Anda di halaman 1dari 76

Vol. 2, No.

1, Mei, 2013

ISSN 2252 - 4630

InterAct

Journal on Communication

Penasihat
Dr. A. Prasetyantoko, MSc
Pemimpin Redaksi
Dr. Nia Sarinastiti, MA
Editor
Embu Henriquez, MSi
Natalia Widiasari, MSi
Satria Kusuma, MSi
Sekretaris
Isabella A. Siahaya, MSi

Mitra Bestari
Prof. Herbert W. Simons (Temple University, Pennsylvania, USA)
Prof. Dr. Aloysius Agus Nugroho (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta)
Dr. Tanete Adrianus Pong Masak (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta)
Dr. Ade Armando (Universitas Indonesia, Jakarta)
Drs. I Ngurah Putra, MA (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Dr. Hifni Ali Fahmi (Universitas Indonesia, Jakarta)
Dr. Dorien Kartikawangi (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta)

Alamat Redaksi
Prodi. Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan lmu Komunikasi,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Ged. C. Lt. 1
Jl. Jend. Sudirman Kav. 51, Jakarta, 12930
Indonesia
Tlp/Fax: (021) 570 8967
Email: fia@atmajaya.ac.id / nia.sarinastiti@atmajaya.ac.id / sarinastiti@yahoo.com
Website: http//www.atmajaya.ac.id

Interact, Journal on Communication terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan
oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

ISSN 2252 - 4630

DAFTAR ISI

. The Prism Look at the Rhetoric of Apologia:


.

Lessons from the Apologetic Speeches of Tiger Woods and Chris Brown . ...............
(Desideria Murti)

1 - 17

. Evaluasi Strategi dan Implementasi 360


Communications di Indonesia. .............................................................................

18 - 31

. Strategi Komunikasi Pengurus Komisi Penanggulangan


AIDS (KPA) dalam Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS
di Provinsi Banten......................................................................................

32 - 43

. Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi


Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (Studi Kasus pada
Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat).........................

44 - 55

. Media Televisi Nasional dan Identitas Budaya Bangsa Indonesia. .............

56 - 63

. Employee Relations dan Corporate Reputation, Belajar dari Google . ......

64 - 70

(Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho)

(Neka Fitriyah)

(Aat Ruchiat Nugraha, Trie Damayanti)


(Embu Hendriquez)

(Isabella Astrid Siahaya)

Interact, Journal on Communication terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan
oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

ISSN 2252 - 4630

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang budiman,


Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan kemajuan teknologi menuntut kepekaan
akademis dalam mengkaji perubahan-perubahan tersebut sehingga dapat memberi kontribusi positif
bagi masyarakat. Kedekatan antara dinamika sosial dan kapasitas keilmuan ini dapat tercermin dalam
berbagai bentuk. Salah satunya adalah melalui publikasi hasil penelitian secara berkelanjutan.
Untuk mewujudkan hal tersebut Jurnal InterAct hadir sebagai ruang di mana interaksi antara
dinamika sosial dan kapasitas ilmiah tersebut menyatu, dengan harapan untuk terjadinya dialog yang
konstruktif guna menyaring gagasan-gagasan kreatif.
Pada edisi tahun kedua ini, Redaksi menyatukan sejumlah hasil pemikiran yang tertuang
dalam enam artikel. Pada artikel pertama Desideria Murti melakukan penelitian kritis terhadap
bentuk permintaan maaf retoris dengan menggunakan pendekatan Blacks Prism. Kemudian Dorien
Kartikawangi, Nia Sarinastiti, dan Avianto Nugroho mengkaji penerapan Communications 360 di
Indonesia baik dari sudut pandang komunikasi korporasi dan komunikasi pemasaran.
Selanjutnya, Neka Fitriyah melakukan analisis efektivitas komunikasi dalam mengurangi
penyebaran virus penyakit HIV AIDS, dengan mengambil kasus di Banten. Sementara itu, Aat Ruchiat
Nugraha dan Trie Damayanti lebih menfokuskan kajian mereka pada kinerja birokrasi pemerintahan
daerah dalam menerapkan UU Keterbukaan Informasi. Pada artikel keenam, pembaca diajak untuk
menelaah bagaimana hubungan antara perusahaan dan karyawan dapat meningkatkan reputasi
perusahaan. Dengan mengambil contoh kasus pada Google, Astrid Siahaya melihat pentingnya
employee relations bagi sebuah organisasi.
Selain bidang komunikasi organisasi tersebut di atas, kajian terhadap media massa juga disatukan
dalam edisi kali ini, sebagaimana diuraikan oleh Embu Hendriquez dalam artikel yang membahas
mengenai TVRI dan Budaya, dan merupakan artikel kelima.
Sebagaimana perubahan selalu perlu dirancang, demikian halnya dengan arah perbaikan
organisasi, masyarakat, dan negara perlu dirancang dan didialogkan lewat pemikiran-pemik iran yang
mencerdaskan serta relevan dengan kehidupan saat ini. Semoga artikel-artikel Jurnal InterAct kali ini
dapat memberi sumbangsih bagi dialog pemikiran yang kritis dan mencerdaskan tersebut.
Kami tetap menanti sumbang pemikiran dari para pembaca sekalian, sehingga lebih banyak
yang dapat menikmati hasil pemikiran tersebut dan bermanfaat bagi banyak pihak. Akhir kata kamu
ucapkan selamat berdialog dengan hasil pemikiran para penulis di Jurnal InterAct ini.
Kami menanti tulisan-tulisan hasil pemikiran Anda.
Salam,
Redaksi
Interact, Journal on Communication terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Mei dan November. Tahun pertama terbit adalah 2012. Diterbitkan
oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

ISSN 2252 - 4630

The Prism Look at the Rhetoric of Apologia:


Lessons from the Apologetic Speeches of Tiger Woods and Chris Brown
Desideria Murti1

ABSTRACT
This article is a rhetorical criticism of two apologetic
speeches from two celebrities. Chris Brown and Tiger
Woods articulated their apology to public through visual
media during crisis situation. To restore their image,
avoid lawsuits, and stabilize trust to their apologetic
stakeholders, their speeches were codified under visual
composition, structure of speeches, offense identification,
and the moment of silence. I used Blacks prism analysis to
criticize the complexity of apologetic address of celebrity.
Result, rhetoric of apologia exercised a negotiation
process of identity and it indicated the authenticity of
the speakers, avoidance of interruption, prevention
of ambivalence, engraving the audience emotion, and
sustaining their personal objectives. The article concluded
by answering what kind of various constellation tactics in
saying sorry.

Keywords: apology speech, celebrity crisis, image


restoration strategy, rhetoric of apologia

Interact:
Vol.2, No.1, Hal. 1-17.
Mei, 2013
Prodi Ilmu Komunikasi,
Unika Atma Jaya Jakarta

Introduction

audience perceives the action as offensive


and atrocious, then a restoration strategy will
be a way for the celebrity to save face.

Find a room in your heart to one day believe


in me again (Tiger Woods)
I only can pray that you forgive me, please
(Chris Brown)

This article examined two case studies of


public figures apologetic speeches. This study
was a response to Benoits call for research in
exploring situational similarities and differences
in image repair discourse. 8 Tiger Woods and
Chris Brown faced offensive issues, which
forced them to save face through public apology.
They had similarities in entertainment or public
figure discourse;9 their actions victimize
other people, they were potentially subjected to
lawsuits, 10 and their personal lives were related
to their actions. Using the similarities of their
offensive cases, I analyzed the similar and
different patterns in their apologetic speeches.
Hopefully, this criticism could contribute to the
enduring conversation of image restoration and
the rhetoric of apologia.11

Celebrities scandals have created public


discourse around the temptations, temperaments,
and moral values of Hollywoods exclusive
elites. When the rumor hit the celebrity with
undoubted facts, negative testimonials, and the
image of the celebrity would be in jeopardy,
refurbishing the image through apologetic speech
could be the ultimate option. Chris Brown, a
talented twenty-two year old musician, who
started his career at the age of 16, gave a public
apology in regards to the physical violence to
his girlfriend or his Cinder-ella-ella-ella,
namely Rihanna, who is a popular artist with
a song, Umbrella- ella-ella. On February 8,
2009, the fight between Rihanna and Brown
worsened into physical violence that resulted
in the facial injuries and the hospitalization of
Rihanna.2 Meanwhile, Tiger Woods, one of the
most successful golfers in the United States also
proclaimed public apology after confessing his
misconducts with mistresses. Some of these
celebrities scandals lead into ultimate actions
of apology to save their public images.

In this article, I used the prismatic look


from Edward Black. I examined the speeches
from the complexity of the addresses, looked at
the speeches back and forth multiple times, and
aimed to give a singular answer to the question
how does it work?12 I looked at one facet
after another in no particular order, as Black
mentions, It is a method without system.13
Based on this radiant multiplicity examination,
I argued that the apologetic speeches of both
celebrities work to conciliate their offense
actions and restore their images through the
rhetoric of apologia. Rhetoric of apologia
exercised a negotiation process of identity,
through the use of visual setting, offense
identification, languages structures, and silent.
The strategy in rhetoric of apologia indicated
the authenticity of the speakers, avoidance
of interruption, prevention of ambivalence,
engraving the audience emotion, and sustaining
their personal objectives.

Image is an essential tool, for a celebrity


to gain fame because it will influence his/her
ongoing career. An image also influences the
relationship between a public figure and the
audience.3 Human perception derives the image
of a public figure and sometimes a perception
is more valuable than the reality. 4 Thus, when
an issue threatens the image of a public figure,
face work5 must be done to restore it through
effective strategy. Face consideration is an
urgent matter for a public figures survival in
the public arena. 6 The public apology becomes
one strategy to restore image, especially
when the issue hits close to the truth. The
public will demand responsibility especially
when the action is offensive.7 Although the
offensiveness is subjective according to laws
and norms of a culture, if a relevant and salient
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

I first reviewed the theory of image


restoration and rhetoric of apologia as the critical
lens to view the cases of Woods and Brown.
Second, I applied the theories by identifying and
evaluating the similar and different patterns in
2

Chris Brown (Desideria Murti)

Woods and Browns apologetic speech. Thirdly,


I collected the engaging angle, which able to
point out the celebrities image restoration
technique in apologetic speech such as their
visual performance, the speech structure, the
offense identification, and the moment of
silent.

prism look model from Black, I examined the


overall look of Blacks diamond.21 Then, I used
the technique of Black to carefully examine
two speeches from the celebrity. The prism
look showed the function of celebrities public
apology rhetorically. The look at speech through
the diamond is in the details.

Literature Review

Visual

An image restoration strategy is a crisis


handling strategy to fix negative perceptions,
complaints, and responses from the public to
an organization or an individual after a crisis
hits the image.14 Some critics appeared to point
out the imperfection of the strategy;15 however,
many other researchers who have employed the
image restoration theory agreed that it could
provide a theoretical framework to describe
an organization or an individual response in
an emergency, disaster, and crisis situation.16
Benoit contended that image restoration theory
is grounded on the contemplation of Aristotle,
Burke, Ware, and Linkugel.17 He also used the
typological construction from the self-defense
academic discourse.18

The visual elements in public apology


were important factors because these speeches
were posted in the audiovisual media. These
media could provide audio and visual rhetorical
experiences and create a subject position that
shapes audience perceptions.22

Figure 123
Figure 224

The public apology is a strategy to restore


the images and exhibition of celebrities moral
actions. Therefore, the apologetic speeches
needed to be conducted in good arrangements
and plans. The apologetic speeches needed
to show celebrities complex purposes, such
as in Browns case, he was still in the plead
guilty positions since June 2009. He would
be charged five years probation, and 1,400
hours of labor-oriented service.25 The decision
would be announced on the 25th of August,
while Brown launched his apologetic speech
video on July 20, 2009. Using this timeline, the
media would wait for the announcement, and in
August his sentences news would be the hot
topic for the media. If he apologized before
the announcement, the media could cover
his sentences with his apologetic speech as a
complete frame of his assault chronicles.26 Tiger
Woodss apologetic speech appeared in the
Internet since February 19, 2009. This was the
time when he has finished his 45 days of therapy
until early February, and by that time, he was
ready to apologize and restore his image for his
family, his foundation, and his business empire.

Many scholars developed the image


restoration theory using various critical points
of view and scientific methodologies.19 Many
other pertinent researches and rhetorical
criticism contributed mostly to analyze a
single public figure and applied the theory to
a specific case study. However, comparing the
rhetorical strategies of celebrities was still rare.
The purpose of this comparison was to find the
similar and different patterns that complicate the
rhetorical strategy of making a public apology.
Rhetoric can be used to illuminate
questions toward phenomenon. Farrel argued
that it is important to use model to generate
some sort of paradigm, as the foundation of
comparison.20 He also argued that model can
be hybrid according to the context, text, and
structures. Thus, I used Blacks criticism on
Gettysburg Address as the model to examine the
rhetorical performance and applied the existing
body of rhetorical theory. To understand the
3

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

Therefore, the apologetic rhetorical strategies


needed to cover all elements throughout the
texts as written, visual, and audio artifacts in
order to strategically address the issue in the
right time and restore their images.

came from Browns expression, and his eyes.


Interestingly, Brown did not use visible text
to read, however, it was obvious that Browns
eyes look at the left corner of the camera and
his eyes sometimes moved down under the
camera, seemed like he looked at something
to help him articulate his speech, probably
a teleprompter. He wore orange, long sleeve
shirt, with two buttons consistently appear in
the camera. This visual information indicated
his unmoving posture and unmoving camera.
His cloth put him in the center of attention, as
the bright orange color dominated the one-third
images in the video.

I accessed Woods and Browns public


apology in YouTube. From these videos, it was
obvious that both apologetic speeches were
set up in different visual lay out. Woods called
up the press, family, and audience in a press
conference. He stood up behind the podium
facing the audience directly while he spoke, and
he read his script in the podium. Woods stood
up higher than the audience, with blue curtain
behind him as his speech background. One
microphone on the podium helped his volume
to be heard by the audience and to fight the
noise of press cameras that keep repeating the
click sounds during his apologetic speech. The
audience who saw him directly could see all his
body language, from his hands, head, and his
feet. However, the audience who watched him
from the video could only see his hands, and
head gesture at lease until 8.59 minutes, before
the camera moved the shoot to another angle
and enabled the audience to see one third of his
body posture. His image disappeared for two
seconds at the 9 minutes speech, and appeared
at 9.02 minutes with different angle camera.
At this point until the end of his speech, the
camera showed him from this left side; stood
on the podium with the audiences in front of
him. He finished his speech in 13.32 minutes,
and then he walked down to the audience to hug
his mother. This hugging moment finished until
13.56 and the video ends.

The visual technique from Woods, at least


showed to the audience that Woods wanted to
face the audience, and attempted to face
the speech mistakes directly to the audience.
While Brown showed more isolated strategy,
and closed the visual relationship with direct
audience. Thus, in the visual examination,
Woods performance was more authentic than
Brown. The resonance of the message and
visual information showed that Woods had
more brave to accept impromptu moment
and spontaneity in his speech. Woods could
also show more spontaneous apologetic speech
through his voices tones or his gesture that
reflected his emotion while he read his speech.
Brown seemed more set up by his PR
people and lawyers to control and manage
the situation, so that he did not say something
that will jeopardize him in his lawsuit process,
but still provided apologetic information. The
video of Brown could possibly be taken several
times, before it was released. Just like a movie
production, it could be repeated, edited, and
deleted when Browns fail to show the planned
speech and image. While for Woods, he had no
chance to repeat his speech, due to the direct
situation setting.

Brown provided a different visual style


in apologizing. He sat on a room alone (at
least in the visual available information), with
white glass window, crme wall, and a little
bit green palm leaves in the right corner of the
video as the background. Brown sat on a chair in
front of a standing and unmoving camera. This
camera only covered his head to his arm, thus
the audience could not see whether he moves
his hands while explaining or not. The only
visual information during his speech mostly
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

However, both closed any interaction


with the audience. Woods did not give press
any chance to ask question during or after his
speech, only by interacting to his mother he
showed that he wants to embrace his closest
figure, but also avoided the media interaction at
4

Chris Brown (Desideria Murti)

Structure

that time. Brown also avoided the interactivity


by showing him self-alone in front of the
camera, without direct audience.

A public apology always engages


structural address. In the structure of celebrity
apologetic speech, I divided the structure in
the similarities and differences between both
structures, and what we could learn from those
findings.

Brown and Woods strategically avoided


interaction because they wanted to avoid
interruption in their speech, which would
demand impromptu answer or response. If
they created wrong response, it would be
documented, and it would jeopardize their
lawsuits or their image. When both celebrities
wanted to talk about their apology, they also
talked about their narratives especially related
to the chronological order of the offense, and
understanding about what happened in between,
before, and after.27 Their hope in this narrative
was to convince the audience about their story
and apology. However, when they allowed
interaction with press or audience, they had
limitation to predict the authentic situation,
and might not be able to response in a strategic
way. The interruption as an oral strategy to
fight the dominant narratives would put
both celebrities in vulnerable condition such
as wrong response, documented by the media,
and gave audience negative and unpredictable
perception.28 By being less authentic and avoid
interruption, the celebrities in the apologetic
moment, could arrange and plan message to
gain their objectives.

Opening and Self-Introduction


Brown and Woods had opening greetings
and self-introduction. However, they packaged
these in different ways. Brown only used the
word Hi to open his speech, while Woods
used the words Good morning and thank
you for joining me. This was interesting;
because Woods needed to thank the effort
of his audience to come to his public speech,
while Brown with his younger style did not
need to thank anyones effort for watching
him. Brown could go directly to his point. The
speech setting configuration with the existence
of direct audience and alone also reflected
their self-introduction. Brown only said, Im
Chris Brown and after that he goes directly to
his apologetic points. In the contrary, Woods
confidently did not say his name.
WOODS : Many of you in this room are
my friends. Many of you in this
room know me. Many of you
have cheered for me or youve
worked with me or youve
supported me.

From the visual examination, Woods and


Brown gave us lesson about the timeline of the
video publications, authenticity of the speech,
and the avoidance of interruption. The choices
of celebrities to choose the timeline of the
speech enabled them to consider their lawsuits,
therapy, and offense time. The authenticity
gave consequences of the brave image of
the celebrities. The more authentic of the
celebrities, the more brave images appeared,
but also the more risks for mistakes they had to
face. The avoidance of the interruption gave the
speaker freedom to speak as arranged, avoided
disturbance in the narration of offenses, and
prevented unpredictable responses.

From his self-introduction, he informed


that the audiences in the room were planned and
not random audiences. He contended that the
audiences in the room were his friends, know
him might be possibly the press, cheered for
me might be his family, Worked with me
might be his business partners, his employee,
and supported me might be his sponsors and
his commercial endorsers. The identification
of the audience from their introduction also
indicated the stakeholders of the rhetoric of
apologia.

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

Apology to Stakeholder

the celebrity and the stakeholders. Brown said


about his hope so that he was, truly worthy of
the term role model. The words role model
indicated a relationship of celebrities and fans,
thus it symbolized that in Browns apologetic
speech what matters for him was his fans.
Woods said about one day believes in me
again. The word believe could be related to
various relationships such as father, role model,
investor, business partner, and donors. The
word believe provided general information
on the various relationships that require trust,
risk, and role model. Thus, his closing remarks
indicated that what matters for Woods was
the trust from the stakeholders.

The specific discourses on the rhetoric


of apologia were also about the victims and
responsibility. Zohar Kampf identified the tactics
for mentioning the discourses in public apology.
The celebrities could undermine the existence
of the victim by using unclear subject from
the words if, anyone, or someone.29 The
public figures could also select specific victim,
and select specific offense for responsibility,
not the whole actions. Finally, the public figures
could also blur the identity of the victims by
not mentioning their name and substituted the
victim by a generic name. This technique
was used to prevent apologetic meeting directly
with the victim.30

Philanthropic Action and CSR (Celebrity


Social Responsibility)

From their speech structure, we could


learn about the degree of complexity of their
problems. Woods had more stakeholders and
victims to give the special apology, and
Brown only had his fans or audience and his
victim (Rihanna) to ask for apology. Brown
only said the word You as the object of his
apology, and informed the audience that he had
said sorry to Rihanna. Thus, he separated
Rihanna different from the audience.

Both celebrities also spoke about their


charity or social service, which included in
the middle of the speech. Brown stated in 1.2
second, at the minute of 1.08-1.09 about his
social service.
BROWN : Ive done a lot of social service.
Interestingly, Brown did not specify
what kind of social service he had done. He
only indicated that he had done a lot without
clear parameter how much was a lot. Seemed
like this social service things only appeared
as additional weak points, without any further
explanation, and Brown directly moved to
the next theme about his minister, mom, and
his reflection time. It was interesting that his
punishment would be about doing social
services, which indicated that he just wanted
to inform the audience that he had been a good
citizen and did a lot of social service, even
before he got the punishment.

BROWN : I have told Rihanna countless


time that I am telling you today,
that I am truly truly sorry.
While Woods provided many objects
for his apologetic speech, he mentioned his
friends, fans, business partners, his foundation,
the parents whose kids admired him, and his
family. Woods also informed the audience that
he has apologized to his wife.
WOODS : As Elin pointed out to me, my
real apology to her will not come
in the form of words; it will come
from my behavior over time.

As a contrast strategy, Woods provided


detail information about his foundation.
WOODS : From the Learning Center
students in Southern California
to the Earl Woods scholars in
Washington, D.C., millions of
kids have changed their lives

The number of stakeholders provided


information that Woods problems involved
more stakeholders. It was also obvious to see the
closing remarks that indicated the relationship of
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Chris Brown (Desideria Murti)

This detail convinced the audience that


he really had a foundation, and he had done
charities. He had anxiety about his foundation,
the investment process of his foundation,
and also his image in front of his beneficiaries,
which consist of young people. He recognized
that his behaviors might give impact to his
beneficiaries, his staffs, the board of director,
and the possibility of declining donation
because of his image. He used 135 words and
spent 1.19 minutes to dedicate his worry and to
ask apology related to his foundation, at the 2.19
minutes to 3.38 minutes of his speech. Thus, he
dedicated 9% of his time and 9% of his words
to say sorry and to talk about his foundation. It
meant for Woods, his foundation was important
in his speech.

Individual Value

The philanthropic action or social service


became a part of celebritys business especially
to build positive image and brand.31 Celebrity
could also act as a corporation, the name was
the brands, and the art/music production or
sport championship was the product. Image
covered more than brand and product. Image
covered non-product value that could associate
the brand with positive or negative perception.
Philanthropic efforts could be the celebrity
social responsibility in providing service to the
community, building positive images, providing
positive values as role models for the fans, and
promoting good citizenship.

