Anda di halaman 1dari 2

Beberapa kaidah penting dalam Jarh dan Ta'dil

1. Seorang Rawi yang dinilai 'adil tidaklah dipastikan sebagai Rawi yang
Dhabith.
Abu Zinad mengatakan: 'Aku menemui seratus orang di Madinah, mereka
semua terpercaya, akan tetapi tidak ada yang belajar hadis kepada mereka,
dikatakan: "Mereka bukan ahli hadis".'1

2.

Ibnu Hajar mengatakan: 'Tidak diterima rekomendasi dari seseorang yang


hanya menilai dzahir seorang Rawi'
Ulama yang dimaksud oleh Ibnu Hajar semisal Ibnu Hibban, al-Hakim,
dan beberapa orang belakangan2

3. Ibnu Shalah mengatakan: 'Ta'dil bisa diterima walaupun tanpa


menyebutkan sebab berdasarkan mazhab yang sahih dan populer'3

4. Rekomendasi tidak diterima kecuali dari orang yang mengetahui alasan


kelayakan.
Ibnu Hajar mengatakan: 'Rekomendasi diterima dari orang yang
mengetahui alasan kelayakan, tidak dari seorang yang tidak tahu, agar
tidak ada yang merekomendasi berdasarkan apa yang nampak tanpa ada
pengalaman dan percobaan (terhadap si Perawi -pent)'4

5. Jika terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil, maka tidak diterima kecuali
jarh yang mengandung perincian.
Kaidah ini adalah hasil kesepakatan, sebagaimana yang ditegaskan oleh alKhathib al-Bagdadi.
Contoh: Sallam bin Abi Muthi'

Amru bin Abdul Mun'im Salim, Tahrir Qawa'id al-Jarh wa al-Ta'dil, cet. I, KSA: Dar Ibnu alQayyim, 2005, Hlm. 13
2
Ibid, Hlm. 19
3
Ibid, Hlm. 20
4
Ibid.

Ahmad dan Abu Daud menilainya tsiqah, Ibnu 'Adi mengatakan: 'hadisnya
tidak mustaqim5 jika berasal dari Qotadah'.
Berdasarkan beberapa nukilan tersebut bisa disimpulkan bahwa Sallam bin
Abi Muthi' adalah seorang yang tsiqah secara umum namun tidak tsiqah
pada riwayat yang dia ambil dari Qotadah.6

Mustaqim al-hadis dalam hal ini maksudnya rawi tersebut berada diantara tsiqah dan shaduq atau
sekedar laa ba'sa bihi.
6
Amru bin Abdul Mun'im Salim, op.cit, Hlm. 30

Anda mungkin juga menyukai