secara
allosterik yang kemudian diikuti proses deasetilasi protein histon pada kromatin oleh Sirtuin
aktif tersebut [16].

Referensi
1. Crick F (1970) Central Dogma of Molecular Biology. Nature 227: 561-563.
2. Leavitt SA (2010) Deciphering the Genetic Code: Marshall Nirenberg. Office of NIH
History.
3. Lee RC, Feinbaum RL, Ambros V (1993) The C. elegans heterochronic gene lin-4 encodes
small RNAs with antisense complementarity to lin-14. Cell 75: 843-854.
4. Vazquez F, Legrand S, Windels D (2010) The biosynthetic pathways and biological scopes
of plant small RNAs. Trends in plant science 15: 337-345.
5. Bielewicz D, Kalak M, Kalyna M, Windels D, Barta A, et al. (2013) Introns of plant pri
miRNAs enhance miRNA biogenesis. 622-628 p.
6. Chen K, Rajewsky N (2007) The evolution of gene regulation by transcription factors and
microRNAs. Nat Rev Genet 8: 93-103.
7. Morcillo F, Gagneur C, Adam Hln, Richaud Fdr, Singh R, et al. (2006) Somaclonal
variation in micropropagated oil palm. Characterization of two novel genes with enhanced
expression in epigenetically abnormal cell lines and in response to auxin. Tree Physiology
26: 585-594.
8. Kim VN (2005) Small RNAs: Classification, Biogenesis, and Function. Mol Cells 19: 115.
9. Gbelin V, Argout X, Engchuan W, Pitollat B, Duan C, et al. (2012) Identification of
novel microRNAs in Hevea brasiliensis and computational prediction of their targets. BMC
Plant Biol 12: 18.
10. Gbelin V, Leclercq J, Kuswanhadi, Argout X, Chaidamsari T, et al. (2013) The small
RNA profile in latex from Hevea brasiliensis trees is affected by tapping panel dryness. Tree
Physiology 33: 1084-1098.
11. Santoso, D. & D.H. Goenadi. 2014. Rekayasa Genetik: Potensi dan Status
penerapannya pada Tanaman Perkebunan. Menara Perkebunan (submitted)
12. Egger, G., G. Liang, A. Aparicio & P.A. Jones. 2004. Epigenetics in human disease and
prospects for epigenetic therapy. Nature 429: 457-463.
13. Morcillo, F., C. Gagneur, H. Adam, F. Richaud, R. Singh, S-C. Cheah, A. Rival, Y.
Duval & J.W. Tregear.

2006.

Somaclonal

variation

in

micropropagated

oil

palm. Characterization of two novel genes with enhanced expression in epigenetically


abnormal cell lines and in response to auxin. Tree Physiology 26, 585594
14. Arney, K.L. & A.G. Fisher. 2004. Epigenetic aspects of differentiation. Journal of
Cell
Science 117, 4355-4363
15. Yoshida, M. 2014. Tuning epigenetics to treat disease. Chemical Genomics Research
Group,

RIKEN

Center

for

Sustainable

Resource

Science.

http://www.rikenresearch.riken.jp/eng/frontline/7709.html.
16. Kugel, S. & R. Mostoslavsky. 2013. SIRT1 Activators: The Evidence STACks up.
AGING, 5(3): 142-143.
17. Ambros, V. 2004. The function of animal microRNAs. Nature: 350-355.
18. Choi, Y., J. J. Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer. 2004. An invariant aspartic
acid in the DNA Glycosylase domain of DEMETER is necessary for
transcriptional activation of the imprinted MEDEA gene. PNAS 101: 7481-7486.
19. Gehring,

M.,

Y.

Choi

dan

R.

L.

Fischer.

2004. Imprinting and seed

development. The Plant Cell 16:203-213.


20. Gendrel, A.-V., Z. Lippman, C.Yordan, V. Colot dan R.A.
Dependence

Martienssen.

2002.

of heterochromatic histone H3 methylation patterns on

the Arabidopsis gene DDM1. Science 297: 1871-1873.


21. Gong, Z., T. Morales-Ruiz, R. R. Ariza, T. Roldan- Arjona, L. David dan J. K. Zhu.
2002. ROS1, a repressor of transcriptional gene silencing in Arabidopsis, encodes a DNA
glycosylase/lyase. Cell 111: 803-814.
22. Holliday, R. 2005. DNA methylation and epigenotypes.Biochemistry 70: 500-504.
23. Hsieh, T. F. dan R. L. Fischer. 2005. Biology of chromatin dynamics. Annual Review of
Plant Biology 56: 327-351.
24. Johnson, L. M., X. Cao dan S. E. Jacobsen. 2002. Interplay between two
epigenetic

marks:

DNA methylation and histone H3 lysine 9 methylation. Current

Biology 12: 1360-1367.


25. Kankel, M. W., D. E. Ramsey, T. L. Stokes, S. K. Flowers, J. R. Haag, J. A.
Jeddeloh, N. C. Riddle, M. L. Verbsky dan E. J. Richards. 2003. Arabidopsis MET1 cytosine
methyltransferase mutants. Genetics 163: 1109-1122.
26. Kinoshita, T., R. Yadegari, J. J. Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer. 1999.

imprinting of MEDEA polycomb gene in the Arabidopsis endosperm. The Plant Cell 11:
1945-1952.
27. Kiyosue, T., N. Ohad, R. Yadegari, M. Hannon, J. Dinneny, D. Wells, A. Katz, L.
Margossian, J. J. Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer. 1999. Control
fertilization-independent

of

endosperm development by the MEDEA Polycomb gene in

Arabidopsis. Proceedings of National Academy of Science, USA 96: 4186-4191.


28. Mattick, J. S. 2004. RNA regulation: a new genetics?Nature Reviews Genetics 5: 316323.
29. Plass, C. dan P. D. Soloway. 2002. DNA methylation, imprinting, and cancer. European
Journal of Human Genetics 10: 6-16.
30. Stotz, K. 2005. With 'genes' like that, who needs an environment?
argument

for

Postgenomic

the 'ontogeny of information'. Philosophy of Science -: -

31. Tamaru, H. dan E. Selker. 2001. A histone H3 methyltransferase controls DNA


methylation in Neurospora crasse. Nature 414: 277-283.
32. Vongs, A., Kakutani, T., Martienssen, R.A.,and Richards, E.J. 1993. Arabidopsis
thaliana DNA methylation mutants. Science 260:1926-1928. 1993. Arabidopsis thaliana
DNA methylation mutants. Science 260: 1926-1928.

Anda mungkin juga menyukai