From Browns statements about his


values, he informed the audience on three points.
1) He tried to bolster his image by including
the information on positive values or positive
aspect that he had before the offense happened,
and the he tried to fix his values. 2) He tried to
separate his mothers values with his actions.
He tried to protect his family to be the object of
social accusation of not teaching the son with
a good moral value. By doing that, he also
tried to save the face of his family especially
his mother and his ministry, with information
that he did not do the teaching from his spiritual
teacher and mother. His action was merely his
individual decision, and their family values had
nothing to do with it. 3) Finally, he used his
family and his ministry as the way back to
his good moral value. Just like the metaphor of
the lost sheep came back to the shepherd. When
the sheep had lost, the sheep returned back to
the shepherd, just like Brown tried to use his
mother and ministry as a way to go back to
fix his value.

Brown and Woods provided information


about their personal values, or the message that
their parents had raised them with good values,
religious teachings, and words of wisdom.
Brown provided his familys value, through
some of his statements.
BROWN : Im very sad and very ashamed
to what I have done. My mother
and my spiritual teacher have
taught me way better than that.
BROWN : God have been generously given
me, he brought me fame and
fortune.

Philanthropic explanation could be


included in the effort to reduce offensiveness of
event or the bolstering strategy. The celebrities
provided positive feelings from past actions to
offset the negative feeling toward the wicked
act.32 Benoit also argued about bolstering,
Rhetors may describe positive characteristics
they have or positive acts they have done in
the past.33 Therefore, no matter the statement
of philanthropic action was clear or unclear,
recalling celebrities good effort in the past
became their indications of restoring their
image. The bolstering strategy also appeared in
the personal values that they delivered in their
apologetic speech.

Woods provided several techniques in


delivering his speech. Woods referred the
shepherd as Buddhism value from his mother
and the therapy-learning values. However,
Woods clearly mentioned that he was lost
from the teaching. Woods stated that Buddhism

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

teaching was good, but he stayed away from it,


and he started to get lost.

to me -- my marriage and my
children

WOODS : Part of following this path for me


is Buddhism, which my mother
taught me at a young age
Buddhism teaches that a craving
for things outside our selves
causes an unhappy and pointless
search for security Obviously,
I lost track of what I was taught.

Using the therapy as the panacea of his


misleading behavior, Woods gave the audience
information about his progress in the therapy,
and bolstered his image by showing that he was
in the right direction to raise up again from
his deviant behavior.
The structural examination provided
pattern of typological theme that the celebrities
used to address the public apology. Black
mentioned that the structure of the speech was
not an instant in the course of the speech when
the experience of audience was not subjected
to its controlling configuration of tension and
resolution.35 Therefore, the pattern of opening
and self-introduction, apology to stakeholders,
celebrity social responsibility, and personal
values information were constructed to restore
celebrity images. However, the similar thematic
pattern from both celebrities configured with
the chronicle of their personal life, the time line
dimension, and their complex objectives.

Showing the lost side of good values


also provided information on bolstering
technique such as: 1) Showing the human side
of the celebrity, that human sometimes lost the
good track he had been taught. 2) Justifying
the religious teaching and used his action as a
separate procedure. The technique would avoid
prosecution to his religion as the background of
his attitude. 3) Showing celebritys awareness
on what could be considered as good values
and what was celebritys step to go back to the
value.
Woods also tried to use his narrative
in the therapy process. He indicated that the
offenses happened frequently, repeatedly,
and even Woods mentioned it as behavior.34
Woods mentioned clearly that his offense
was irresponsible and selfish behavior, and
Its now up to me to make amends and that
starts by never repeating the mistakes Ive
made. In these sentences he indicated plural
nouns such as mistakes, affairs, and the
issues. Therefore, if an offensive action had
been a repeating behavior, it was reasonable to
use therapy as the panacea to control back
the behavior and fix it. Woods informed the
audience about his progress in the therapy.

The structure of the speeches configured


the rhetorical strategy to form the public
discourse about the celebrities. In the crisis
situation, where the issues hit the celebrities,
their images and careers were in threat;
celebrities needed to provide rhetorical strategy
to face the ambivalence information, response,
and uncertain situation.36 In their vulnerable
positions, celebrities needed to navigate the
communication process and information
effectively.37 Woods in his structure provided
better strategy than Brown. Woods had
clear identification about his audiences and
stakeholders, and he navigated his apology
to each stakeholders. Woods also provided
certainty on his philanthropic points; thus it
clarified to the public about what good things
he had done in the past and provided prudential
information. Brown did not provide certainty
but he delivered ambiguous information in his
speech. For example, Brown did not clarify
to whom he had to apologize, and what kind

WOODS : In therapy, Ive learned the


importance of looking at my
spiritual life and keeping in
balance with my professional
life. I need to regain my balance
and be centered so I can save the
things that are most important
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Chris Brown (Desideria Murti)

of philanthropic action he had done. In the


time of celebrities crisis, Woods gave better
example of disclosing the truth, narratives,
and information to prevent more predicaments
in his entertainment and sport business before
it got worst.

poor kid who was raised by domestic violence


issue. He used the words as many of you
know to drag the sympathy feeling of the
audience. He believed that many people know
his background, thus hopefully it would reduce
the responsibility of his offense. He pointed at
someone else inside his family, the one whom he
mentioned he grew up with, who influenced his
mistakes. Stimulatingly, in the same sentence,
he mentioned, What happened in February to
avoid him saying the domestic violence I have
done in February. Brown, obviously, tried to
avoid identifying what offense he has done; he
admited, Something happened in February;
he admitted he had mistakes, but what mistakes
was not clearly stated.

Offense
Brown and Woods provided different
approach in identifying the offense. Brown
did not clearly mention what his offense was,
as he was still in the trial process, and confession
of the offense, would create difficult process.
Brown used the words I wish I could have to
live those few moments again, to refer to the
moment of Rihhanas physical violation, but he
did not mention what the offense was. He also
used some other words for example: what I did
is unacceptable, very ashamed to what I have
done, to seek and ensure that what happened
in February, can never happened again, it
will never happened again, and other learn
from my mistake. It was interesting to see
how Brown did not mention clearly upon his
offense. He employed the words did, done,
happened, it, and mistake to indicate
his mysterious offense. Brown tried to blur
his offense, to minimize the responsibility, to
avoid lawsuit based from his words, and to
provide equivocal/ambiguity in his action.
He preferred to use the subject it than to
explain the subject. Another interesting point
from Brown was he (finally) used the word
domestic violence but these words were
not for referring the offense, instead he used
these to explain his personal background, and
makes it a justification point for his audience to
understand his position.

In the contrary, even though several times,


Woods used the words my irresponsible and
selfish behavior I engaged in, how I could
have done these things to my wife, Elin, and
to my children, the pain my behavior has
caused to those of you in this room, how I
could have done the things I did, eventually,
Woods clearly stated his offense.
WOODS : I was unfaithful. I had affairs. I
cheated.
The information about the offense of
Woods was interesting. Using, all these sentences
he informed his audience several points. 1) He
indicated that his offense happened several
times, and the offense continued to be a behavior.
Woods also used the plural words such as these
things, the things to provide information of
his plural offenses. It was different from Brown
who uses the word it instead of these, to
indicate that Browns action was only one
offense. 2) Woods eventually confessed clearly
upon his offense and what actions he had
done that hurt his wife, children, and his other
stakeholders. However, Woods did not use the
words for example I have sexual addiction
but he explained that his mistake was all related
to marital problem. The words unfaithful,
affairs, and cheated could only be used as
negative connotations and negative offense, if
the doer has committed partner. If the offender

BROWN : As many of you know, I grew


up in a home with a lot of
domestic violence and I saw and
continuing to seek and ensure
that what happened in February,
can never happened again.
Using the points above, Brown provided
the audience point of views such as he was a
9

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

did not have committed relationship, then the


behavior or the offense could be perceived
differently. Thus, it seemed to me that the clear
confession of Woodss offense only pointed at
his behavior in relationship with his committed
partner.

the silence with the moment of reflection. All


these narrations about silence show the in-depth
meaning of silence.
Both celebrities provided the moment
of silent, pauses, and muteness in between
the words they were trying to articulate. Chris
Brown, for example, paused his speech for 1.3
second, at the minutes of 0.18. This was not a
short moment. Chris Brown on average used
two words in one second. Even, as I explained
before, Brown could say, Ive done a lot of
social service in 1.2 second. Brown spoke fast,
thus the moment of silence seemed more visible
to emphasize his image as obedient figure. The
silence were important because it showed that
he means it and the audience could connect
that with his words and speed. These were
some examples of Browns moment of silence.

From the examination of their offense,


both celebrities provided us the mortification
strategy. Mortification was the admission of guilt
and express regret.38 Both celebrities admitted
that they were guilty and took responsibility,
even though both provide different techniques
in identifying their offenses. Woods clearly
indicated the name of his offense and Brown
blurred his offense. They also expressed regrets
by using the words sorry, I apologize, and by
saying that their offenses were unacceptable.
The power of sorry as a word and the reflection
moment of the offense could be magnified
through the use of silence. The moment of
silence also functioned to strengthen the effort
of mortification strategy through the powerful
empty space in each silence, the unspoken
words, and the use of expressions.

BROWN : I thought its the best time that


you heard it from me, that Im
sorry. (silent)
He also paused several times to take a
breath or to give space to the next point. Another
interesting point was when he said,

The Moment of Silence


Ihab Hassan remarks in his criticism on
the metaphor of silence, At a certain limit of
contemporary vision, language moves towards
silence.39 Silence was an important artifact in a
speech. Various important figures in linguistic
and rhetoric acknowledge the silence as a sign
of an iconic symbol of abstinence,40 gestural
space of performance,41 and imposition state
of muteness.42 Kahlil Gibran as a famous poet
reflects his understanding of silence, And there
were those who have the truth within them, but
they tell it not in words. In the bosom of such
as these the spirit dwells in rhythmic silence,43
it meant that sometimes words were not enough
to tell the unspoken meaning of the rhetor.
Another example was from Caroline Bergvall,
when she used the term, (dis) figuration,
(de) narrativization, and (dis) articulation,44
to provide illustration of silence in the
performance. While St. Augustine referred to
the words listen to the very Self,45 to connect
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

BROWN : I have been a lot of time trying to


understand, what happened and
why? (silent)
At this point, he spent 1.3 second to pause
his speech. He also paused for 1.2 second in the
moment he said,
BROWN : I realize that no one is more
disappointed me, than I am.
(silent)
Silence was included in the constellation
of symbolic strategy in the speech. Brown
showed pattern in his silences, which indicated
a tactical consideration.46 Brown remained
silence when he said sorry or when he
reflected his action. The strategy of silence
empowered the audience to create meaning and
fulfilled the space produced by the silent with
their interpretation.47 Silence, in the talkative
10

Chris Brown (Desideria Murti)

western culture facilitated obedient image of


the speakers.48 Thus, it was a suitable strategy
for Brown to commemorate silence in the
sorry and reflection moment and to perform
the image of obedient figure, after the public
discourse was fulfilled with his disobedient
behaviors, such as domestic violence.

to interpret his words. The power of silent from


Woods echoed loudly in the hallway of purposive
language, and magnified the meaning of his
words. The silence had more power because
Woods provided deep emotional expression;
he looked sad and almost cried. He took a
deep breath before he stopped his silence and
continued his words. This expression combined
with the silent moment could arrange the speech
composition and signified the symbolic strategy
of his apologetic speech. Furthermore, the silent
moment could portray Woods as subordinate
and powerless figure, which could move the
audience to have sympathy and pity on him.

Woods spent longer time for the silent


moment and paused. The reasons were he
intentionally pauses, he took breath, and he
tried to find the reading in his text. He spent 3.8
second of silent, when he said,
WOODS : Now every one of you has good
reason to be critical of me. I want
to say to each of you, simply
and directly (silent) I am deeply
sorry for my irresponsible and
selfish behavior I engaged in.

Thus, the moment of silent from both


celebrities was dedicated in the sorry
statements and reflection statements. The silent
moment showed symbolic rhetorical strategy
before the celebrities said sorry or made his
reflection statement more meaningful. They
provided mute space for the audience to
think about their words, and gave them chance
to say sorry. The image of silent in the sorry
statement also showed sincerity,50 reflection,51
put meaningful silence in the rhythm of the
speech,52 and even though the silence moment
in their speech had no words, but it was a part
of articulation meaning of their effort for guilt,
sorry, and reflection to employ the mortification
strategy.

He also has long paused in other sentences.


He spends 3.5 seconds and 5.2 seconds.
WOODS : For all that I have done (silent) I
am so sorry (silent).
Another paused from Woods also about
the sorry statement. He stopped for 3.5 seconds
on his statement,
WOODS : Parents used to point to me as
a role model for their kids. I
owe all those families a special
apology. I want to say to them
that I am truly sorry (silent)

Conclusion
Rhetorical criticism can function as
pedagogical tools of society. The rhetorical
theory is the logic to set up the puzzle of
message, while rhetorical criticism is the support
of theory to guide a rhetorical experience.53
Thus, rhetoric provides pedagogical aspect,
to teach people how to experience their
rhetorical environment more richly.54 Through
examining 13.33 minutes of Woods speech
with 1.514 words and Browns speech for 1.59
minutes with 393 words, we could learn the
strategic consideration of celebrities apologetic
speeches. We could learn the authenticity of the
speech, the raison detre of the timeline, visual
arrangement, structure, offense identification,

Silence could be as powerful as speech.


Silence was not simply the absence of text or
voice. As a rhetorical art, silence functions
like zero in number. It was not absence, but
it could mean empty but also could multiply
the value of number.49 Woods provides speech
that pointed out silence, and the silence could
also point out the speech. Using the moment of
silent, Woods could engage his emotions with
his audience, and share his pain in each space
of the silent. From this silence, Woods also
provided empowering moment for the audience
11

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

and even the moment of silence. Delivering


apologetic speech came after a consideration
of pragmatic strategies, which were suitable, to
conciliate the victims face without posturing
hazard threat to the public figure.55

coward or normalize the temptation of fame.


While, the moment of silence could articulate
the unspoken words, provided the audience time
to digest their words, and engaged the audience
in the sentimentality of their strategic message.
The identification of silence would enable us
to discriminate tactical silence and meaningful
silence. It also suggested the connection of
silence with cultural image of celebrities such
as obedience, powerless, and subordinate role.
Finally, deconstructing the apologetic speech
would exemplify sorry as matters.58

All these pragmatic strategies conciliated


the offense action and the identity of the
celebrities. The celebrities tried to negotiate
their offense with their famous identity, through
the use of languages, visual setting, and even
silence. Through the prism look model of
Black, it enabled critic to create alternative
perspective of apologetic address and to use the
instrument for realizing the theory and praxis
of the dialectic in celebrities public apology.56
This exercise also helped us to discriminate the
superficiality, sincerity, authenticity, tactical,
and emotional engagement of the speech.

Endnotes
1

First, in the case of Chris Brown and Tiger


Woods, the public apologies were constructed
to effectively negotiate their identity as
celebrities, who could also be perceived as
individual, associated with family, and business
entities. The different visual setting of both
celebrities provided us information about the
rhetorical symbolism of visual elements in
public apology. Visual image could deliver a
visual experience and create a subject position
that shapes perceptions about celebrities.57
Both celebrities also provided compelling
lesson about the consequences of choices in
the timeline, authenticity, and avoidance of
interruption. Both celebrities also provided
different structure in order to address the target
audience. From this structure, both celebrities
provided us lesson about strategic rhetorical
composition to address ambivalence and
uncertainty in the time of crisis. It was important
to consider the clarity of the narratives and to
whom they should apologize.

The news about Chris Brown and Rihanna, can be seen

in, Sources: Browns alleged victim was girlfriend

Rihanna. CNN (February 9, 2009): http://www.cnn.


com/2009/SHOWBIZ/Music/02/09/chris.brown/

index.html?iref=mpstoryview#cnnSTCText. (Accessed
March 25, 2012). See also MSNBC. Brown arrested

after alleged attack on Rihanna, MSNBC (February 9,


2009): http://today.msnbc.msn.com/id/29088387#.
T33R18xbwXw (Accessed March 24, 2012).

Barry R. Schlenker, B. R. Impression management: The

self-concept, social identity, and interpersonal relations.


Monterey, CA: Brooks/Cole, 1980.

There are many scholars that discuss about image

restoration. See William L Benoit and S Brinson, Queen


Elizabeths Image Repair Discourse: Insensitive Royal

or Compassionate Queen? Public Relations Review 25


(1999): 145-156. For more discussion on image and

perception see William Benoit, Apologies, Excuses, and


Accounts: A Theory of Image Restoration Strategies

(Albany, NY: State University of New York Press, 1995b),


and also William L Benoit and R. Hanczor, The Tonya

Second, mentioning or not mentioning


the offense and associating the offense words
with human marriage construction, could have
different consequences to audience. Audience
may perceive celebrities in skeptical way because
the audience thought that the celebrities were
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

She earned her Master degree in Communication


from Colorado State University, Fort Collins,
USA under the major of Rhetoric and
Civic Engagement. She is also a lecturer of
Communication Studies in the University of Atma
Jaya Yogyakarta, Indonesia. She can be contacted
via email at desideriacempaka@gmail.com.

Harding controversy: An analysis of image repair

strategies, Communication Quarterly 42 (1994): 416433.

Erving Goffman. Interaction Ritual. New York: Pantheon,

12

1967.

Chris Brown (Desideria Murti)

Janna Thompson. Apology, Justice and Respect: A

Tatjana Hocke, A Quantitative Review of Crisis

The Age of Apology: Facing up the Past. Pennsylvania:

also Mia Moody, Jon and Kate Plus 8: A case study of

Critical Defense of Political Apology. In: Gibney, M.,

Communication Research in Public Relations: 1991-

Howard-Hassmann, R.E., Coicaud, J.M., Steiner, N. (Eds.),

2009, Public Relations Review 36, 2 (2010):190-192. See

Pennsylvania University Press, (1998): 3144.

Benoit and Brinson, Queen Elizabeths Image Repair

Discourse, 145-156.

Discourse: An actor Apologizes, Communication

Quarterly (1997a): 251-267. For additional discussion


on the image restoration, see William L Benoit, Image

restoration discourse and crisis communication, Public


Relations Review 23 (1997b): 177-186.

can avoid the responsibility of the action through a

Edwin Black. Gettysburg and Silence, Quarterly Journal

provocation, defeasibility, an accident reason statement,

of Speech 80 (1994): 21-36.

and a noble intention. (3) The person can reduce the

Black, Gettysburg and Silence, 21-36.

offensiveness of the action through bolstering the issue,

William L Benoit, Image repair in President Bushs

14

minimization, separating the issue, transcendence,

April 2004 News Conference. Public Relations


Review 32 (2006): 137143.

attacking the accuser, and compensation. (4) The person


can correct the action and finally, (5) person can ask

The critique to Image restoration theory came from

15

Judith P Burns and Michael S Bruner, see Judith P Burns


and Michael S Bruner Revisiting the Theory of Image

for an apology from the publics or what Benoit calls


mortification.

For example, Jenifer Kennedy analyzed an image

19

Restoration Strategies, Communication Quarterly, 48, 1

(2000): 27-39, who criticize about the language, mental

restoration in sports by engaging the case study of

Kobe Bryant and Barry Bonds. In her study, Kennedy

representation, and the possibility of misinterpretation

contended that if public figures committed to adultery

through the image restoration theory. While Benoit, see

and guilty, quick admission of action portrays a better

William L Benoit in Another Visit to the Theory of Image

figure than denying the truth, while public can

Restoration Strategies. Communication Quarterly 48, 1

possibly separate his sport performance and personal

(2000): 40-44, also answers the criticism by agreeing

life if the achievement of the athlete is outstanding.

with expanding the research in the image restoration

See Jenifer Kennedy, Image reparation strategies

or repairing strategy through various applications,

in sports: Media analysis of Kobe Bryant and Barry

methods, and developments. While Smudde and

Bonds, The Elon Journal of Undergraduate Research

Courtright, see Peter M Smudde and J. L. Courtright,

in Communication, 1, 1 (2010): 95-103. http://www.

Time to Get A Job: Helping Image Repair Theory Begin

elon.edu/docs/e-web/academics/communications/

A Career In Industry. Public Relations Journal, 2, 1

(2008): http://www.prsa.org/prjournal/Vol2No1/
SmuddeCourtright.pdf (Accessed March 27, 2012),

20

management.

21

research/09KennedyEJSpring10.pdf. (Accessed March


15, 2012).

Thomas Farrel, Critical Models in the Analysis

agreed with Benoit by emphasizing the ability of the

theory to assess organization and individual emergency

of Discourse, The Western Journal of Speech


Communication, 44 (1980), 300-314.

Initially, Black analyzes the Gettysburgs speech from

For more discussion on image restoration and crisis

16

that a public figure can use one or the combination of


a clear denial or shift the blame. (2) The individual

Benoit, An Actor Apologizes, 186.

13

Research, 21, 2 (2009): 218-228.

(1) The individual can deny the accusation through

11
12

Subsidies During Fraud Crises, Journal of Public Relations

five strategies in repairing the image in a crisis situation.

Benoit, An Actor Apologizes, 251-267.

10

Ungureanu, Image Repair Tactics and Information

Benoit, An Actor Apologizes, 251-267. Benoit emphasizes

18

Benoit, An Actor Apologizes, 251-267.

Review, 37 (2011): 405-414.

Christopher T Caldiero, Taylor Maureen, and Lie

17

William L Bennoit, Hugh Grants Image Restoration

social media and image repair tactics, Public Relations

management, see William Forest Harlow, Brian C

how the speech brings the audience to transcribe values


from unspecified universal, national, local, and back

Brantley, and Rachel Martin Harlow, BP Initial Image

to national again. Next, Black contends the movement

Repair Strategies After The Deepwater Horizon Spill,

of the address by examining significant words that

Public Relations Review 37 (2010): 80-83, see also

transcend the audience to the perspective of life and the

Elizabeth Avery, Ruthann W. Lariscy, Sora Kim, and

life of death. Black also argues about the geographical

13

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

reference by examining the words that indicate the

geographical terms and the symbolic meaning of the

words. Interestingly, Black uses any form of examination,

Paul Forsythe, Nobuyuki Sudo, Timothy Dinan, Valerie H

34

syllables to understand the structure and configuration


of the address.

9-16. The term behavior according a psychological

video-is-too-scripted-to-seem-sincere/(Accessed March
28, 2012).

Phaedra C. Pezzullo, Performing critical interruptions:

35

Stories, rhetorical invention, and the environmental

justice movement, Western Journal of Communication,

37

Institutional Authority in a Senate Subcommittee

38

Hearing on Wilderness Legislation, Western Journal of


Speech Communication, 52, (1988): 259-276.

of minimizing responsibility, Journal of Pragmatics 41


(2008): 2257-2270.

his research Kampf also argued for the responsibility

by contrasting the action with the intention and neglect

Benoit, An Actor Apologizes, 251-262.

Criticism, ed. David H. Malone, Los Angeles: Hennesey


and Ingalls (1974): 35-52.
York: Dover, 1955): 102.

About Face in Bergvalls most recent collection, Fig


(Cambridge: Salt Publishing, 2005).

Chris Muller. 2007. http://csmt.uchicago.edu/glossary

42

the agent of offense through dichotomy of action and

product. Instead of ask forgiveness for action, the public

2004/silence.htm (Accessed March, 13, 2012).

Kahlil Gibran, Talking in The Prophets (1923).

43

figure will ask forgiveness for the product that harm


the people.

Kim, Sora and Scoot Rader, That They Can Do

http://www.bohra.net/archive/gibran/gibran20.html
(Accessed March 13, 2012).

Caroline Bergval. 2005. In Chris Muller. 2007. http://

44

Versus How Much They Care? Assessing Corporate

Communication Strategies on Fortune 500 Web Sites,


Journal of Communication Management, 14, 1, (2010):

csmt.uchicago.edu/glossary2004/silence.htm (Accessed
March 17, 2012).

St. Agustine, Rhetoric of Silence in Joseph Anthony

45

59-80. In corporate system, the terms philanthropic


activities always connect with the efforts to create

corporate association to non-product images, and to

Mazzeo. St. Augustines Rhetoric of Silence, Journal of

History of Ideas (1962): 175-196 http://www.jstor.org/


stable/2708154 (Accessed March 29, 2012).

organizations social responsibility, promoting the

Cheryl Glen, Unspoken: A Rhetoric of Silence, Carbondale,

46

companys goodwill, and commitment as a reliable


member of society.

47

of themselves: On the generic criticism of apologia.

50

IL: Southern Illinois University Press, 2004.

Glen, Unspoken

On the discussion of strategies in image restoration, see

Glen, Unspoken

48

B. L. Ware and Will A Linkugel, They spoke in defense

Glen, Unspoken

49

Jack Keroauc and Dharma Bums, The Extinction of

Quarterly Journal of Speech, 59 (1973): 273-283. See

also William L Benoit and S. Brinson, AT & T: Apologies


are not enough. Communication Quarterly, 42, (1994):

Dissaperance of the Individual within The Universal


Harmony of The Soul, New York: Penguin, 2000.

St. Agustine, Rhetoric of Silence, 175-196

51

75-88, William L Benoit and A Czerwinski, A critical

Kahlil Gibran, Talking, 1923

52

analysis of USAirs Image Repair Discourse, The Bulletin

Barry Brummet, Rhetorical Theory as Heuristic and

53

of the Association for Business Communication, 60 (1997):


38-57, and William L Benoit, and R. S Hanczor, The

Moral: A Pedagogical Justification, Communication


Education, 33 (1984): 97-107.

Tonya Harding Controversy: An Analysis of Image Repair

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Farrel and Goodnight, Accidental Rhetoric, 271-300

For an example of this use of silence, see the poem

41

discourse, the public figure could deny the responsibility

32

Rhetoric: The Root Metaphors of Three Mile Island,

Justus Buchler, Philosophical Writings of Peirce, (New

40

Zohar Kampf, Public (non) Apologies, 2257-2270. In

31

Edwin Black, Gettysburd and Silence, 8.

Ihab Hassan, Metaphors of Silence, Frontiers of Literary

39

Zohar Kampf Public (non) Apologies: The discourse

30

stimulus, and controlled by the nervous system.

Communication Monographs, 48 (1981): 271-300.

Trala Rai Peterson, The Rhetorical Construction of

29

research refers to the habitual actions that response the

Thomas B Farrel and G Thomas Goodnight, Accidental

36

65, 1 (2001): 1-25.


28

Taylor, and John Bienenstock, Mood and Gut Feelings,


Journal of Brain, Behavior, and Immunity, 24, 1 (2010):

Brian Ott, Greg Dickinson, Eric Aoki,

27

433.

Benoit, An Actor Apologizes, 251-267.

33

such as counting the words, sentences, and even


22

Strategies. Communication Quarterly, 42 (1994): 416-

Brummet, Rhetorical Theory as Heuristic and Moral, 103

54

14

Chris Brown (Desideria Murti)

Caroline Bergval. 2005. In Chris Muller. 2007.


http://csmt.uchicago.edu/glossary2004/
silence.htm (Accessed March 17, 2012).

Rong Chen, Self Politeness: A Proposal, Journal of

55

Pragmatics 33, 1, (2001): 87106

Raymie McKerrow, Critical Rhetoric: Theory and Praxis,

56

Communication Monograph 56 (1989): 91-111

Cheryl Glen, Unspoken: A Rhetoric of Silence,


Carbondale, IL: Southern Illinois
University Press, 2004.

Ott, Dickinson, Aoki, Space of Remembering and Forgetting,

57

27-47

Carole Blair, Reflection on Criticism and Bodies: Parables

58

from Public Places, Western Journal of Communication,

Chris Muller. 2007. http://csmt.uchicago.edu/


glossary2004/silence.htm
(Accessed
March, 13, 2012).

65, 3 (2001), 271-294.

References

Christopher T Caldiero, Taylor Maureen, and


Lie Ungureanu, Image Repair Tactics
and Information Subsidies During Fraud
Crises, Journal of Public Relations
Research, 21, 2 (2009): 218-228.

About Face in Bergvalls most recent


collection, Fig (Cambridge: Salt
Publishing, 2005).
Barry Brummet, Rhetorical Theory as Heuristic
and Moral: A Pedagogical Justification,
Communication Education, 33 (1984):
97-107.
Barry

Chris Brown finally does a public apology,


Youtube (July 21, 2009): http://www.youtube.
com/watch?v=6arILZYxqtM
(Accessed
March 23, 2012).

R. Schlenker, B. R. Impression
management: The self-concept, social
identity, and interpersonal relations.
Monterey, CA: Brooks/Cole, 1980.

CNN: Tiger Woods full apology speech


CNN Youtube (February 19, 2010): http://
www.youtube.com/watch?v=Xs8nseNP4s0

(Accessed March 23, 2012).

Brown arrested after alleged attack on Rihanna,


MSNBC (February 9, 2009): http://today.

CNN, Brown Sentenced for Rihanna Assault;


Other Incidents Surface, CNN Justice.
http://articles.cnn.com/2009-08-25/
justice/chris.brown.sentencing_1_robynrihanna-fenty-sentencing-probationreport?_s=PM:CRIME (Accessed March
14, 2012).

msnbc.msn.com/id/29088387#.T33R18xbwXw

(Accessed March 24, 2012).

Brian Ott, Greg Dickinson, Eric Aoki, Space


of Remembering and Forgetting: The
Reverent Eye/I at the Plains Indian
Museum, Communication and Critical/
Cultural Studies, 3, 1, (2006): 27-47.

Edwin Black. Gettysburg and Silence,


Quarterly Journal of Speech 80 (1994):
21-36.

B. L. Ware and Will A Linkugel, They spoke


in defense of themselves: On the generic
criticism of apologia. Quarterly Journal
of Speech, 59 (1973): 273-283.

Elizabeth Avery, Ruthann W. Lariscy, Sora


Kim, and Tatjana Hocke, A Quantitative
Review of Crisis Communication
Research in Public Relations: 19912009, Public Relations Review 36, 2
(2010):190-192.

Carole Blair, Reflection on Criticism and


Bodies: Parables from Public Places,
Western Journal of Communication, 65,
3 (2001), 271-294.

Erving Goffman. Interaction Ritual. New York:


Pantheon, 1967.
15

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

Ihab Hassan, Metaphors of Silence, Frontiers


of Literary Criticism, ed. David H.
Malone, Los Angeles: Hennesey and
Ingalls (1974): 35-52.

Kim, Sora and Scoot Rader, That They Can Do


Versus How Much They Care? Assessing
Corporate Communication Strategies
on Fortune 500 Web Sites, Journal of
Communication Management, 14, 1,
(2010): 59-80.

Jack Keroauc and Dharma Bums, The Extinction


of Dissaperance of the Individual within
The Universal Harmony of The Soul, New
York: Penguin, 2000.

Mia Moody, Jon and Kate Plus 8: A case study


of social media and image repair tactics,
Public Relations Review, 37 (2011): 405414

Janna Thompson. Apology, Justice and


Respect: A Critical Defense of Political
Apology. In: Gibney, M., HowardHassmann, R.E., Coicaud, J.M., Steiner,
N. (Eds.), The Age of Apology: Facing
up the Past. Pennsylvania: Pennsylvania
University Press, (1998): 3144.

Paul Forsythe, Nobuyuki Sudo, Timothy Dinan,


Valerie H Taylor, and John Bienenstock,
Mood and Gut Feelings, Journal of
Brain, Behavior, and Immunity, 24, 1
(2010): 9-16.

Jenifer Kennedy, Image reparation strategies


in sports: Media analysis of Kobe
Bryant and Barry Bonds, The Elon
Journal of Undergraduate Research
in Communication, 1, 1 (2010): 95103.
http://www.elon.edu/docs/eweb/academics/communications/
research/09KennedyEJSpring10.pdf.
(Accessed March 15, 2012).

Peter M Smudde and J. L. Courtright, Time to


Get A Job: Helping Image Repair Theory
Begin A Career In Industry. Public
Relations Journal, 2, 1 (2008): http://www.
prsa.org/prjournal/Vol2No1/SmuddeCourtright.
pdf (Accessed March 27, 2012).

Phaedra C. Pezzullo, Performing critical


interruptions: Stories, rhetorical invention,
and the environmental justice movement,
Western Journal of Communication, 65, 1
(2001): 1-25.

Jessica Wakeman, Chris Brown Apology


Video: Too Scripted, Too Vague, Too
Irresponsible, in the Friesky, 21 July
2009. http://www.thefrisky.com/200907-21/chris-browns-apology-video-istoo-scripted-to-seem-sincere/(Accessed
March 28, 2012).

Raymie McKerrow, Critical Rhetoric: Theory


and Praxis, Communication Monograph
56 (1989): 91-111.
Rong Chen, Self Politeness: A Proposal,
Journal of Pragmatics 33, 1, (2001):
87106.

Judith P Burns and Michael S Bruner Revisiting


the Theory of Image Restoration
Strategies, Communication Quarterly,
48, 1 (2000): 27-39.

Sources: Browns alleged victim was girlfriend


Rihanna. CNN (February 9, 2009):
http://www.cnn.com/2009/SHOWBIZ/
Music/02/09/chris.brown/index.html?ire
f=mpstoryview#cnnSTCText. (Accessed
March 25, 2012).

Justus Buchler, Philosophical Writings of


Peirce, New York: Dover, 1955.
Kahlil Gibran, Talking, The Prophets (1923):
http://www.bohra.net/archive/gibran/
gibran20.html (Accessed March 13,
2012).
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

16

Chris Brown (Desideria Murti)

St. Agustine, Rhetoric of Silence in Joseph


Anthony Mazzeo. St. Augustines
Rhetoric of Silence, Journal of History
of Ideas (1962): 175-196 http://www.jstor.

William L Bennoit, Hugh Grants Image


Restoration Discourse: An actor
Apologizes, Communication Quarterly
(1997a): 251-267. For additional
discussion on the image restoration, see
William L Benoit, Image restoration
discourse and crisis communication,
Public Relations Review 23 (1997b):
177-186.

org/stable/2708154 (Accessed March 29, 2012).

Thomas Farrel, Critical Models in the Analysis


of Discourse, The Western Journal of
Speech Communication, 44 (1980), 300314.

William L Benoit, Image repair in President


Bushs April 2004 News Conference.
Public Relations Review 32 (2006): 137
143.

Thomas B Farrel and G Thomas Goodnight,


Accidental Rhetoric: The Root Metaphors
of Three Mile Island, Communication
Monographs, 48 (1981): 271-300.

William L Benoit in Another Visit to the


Theory of Image Restoration Strategies.
Communication Quarterly 48, 1 (2000):
40-44.

Trala Rai Peterson, The Rhetorical Construction


of Institutional Authority in a Senate
Subcommittee Hearing on Wilderness
Legislation, Western Journal of Speech
Communication, 52, (1988): 259-276.

William L Benoit and S. Brinson, AT


& T: Apologies are not enough.
Communication Quarterly, 42, (1994):
75-88.

William Forest Harlow, Brian C Brantley, and


Rachel Martin Harlow, BP Initial Image
Repair Strategies After The Deepwater
Horizon Spill, Public Relations Review
37 (2010): 80-83.

William L Benoit and A Czerwinski, A


critical analysis of USAirs Image Repair
Discourse, The Bulletin of the Association
for Business Communication, 60 (1997):
38-57.

William L Benoit and S Brinson, Queen


Elizabeths Image Repair Discourse:
Insensitive Royal or Compassionate
Queen? Public Relations Review 25
(1999): 145-156.

Zohar Kampf, Public (non) Apologies: The


discourse of minimizing responsibility,
Journal of Pragmatics 41 (2008): 22572270.

William Benoit, Apologies, Excuses, and


Accounts: A Theory of Image Restoration
Strategies (Albany, NY: State University
of New York Press, 1995b).
William L Benoit and R. Hanczor, The Tonya
Harding controversy: An analysis of
image repair strategies, Communication
Quarterly 42 (1994): 416-433.

17

The Prism Look at The Rhetoric of Apologia

ISSN 2252 - 4630

EVALUASI STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 360 COMMUNICATIONS


DI INDONESIA*
Dorien Kartikanwangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho **

ABSTRACT
The development of Information Communication
Technology (ICT) has given the opportunity to be able
to use 360 Communications in corporate communication
and marketing communication activities. Nevertheless
there is still a debate on the effectiveness and efficiency
of this model during the implementation on the field. The
objective of the study is not merely conducting a general
evaluation on the 360 Communications implementation
done by companies in Indonesia, but also focusing on the
use of social media trinity that are developing, which are
blogging, microblog and social network. This research is
done through a qualitative approach using Focus Group
Discussion dan interviews with industrial players, as well as
through participative observation. Research results reveal
that sources implement 360 Communications differently,
either on defining the strategy up until evaluation, whether
partially or overall. This depends on the type of business/
industry it does and the communication objective it
chooses.

Key words: 360 Degree Communications, Computer


Mediated Communications, Integrated
Communications

Interact:
Vol.2, No.1, Hal. 18-31.
Mei, 2013
Prodi Ilmu Komunikasi,
Unika Atma Jaya Jakarta
18

1. Latar Belakang dan Masalah Penelitian

dalam system. Spence dan Essoussi (2010)


yang meneliti tentang SME brand building and
management menekankan dalam temuannya
bahwa integrated communication strategy
sangat diperlukan dalam meningkatkan sekaligus
menjadi pendekatan kreatif dalam strategi brand
untuk pertumbuhan dan keberlangsungannya.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Christensen,
Firait dan Comelissen (2009) menegaskan
bahwa diperlukan adaptasi antara gagasan ideal
tentang integrated communications dengan
integrasi seperti apa yang memungkikan untuk
dilakukan oleh organisasi dan komunikasinya.

Persaingan usaha yang kian tajam seiring


dengan perkembangan berbagai produk dan
jasa di berbagai sektor bisnis saat ini membawa
dampak positif dalam bidang Komunikasi
pemasaran dan korporasi. Dampak positif
tersebut diantaranya adalah munculnya beragam
kreatifitas pengembangan konsep maupun
implementasi strategi komunikasi pemasaran dan
korporasi yang juga memperhatikan ketersediaan
dana, serta efektivitas pencapaian tujuannya.
Kreatifitas konseptual dan implementasi ini
sangat didukung oleh perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi (ICT - Information
Communication Technology). Dalam konsep
Komunikasi, model tersebut lebih terdapat pada
komunikasi pemasaran yang disebut sebagai
Komunikasi Pemasaran Terintegrasi (Integrated
Marketing Comunication). Namun demikian,
dalam implementasinya, komunikasi korporasi
juga seringkali menggunakan model ini karena
dalam implementasi kegiatan diperlukan
pemahaman terhadap klien/pengguna melalui
program terpadu. Dalam Penelitian ini, istilah
yang digunakan adalah Komunikasi Terpadu
(Integrated Communication) yang dalam istilah
praktis disebut sebagai 360 Communications.

Beberapa penelitian terdahulu yang


telah dilakukan menunjukkan pentingnya
komunikasi terpadu dalam organisasi maupun
produk dengan memperhatikan ketepatan
pemilihan strategi dan implementasi untuk
efisiensi yang maksimum. Penelitian sejenis di
Indonesia belum dapat ditemukan sepanjang
penelusuran yang dilakukan. Yang ada adalah
beberapa kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh
perusahaan ataupun agensinya atas pelaksanaan
program. Hal tersebut mendukung pentingnya
Penelitian ini dilakukan guna memberikan
kontribusi perspektif Indonesia tentang
implementasi komunikasi terpadu.

Penelitian terdahulu tentang hal ini


dilakukan antara lain oleh Kithchen, Kim
dan Schultz (2008). Dalam Penelitian mereka
tentang Integrated Marketing Communications:
Practice Leads Theory diperoleh temuan bahwa
adopsi dan implementasi IMC tidak hanya harus
memperhatikan perbedaan budaya, melainkan
juga kelemahan dalam proses dan implementasi.
Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa
di kemudian hari perlu lebih memperhatikan
klien. Sementara itu, Tosun (2008) dalam
tulisannya menyatakan bahwa harus terdapat
interaksi sinergis antara corporate PR dengan
point of purchase communications, karena hal
ini akan menciptakan efisiensi yang maksimum

Dalam perkembangannya, implementasi


360 Communications ini menjadi perdebatan.
Perdebatan yang terjadi utamanya adalah
dari para petinggi perusahaan berkaitan
dengan efektifitas dan efisiensi model ini.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa
dalam
mengkomunikasikan
produk/jasa
maupun perusahaan harus menggunakan
360 Communications agar dapat mencapai
tujuan komunikasi semaksimal mungkin.
Sementara itu, pendapat lain mengatakan
bahwa tidak selalu harus menggunakan 360
Communications, karena untuk setiap tujuan
komunikasi dapat digunakan beberapa cara
saja. Seperti yang dinyatakan oleh Will Haris
Nokia, Marketing Director untuk UK bahwa
360 Communications tidak lagi efektif, yang
diperlukan adalah mentargetkan hanya pada
beberapa cara ketimbang semua cara disatukan.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan

* Materi ini telah diterjemahkan dan telah diajukan ke


Journal of Applied Communication Research

**Para penulis adalah dosen pada Prodi Komunikasi,


FIABIKOM, Unika Atma Jaya

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

19

oleh CEO dari Ripple Hub, Jean-Phillipe,


yaitu bahwa melakukan pendekatan secara
spesifik sama sekali tidak masalah karena satu
pendekatan yang diimplementasikan secara
lintas saluran belum tentu efisien.

dalam relasinya baik dengan konsumen maupun


pihak-pihak lain yang terkait (stakehorlders).
Seiring dengan perkembangan teknologi,
saat ini di dunia praktis muncul konsep tentang
360 Communications yang belum banyak
referensinya secara akademis. Pertanyaan
yang mendasari munculnya konsep ini adalah
apakah dunia usaha cukup dengan IMC dan
MPR atau perlu mengembangkannya seiring
dengan perkembangan teknologi Komunikasi
dan informasi yang sangat cepat dan perlunya
mengabsorbsi semuanya secara terintegrasi?
Jika ditelusuri lebih lanjut, istilah 360
Communications lebih banyak digunakan
dalam dunia praktis. Misalnya, perusahaan
360 yang bergerak di bidang marketing
communications. Perusahaan in berasal dari
Amerika dan menawarkan jasa Komunikasi
pemasaran yang menyeluruh. Salah satu
contohnya adalah Ogilvy World Wide, menyebut
360 Communications terkait dengan upaya
menyeluruh dalam mengkomunikasikan suatu
brand kepada kalayak.

Dari hasil penelitian terdahulu dan


perdebatan yang muncul tentang efektifitas
dan efisiensi strategi maupun implementasi
360
Communications
atau
integrated
communications ini maka menjadi menarik
dan penting untuk dilakukan kajian ilmiah
dalam mengevaluasi, khususnya strategi dan
implementasi di Indonesia.
2. Tujuan dan manfaat
Berdasarkan uraian latar belakang,
penelitian ini bertujuan untuk melakukan
evaluasi atas implementasi 360 Communications
yang dilakukan oleh berbagai perusahaan di
Indonesia.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk
memberikan evaluasi ilmiah atas implementasi
360 communications, yang pada gilirannya
akan memberikan referensi bagi pengembangan
konsep dan implementasi baik dalam konteks
akademis maupun praktis.

Fenomena ini kemudian memunculkan


pemikiran bahwa 360 Communications dapat
dikonseptualisasikan secara lebih luas terkait
dengan upaya Komunikasi pemasaran maupun
Komunikasi Korporasi. Ogilvy World Wide
Indonesia mendefinisikan 360 Communication
sebagai suatu proses bagaimana:

3. Kajian Pustaka
3.1. IMC, MPR, dan 360 Communications

It is how to get all elements in the


communications mix working in
harmony. Interest in integration has
grown recently as a direct result of
budgetary pressures. Integration is a
process to deliver an end result, not
an end in itself.

Dalam teori-teori Komunikasi pemasaran


maupun korporasi, telah dikenal konsepkonsep Komunikasi Pemasaran Terpadu
(Integrated Marketing Communication/IMC)
dan Pemasaran Humas (Marketing Public
Relations/MPR).
Komunikasi Pemasaran
terpadu secara sederhana dapat dedefinisikan
sebagai koordinasi dan integrasi berbagai alatalat pemasaran untuk memaksimalkan dampak
pada konsumen dan pengguna akhir lainnya
dengan biaya seminim mungkin. Sementara
Pemasaran Humas dapat didefiniskan sebagai
strategi dan implementasi yang menyatukan
konsep-konsep pemasaran dan humas dalam
rangka memaksimalkan hasil upaya organisasi
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Definisi tersebut secara lebih jelas


dapat dilihat dalam Gambar 1 di bawah ini,
yang menggambarkan integrasi komunikasi
diupayakan dalam mengkomunikasikan brand
pada konsumen. Strategi ini juga menyatukan
strategi pemasaran yang sudah lama dikenal dan
diimplementasikan, yaitu pull strategy dan push
strategy, serta bentuk komunikasi below the line
20

Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho

spanduk, billboard dan lain sebagainya. Digital


adalah berbagai kegiatan komunikasi melalui
media jejaring sosial, seperti facebook, flickr,
youtube, komunitas-komunitas maya, dan lain
sebagainya. PR (Public Relations) merupakan
aktivitas kehumasan yang diintegrasikan dalam
komunikasi pemasaran. Activation, yaitu
berbagai kegiatan khusus yang dikemas untuk
mempererat komunikasi antara brand dengan
konsumen dalam bentuk tatap muka.

dan above the line. Empat kosep utama 360


Communications yang disajikan pada Gambar
1 adalah advertising, digital, public relations
dan activation dilakukan untuk mendekatkan
brand dengan konsumennya.
Advertising menunjuk pada aktivitas
periklanan dengan beragam bentuknya, baik
melalui media massa (above the line), maupun
yang tidak (below the line) seperti leaflet, brosur,

From the brand to the consumer


advertising

activation

BRAND

digital

PR
Gambar 1. Konsep utama 360 Communications
Sumber: diadopsi dari PR. Smith & Ze Zook (2011) dan Ogilvy World Wide (2011)

Dengan berbagai cara komunikasi yang


diintegrasikan tersebut, diharapkan konsumen
memperoleh dan merasakan pengalaman
tertentu barkaitan dengan brand, direkam
dengan baik dalam ingatan mereka, dan pada
gilirannya akan memberikan umpan balik yang
positif terhadap brand.

dapat memunculkan penilaian yang positif atas


produk atau jasa yang dikomunikasikan. Dengan
demikian, pengalaman positif tersebut dapat
dibagikan kepada orang lain sehingga terjadi
penyebarluasan apakah secara langsung maupun
melalui media sosial yang mereka gunakan.
Konsep dan implementasi ini oleh perusahaan
komunikasi Dentsu Jepang dikembangkan
dari konsep komunikasi pemasaran AIDA, yaitu
Awareness, Interest, Desire, Action, menjadi
AISAS, yaitu Awareness, Interest, Seeking,
Action, Share.

Gambar 2. memberikan rincian berbagai


kegiatan komunikasi turunan dari empat konsep
utama: advertising, digital, public relations dan
activation dalam implementasi kegiatannya.
Beragam kegiatan dengan menggunakan semua
media komunikasi yang ada akan memberikan
pengalaman pada seluruh indra penerima pesan.
Pengalam-pengalaman (insight) ini diharapkan

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan


bahwa 360 Communications merupakan
pengembangan dari konsep komunikasi

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

21

pemasaran terpadu (integrated marekting


communication) dan Corporate Communication
yang menambahkan digital communication
seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi

komunikasi dan informasi (Information


Communication Technology). Selanjutnya, akan
dibahas secara lebih khusus peran ICT dalam
360 Communications.

And the consumer will get the total experience

Gambar 2. Implementasi 360 Communications; Sumber: Ogilvy World Wide (2011)

3.2. Peran ICT dalam 360 Communications


Globalization has affected on how
we communicate and what media to
use in communicating. To be able to
manage organizational results, many
realize that individual communication
held by different units did not make
the organization effective nor efficient.
Communication needed to be realigned
and integrated to a centralized
corporate communication network. In
addition, with pressure from the growth
of communication technology, business
must also face the complexity and
intricacity of business comptitiveness
and positioning to be in the mind of
consumers. Hence, the development of
intergrated marketing communication

Pada awalnya perkembangan teknologi


komunikasi dan informasi memberikan
kemudahan pada komunikasi antar pribadi
melalui electronic mail, atau yang dikenal
sebagai email dan pengenalan organisasi
melalui situs atau website. Saat ini, bentuk
komunikasi yang terjadi dengan menggunakan
Information
Communication
Technology
(ICT) dapat bersifat antar pribadi maupun
massa. Sekalipun perdebatan tentang hal ini
akan terus berlanjut, pemaparan berikut ini
lebih menitikberatkan pada kegunaan dan
perannya dalam 360 Communications. Terkait
dengan peran ICT ini, Hardjana (2012) dalam
tulisannya tentang Integrated Communication:
Marketing Communication In The Interactive
Age mengemukakan bahwa:
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

22

Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho

(IMC) provided another stage of


development of integrated marketing
communication (IMC) provided another
stage of development in communication
industry.

menggunakan media sosial. Kelima tahap


tersebut mencakup:
- Analisa media yang pernah dan sedang
digunakan
Hal ini mencakup langkah-langkah melihat
ulang perencanaan pemasaran, strategi
serta implementasi strategi komunikasi
pemasaran dan korporasi yang pernah dan
sedang dilakukan. Tahap ini untuk melihat
apakah biaya yang dikeluarkan perusahaan
sebanding dengan hasil yang diperoleh.
- Trinitas media sosial
Tahap ini mengarahkan untuk lebih fokus
pada tiga kategori media sosial yang
terpenting dan mengabaikan kategori lanilla.
Tiga kategori tersebut adalah: blogging,
microblogging dan social networks
- Strategi terintegrasi
Selanjutnya adalah tahap dimana trinitas
media sosial diintegrasikan dalam strategi
dan perencanaan implementasi komunikasi
pemasaran dan korporasi untuk memperoleh
hasil yang maksimal
- Sumber-sumber
Tahap di mana semua sumber yang
memungkinkan untuk implementasi strategi
baru ini ditemukan dan disusun
- Implementasi dan pengukuran
Tahap terakhir adalah implementasi strategi
yang telah disusun dan direncanakan, serta
bagaimana pengukurannya. Pengukuran
keberhasilan ini merupakan tahap yang
paling sering ditinggalkan atau dilupakan,
karenanya menjadi statu keharusan
untuk mengikuti kelima tahap ini dengan
menyeluruh agar diperoleh juga evaluasinya
melalui pengukuran yang tepat.

Saat ini, lebih dari email dan website


yang bisa dilakukan untuk mengomunikasikan
suatu produk maupun jasa. Individu di berbagai
belahan dunia yang terpisah-pisah ruang dan
waktu menjadi lebih mudah terhubung satu
dengan yang lain melalui fasilitas yang tersedia
dengan kecanggihan ICT. Peta jaringan antar
individu menunjuk pada tertembusnya rentang
jarak, ruang dan waktu sebagaimana dapat
dilihat pada. Komunikasi melalui komputer
dengan berbagai bentuk fasilitas yang disediakan
secara gratis maupun berbayar telah mampu
menyatukan individu-individu yang saling
berkomunikasi secara seketika (real time).
Dengan demikian kendala atau sekat ruang
jarak dan waktu menjadi mengecil jika tidak
dikatakan sebagai tidak ada sama sekali. Dalam
kondisi seperti ini maka sangat memungkinkan
bagi setiap individu ikut serta menyebarluaskan
informasi tentang produk maupun jasa. Peran
individu ini sering disebut sebagai komunikasi
pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth)
yang saat ini berlaku baik melalui dunia maya
(on line) maupun tidak (off line).
Computer Mediated Communication,
konsep yang diajukan Whitaker
dalam
Littlejohn (2008) yang saat ini tersedia dan dapat
digunakan oleh siapapun termasuk perusahaan
dalam mengomunikasikan produk atau jasanya
sangat beragam kepada konsumen. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka menjadi penting bagi
perusahaan maupun profesional komunikasi
pemasaran dan korporasi mengetahui tentang
peta media sosial (social media landscape).
Memahami peta media sosial berarti juga
mengetahui secara mendalam sifat dan karakter
media sosial tersebut, siapa yang menggunakan
dan bagaimana dampak penggunaannya, serta
bagaimana konsekuensi keuangannya. Menurut
Lan Savko (2010) Terdapat lima tahap utama
yang harus diikuti agar dapat berhasil dalam

Sebagaimana telah diutarakan sebelum


nya, trinitas media sosial adalah penting
untuk diperhatikan agar perencanaan strategi
komunikasi pemasaran dan korporasi lebih
terfokus. Gambar 4 menunjukkan peta media
sosial yang diambil dari Fredcavazza.net.
Dalam Gambar tersebut dapat secara jelas
terlihat media-media sosial yang termasuk
dalam blogging, microblog dan social network.

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

23

Blogging, microblog, dan social network


merupakan istilah yang sangat lazim dikenal
di dunia maya. Blogging. Blog merupakan
komponen integral pada pemasaran media social,
yaitu situs informasi yang dipublikasikan melalui
World Wide Web (www). Blog dapat membantu
perusahaan membangun kepercayaan, menem
patkan perusahaan beserta produk atau jasanya
pada lingkungan yang kuat, dan secara otomatis
menyajikan perusahaan dan produk/jasanya
dihadapan konsumen. Microblogging. Blog
dalam format yang lebih kecil. Lebih dikenal
sesuai dengan brandnya, yaitu twitter. Twitter

merupakan bentuk microblogging yang paling


dikenal. Dengan twitter perusahaan dapat
diikuti (following) oleh para pengikut (follower)
yang akan membaca apa yang diinformasikan
melalui tweet yang sangat mungkin meneruskan
informasi tersebut (retweet) sehingga informasi
dapat diikuti dan dibaca oleh lebih banyak
orang. Sebagai bentuk microblogging, melalui
twitter perusahaan juga dapat mengunggah
foto, melakukan tagging dan lain sebagainya.
Social network adalah individu-individu atau
organisasi yang terhubungkan secara diadik
melalui fasilitas jaringan sosial dunia maya.

Gambar 3: Social Media Landscape, sumber: Fredcavazza.net. (2011)

media sosial. Melalui smartphone yang dapat


dibawa kemanapun oleh konsumen dan calon
konsumen, akses pada fitur-fitur media sosial
tersebut menjadi lebih mudah. Hal ini berarti
memudahkan pula jangkauan komunikasi
dari perusahaan pada stakeholders dalam
menginformasikan, mempersuasi dan bahkan
berkolaborasi terkait dengan produk dan jasa
yang disediakannya. Kemudahan dan kedekatan
ini juga menyumbangkan efektivitas dan
efisiensi 360 Communications. Dengan biaya
yang bisa ditekan dapat diperoleh pencapaian
yang bisa lebih dari yang diharapkan atau
ditargetkan.

Gambar 3 menunjukkan peta media sosial yang


dapat digunakan baik oleh individu maupun
organisasi untuk saling berinteraksi
Dalam perkembangan yang begitu cepat,
alat komunikasipun ikut berkembang dengan
menyediakan fitur-fitur media sosial. Dengan
perkembangan ini, upaya perusahaan dalam
mengomunikasikan produk maupun jasa melalui
strategi dan implementasi 360 Communications
akan dengan sangat mudah diterima dan
diakses oleh konsumen. Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi membuat
penyedia produk handphone melahirkan
smartphone yang menyediakan berbagai fitur
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

24

Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho

3. Metode Penelitian

kode untuk mengklasifikasikan data ke dalam


kategorisasi tertentu di mana hasil data yang
ada menjadi lebih fokus untuk dianalisis. Tahap
kedua yaitu axial coding, yaitu peneliti lebih
fokus dalam menganalisis data-data yang telah
diberikan kategori sehingga dalam tahap ini
peneliti melihat tentang sebab, kondisi, proses,
strategi yang akhirnya dapat dikelompokkan.
Tahapan selanjutnya yaitu selective coding
dimana dalam tahap ini peneliti mengidentifikasi
tema utama dari penelitian dengan melihat
contoh-contoh data yang dapat mewakili tema
yang diangkat (Neuman, 2003: 442-445).
Interpretasi merupakan tahap akhir dari analisis
data. Interpretasi dilakukan berdasarkan tujuan
penelitan. Krueger (dalam Rabiee, 2004: 658)
menyediakan tujuh kriteria untuk menafsirkan
data: Menafsirkan kata-kata untuk mengetahui
istilah-istilah yang dipakai informan, konteks,
frekuensi jawaban informan, intensitas jawaban,
konsistensi jawaban, spesifikasi jawaban, dan
mencari konsep-konsep besar dari data yang
didapatkan.

Metode Penelitian perihal implementasi


360 Communications adalah metode kualitatif,
dengan menggunakan data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara
mendalam, focus group discussion serta
observasi partisipatori. Wawancara mendalam
dilakukan dengan nara sumber pengambil
kebijakan dari lima perusahaan yang memiliki
bidang usaha beragam, yaitu: consumer goods,
institusi keuangan, konsultan komunikasi,
bioskop, dan media radio. FGD dilakukan
dua kali dengan peserta terdiri dari pelaksana
kebijakan berbagai perusahaan. Observasi
partisipatori dilakukan oleh peneliti yang juga
bekerja di perusahaan konsultan komunikasi
dan tambang. Sedangkan data sekunder yang
digunakan adalah arsip-arsip yang terkait
dengan pelaksanaan 360 Communications.
3.6 Analisis Data
Proses analisis data kualitatif bertujuan
untuk memberikan makna pada situasi
(Krueger dalam Rabiee, 2004: 657). Krueger
menyebutkan bahwa data dilaporkan dalam tiga
tingkatan:

4. Strategi dan Implementasi 360


Communications
Hasil penelitian yang disajikan pada
bagian ini secara sistematis membahas kelima
tahapan yang diajukan Lan Savko (2010),
yaitu analisa media yang pernah dan sedang
digunakan, trinitas media sosial, strategi
terintegrasi, sumber-sumber, implementasi
dan pengukuran, tetapi dengan penyatuan
beberapa bagian. Dengan demikian penyajian
tersusun sbb: Analisis, mencakup riset pasar
dan media serta media komunikasi yang
digunakan; Trinitas Media Sosial, mencakup
bloging, microblogging, dan social network;
Strategi,
Implementasi,
Pengukuran
mencakup bagaimana strategi yang ditetapkan
dan implementasinya, sumber-sumber, serta
pengukuran yang digunakan untuk melihat
pencapaian implementasi

1. Raw Data, yaitu data mentah yang sesuai


dengan pernyataan informan dalam
percakapan dan dikategorisasi sesuai
tingkatan tema.
2. Descriptive Statements, yaitu rangkuman
kata-kata dan komentar informan yang
disusun sesuai tingkatan tema.
3. Interpretation, yaitu interpretasi atau
penafsiran yang dibuat dengan proses
deskriptif dengan memberikan pemaknaan
pada data. Saat pemberian makna secara
deskriptif, maka harus merefleksikan bias
peneliti itu sendiri.
Untuk menganalisis data yang dikumpul
kan melalui wawancara mendalam yang
menghasilkan rekaman wawancara, maka data
tersebut dikumpulkan dan dianalisis untuk
diklasifikasikan melalui coding. Adapun urutan
coding yang dilakukan yaitu pertama dengan
open coding, wawancara diberi tanda atau

4.1. Analisis Situasi


Perusahaan baik nasional maupun
internasional melakukan bebagai analisis

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

25

4.1.1. Media Communication

sebelum
menyusun
rencana
stratejik
manajemen. Dalam konteks ini, komunikasi
perusahaan, baik komunikasi korporasi maupun
komunikasi pemasaran sudah dilihat sebagai
bagian yang terintegrasi dengan stratejik
manajemen perusahaan, dan bukan lagi sekedar
pendukung.

Dalam memberikan informasi produk


maupun jasa dan berinteraksi dengan masyarakat
secara umum maupun pemangku kepentingan
(stakeholders), perusahaan menggunakan media
komunikasi baik above the line maupun below
the line. Penggunaan media komunikasi sangat
bervariasi tergantung pada jenis perusahaan
dan jenis produk/jasa yang ditawarkan. Berikut
ini hasil penelitian pada masing-masing media
komunikasi:

Berdasarkan wawancara, hasil penelitian


menunjukkan bahwa untuk melakukan analisis
pasar/riset, perusahaan yang berbasis multinasional menggunakan konsep-konsep yang
telah ditentukan oleh divisi Research &
Development dari kantor pusat (headquarter)
dan mengembangkan serta mengolahnya
sesuai dengan lokalitas masing-masing.
Sedangkan untuk perusahaan nasional,
mereka menggunakan riset internal maupun
jasa konsultas riset yang dipercaya. Sebagian
besar investasi analisis/penelitian adalah
untuk komunikasi pemasaran (marketing
communication), terutama dalam memanfaatkan
consumer data base, sedangkan komunikasi
korporasi (corporate communication) lebih
memfokuskan pada media monitoring.

Above the line


Komunikasi melalui media atau above
the line (ATL) masih merupakan porsi terbesar
alokasi dana, terutama fast moving product dan
consumer goods. Penggunaan media terbesar
adalah untuk iklan, dengan media utama
televisi. Penggunaan utama televisi berdasarkan
pada kelebihan televisi dibandingkan media
lain, yaitu pada kemampuan audio visual
dalam penyampaian pesan dan jangkauan
yang mencapai seluruh lapisan masyarakat,
khususnya menengah kebawah, yang bukan
pengguna media sosial. Untuk memaksimalkan
efektifitas dan pertimbangan efisensi beberapa
brand bekerja sama dengan bank/kartu kredit
untuk beriklan, terutama saat sale. Bank dinilai
cukup agresif dalam hal beriklan dan melakukan
promo, terutama media luar ruang. Agresivitas
bank ditangkap sebagai peluang bagi brand
tertentu yang memiliki kesamaan kalayak
sasaran (target audience) untuk bekerjasama.

Berbagai riset digunakan oleh perusahaan


dalam menganalisis situasi, baik riset formal
maupun informal. Jenis-jenis riset formal yang
digunakan mencakup:
Market research/ business intelligence
Media research antara lain dari Nielsen,
Verbrand, net promotion score
Revenue (overall, annual review)
Sedangkan riset informal, ad-hoc atau
post event menggunakan:
Media monitoring
Revenue (post event)
Komunitas
Pengamatan pasar

Below the line


Below the line merupakan kegiatan
komunikasi dari perusahaan kepada masyarakat
yang menjadi sasarannya yang tidak
menggunakan media massa. Smith dan Zook
(2011) menyebutkan kegiatan ini mencakup
penjualan (selling), publisitas, sponsorsip,
sales promotions, direct mail, exhibition,
merchandising and point of sale, packaging,
yang dapat dilakukan baik secara off line
maupun on line. Hasil penelitian menunjukkan

Keuntungan yang didapat dari beberapa


informan yang merupakan perusahaan
multinasional adalah bahwa format pelaksanaan
analisa situasi sudah baku, dan tinggal
diterapkan, dan akan lebih beruntung bila
diberi fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan
kondisi lokal.
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

26

Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho

4.2.1. Blogging

bahwa aktivitas komunikasi perusahaan dengan


konsep below the line (BTL) sangat beragam.
Implementasinya dilakukan oleh semua jenis
usaha, baik dari sisi komunikasi pemasaran
(marketing communication) maupun komuni
kasi korporasi (corporate communication).

Blogging merupakan kegiatan komuni


kasi melalui komputer yang bertujuan untuk
menginformasikan berbagai aktivitas produk
maupun
perusahaan.
Interaksi
dengan
pengunjung blog atau situs atau disebut juga
web, dapat terjadi jika diberikan fasilitas feed
back berupa ruang untuk meninggalkan pesan
atau ruang percakapan (chat room). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa belum semua
perusahaan atau produk menggunakannya.
Pengelompokan yang dilakukan menunjukkan
bahwa implementasi penggunaan blogging
dapat dibagi ke dalam beberapa kategori,
sebagai berikut:
Belum menggunakan; karena tidak
memiliki sumber daya (resources) untuk
memelihara dan ketersediaan konten yang
terbatas
Sudah menggunakan tapi kesulitan
memelihara, dan hanya terbatas pada
kerjasama dengan jaringan blogger
(bukan mengelola sendiri)
Baru mulai karena melihat ada potensi
untuk retensi konsumen.

Berbagai kegiatan komunikasi pemasaran


yang dilakukan perusahaan adalah kegiatan
yang mengutamakan partisipasi konsumen, de
monstrasi produk atau cause related marketing
seperti kanker payudara untuk produk pakaian
dalam perempuan, atau berdasarkan perayaanperayaan khusus, seperti Lebaran, Valentine,
Imlek, Natal dan Tahun Baru, maupun
peringatan hari nasional seperti kemerdekaan,
pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan
untuk corporate communication aktifitas BTL
lebih banyak yang terkait dengan media, seperti
press conference, tour, social marketing, dan
lain sebagainya.
4.2. Trinitas Media Sosial
Trinitas media sosial meliputi blogging,
microblogging, dan social network. Data
penelitian menunjukkan bahwa implementasi
trinitas media sosial berbeda-beda skala dan
tahapannya, karena tergantung pada target
pasar atau khalayak sasaran. Bagi perusahaan
Business to Business (B2B), trinitas media sosial
tidak dipergunakan mengingat sasaran sangat
terbatas. Terkecuali, untuk menjangkau para
pegawai potensial yang masih mahasiswa tingkat
atas/akhir yang sedang mempersiapkan diri
untuk lulus dan sudah ingin bekerja. Sedangkan
bagi perusahaan dengan konsumen yang luas
dan besar trinitas media sosial dianggap perlu.
Meskipun demikian implementasi masingmasing perushaan disesuaikan dan sangat
tergantung pada kategori produk masingmasing. Secara lebih rinci, disajikan berikuti
ini penggunaan trinitas media sosial secara
sistematis berurutan untuk masing-masing
kategori:

4.2.2. Microblogging
Microblogging adalah bentuk mini dari
blog. Saat ini microblog yang paling banyak
digunakan adalah twitter. Twitter merupakan
alat komunikasi media sosial yang membatasi
penggunanya untuk menuliskan pesan hanya 140
karakter. Kelebihannya adalah pengguna dapat
mengunggah foto atau gambar dan mini video.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa pengguna twitter di Indonesia berada
pada urutan nomor tiga di dunia. Namun
demikian yang paling banyak menggunakan
adalah individual. Untuk perusahaan atau
produk, penggunaan twitter belum marak
tetapi mulai berkembang. Sebagian pengguna
juga tidak menggunakan nama langsung
dari perusahaan, namun lebih memanfaatkan
endorser ataupun menggunakan trigger word.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi
nara sumber terbagi dua, yaitu menggunakan
dan tidak menggunakan.

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

27

Pengguna memiliki orang internal yang


khusus menangani atau menggunakan
endorser (nara sumber atau brand
ambassador) yang memiliki followers yang
cukup banyak.
Bukan pengguna merasa belum memerlukan
intensitas diseminasi informasi atau sedang
melihat situasi bagaimana bisa masuk.

menengah kebawah. Selain produk yang


tidak sesuai juga karena pasar sasaran
tidak mudah mendapat akses internet;
atau masih dalam proses penjajagan.
Dalam penggunaan trinitas media hal
terpenting bagi semua narasumber adalah
dapat mencapai kalayak sasaran dan melakukan
interaksi serta dapat melakukan engagement.
Namun demikian hasil penelitian menunjukkan
belum ada yang menggunakan trinitas media
untuk on-line shop.

4.2.3. Social Network


Jaringan sosial adalah individu-individu
atau organisasi yang terhubungkan secara diadik
melalui fasilitas jaringan sosial dunia maya.
Untuk jaringan sosial terkait dengan penelitian
ini, perusahaan atau produk dengan sengaja
membentuk komunitasnya, tetapi ada pula yang
atas inisiatif konsumen atau masyarakat.

4.3. Strategi dan Implementasi Integrasi


4.3.1. Parsial
Apakah semua perusahan memiliki strategi
dan implementasi 360 degree communications?
Penelitian menunjukkan bahwa integrasi
kegiatan lebih bersifat parsial bagi perusahaanperusahaan jasa atau B2B. Hal tersebut
dikarenakan tujuan komunikasinya adalah
untuk menciptakan atau mempertahankan citra
perusahaan, disamping untuk tujuan kerjasama.
Perusahaan konsultan sedikit berbeda karena
komunikasi yang dilakukan tergantung pada
kebutuhan/ keinginan klien. Namun demikian,
meskipun tidak menggunakan 360 degree
communications, tidak ada perusahaan yang
hanya menerapkan satu taktik.

Dengan demikian, hasil penelitian


menunjukkan bahwa untuk jaringan sosial data
yang diperoleh terbagi dalam tiga kategori:
Menggunakan dan aktif untuk mem
bangun komunitas (community) dan untuk
mendapatkan loyalitas. Penggunaan
jaringan sosial juga dapat disesuaikan
dengan sasaran, misalnya
kalangan
kaum muda, perempuan aktif, dan lain
sebagainya. Disamping itu, kegiatan
melalui jaringan sosial juga dapat
dihubungkan (link) ke kegiatan off-line.
Dengan demikian, keuntungan yang
diperoleh produk atau perusahaan adalah
akses yang lebih luas dan mudah karena
tersedianya sarana dan prasarana akses
bergerak (mobile).
Menggunakan dan pasif: untuk diper
gunakan sebagai perolehan data (data
mining), sebagai sumber informasi bukan
untuk berinteraksi, sebagai penyambung
bila anggota ada yang ketinggalan
informasi kegiatan (missed-out event),
atau untuk memberikan tanggapan
tertentu dari sudut PR, bukan penjualan.
Tidak menggunakan: peerusahaan atau
produk tidak menggunakan jaringan
sosial komunitas karena tidak sesuai
untuk produk yang sasarannya kelas
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Menjadi catatan bahwa perusahaan yang


menerapkan marketing communications/B2C
lebih banyak dituntut untuk dapat menanggung
biaya corporate communication dalam aktifitas
yang berkaitan dengan produk.
4.3.2. 360 Communications
Berbeda dengan perusahaan jasa maupun
B2B. Berdasarkan pengalaman dari sebagian
besar nara sumber, dinyatakan bahwa industri
consumer goods berupaya semaksimal mungkin
untuk melibatkan semua komponen dalam 360
Communications.
Dalam hal ini kompetensi dan kapabilitas
sumber daya manusia memainkan peran yang
28

Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho

sangat signifikan. Kemampuan project manager


dalam implementasinya juga mempengaruhi
kapasitas pelaksanaan, termasuk dalam memberi
rekomendasi kegiatan komunikasi berikutnya.

Evaluasi lain dilihat berdasarkan faktorfaktor berikut ini:


Nilai berita disamakan dengan nilai iklan
bila dihitung berdasarkan AFE atau secara
kualitatif menurut kualitas beritanya.
Return of investment belum dapat diukur
secara pasti (apakah ada hubungan antara
melihat iklan dan purchasing power)
promotor score
Menciptakan awareness dan word of
mouth
Sales dan Revenue

Sementara itu, untuk kegiatan corporate


communication lebih banyak diintegra
sikan sebagai bagian dari kegiatan 360
Communications dari marketing commu
nication.
4.3.3. Implementasi
Dari hasil penelitian, dapat dipahami
bahwa meskipun pada prinsipnya perusahaan
menerapkan 360 Communications, namun
pada implementasinya lebih bersifat custommade, tergantung pada core businessnya, dan
disesuaikan dengan kepentingan masingmasing perusahaan karena pilihan cukup
banyak sehingga tergantung pada tujuan akhir
yang ingin dicapai.

5. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Strategi dan implementasi 360 Commu
nications ditetapkan berbasis riset, formal
maupun informal dan berbasis pada strategi
manajemen perusahaan. Dalam implementasinya
360 Communications dirancang berdasarkan
target audience, produk yang ditawarkan, Key
Performance Indicator produk, komunitas,
serta saluran distribusi.

Pertimbangan implementasi antara lain


mempertimbangkan faktor: Tactical, Branding,
Edukasi, Budget-based, Cooptation.
4.3.4. Evaluasi/Pengukuran

Semua perusahaan dalam berkomunikasi


dengan kalayak sasaran tetap menggunakan
media konvensional sebagai implementasi
strategi below the line dan above the line.
Sementara itu untuk media baru yang dikenal
dengan trinitas media (blogging, microbloging,
dan social network) tidak semua perusahaan
menggunakannya, tergantung pada jenis usaha
apakah barang atau jasa. Terkait dengan trinitas
media, Corporate Communication cenderung
memilih blogging, sedangkan Marketing
Communication mengupayakan penggunaaan
semua alat komunikasi. Meskipun demikian
keduanya terintegrasi dalam pengemasan
pesan.

Sebagaimana sebuah aktivitas bisnis,


upaya komunikasi yang dilakukan selayaknya
diukur hasilnya. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa pengukuran/evaluasi kegiatan program
dapat melalui berbagai cara tergantung pada
bentuk atau alat komunikasi yang digunakan.
Pada penggunaan blog atau microblog, misal
nya page atau facebook, jumlah klik like dan
share menjadi tolok ukur apakah komunikasi
yang dilakukan mendapatkan perhatian, dibaca
dan diteruskan ke lingkungan temannya
atau tidak. Untuk microblog yang terutama
digunakan di Indonesia saat ini adalah twitter,
dimana keberhasilan komunikasinya dilihat
dari berapa yang melakukan retwitt atau mampu
tidaknya twitt tersebut menjadi trading topic.
Selain klik dan share, evaluasi juga dilihat dari
jumlah pengunjung web atau check-in, jumlah
pengikut/partisipan/pengunjung, dan feedback
response.

Evaluasi dilakukan terhadap strategi dan


implementasi komunikasi, namun demikian
untuk below the line dan above the line
dinyatakan lebih mudah dievaluasi ketimbang
trinitas media.

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

29

Menjawab tentang perdebatan apakah


sebaiknya perusahaan, produk, atau jasa
menggunakan strategi dan implementasi 360
Communications secara menyeluruh atau
parsial, penelitian ini membuktikan bahwa
penggunaan 360 Communications sangat
tergantung pada jenis usaha yang dijalankan
dan tergantung pada tujuan komunikasinya.

Craig,

Theorizing Communication: Readings Across


Traditions , Sage Publication Inc.

Hardjana, Andre (2012), Integrated Communi


cation: Marketing Communication in
The Interactive Age, Jurnal InterAct, vol
1, no 1, hal 20-34, Jakarta: Prodi Ilmu
Komuniasi, Unika Atma Jaya

Saran

Kennedy, John E. dan R. Dermawan Soema


negara, (2012), Marketing Communi
cation: Taktik dan Strategi, Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer

Saran praktis yang nantinya akan


dapat membantu dalam perancangan strategi
dan implementasi 360 Communications
adalah tujuan (objective) dari komunikasi
yang dilakukan dan berbasis pada anggaran
(budget based). Hal ini mengingat pada
sulitnya melakukan evaluasi, khususnya untuk
trinitas media. Sedangkan untuk strategi dan
implementasi 360 Communications disarankan
untuk berbasis pada isi pesan (content based),
artinya pesan yang disampaikan melalui
berbagai media dan sarana memiliki kesamaan,
sehingga kalayak sasaran tidak bingung karena
kesimpang siuran pesan, tetapi menjadi lebih
fokus.

Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss (2008),


Theories of Human Communication, 9th
ed, Belmont, CA: Thomson Wadsworth
Mirabito, Michael M.A. (1997) The New
Communications Technologies: Applica
tions, Policy, and Impact, 5th ed
Pacey, Arnold (2000). The Culture of
Technology, Cambridge, Massachusetts:
The MIT Press, Newton: ButterworthHeinemann

Saran ilmiah untuk melengkapi dan


melanjutkan penelitian ini adalah dilakukannya
kajian terpisah untuk masing-masing strategi
dan implementasi trinitas media dan mengukur
hasil (outcome) secara kuantitatif sehingga
dapat menghitung dampak (impact). Lebih
lanjut, mengingat bahwa pengukuran dan
evaluasi trinitas media masih menjadi persoalan,
maka akan sangat bermanfaat baik secara
ilmiah maupun praktis jika dilakukan kajian
pengukuran trinitas media sosial.

Rangkuti, Freddy, (2009), Strategi Promosi


Yang Kreatif & Analisis Kasus Integrated
Marketing Communication, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Safko, Lon, (2010), The Social Media Bible:
Tactics, Tool, And Strategic for Business
Success, 2nd ed, New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc
Smith, P.R. and Ze Zook, (2011), Marketing
Communication: Integrating Offline
and Online with Social Media, 5th ed,
Philadelpia: Kogan Page

DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku dan Jurnal:

Smith, Ronald D., (2002) Strategic Planning for


Public Relations, Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates

Consalvo, Mia and Charles Ess (Ed), (2011),


The Handbook of Internet Studies, West
Sussex: Blackwell Publishing, Ltd.

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Robert T. and Heidi L. Muller (Ed), (2007),

30

Dorien Kartikawangi, Nia Sarinastiti, Avianto Nugroho

Referensi Makalah:

Straubhaar, Joseph and Robert LaRose (2006).


Media Now: Understanding Media
Culture, and Technology, 5th ed., Belmont,
CA: Thomson Wadsworth

Kartikawangi, Dorien, (2009). Consumer


Community As Marketing Communication
Strategy and Implementation In Facing
Global Financial Crises: Indonesia
Case, The 4th International Conference
on Business and Management Research,
Management Department, Faculty of
Economic, The University of Indonesia,
Jakarta

Referensi Elektronik:
Tan, Kevin (2010) Why Social media are
absolutely crucial to business, INSEAD
Articles. Fountainebleau. http://proquest.
umi.com/pqdweb?index=127&sid=1&s
rchmode=1&vin..., diakses 13 Agustus
2010

Kartikawangi, Dorien dan Henriques Are Embu,


(2010), An Ethical Consideration Of Cyber
Marketing Public Relations Strategy And
Implementation, Indonesia International
Conference
in
Communications,
Communication Department, Faculty
of Social and Political Science, The
University of Indonesia, Jakarta

Human-Computer Interaction, (2003), Volume


18, pp. 149170, Copyright 2003,
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Boris, Cynthia (2010) Twitter is for People, Not
Corporations Says a New Study

Kartikawangi, Dorien dan Rahel Humilang


Tampubolon, (2011), Informasi, Persuasi
dan Kolaborasi Dalam Komunikasi
Melalui Komputer (Computer-Mediated
Communication): Kajian Pada Komunitas
Klastic, Seminar Nasional Remaja Digital,
FIKOM, Universitas Muhamadiyah,
Surakarta.

http://www.marketingpilgrim.com/2010/08/
twitter-is-for-people-not-corporationssays-a-new-study.html,
diakses
30
September 2010
Close, Angeline G. et.al. (2006) Engaging the
Consumer through Event Marketing:
Linking Attendees with the Sponsor,
Community, and Brand, Journal of
Advetising Reseach, vol 46, 4, 420,
New York. http://proquest.umi.com/
pqdwwb?index=37&sid=5&srchmode,
diakses 20 October 2008

Nugroho, Avianto dan Dorien Kartikawangi,


(2010), Marketing Public Relations in
Digital Era: Celebrity Endorsement
On Twitter, Indonesia International
Conference
in
Communications,
Communication Department, Faculty
of Social and Political Science, The
University of Indonesia, Jakarta.

Smith, Alan (2003), Community Relations: How


an Entire Industry Can Change Its Image
through Proactive Local Communication,
Journal of Communication Management,
vol 7, 3, 254-265, London. http://proquest.
umi.com/pqwdweb?index=1&sid=6&src
hmode=..., diakses 23 July 2008

Evaluasi Strategi dan Implementasi 360 Communications di Indonesia

31

ISSN 2252 - 4630

STRATEGI KOMUNIKASI PENGURUS KOMISI PENANGGULANGAN AIDS


(KPA) DALAM PENANGGULANGAN EPIDEMI HIV/AIDS
DI PROVINSI BANTEN
Neka Fitriyah1

1 Neka Fitriyah adalah dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta dan dapat dihubungi di neka_fitriyah@yahoo.
co.id

ABSTRACT
Indonesia has entered a phase of concentrate epidemic. The
tendency of the HIV epidemic thatdescribes the future changes in the
transmission of HIV is important considering the development of
HIV infection in Men Sex with Men (MSM). Banten Province is one
of the provinces that has already had local policy related to HIV AIDS.
The Province which consists of 8 District/Town has been recorded to
haveHIV AIDS epidemic in each District/Town, with varied number
of cases. HIV AIDS cases in Banten predicted infections would be
huge through sexual transmission, so it will increase the impact. This
require a variety of strategies to reduce the number of HIV AIDS
epidemics in Banten. KPA Banten Province has had many prevention
programs to reduce the rate of dispersion of this virus. One of the
important strategy but not yet designed is to create acommunication
model on preventing HIV AIDS. This strategy in the future should
be designed accordingto any communication patterns, define
appropriate media to disseminate understanding the dangers of HIV
AIDS. Through scientific research, it is expected that a joint reference
strategy is developed to prevent HIV AIDS in other regions.

Keywords:

Interact:
Vol.2, No.1, Hal. 32-43.
Mei, 2013
Prodi Ilmu Komunikasi,
Unika Atma Jaya Jakarta

Communication Strategy, HIV AIDS


communication, KPA Banten Province.

epidemic

Neka Fitriyah1

1 Neka Fitriyah adalah dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta dan dapat dihubungi di neka_fitriyah@yahoo.
co.id

32

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia dewasa ini telah memasuki fase
epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi. Populasi
Kunci epidemi tahun 2007 menunjukan preva
lensi HIV pada populasi kunci. Epidemi HIV/
AIDS terkonsentrasi yang dimaksud bahwa
penyebaran HIV/AIDS tersebar pada kelompok
Waria, Wanita Pekerja Sex, IDUs (Injection
Drug user) dan Wanita Pekerja Sex. Data yang
didapat menunjukkan: Wanita Pekerja Seks
(WPS) Langsung 10,4 %; WPS Tidak Langsung
4,6 %; Waria 24,4 %; Pelanggan WPS 0,8 %;
Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) 5,2 %; dan
Pengguna Napza Suntik 52,4%.
Fenomena dan angka-angka HIV/
AIDS menjadi isu penting, baik pada tataran
nasional maupun internasional. Program pe
nanggulangan epidemi HIV/AIDS di dunia
bahkan masuk dalam dokumen Millenium
Developments Goals (MDGs), tepatnya masuk
dalam capaian Goals ke enam dalam MDGs.
Lebih lanjut HIV/AIDS juga menjadi isu semua
pihak dan membutuhkan sinergi dari semua
unsur terkait.
Peran Pemerintah sangat penting
untuk dapat berperan aktif dalam program
penanggulangan HIV/AIDS.Peraturan Daerah
Propinsi Banten nomor06 tahun 2010 tentang
Penanggulangan HIV/AIDS merujuk pada
Instruksi Presiden No. 03/2010 tentang
Pembangunan Berkeadilan bahwa Kebijakan
Nasional dapat di dijadikan dasar dalam proses
penyusunan program dan penganggaran di
Daerah. Selain menjadi isu Nasional
Banten merupakan salah satu Propinsi
yang memiliki kebijakan lokal terkait Penang
gulangan HIV/AIDS. Peraturan daerah ini
dimaksudkan agar pelaksanaan program dapat
berjalan sesuai proses perencanaan program
dan penganggaran serta penanggulangan HIV/
AIDS di SKPD terkait. Beberapa data dari
Dinas Kesehatan Kota Serang menunjukkan
bahwa kasus HIV/AIDS di Banten diprediksi

penularannya akan banyak melalui jalur trans


misi seksual, sehingga pola penanggulangannya
lebih diprioritaskan pada pelaku-pelaku transmisi
seksual. Pendekatan yang dirancang berbentuk
pendampingan, pemberian alat kontrasepsi
dan mitigasi dalam bentuk pelatihan-pelatihan
yang sudah diprogramkan oleh pemerintah dan
KPA.
Mencermati hasil laporan Dinas Kesehatan
Propinsi Banten, kasus HIV/AIDS di Propinsi
Banten terus mengalami peningkatan. Laporan
terakhir tahun 2011, menggambarkan bahwa
kasus HIV terdiri dari 1653 kasus, sedangkan
AIDS 641 kasus dengan angka kematian
AIDS 122 Kasus. Kementerian Kesehatan RI
melakukan pendataan beberapa kasus HIV/
AIDS diantaranya: 4288 orang dengan HIV/
AIDS (ODHA); 3334WPS; 629 Waria; dan
14942 Laki Seks Laki (LSL).Fenomena
initentunya menjadi catatan penting dalam
merencanakan program penanggulanganHIV/
AIDS di Propinsi Banten.Kasus HIV di Propinsi
Banten P mulai ditemukan pada tahun 1998,
dan pada tahun 2002 ditemukan kasus AIDS.
Kasus terbanyak di Banten tersebar di wilayah
Tangerang, kemudian Serang dan Cilegon
dengan angka kematian sebanyak 142 kasus.
Dalam aktivitas penanggulangan HIV/
AIDS, strategi komunikasi menjadi salah
satu aspek penting KPA Propinsi Banten bagi
penentu keberhasilan program penangulangan
epidemi HIV/AIDS di Propinsi Banten.Strategi
komunikasi ini dimaksudkan agar komunikasi
yang dilakukan KPA efektif, tepat sasaran dan
memiliki dampak positif bagi penanggulangan
HIV/AIDS di Propinsi Banten.Menurut Tubbs
(dalam Rakhmat, 2007:13), komunikasi yang
efektif paling tidak menimbulkan lima hal yaitu
pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap,
hubungan yang makin baik dan tindakan.
Strategi komunikasi yang dilakukan oleh
KPA Propinsi Banten, selama ini dinilai belum
memberikan pengaruh pada pembentukan atau
perubahan paradigma di kalangan kelompok
sasaran mengenai bahaya HIV/AIDS. Strategi
komunikasi KPA Propinsi Banten ini sangat

Strategi komunikasi pengurus KPA Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam


Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Provinsi Banten
33

penting, karena terkait dengan salah satu


tugas KPA yang tertuang dalam Permendagri
No.20/2007 adalah menyebarluaskan informasi
mengenai upaya penanggulangan HIV/AIDS
kepada aparat dan masyarakat.

partisipasi dalam pemecahan persoalan epidemi


HIV/AIDS di Propinsi Banten.Salah satunya
adalah dengan melakukan kajian kritis dan
akademis mengenaistrategi komunikasi KPA
dalam penanggulangan HIV/AIDS. Adapun
urgensi penelitian ini adalah:

Beberapa permaslahan terkait penang


gulangan HIV/AIDS di Propinsi Banten salah
satunya KPA belum memiliki model atau
strategi komunikasi. Strategi komunikasi yang
dimaksud berupa komprehensivitas penyebaran
informasi tentang penanggulangan HIV/AIDS
sehingga informasi yang disampaikan akurat,
menyeluruh dan tepat sasaran. Lebih lanjut
strategi komunikasi ini bertujuan untuk merubah
paradigma dan stigma ODHA terhadap HIV/
AIDS. Stigma menurut kamus bahasa Indonesia
berarti ciri negatif yang menempel pada pribadi
seseorang karena pengaruh lingkungannya,
sedangkan diskriminasi merupakan sikap
membeda-bedakan dan penilaian yang tidak
sama terhadap realitas yang ada.

1. Kasus epidemi HIV/AIDS di Propinsi


Banten terus meningkat;
2. Belum ada sinergi yang memadai antara
pemerintah, masyarakat dan pemangku
kepentingan dalam pemecahanan masalah
epidemi HIV/AIDS di Propinsi Banten;
3. Model penanganan epidemi HIV AIDS
di Propinsi Banten masih bersifat parsial
dan belum ditemukan model atau strategi
komunikasi yang dijadikan rujukan
bersama dalam penanggulangannya.
3.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mengkaji Strategi Komunikasi
Pengurus KPA (Komisi Penanggulangan AIDS)
dalam Penanggulangan HIV AIDS di Propinsi
Banten dengan variabel pesan komunikasi dan
media komunikasi yang digunakan KPA.

Dari latar belakang masalah inilah


penelitian ini dilakukan untuk menggali
informasi dan data yang dibutuhkan dalam
merancang model strategi komunikasi dalam
penanggulangan HIV/AIDS.Mengacu pada
Strategi Komunikasi Penanggulangan HIV/
AIDS Nasional, strategi komunikasi yang
dirancang terdiri dari tiga komponen penting
yaitu advokasi, mobilisasi sosial, komunikasi
dan `perubahan perilaku. Fokus penelitian ini
lebihmenyoroti komunikasi perubahan perilaku
yang meliputi pendekatan-pendekatan terarah
untuk mengubah perilaku pihak-pihak yang
terkena dampak dan kelompok yang paling
rawan.

TINJAUAN PUSTAKA
1.2. Strategi Komunikasi
Strategi menjadi hal yang penting
manakala sebuah kegiatan atau program
akan dijalankan, strategi adalah pendekatan
secara keselurahan yang berkaitan dengan
pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan
eksekusi sebuah aktifitas dalam kurun waktu
tertentu. Komunikasi sendiri merupakan proses
penyampaian informasi yang memiliki tujuan
tertentu, dalam sebuah organisasi memiliki
kegiatan atau program yang telah tersusun
dalam sebuah kerangka rencana kerja.

Strategi komunikasi di KPA merupakan


suatu keharusan, karena jika komunikasi gagal
maka secara keseluruhan program pun akan
gagal (Strategi Komunikasi Penanggulangan
HIV /AIDS di Indonesia, 2008).
1.2. Urgensi Penelitian

Untuk menjalankan kegiatan organisasi


yang melibatkan banyak orang, maka strategi
komunikasi menjadi hal penting untuk
mencapai pemahaman bersama, sehingga tujuan

Berdasarkan latar belakang permasalahan


itulah penelitian ini dilakukan sebagai bentuk
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

34

Neka Fitriyah

akan mudah tercapai. Strategi komunikasi


menurutEffendy (2002:29) merupakan panduan
dari perencanaan komunikasi dan manajemen
untuk mencapai tujuan tersebut.Untuk mencapai
tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat
menunjukkan bagaimana operasionalnya secara
taktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa
pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktuwaktu tergantung situasi dan kondisi.
Chander (dalam Rangkuti, 2005)
mendefinisikan strategi merupakan alat untuk
mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya
dengan tujuan perusahaan dengan tujuan jangka
panjang, program tidak lanjut, serta prioritas
alokasi sumber daya. Sedangkan menurut
Kotler (2006:14) Perencanaan strategis adalah
proses manejerial untuk mengembangkan
dan mempertahankan kesesuaian yang layak
antara sasaran keahlian dan sumber daya sertas
peluang-peluang pasar yang selalu berubah.
Sementara menurut Arifin (1984:10),
Strategi adalah keseluruhan keputusan
kondisional tentang tindakan yang akan
dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi
merumuskan strategi komunikasi, berarti
memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan
waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin
dihadapi di masa depan, guna mencapai
efektivitas. Dengan strategi komunikasi ini,
berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai
komunikasi secara sadar untuk menciptakan
perubahan pada diri khalayak dengan mudah
dan cepat.
Selanjutnya strategi komunikasi baik
secara makro (planed multi media strategy)
ataupun secara mikro (single communication
medium strategy) memiliki fungsi ganda yaitu
menyebarluaskan pesan komunikasi yang
bersifat informatif, persuasif dan instruksi secara
sistematis kepada sasaran untuk memperoleh
hasil yang optimal.Diperlukan pendekatan
(approach) yang berbeda, tergantung kepada
situasi dan kondisi. Dalam penelitian ini, strategi
pertama akan lebih banyak digali terhadap
lembaga KPA Propinsi Banten.

Teori yang digunakan strategi komunikasi


yang digunakan adalah teori dari DeFleur
yaitu Individual Differences Theory.Teori ini
menjelaskanbahwa khalayak secara selektif
akan memperhatikan pesan komunikasi yang
diterimanya. Pesan dalam teori ini digambarkan
sebagai pemenuhan kebutuhan informasi yang
sesuai dengan kepentingannya, untuk kemudian
akan ada penyesuaian sikap, kepercayaan,
dan nilai-nilai yang dianut. Seseorang atau
kelompok sasaran yang rentanberisiko terjangkit
virus HIV/AIDS, secara tidak langsung akan
memperhatikan informasi danatau mencari
tahu tentang program-program penanggulangan
HIV/AIDS. Sebagai contoh kelompok sasaran
yang didata oleh KPA Propinsi Banten, akan
selalu aktif terlibat dan dilibatkan dalam
program pemberdayaan ODHA dalam kegiatan
ekonomi, pelatihan kewirausahaan ODHA,
jaminan kesehatan ODHA serta program lainnya.
Keikutsertaan ODHA dalam program tersebut
tidak semata agar program tersebut terlaksana,
lebih lanjut program tersebut diimplementasikan
sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS oleh
ODHA tersebut.Lain halnya barangkali dengan
orang yang tidak berisiko, pesan atau informasi
tersebut tidak terlalu menyentuh kebutuhan
pribadinya sehingga kurang responsif terhadap
pesan yang diterima.
Individual Differences Theory ber
sumber pada teori sosiologi umum mengenai
masyarakat, asumsinya meskipun masyarakat
modern sifatnya heterogen, orang yang
mempunyai sejumlah sifat dan karakter yang
bebedaakan memiliki pola hidup tradisional
yang berbeda. Perbedaan orientasi perilaku ini
akan mempunyai kaitan dengan gejala yang
diakibatkan, suatu kelompok dari khalayak akan
memilih isi pesan komunikasi yang berbeda
dan akan memberikan tanggapan yang berbeda
sama pula. Misalnya pada kelompok pengguna
narkotika suntik, jika pesan tidak berkaitan
dengan
program-program
pengurangan
dampak buruk terhadap penggunaan narkotika
maka akan diabaikan. Sama halnya terjadi
dengan kelompok berisiko lainnya, jika tidak
ada kaitannya dengan kelompok mereka maka
diabaikan.

Strategi komunikasi pengurus KPA Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam


Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Provinsi Banten
35

Jika dikaitan dengan konten penelitian


strategi komunikasi dalam penanggulangan
HIV/AIDS dimana orang yang memiliki
kesamaan baik secara latar belakang, kehidupan
sosial mereka akan tergabung dalam satu
kelompok. Anggota kelompok akan memilih
pesan komunikasi yang sama pula. Beberapa
fenomena yang dapat disandingkan dengan teori
ini adalah ketika program penanggulangan HIV/
AIDS dilaksnakan, sasarannya adalah kelompok
berisiko seperti kelompok waria, pekerja seks,
gay, pengguna narkotika suntik (penasun)
dan laki-laki berisiko tinggi (pelanggan seks).
Penyampaian pesan komunikasi terkait program
penanggulangan HIV/AIDS akan lebih spesifik
pada kelompok-kelompok tersebut, dengan
metoda dan cara yang tertuang dalam strategi
komunikasi KPA seperti advokasi, komunikasi,
mitigasi dan perubahan sosial.

Ditinjau dari cara penularannya,


kelompok yang berpotensi terinfeksi HIV/
AIDS adalah pekerja seks komersial dengan
pelanggannya, pramuria, pramupijat, kaum
homoseksual,
penyalahgunaan
narkoba
suntik dan penerima darah atau produk darah
yang berulang. Dampak yang timbul akibat
epidemi HIV/AIDS dalam masyarakat adalah
menurunnya kualitas dan produktivitas SDM
(usia produktif=84%); angka kematian tinggi
dikarenakan penularan virus HIV/ AIDS pada
bayi, anak dan orang tua. Cara penularan melalui
hubungan seksual tanpa pengaman, jaum suntik
yang digunakan bersama-sama, tusukan jarum
untuk tatto, transfusi darah dan hasil olahan
darah, transplantasi organ, infeksi ibu hamil
pada bayinya(sewaktu hamil, melahirkan
maupunmenyusui). HIV tidak ditularkan
melalui tempat duduk WC, sentuhan langsung
dengan ODHA HIV (bersalaman, berpelukan),
tidak juga melalui bersin, batuk, ludah ataupun
ciuman bibir (French kissing), maupun melalui
gigitan nyamuk atau kutu.

Pada akhirnya teori ini menggambarkan


secara lebih detail bagaimana perbedaan
individu ketika memilih informasi yang sesuai
dengan kebutuhan dalam hal ini kelompok
sasaran yang secara aktif memilih in formasi
yang sesuai kebutuhan. Lebih lanjut kelompok
sasaran ini dengan sendirinya akan membentuk
kelompok-kelompok yang khusus berbasis pada
kebutuhan, orientasi dan pemenuhan informasi
terkait HIV?AIDS.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan
untuk menjelaskan strategi komunikasi melalui
pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian
ini tidak mengutamakan besarnya populasi,
jika data yang terkumpul sudah mendalam dan
bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka
tidak perlu mencari sampling lainnya, dalam
hal ini ditekankan pada persoalan kedalamam
(kualitas) (Kriyantono, 2006:56-57).

2.2. Pengertian Epidemi HIV/AIDS


AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immunedeficiency Syndrome, merupakan
sekumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV.
Infeksi HIV disertai gejala infeksioportunistik
yang diakibatkan adanya penurunan kekebalan
tubuh akibat kerusakan sistem imun.
Sedangkan HIV adalah singkatan dari Human
Immunodeficiency Virus. Adanya infeksi
menular seksual (IMS) yang lain (misal GO,
klamidia), dapat meningkatkan risiko penularan
HIV (2-5%). HIV menginfeksi sel-sel darah
sistem imunitas tubuh sehingga semakin lama
daya tahan tubuh akanmenurun dan sering
berakibat kematian(Jeperson: 2013).

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

2.1. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah (1) Wawancara mendalam
(in-depth interview) dengan menggunakan
pedoman wawancara yang bertujuan agar
wawancara lebih mendalam dan fokus pada
persoalan strategi komunikasi KPA Propinsi
Banten;(2) Observasiuntuk melacak secara
sistematis dan langsung perilaku dan sikap
komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan
36

Neka Fitriyah

sosial, politik, dan budaya masyarakat (Pawito,


2007:111).
2.2. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang akan dilakukan
dalam memperoleh data dan informasi serta
melakukan analisis data dan informasi adalah
sebagai berikut (1) teknik analisis kualitatif
untuk memperoleh data yang diperlukan
sesuai dengan teknik pengumpulan data yang
telah ditetapkan;(2) Penyajian dan analisis
data. Penyajian dan analisis data ini dilakukan
dengan menguraikan masing-masing indikator
penelitian berdasarkan data dan informasi yang
diperoleh dilapangan.
2.3. Informan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memilih
menggunakan informan kunci (key informan).
Dengan menggunakan teknik snowball yang
berawal dari seorang informan ketika mengawali
pengumpulan data (Bungin, 2007), kemudian
kepada informan ini peneliti menanyakan siapa
lagi berikutnya atau siapa saja orang yang
selayaknya diwawancarai, kemudian peneliti
beralih menemui informan berikutnya sesuai
disarankan oleh informan pertama, dan begini
seterusnya hingga peneliti merasa yakin bahwa
data yang dibutuhkan sudah didapatkan secara
memadai. Dari hasil
Snowball diperoleh
lima informan yang memberikan data terkait
permasalahan penelitian. Informan tersebut
yakni ketua KPA Propinsi Banten, Dinas
Kesehatan Kabupaten dan Kota Serang,
Fasilitator HIV/AIDS dan ODHA.
PEMBAHASAN
3.2. Perencanaan Pesan Komunikasi
Merumuskan
pesan
merupakan
hal mendasar yang perlu ditetapkan oleh
KPA dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Dengan merumuskan pesan yang tepat dapat
memudahkan pesan samapai kepada sasaran
sehingga tercapai kesepahaman bersama.

Adapun pesan dari program penanggulangan


AIDS yang dilakukan oleh KPA Propinsi Banten
adalah pesan dalam bentuk sosialisasi baik
sosialisasi dalam bentuk penyuluhan ataupun
sosialisasi melalui media.Sasaran Pesan ini
adalah kelompok berisiko, yakni orang-orang
yang rawan tertular dan menularkan HIV/AIDS
karena lingkungannya. Alasan lain mengapa
kelompok ini menjadi sasaran utama selain
tentunya masyarakat umum, hal ini karena
mereka merupakan Bridging populations atau
populasi jembatan yang dapat menularkan virus
pada masyarakat umum. Ada lima kelompok
berisiko yang menjadi sasaran KPA dalam
penanggulangan HIV/AIDS di Propinsi Banten
yakni Pekerja Seks Pria dan Wanita, Waria,
Gay (LSL), pengguna narkotika suntik dan
pelanggan seks.
Epidemi HIV AIDS di PropinsiBanten
masih terkonsentrasi pada kelompok berisiko,
sehingga sasaran belum meluas pada masyarakat
umum. Penetapan prioritas dalam penetapan
sasaran akan bergantung pada kasus yang terjadi
dengan menganalisis trend penularannya,
namun seiring peningkatan kasus yang terjadi
dalam kurun waktu lima tahun, penularan ini
berimplikasi pada kelompok ibu dan anak.
Strategi komunikasi KPA dan komunikan
(kelompok berisiko), bertujuan agar terjadi
kesepahaman bersama terhadap persoalan yang
dihadapi yakni penanggulangan HIV/AIDS.
Bagi KPA penanggulangan lebih bersifat pada
program-program yang diperuntukkan dalam
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan
penasun.Tetapi bagi kelompok berisiko atau
ODHA, penanggulangan ditambahkan dengan
bagaimana ODHA dapat hidup diterima
ditengah-tengah masyarakat tanpa ada per
lakuan diskrimanatif. Untuk menciptakan
kesepahaman bersama, KPA memiliki analisis
tentang kerangka pengalaman dan kerangka
referensi ODHA.
KPA melakukan analisis terhadap ODHA
seperti tingkat pengetahuan, kemampuan
kelompok beresiko dalam menerima informasi
melalui sosialisasi atau media yang digunakan

Strategi komunikasi pengurus KPA Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam


Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Provinsi Banten
37

KPA. Hal lain yang dilakukan KPA adalah


pengaruh kelompok dan masyarakat serta nilainilai atau norma yang ada dan situasi dimana
kelompok beresikoberada.

Dinas pendidikan dalam upaya penang


gulangan HIV/AIDS sebenarnya dapat mem
berikan beasiswa pendidikan bagi ODHA,
workshop dan atau hal lain yang berdampak
ekonomi bagi ODHA. Dinas Sosial dapat
mengambil peran program rehabilitasi diri dan
rehabilitasi ekonomi ODHA melalui program
pemberdayaan dan atau program kapasitas
building bagi ODHA.

Penebaran informasi yang dilakukan oleh


KPA antara lain melalui sosialisasi, penyuluhan
penanggulangan HIV/AIDS, dan atau workshop
pengembangan kompetensi kelompok sasaran.
Sosialisasi dan penyuluhan penanggulangan
HIV/AIDS dimaksudkan KPA agar kelompok
sasaran dan kelompok beresiko mendapatkan
informasi yang memadai mengenai HIV/AIDS
cara penularannya, cara penanggulangan
dan bagaimana solusi yang bias dilakukan.
Sedangkan workshop pengembangan kompe
tensi bertujuan agar kelompok sasaran dan
kelompok beresiko mampu merehabilitasi
kosep diri dan kemampuan melihat peluang
hidup dan peluang kerja sehingga dapat yang
bersangkutan dapat hidup seperti masyarakat
yang ada disekelilingnya.

Dalam beberapa praktek, unsure-unsur


terkait yang ada melakukan kegiatan dan
programnya masih secara parsial belum ada
sinergi dan komprehensifitas yang optimal
dalam penyelenggaraan program. Hal ini
dapat terlihat bahwa masing-masing unsur
memiliki pola-pola berbeda dan program
tersendiri dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Menurut KPA Propinsi Banten sebenarnya
hal ini dapat membantu KPA dan ODHA jika
terdapat sinergi yang baik.Hasil wawancara
dengan ODHA, banyak sekali keluhan-keluhan
pelayanan kesehatan dan program lainnya yang
terkesan seremonial dan tidak berkelanjutan.
Contoh lain ketika program pelaksanaan
Workshop pencegahan HIV/AIDS tahun 2012
banyak peserta dan kelompok sasaran yang
belum memahami kegiatan yang dilaksanakan.
Indikasi ini terlihat karena respondan partisipasi
kelompok sasaran yang belum secara terbuka
mengemukakan permasalahan yang dihadapai.

Sosialisasi melalui media massa dan nir


massa mengenai penanggulangan HIV/AIDS
kerap dilakukan KPA, sebagai contoh: Program
Talkshow di radio-radio lokal, iklan layanan
masyarakat, penyebaran brosur, leaflet, baliho,
spanduk yang terkait dengan bahaya HIV/
AIDS, proses penularannya dan bagaimana
cara penanggulangannnya.
KPA Propinsi Banten dalam beberapa
program penanggulangan HIV/AIDS terlihat
menemui berbagai hambatan dan perma
salahan komunikasi. Bberapa dampak dapat
terlihat seperti belum terjalinnya sinergi yang
kuat antara berbagai pihak terkait dalam
pelaksanaan program, hal ini dapat terlihat
dari pola sosialisasi informasi yang dilakukan
baru sepihak (KPA) belum melibatkan Dinas
Pendidikan, Dinas Sosial, Kesra dll. Unsureunsur ini dala beberapa kegiatan baru sebatas
mengahdiri acara seremonial dan atau sebatas
membuat kegiatan kajian ilmiah, sementara
yang dibutuhkan oleh KPA dan ODHA adalah
bagaimana pihak-pihak terkait dapat terlibat
program penanggulangan HIV/AIDS secara
langsung.
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

ODHA dan isi pesan yang disampaikan


idealnya disesuaikan dengan kebutuhan yang
ada, sebagai wahana berkomunikasi antara
KPA dengan kelompok sasaran dan kelompok
berisiko.Dalam situasi informal, komunikasi
antarpribadi atau personal di antara pengurus
KPA Propinsi Banten dengan kelompok
berisiko tetap berlangsung, meskipun dalam
forum tidak semua berani untuk mengajukan
pertanyaan dan persoalan yang dihadapi.
Situasi ini menunjukkan telah terjadi bentuk
komunikasi antarpribadi secara informal dan
komunikasi kelompok dalam sebuah diskusi
di pertemuan formal dengan kelompok sasaran
dan kelompok berisiko.

38

Neka Fitriyah

3.2 Media yang digunakan KPA Propinsi


Banten
Media massa terbaru seperti internet
menjadi medium yang digunakan oleh KPA
terkait informasi penanggulan HIV/AIDS.
Selain email, situs sosial media seperti Face
Book, Blackberry Massenger, Twitter menjadi
wahana tersendiri dalam menyampaikan
informasi penanggulangan HIV/AIDS. Akunakun tersebut dimiliki KPA PropinsiBanten
sebagai alternatif penyebaran informasi dalam
penanggulangan HIV/AIDS. Informasi yang
disebarkan adalah penyebaran informasi lebih
terkait pencegahan dan penanggulangan HIV/
AIDS.Media ini secara luas memberikan tempat
kepada kelompok sasaran dan kelompok berisiko
untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas
dan pihak-pihak terkait.
Media nir massa seperti brosur, leaflet,
baliho, spanduk yang tersedia di KPA Propinsi
Banten mengacu pada media yang digunakan
oleh KPA pusat. Enam bulan sekali media
tersebut dikirim oleh KPA nasional.Meskipun
masih terdapat bahasa program yang formal dan
tidak mudah dipahami, KPA Propinsi Banten
berusaha menjelaskan kembali saat kelompok
ini menerima media Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE).
Secara garis besar media komunikasi yang
digunakan KPA Propinsi Banten cukup beragam,
disesuaikan dengan kebutuhan kelompok.
Dampak dari tersedianya media informasi
ini adalah kemudahan kelompok sasaran
dan kelompok berisiko untuk mendapatkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang HIV/
AIDS secara utuh.
Memahami kerangka pengalaman dari
kelompoksasaran merupakan langkah strategis
yang telah dilakukan KPA Propinsi Banten
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS. Strategi ini memudahkan KPA
Propinsi Banten dalam menentukan langkah
lainnya. Media konvensional, elektronik dan
media konvergen digunakan sebagai salah
satu strategi dalam penanggulangan HIV/

AIDS. Dengan kemampuan dan jangkauan


yang dimiliki, media yang digunakan dapat
mempermudah penyampaian pesan sosialisasi
informasi terkait penanggulangan HIV/AIDS.
Media elektronik seperti radio dimanfaatkan
dalam penyampaian iklan layanan masyarakat
dan Talk Show, wawancara.Televisi lokal
digunakan untuk meliput kemajuan yang
sudah dilakukan KPA Propinsi Banten dalam
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
3.3 Model Strategi Komunikasi KPA
Banyak model komunikasi yang
dapat dijadikan sebagai strategi penyebaran
informasi di KPA Propinsi Banten, namun
tidak semua model komunikasi bisa berhasil
secara efektif dan digunakan dalam penyebaran
informasi kepada kelompok berisiko dan
kelompok sasaran. Menurut Susanto (1973)
untuk mencapai tingkat keberhasilan program
sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat yang
tinggi, diperlukan adanya strategikomunikasi
yang tepat. Hanya dengan komunikasi yang
tepatlah proses sosialisasi program-program
pembangunan bisa berhasil dengan baik.
Beberapa ahli komunikasi massa
mensinyalir bahwa meskipun pelaksanaan
program pembangunan dan pemeberdayaan
(HIV/AIDS) telah dirancang dan dipersiapkan
secara baik, tidak menjamin akan bisa
dilaksanakan dan berhasil dengan baik apabila
tidak di dukung oleh metode komunikasi yang
efektif. Dalam hal ini menurut Dahlan (1977),
sosialisasi program program HIV/AIDS pada
masyarakat pada waktu itu dilakukan dengan
menggunakan model komunikasi linier.
Ketika itu pihak pemerintah sebagai Agent of
Change dalam melakukan sosialisasi program
pembangunan lebih banyak bersifat instruktif,
berjalan searah dan disampaikan secara
singkat.
Rogers (1985), model komunikasi
seperti itu kurang tepat bagi masyarakat, sebab
komunikasi linier yang cenderung bersifat
instruktif itu biasanya disampaikan melalui
saluran formal. Sementara itu kelompom

Strategi komunikasi pengurus KPA Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam


Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Provinsi Banten
39

beresiko dan kelompok sasaran KPA Propinsi


Banten yang secara sosiologis, masihtergolong
sebagai primary society iturelatif kurang bahkan
tidak menyukai hal-hal yang bersifat formal,
sehingga proses komunikasi model liniertidak
berjalan secara efektif.

Gonzales; 1977), karena model komunikasi


interaktif memiliki kelebihan dibandingkan
dengan model komunikasi linier. Jika model
ini diterapkan dalam strategi penanggulangan
HIV/AIDS dapat dilihat kelebihan model
komunikasi ini, salah satunya adalah terletak
pada prosesnya yang berjalan secara menyebar
kesegala arah sehinggaarus informasi tidak
berjalan satu arahyang dianggap sebagai
instruksi, melainkan berjalan secara timbalbalik dari dan kesegala arah.

Berbeda dengan model komunikasi linier,


komunikasi interaktif dalam menyampaikan
informasi penanggulangan HIV/AIDS.Infor
masi tidak disampaikan melalui saluran formal,
melainkan menggunakan saluran informal yang
dibentuk secara swadaya dan swakelola oleh
masyarakat, kelompok berisiko dan ODHA.

Model strategi komunikasi yang ada di


KPA Propinsi Banten dalam praktik merupakan
sebuah lingkaran yang saling berpengaruh satu
sama lainnya. Sirkulasi komunikasi yang ada
diwarnai oleh peran-peran lembaga yang ada
disekelilingnya, seperti pemerintah daerah yang
memiliki kebijakan dan tujuan tertentu yang
harus sinkron dengan kebijakn KPA. Secara
internal tentu kebijakan ini akan mempengaruhi
pola komunikasi yang ada. Pola komunikasi
instruktif biasanya dilakukan oleh pemerintah
daerah ketika mensosialisakan program yang
harus dilaksanakan oleh KPA.Penggambaran
strategi komunikasi di KPA Propinsi Banten
syarat dengan berbagai problematika yang
mempengaruhinya. Seperti kondisi lingkungan,
anggaran, kelompok sasaran dan political will
pemerintah daerah. Secara singkat gambaran
tentang strategi komunikasi KPA dapat
diabstraksikan melalui gambar dibawah ini:

Berdasarkan hasil penelitian yang telah


dilakukan oleh Hilbrink dan Lohman(1983)
menunjukkan bahwa model komunikasi
interaktif ternyata hasilnya lebih efektif
untuk digunakan sebagai salah satu strategi
dalam mensosialisasikan program-program.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Ratih, dkk., 1999) menunjukkan
bahwa komunikasi interaktif ternyata ber
hasil secara efektif dalam hal memberikan
pemahaman tentang pentingnya pembangunan,
dan mampu menumbuhkan partisipasi positif
bagi masyarakat dalam pembangunan.
Keberhasilan komunikasi interaktif se
bagai sarana sosialisasi program pembangunan
masyarakat ini menurut Rogers (dalam

Pemetaan Strategi Komunikasi dalam Penanggulangan


HIV AIDS
Program
penanggulangan HIV
AIDS

KPA Provinsi
BAnten

Alokasi anggaran
pemerintah dapat
berkuarang

Penurunan angka
ODHA

Strategi komunikasi
penanggulangan HIV
AIDS

Kelompok Beresiko
dan ODHA

Perlakuan diskrimanatif
Aspek moralitas
Kondisi psikologis

Redundancy
informatif,
persuasif, edukatif

Komunikasi
Persuassif
Interaktif
Informal
Kesetaraan

Media komunikasi
Konvensional
(leaflet, baliho,
spanduk,
marchendise dll)
Elektronik (radio,
televisi)
Konvergen cyber
media, facebook,
twitter dll)

Perlakuan yang layak


thdp ODHA

Gambar 1
Strategi komunikasi KPA Propinsi Banten dalam penanggulangan HIV/AIDS
Sumber: Modifikasi hasil penelitian dan teori
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

40

Neka Fitriyah

Lebih lanjut program penanggulangan


HIV/AIDS di KPA Propinsi Banten, juga
menggunakan pola komunikasi yang bersifat
persuasive. Pola komunikasi persuasive dimak
sudkan agar secara perlahan dapat mengubah
pandangan, sikap bahkan perilaku ODHA terkait
HIV/AIDS.Untuk kebutuhan tersebut maka
KPA mendesain pesan dan strategi tersendiri
berbasis pada kebutuhan dan kearifan lokal.
Dalam merumuskan metode penyampaian
pesan pada kelompok sasaran dengan strategi
komunikasi persuasif dan disesuaikan dengan
kondisi kelompok sasaran, pemahaman
kelompok sasaran dan kelompok berisiko
menjadi bertambah. Selama menerapkan
strategi komunikasi persuasif diterapkanKPA
Propinsi Banten, ODHA menilai sebagai
kelompok yang tidak dimarginalkan, tetapi
kelompok yang perlu diberikan pendampingan
dan pengetahuan serta dukungan dari berbagai
pihak.ODHA di Propinsi Banten sebenarnya
tidak hanya menerima pesan dariKPA saja,
bahkan dalam waktu yang bersamaan ODHA
dapat menerima beberapa pesan dari fasilitator
yang berbeda dan berdampak positif bagi
pengayaan informasi kelompok sasaran.
Dengan didukung oleh metode penyajian,
media dan kekuatan kepribadian fasilitator,
kelompok sasaran menjadi lebih mudah
terpersuasi dan menerima penjelasan mengenai
informasi pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS.Metode
penyampaian
pesan
terfokus pada efektifitas pesan yang telah dikaji
oleh KPA.KPA Propinsi Banten menginginkan
suatu perubahan cara pandang dari kelompok
sasaran dan kelompok berisiko, mengenai pola
penanggulangan HIV/AIDS.
Dilihat dari cara strategi komunikasinya,
terdapat dua hal yang dilakukan KPA Propinsi
Banten (1) repetition yaitu mengulang-ulang
pesan pada sasaran yang sama dan (2) canalizing
yaitu teknik memahami kerangka referensi dan
lapangan pengalaman dari sasaran kemudian
menyusun pesan yang akan disampaikan.
Repetation merupakan cara mempengaruhi ke
lompoksasaran dan kelompok berisikodengan
jalan mengulang-ulang pesan. Pengulangan

pesan
bisa
direpresentasikan
dengan
berkomunikasi secara terus menerus dalam
proses pendampingan dan penanggulangan
HIV/AIDS. KPA Propinsi Banten menyadari
bahwa penyampaian informasi tidak cukup satu
kali, terlebih jika mengharapkan perubahan
pandangan dan perilaku ODHA.Dalam
sosialisasinya KPA PropinsiBanten menerapkan
tiga kriteria pesan berdasarkan bentuk isinya
yaitu informatif, persuasif, edukatif. Hanya
sedikit yang menggunakan canalizing
Strategi komunikasi dalam penang
gulangan HIV/AIDS Propinsi Banten dirancang
dengan pendekatan pola komunikasi persuasif
edukatif, dan kesetaraan.Pola ini dirancang agar
informasi dan sosialisasi bahaya HIV AIDS
terhadap ODHA dan kelompok berisiko dapat
dicerna dengan baik.Pendekatan kesetaraan
yang dilakukan KPA membuat ODHA dan
kelompok berisiko menjadi lebih nyaman dalam
mengutarakan persoalan yang terjadi.Capaian
dari pola ini adalah perlakuan yang layak dan
atau manusiawi dari semua pihak terhadap
ODHA.
Program penanggulangan HIV/AIDS
yang ada di KPA seperti sosialisasi bahaya HIV/
AIDS kepada masyarakat, program pembagian
obat gratis kepada ODHA dan alat pengaman
ditujukan agar angka ODHA dapat menurun dan
kelompok berisiko dapat melakukan pencegahan
lebih dini. Capaian terakhir dari komunikasi
informatifKPA ini adalah menurunnya jumlah
ODHA sehingga anggaran pemerintah untuk
penanggulangan HIV/AIDS dapat ditekan dan
sikap positif masyarakat terhadap ODHA.
ODHA, kelompok berisiko dan KPA
yang terlibat dalam proses komunikasi saling
mempengaruhi, memberi dan menerima
informasi secara seimbang guna membentuk
kesamaan pengertian mengenai bahaya HIV/
AIDS dan cara penanggulangannnya. Kelebihan
lain dari model komunikasi interaktif yang
dilakukan KPA iniadalah adanya kesamaan
posisi antarapihak komunikan (KPA) dengan
komunikator (kelompok sasaran, kelompok
berisiko), sehingga proses komunikasinya di

Strategi komunikasi pengurus KPA Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam


Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Provinsi Banten
41

anggap sebagai sharing dan bersifat partisi


patif.

strategi komunikasi KPA Propinsi Banten


dalam penanggulnagan dan pencegahan HIV/
AIDS. Hasil penelitian menunjukan bahwa
dalam merumuskan dan merencanakaan pesan
komunikasi KPA Propinsi Banten melakukan
kajian analisis khalayak sasaran terlebih
dahulu, kemudian melakukan diskusi kelompok
informal dengan kelompok sasaran dan proses
penyebaran informasi mengenai pencegahan
dan penanggulan HIV yang digunakan adalah
media massa dan nirmassa. Media massa
dikelola secara mandiri oleh KPA yakni dengan
memanfaatkan radio dan televisi lokal dalam
sosialisasinya. Sedangkan media nirmassa
KPA Propinsi Banten tinggal menerima dari
KPA pusat kemudian mensosialisasikan dan
menjeleskannya. Sosial media seperti Facebook,
Blackberry Massenger, Twitter digunakan oleh
KPA Propinsi Banten agar kelompok sasaran
dan kelompok beresiko dapat berinterasi dan
berkomunikasi secara terbuka dan langsung
dengan masyarakat luas.

3.3. Rangkuman
Menyikapi kondisi faktual tentang
epidemi HIV/AIDS pemerintah daerah khusus
nya pemerintah Provinsi Banten telah meng
antisipasinya melalui program-program pen
cegahan epidemic HIV/AIDS.Salah satunya
adalah melalui sosialisasi bahaya HIV/AIDS
baik pada kalompok sasaran dan kelompom
berisiko.Diperlukan suatu model strategi
komunikasi pemerintah Propinsi daerah dan
KPA Propinsi Banten dalam pencegahan dan
penanggulngan HIV/AIDS.
Pengetahuan dan pemahaman tentang
pola pencegahan dan penanggulangan HIV/
AIDS menjadi penting bagi kelompok sasaran
dan kelompok berisiko sehingga sasaran bisa
memiliki pemahaman yang memadai dan
informasi yang lengkap tentang apa itu HIV/
AIDS, bagaimana cara penularannya dan
bagaimana cara pencegahannya.

4.

4.1. Simpulan

Dengan strategi komunikasi yang


diterapkan KPA Propinsi Banten yakni
komunikasi persuasif, informatif dan komuni
kasi sirkuler partisipatif menjadikan kelompok
sasaran dan kelompok berisiko memiliki
pemahaman yang memadai tentang pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS. Dengan
asumsi bahwa ketika informasi tentang HIV/
AIDS disampaikan secara komprehensif
mampu memberikan pemahaman dan penge
tahuan yang memadai tentang HIV/AIDS,
setidaknya kelompok sasaran dan kelompok
berisiko dapat menghindari hal-hal yang dapat
menjerumuskan mereka pada HIV/AIDS.Lebih
lanjut pengetahuan dan pemahaman kelompok
sasaran dan kelompok berisiko tenatang HIV/
AIDS bisa dilihat dengan pengetahuan dan sikap
serta perilaku yang berubah dalam mengahadapi
bahaya HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah


dilakukan melalui wawancara, observasi dan
diskusi dengan key informan mengenai strategi
komunikasi KPA dalam penanggulan HIV/AIDS
beberapa hal dapat disimpulkan diantaranya:
a. Strategi komunikasi yang dilakukan
dalam pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS bagi kelompok berisikoperlu
dikemas berbeda dan spesifik.
b. Pola komunikasi yang digunakan adalah
komunikasi antarpribadi dan kelompok,
bersifat persuasif, interaktif dengan
pendekatan edukatif.
c. Saluran atau media yang akan digunakan
dalam penyampaian pesan yang dilakukan
KPA Propinsi Banten menggunakan media
konvensional(baliho, leaflet, spanduk,
merchandise dll), elektronik(iklan radio,
televisi lokal dan talk show) dan konvergen
(on line, Twitter dan facebook).

Penelitian ini menggunakan metode


kualitatif deskriptif dengan lima informan
dan bertujuan untuk mencari dan menemukan
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

KESIMPULAN

42

Neka Fitriyah

Ketiga bentuk ini digunakan dalam


penyebaran informasi yang diperuntukkan
bagi penanggulangan epidemic HIV/AIDS
di Propinsi Banten. Penggunaan media ini
disesuaikan dengan kebutuhan dan sasaran
kelompok.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi.


Jakarta: Kencana

4.2. Rekomendasi

_______. 2009. Ilmu, Teori dan Praktik


Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya

a. KPA Propinsi Banten perlu merancang


secara komprehensif mengenai model
strategi komunikasi dalam penanggula
ngan HIV/AIDS untuk dapat mengemas
strategi pesan, prioritas media yang
sesuai, pemilihan figur (komunikator),
dan pelibatan khalayak sasaran.
b. Perumusan pesan disesuaikan dengan
sasaran dan kondisi ODHA serta kelompok
berisiko, dengan media konvensional yang
bervariatif. Pengelolaan sosial media perlu
ditingkatkan sebagai sarana informasi
dari program yang berjalan atau membuat
website resmi, sehingga informasi ini
dapat diakses oleh siapapun.
c. Sudah saatnya KPA Propinsi Banten
mengubah paradigma HIV/AIDS, men
jadi informasi yang edukatif dalam
meningkatkan program pencegahan
melalui kerjasama dengan media massa
lokal, sekolah, perguruan tinggi, LSM
dan masyarakat secara luas.
d. Diperlukan pelatihan terkait daya
tarik komunikator dalam membangun
kredibelitas, karena hal ini berdampak
pada kepercayaan terhadap informasi
yang disampaikan.

Effendy, Onong Uchjana. 2002.


Dinamika Komunikasi.Bandung: Remaja
Rosdakarya

Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi: Teori


dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Hang Kueng, 1994, Mencari Alternatif Model
Komunikasi
Dalam
Pembangunan
Pedesaan. Yogyakarta
Jeperson, Hendra, HIV AIDS, Penyakit yang
Belum Teratasi Namun Bisa Dicegah,
October 29, www.dehebra.com
Kotler, Philip. 2006. Manajemen Pemasaran.
Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis
Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif.
Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
Rogers, Everett, 1975, Network Analysis of
The Diffusion of Innovation, Institute
for Communication Research. Stanford
University.

DAFTAR PUSTAKA

Susanto, Astrid, S, 1977, Komunikasi


Kontemporer. Bandung: Binacipta

Arifin, Anwar. 1994. Strategi Komunikasi,


Sebuah Pengantar Ringkas. Bandung:
Armico

Worsley, Peter et. Al, 1992,


Pengantar Sosiologi sebuah
Pembanding. Yogyakarta: TiaraWacana

Strategi komunikasi pengurus KPA Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam


Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Provinsi Banten
43

ISSN 2252 - 4630

KOMUNIKASI BIROKRASI APARATUR PEMERINTAH DALAM


IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG KETERBUKAAN INFORMASI
PUBLIK (STUDI KASUS PADA DINAS KOMUNIKASI DAN
INFORMATIKA PROVINSI JAWA BARAT)
Aat Ruchiat Nugraha dan Trie Damayanti1
ABSTRACT
Communication is an essential part of the process
of information services for the public, especially the
communication activities in the support of development
policies implemented by the government. In relation with
the development process undertaken by the government,
public disclosure is often the demand of the public that
information about development should be transparent,
credible and accountable. Therefore the apparatus as
part of a government bureaucracy certainly have the
duty and function to serve the interests of their people
through the bureaucratic form of communication. Results
of the research revealed that the communication function
through professional bureaucracy can convey the pattern
of effective public information services and tailored to
the needs of all stakeholders in the field of bureaucratic
reform towards an open, honest, reliable and trustworthy.

Key Words: Bureaucracy, Communication



Bureaucracy and Public Information

Interact:
Vol.2, No.1, Hal. 44-55.
Mei, 2013
Prodi Ilmu Komunikasi,
Unika Atma Jaya Jakarta

Penulis adalah dosen pada Departemen Ilmu Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Padjadjaran dan dapat dihubungi di aatruchiat.nugraha@gmail.com dan triedamayanti@yahoo.com

44

A. Pendahuluan

yang berjenjang, menjadikan informasi tidak


mudah untuk disampaikan kepada masyarakat.

Agenda reformasi birokrasi yang menjadi


salah satu tuntutan sejak perubahan politik,
masih mengalami berbagai kendala dan
belum menampakkan hasil maksimal sesuai
harapan masyarakat seperti yang terdapat
dalam persoalan pelayanan kepada publik yang
masih tersendat dan berbelitbelit mewarnai
kehidupan birokrasi pemerintahan. Terbukanya
akses informasi melalui berbagai media, yakni
media massa dan media on line (jejaring sosial)
bagi masyarakat, telah menjadi kekuatan
dan potensi baru dalam upaya kehidupan
demokratisasi. Keterbukaan Informasi Publik
yang dipandang sebagai bagian dari hak asasi
manusia menjadi ciri penting dari sebuah
negara demokratis, termasuk Indonesia. Kinerja
pemerintah yang rendah di mata publik tak lepas
dari kurangnya keterlibatan publik untuk ikut
mengontrol kinerja pemerintah secara terbuka
dan konsisten. Maka, dalam melaksanakan
tugas, fungsi dan pokok sebagai pelayan publik
ke depan lembaga pemerintahan harus lebih
terbuka dan berani mempublikasikan kinerja
yang telah, sedang dan akan dilakukannya.

Keberadaan Keterbukaan Informasi bagi


publik bukan hanya diatur dalam Undangundang saja, tapi dicantumkan dalam UndangUndang Dasar 1945 yang selanjutnya diatur
khusus oleh Undang-undang No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP) yang salah satu pasalnya menyebutkan
jika setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi, yang dimana hal
ini merupakan bagian dari hak asasi manusia
dalam memperoleh informasi dan sekaligus
dijamin oleh konstitusi suatu Negara. Adapun
kontribusi aparatur pemerintah dan masyarakat
di daerah diharapkan lebih terbuka dalam
menyampaikan maupun mengakses informasi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam implementasinya Undangundang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP
tidak hanya mengatur Keterbukaan Informasi
pada lembaga negara saja, tetapi juga pada
organisasi non pemerintah yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari dana publik,
baik APBN/APBD, sumbangan masyarakat
maupun sumbangan luar negeri.

Sejalan dengan menguatnya otonomi


daerah, peran masyarakat semakin nyata
dalam mendukung jalannya pemerintahan di
daerah. Informasi publik yang semula menjadi
kekuasaan pemerintah, karena dikelola secara
ketat oleh manajemen komunikasi pemegang
kekuasaan, semakin pudar sejalan dengan
eksistensi transparansi dan demokratisasi di
semua bidang kehidupan. Tidak semua elite
dalam pemerintahan dapat menerima demokrasi
dan kebebasan informasi. Terkait dengan hal
tersebut, pada hakikatnya keterbukaan informasi
dari badanbadan publik sub-ordinat pemerintah
merupakan faktor pendukung tercapainya
masyarakat informasi yang didukung oleh
pemerintahan yang peduli pada peningkatan
pelayanan kepada publik. Tetapi secara faktual,
ternyata transparansi tidak mudah dijalankan
oleh lembaga pemerintah, selain karena selama
ini institusi pemerintah memperoleh beragam
perlindungan, untuk tidak membuka inforamsi
kepada masyarakat, juga karakteristik birokrasi

Ditetapkannya UU KIP menunjukkan


bahwa kini setiap informasi menjadi komoditas
yang harus dapat diperoleh dengan cepat,
tepat waktu, biaya ringan dan dengan cara
sederhana di setiap lembaga pemerintahan
tanpa berbelit-belit dalam rangka untuk
mewujudkan penyelenggaraan negara yang
transparan, efektif dan akuntabel serta dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
publik
secara luas. Bertolak dari hal tersebut maka
tidak ada kata lain bagi penyelenggara
pemerintahan kecuali memberikan kemudahan,
keterjangkauan baik biaya maupun akses
serta ketersediaan informasi yang dibutuhkan
publik. Dengan dimikian, sebuah badan publik
harus dapat mewujudkan pelayanan cepat,
tepat, dan sederhana, selambat-lambatnya 10
hari kerja sejak diterimanya permohonan. Hal
ini sebagai bukti pengakuan hak bagi setiap
warga negara untuk memperoleh informasi
secara transparan, cepat, mudah, tepat waktu

Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

45

dan murah yang memungkinkan warga


mengakses dan mendapatkan informasi publik
yang berasal dari badan publik tersebut secara
optimal. Adapun badan publik yang dengan
sengaja tidak menyediakan, memberikan, dan
menerbitkan informasi publik dapat dikenai
hukuman pidana kurungan maksimal satu tahun
atau denda paling banyak Rp. 5 juta. Selain itu
juga, lembaga publik harus mampu membuat
dan mengembangkan sistem penyediaan
layanan informasi secara cepat, mudah, wajar
sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan
yang berlaku secara nasional.

komunikasi namun tidak semuanya memahami


bagaimana berkomunikasi secara efektif
khususnya dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya dalam melakukan
fungsi-fungsi
utama
pemerintahan
yang mencakup pemberian pelayanan,
pemberdayaan, dan bersama-sama masyarakat
mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya
tanpa merugikan pihak lain secara illegal.
Bertolak dari hal tersebut di atas dalam
implementasi Keterbukaan Informasi Publik,
fungsi koordinasi, perencanaan strategis, pe
laksanaan, pengawasan serta evaluasi aparatur
di lingkungan pemerintahan Jawa Barat serta
stakeholdersnya, menjadi sangat penting untuk
dicermati dan dipahami bersama guna menuju
profesionalisme bagi para pengambil kebijakan
dan unit pelaksana (aparatur) di seluruh jajaran
lembaga pemerintahan dalam mendorong
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk menjadi lebih demokratis.
Berdasarakan konteks penelitian diatas maka
penulis merumuskan permasalahan Bagaimana
Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah
dalam
Implementasi
Undang-undang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pada
Organisasi Perangkat Daerah di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat?

Dalam implementasi UU KIPdi lingkungan


pemerintah Provinsi Jawa Barat, sudah memulai
dengan pengintegrasian informasi melalui
alamat situs web www.jabarprov.go.id yang
menginformasikan berbagai kegiatan, program,
pelayanan dari setiap badan/lembaga/dinas
pemerintahan provinsi Jawa Barat. Lembaga/
dinas/badan otonom yang berada di lingkungan
provinsi Jawa Barat yang secara struktural
langsung berkoordinasi dan bertanggungjawab
ke Sekretariat Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo)
sebagai bagian dari aset pemerintahan provinsi
Jawa Barat, memiliki ciri khas dan keunikan
dalam melayani informasi publik beserta gaya
komunikasi birokrasi para aparaturnya.

B.

Berdasarkan data informasi yang didapat


di lapangan, Diskominfo dalam melaksanakan
pelayanan informasi publiknya ditujukan
untuk publik internal dan eksternal dengan
implementasi
komunikasi
birokrasinya
berdasarkan persoalan teknis dan kebijakan
yang dikeluarkan oleh Sekretariat Pemerintah
Daerah (Setda) yang berkoordinasi dengan
bagian Hubungan Masyarakat dan Protokoler
Setda Provinsi Jawa Barat. Dengan platform
sebagai dinas pemerintahan, maka Diskominfo
dapat mengeluarkan regulasi mengenai
teknologi informasi dalam kepentingan Provinsi
Jawa Barat, terutama dalam upaya pencapaian
sebagai Jabar Cyber Province Tahun 2012.

Metode penelitian yang digunakan


penulis dalam penelitian mengenai Komunikasi
Birokrasi
Aparatur
Pemerintah
dalam
Implementasi UU Keterbukaan Informasi
Publik pada Organisasi Perangkat Daerah di
lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat
adalah pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus. Mulyana (2002: 201) menyatakan
bahwa studi kasus merupakan uraian dan
penjelasan komprehensif mengenai berbagai
aspek seorang individu, suatu kelompok, atau
organisasi (komunitas), suatu program, atau
suatu situasi sosial. Penelitian studi kasus
berupaya menelaah sebanyak mungkin data
mengenai subjek yang diteliti. Dalam hal ini,
data tersebut dimungkinkan didapatkan melalui
wawancara mendalam, pengamatan, penelaahan

Menurut Hasan (2005:114-117), hampir


semua aparatur pemerintahan paham tentang
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Metode Penelitian

46

Aat Ruchiat Nugraha, Trie Damayanti

dokumen hasil survey, dan data apa pun untuk


menguraikan suatu kasus secara terperinci.

secara otonom, kecuali dalam bidang pertahanan


dan keamanan, moneter, agama, kehakiman,
hubungan luar negeri, dan lintas kabupaten/kota.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat membuat
pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan dan dinamika
lokal. Oleh karena itu, muncul pula harapan
bahwa penyelenggaraan pelayanan publik lebih
berkualitas bila pelaksanaan otonomi daerah
juga dapat menjadi semakin baik, yaitu salah
satunya melalui pelayanan informasi publik
yang semakin baik dan berkualitas dalam
rangka mendukung pembangunan yang efektif,
efisien, transparansi dan akuntabel. Dengan
diterapkannya UU Keterbukaan Informasi
Publik (KIP), maka semua lembaga pelayanan
publik diajak untuk semakin transparan. Selain
itu, setiap lembaga pelayanan publik harus
memberikan informasi dengan pengecualian
hal-hal yang menyangkut keamanan negara, hak
pribadi, dan hal-hal yang diatur oleh undangundang agar bersifat transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas publik.

Menurut Yin (2002), studi kasus dapat


dibagi ke dalam single-case dan multiple-case.
Single-case digunakan jika kasus yang diteliti
itu merupakan kasus yang ekstrim atau unik,
memenuhi semua kondisi untuk menguji teoriteori yang ada, memiliki kesempatan untuk
mengobservasi dan menganalisa fenomena
yang sebelumnya tidak diselediki secara ilmiah,
sedangkan
multiple-case
memungkinkan
dilakukannya perbandingan diantara beberapa
kasus (Yin, 2002: 46-48).
C.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1.

Strategi
Komunikasi
Birokrasi
Aparatur Pemerintah dalam Imple
mentasi UU Keterbukaan Informasi
Publik (KIP) pada Dinas Komunikasi
dan Informatika Provinsi Jawa Barat

Minusnya persepsi pada kinerja lembaga


pemerintahan di mata publik, tak lepas dari tak
dilibatkannya publik untuk ikut mengontrol
kinerja pemerintahan. Maka, ke depan seiring
dengan diberlakukannya UU KIP maka pihak
lembaga pemerintahan harus berani mem
publikasikan kinerja para aparaturnya untuk
diketahui oleh publik. Sekarang ini, tuntutan
masyarakat pada era desentralisasi terhadap
pelayanan publik yang berkualitas semakin
menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah
sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam
mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat
sehingga diharapkan aparatur pemerintahan
mampu menyediakan pelayanan publik yang
dapat memuaskan masyarakat sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.

Dalam menyikapi fenomena ber


kembangnya kebutuhan informasi, telah
disadari, dipahami bahkan disiasati oleh
sebagian besar masyarakat. Termasuk oleh
jajaran pemerintah di setiap kota/kabupaten,
maupun oleh pemerintah Provinsi serta
Pemerintah Pusat. Sebagai tindak lanjut akan
pemenuhan kebutuhan informasi, Diskominfo
Provinsi Jawa Barat melakukan kegiatan
komunikasi birokrasi dalam upaya memenuhi
tuntutan sebagai penyedia informasi yang handal
dan terpercaya, yaitu melalui pengakselerasian
pola komunikasi dan informasi yang terjadi di
antara satuan perangkat kerja di lingkungan
provinsi Jawa Barat dalam mendukung
pelayanan informasi yang terpadu, handal dan
kredibel. Sebagaimana hal tersebut diperkuat
oleh pernyataan staf pegawai Diskominfo yang
mengatakan bahwa:

Dalam konteks desentralisasi, pelayanan


publik dapat lebih responsif apabila otonomi
daerah juga dapat mendorong adanya
desentralisasi fungsional. Melalui kebijakan
pelaksanaan otonomi daerah sejak Januari
2001, pemerintah pusat telah mengalihkan
kewenangannya kepada kabupaten dan kota
untuk mengelola kegiatan pemerintahannya

Komunikasi Birokrasi di Diskominfo


Jawa Barat dalam hal implementasi
UU KIP yaitu menghubungkan atau
sebagai jembatan informasi dan
komunikasi diantara pejabat di Gedung

Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

47

website tersebut didalam satu portal yang


tentunya dalam implementasinya memerlukan
dukungan dari semua perangkat Muspida
Daerah agar secara kualitas informasi yang
disajikan dapat memberikan tingkat kepuasan
yang cukup signifikan bagi masyarakat.

Sate (Kantor Pusat Pemerintah


Provinsi
Jawa
Barat)
dengan
organisasi-organisasi
perangkat
daerah (OPD) lainnya baik yang
secara langsung bertanggungjawab
pada Gubernur, yang terkait pada
layanan publik langsung maupun
OPD yang bersinggungan dengan
pemerintah pusat, sehingga disini ada
seksi komunikasi pemerintahan dan
pemerintah daerah dalam memberikan
pelayanan informasi tersebut bagi
masyarakat 2

Menurut Onong Uchjana Effendi dalam


buku berjudul Dimensi-dimensi Komunikasi
menyatakan bahwa: ...strategi komunikasi
merupakan
panduan
dari
perencanaan
komunikasi (communication planning) dan
manajemen (communications management)
untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai
tujuan tersebut strategi komunikasi harus
dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya
secara taktis harus dilakukan, dalam arti kata
bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda
sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan
kondisi (1981:84). Maka dengan adanya
strategi komunikasi dari suatu lembaga,
tentunya mempermudah kegiatan komunikasi
yang dilakukan oleh suatu lembaga sehingga
diharapkan tujuan-tujuan jangka pendek
maupun jangka panjang lembaga dapat tercapai
dengan baik sesuai perencanaan yang telah
ditetapkan. Adanya strategi komunikasi tersebut
menunjukkan bahwa komunikasi menempati
peran penting dalam pelaksanaan pelayanan
publik, khususnya dalam implementasi
keterbukaan informasi publik yang dilakukan
oleh lembaga pemerintahan.

Birokrasi seperti yang dikemukakan


oleh Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer,
adalah suatu lembaga yang sangat kuat
dengan kemampuan untuk meningkatkan
kapasitas-kapasitas potensial terhadap halhal yang baik maupun yang buruk dalam
keberadaannya sebagai instrumen administrasi
rasional yang netral pada skala yang besar.
Sehingga komunikasi birokrasi dalam kategori
pelaksanaan menunjukkan bahwa sebenarnya
tugas pemerintah itu sendiri sebagai lembaga
eksekutif adalah membuat kebijakan publik
(Dwidjowijoto, 2004:99).
Dikarenakan sebagai lembaga pembuat
kebijakan yang mewakili pemerintahan pusat,
maka pemerintah provinsi Jawa Barat (Dinas
Komunikasi dan Informatika) berusaha
mengoptimalkan fungsi media komunikasi
internet (e-government) yang saat ini telah
popular sebagai bentuk pelayanan pemerintah
terhadap kebutuhan informasi yang cepat
dan praktis malalui pemanfaatan teknologi
komunikasi mutahir dalam upaya menyebarkan
informasi kebijakan publik. Selanjutnya,
dalam mengembangkan strategi komunikasi
birokrasinya, Diskominfo Provinsi Jawa Barat
berinisiatif untuk mengintegrasikan seluruh
website yang telah dikelola oleh masing-masing
pemerintah Kota/Kabupaten di Jawa Barat
melalui gagasan untuk menyatukan seluruh
Wawancara

dengan

Kepala

Seksi

Selain itu, dalam upaya mempermudah


kegiatan komunikasi birokrasinya, Diskominfo
mencoba menerapkan program e-office yang
merupakan program unggulan di bidang
telematika di tahun 2012 dengan keunggulannya
adalah dari sisi efisiensi dan kecepatan. Menurut
Dadan3, saat ini program e-office sudah ada di
17 organisasi perangkat daerah (OPD) sehingga
ketika ada rapat internal, pemberian laporan/
notulensi, termasuk surat-menyurat sudah tidak
lagi menggunakan kertas, tetapi cukup dengan
menggunakan e-office yang secara otomatis

Komunikasi

Wawancara

Pemerintahan dan Pemerintah Daerah Diskominfo Jawa


Barat, Dra. Hj. Lovita Adriana Rosa.

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Dadan

Sofyan,

Kepala

Seksi

Pengembangan Telematika Diskominfo Provinsi Jawa


Barat.

48

dengan

Aat Ruchiat Nugraha, Trie Damayanti

masuk pada mail masing-masing pengelola


website/teknologi informasi yang ada di 17
OPD tersebut.

dapat mengubah pada cara-cara pemanfaatan


informasi (secara mikro).
Dengan adanya integrasi teknologi
komunikasi dan informasi yang dilakukan
oleh Diskominfo Provinsi Jawa Barat, maka
masyarakat secara mudah mendapatkan
berbagai jenis informasi publik yang disediakan
oleh pemerintah tanpa harus datang langsung
ke kantor pemerintahan. Sedangkan manfaat
lainnya dari terbangunnya sistem website
Kabupaten/Kota yang terintegrasi adalah
tersedianya informasi sebagai bahan dalam
pemantauan dan pengambilan kebijakan
perencanaan daerah, informasi mengenai
kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat
Kabupaten/Kota diseluruh wilayah Propinsi
Jawa Barat dan tersedianya informasi yang
akurat dan aktual serta mendukung prosedur
interaksi antara sistem baik hubungannya
dengan pemerintah, masyarakat dan pihak
investor/pembisnis.

Strategi komunikasi birokrasi yang


lainnya, yaitu berkaitan dengan visi Diskominfo
Jawa Barat yang bertekad untuk mewujudkan
Jabar Cyber Province 2012, yang merupakan
salah satu program unggulan pemerintah Jawa
Barat dalam rangka mengimplementasikan
teknologi informasi diberbagai sendi kehidupan
pemerintahan, pembangunan dan aktivitas sosial
kemasyarakatan. Hal ini dilakukan sebagai
upaya untuk mengurangi kesenjangan digital
secara konsisten dan berkelanjutan dengan
harapan mengurangi masyarakat yang buta
teknologi informasi dan komunikasi menuju
terwujudnya masyarakat informasi Jawa Barat
yang pintar dan beretika.
Selain itu, strategi lainnya yang dikem
bangkan oleh Diskominfo Provinsi Jawa Barat
yaitu dengan mengadakan Pekan Informasi
Nasional (PIN). Kegiatan ini merupakan
manifestasi tata informasi nasional yang meng
integrasikan dan mensinergikan satuan kerja
yang tergabung di Kementerian Komunikasi
dan Informatika dan pemerintahan daerah dalam
mengedukasi masyarakat di bidang teknologi
informasi, sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat dan jaringan komunikasi dan
informasi nasional. Kegiatan PIN dimaksudkan
untuk peningkatan sumber daya masyarakat di
bidang penerpaan dan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi secara efektif dan
efisien.

2.

Mekanisme Komunikasi Birokrasi


Aparatur Pemerintah dalam Imple
mentasi UU Keterbukaan Informasi
Publik (KIP) di Dinas Komunikasi dan
Informatika Provinsi Jawa Barat

Implementasi Keterbukaan Informasi


Publik, baik di Indonesia (pusat) maupun di
Jawa Barat (daerah) masih dapat dketegorikan
belum optimal. Padahal, Undang-undang
Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun
2008 sudah dua tahun diberlakukan sejak 1
Mei 2010. Adapun langkah yang dilakukan
pemerintah dalam penerapan UU KIP pada
tingkat pusat, propinsi sudah mulai dibentuk
Komisi Informasi, yang merupakan lembaga
mandiri yang berfungsi menjalankan Undangundang ini dan peraturan pelaksanaannya
menetapkan petunjuk teknis standar layanan
informasi publik dan menyelesaikan sengketa
informasi publik melalui mediasi dan/atau
ajudikasi nonlitigasi.

Sebutan teknologi komunikasi dan


teknologi informasi sering saling dipergantikan,
kendati komunikasi dan informasi memiliki
makna yang berbeda. Menurut Ashadi dalam
Noegroho (2010:4), yang dimaksud dengan
teknologi komunikasi yaitu teknologi yang
membuat perubahan pada moda komunikasi
dalam masyarakat yang dapat mengubah
struktur kehidupan bermasyarakat (secara
makro). Sedangkan teknologi informasi yaitu
teknologi yang mempengaruhi format dan
signifikansi informasi bagi penggunanya yang

Agar publik dapat dengan mudah


memperoleh layanan informasi publik yang
terpadu dan satu pintu serta bertujuan untuk

Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

49

memaksimalkan layanan informasi publik oleh


pemerintah dan pengelolaan data dan informasi
dari badan-badan publik, maka dibentuk Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID),
sehingga badan-badan publik tersebut dapat
melaksanakan tugas pokok dan fungsi utamanya
tanpa terganggu oleh berbagai urusan yang
berkaitan dengan layanan informasi publik.
Seperti yang telah disampaikan di atas sebagai
upaya untuk menciptakan suatu tata kelola
pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan
partisipatif.

Publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi


dan Dokumentasi (PPID). Dalam era keterbukaan
informasi seperti sekarang ini, keberadaan PPID
sangat penting dan diperlukan oleh Badan Publik,
karena PPID lah yang bertanggungjawab dalam
penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian,
dan pengamanan informasi serta memberikan
pelayanan informasi kepada masyarakat yang
membutuhkan.
Menurut data Dirjen Informasi dan
Komunikasi Publik, Kemenkominfo (2012),
sampai saat ini, secara rata-rata baru 23,52%
Lembaga Publik yang menunjuk PPID, dengan
rincian sebagai berikut :

Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008


tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP),
khususnya pasal 13 tentang kewajiban Badan

Masih banyaknya lembaga publik yang


belum menunjuk PPID akan menghambat
proses menuju Badan Publik yang transparan
dan akuntabel, sesuai dengan salah satu
tujuanUU No. 14 Tahun 2008yaitu mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik, yang
transparan, efektif dan efisian, akuntabel serta
dapat dipertanggungjawabkan.

UU KIP, yaitu adanya kewenangan Diskominfo


di bidang telematika yang berdasarkan Perda
No. 29 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan
komunikasi dan informatika. Dalam salah
satu isi pasal perda tersebut menjelaskan
kewenangan Diskominfo di bidang telematika
adalah mengintegrasikan informasi dari
seluruh organisasi perangkat daerah (OPD)
provinsi Jawa Barat, termasuk di dalamnya
pemerintah kabupaten/kota harus terintegrasi isi
informasinya dalam satu jaringan yang dikelola
oleh Diskominfo yang berfungsi sebagai
lembaga penyedia seluruh informasi mengenai
pemerintahan di Jawa Barat, yaitu melalui
penyebaran informasi di bidang pemerintahan
pada alamat webisite www.jabarprov.go.id.

Berkaitan dengan mekanisme komunikasi


birokrasi yang dilakukan oleh Dinas Komunikasi
dan Informatika Provinsi Jawa Barat dalam
pencarian, pengumpulan, penyediaan sampai
pada penyebaran informasi sebagai landasan
pelaksanaan komunikasi birokrasinya pada
publik. Salah satu dari mekanisme implementasi

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

50

Aat Ruchiat Nugraha, Trie Damayanti

baik (Good Governance) dan peningkatan


pelayanan kepada masyarakat secara efektif
dan efisien diperlukan adanya media informasi
yang bisa diakses dari mana saja, bahkan bisa
secara mobile.
Adanya media teknologi informasi
ini tentunya memberikan keleluasaan bagi
masyarakat dalam mengakses suatu informasi.
Namun, untuk badan publik sendiri, khususnya
Diskominfo dalam memberikan pelayanan
informasi masih bersifat terbatas. Maka, untuk
melayani suatu jenis informasi yang berkaitan
dengan pemerintah, Diskominfo sendiri
mempunyai PPID (Pejabat pengelola informasi
dan dokumentasi) yang menampung mengenai
masalah yang berkaitan dengan pengaduan
dari masyarakat seperti pelayanan publik yang
kurang optimal yang dilakukan oleh suatu
lembaga pemerintahan.

Contoh Gambar Laman http://jabarprov.go.id

Melalui situs resmi pemerintah Jawa


Barat, www.jabarprov.go.id yang mulai
dibangun pada tahun 2000, disajikan lah ber
bagai data dan informasi seputar Jawa Barat
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
informasi masyarakat dan juga berfungsi
sebagai media komunikasi antara pemerintah
provinsi Jawa Barat dengan masyarakat.
Adapun fungsi dan manfaat website jabarprov.
go.id antara lain:

Menurut Lovita, PPID itu bertugas


melayani mengenai pengaduan masyarakat dan
keterbukaan informasi publik yang berkaitan
dengan tugas, fungsi dan peran dari OPD masingmasing. Mekanisme penyediaan informasi di
Diskominfo sendiri lebih menekankan sebagai
fasilitasi informasi dan komunikasi kepada
OPD-OPD yang ada di provinsi Jawa Barat.

1. Memperkenalkan dan mempromosikan


sumber daya alam maupun produk hasil
bumi yang ada di Jawa Barat, sehingga
dapat diketahui secara luas baik dalam
skala nasional maupun internasional,
dengan harapan dapat menarik minat
investor dalam negeri atau investor asing
menanamkan modal di wilayah Jawa
Barat;
2. Menyajikan berbagai data dan informasi
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan
urusan pemerintahan kepada masyarakat
umum secara luas;
3. Sebagai sarana interaksi langsung antara
pemerintah dan masyarakat;
4. Sebagai indikator dan barometer bagi
keberhasilan pembangunan daerah.

Diskominfo Provinsi Jawa Barat sendiri


tidak bisa disamakan dengan Dinas Kominfo
yang ada di kabupaten/kota yang mempunyai
publik sendiri, Diskominfo provinsi Jawa Barat
sifatnya lebih berperan sebagai koordinasi
saja. Tetapi, pengetahuan masyarakat sendiri
mengenai Diskominfo itu merupakan suatu
lembaga penyedia sumber informasi pemerintah
yang harus serba tahu tanpa mempedulikan
bahwa sebenarnya diskominfo itu hanya
lembaga yang berfungsi sebagai koordinator
pengumpulan informasi. Guna menjembatani
implementasi UU KIP tersebut, Diskominfo
provinsi Jawa Barat sudah melakukan beberapa
langkah dalam rangka keterbukaan informasi
publik yaitu dengan menempatkan computer
di lobby yang dapat mengakses internet untuk
mencari informasi seputar pemerintahan
dan menyediakan petugas yang melayani

Kemajuan
teknologi
informasi
dan komunikasi yang pesat serta potensi
pemanfaatannya secara luas, dapat membuka
peluang bagi masyarakat untuk mengakses
berbagai informasi secara cepat dan akurat.
Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang

Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

51

keingintahuan
pemerintahan.

publik

tentang

informasi

dengan tertib dan dapat terpenuhi dengan


optimal tanpa adanya intervensi dari pihak
manapun dan sekaligus mewujudkan jenis
penyampaian informasi yang transparan dan
betanggungjawab secara etika maupun hukum.

Untuk mendapatkan suatu informasi


mengenai pemerintahan Jawa Barat, Diskominfo
Provinsi Jawa Barat telah memberikan beberapa
aturan/prosedur yang harus diikuti oleh publik
atau pemohon informasi, diantaranya secara
umum telah diterapkan oleh badan pemerintahan
lainnya, yaitu:

Adapun peran dan fungsi PPID di setiap


badan publik (OPD) berbeda dengan Humas di
Pemerintahan, sebab menurut Cutlip, Center
dan Broom (2000) menyatakan bahwa tugas
Humas Pemerintahan yang utama adalah:

1. Layanan informasi di Diskominfo Provinsi


Jawa Barat dikelola secara terpusat (satu
pintu) oleh Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) yaitu Sekretaris Dinas
sebagai pejabat Ex Officio;
2. Permohonan informasi ke PPID Diskominfo
Provinsi Jawa Barat, dapat disampaikan
secara langsung (datang langsung ke Kantor)
maupun melalui surat dan faks dan media
internet;
3. Pemohon informasi wajib memperhatikan
ketentuan yang berlaku, yaitu:
a. Jika pemohon informasi mengatas
namakan pribadi, wajib melampirkan
fotocopy KTP atau identitas lainnya;
b. Jika pemohon informasi mengatas
namakan lembaga swadaya masyarakat
(LSM), wajib menyertakan akte notaris
yang mencantumkan nomor registrasi
bahwa LSM tersebut terdaftar di
Kementerian Hukum dan HAM atau
Kementerian Dalam Negeri;
c. Jika pemohon informasi mengatas
namakan perusahaan, wajib menyertakan
akte pendirian perusahaan.
4. Sesuai ketentuan UU KIP No. 14 tahun
2008, jangka waktu pemenuhan informasi
berlangsung selama 10 hari kerja dan dapat
di tambah 7 hari kerja;
5. Pemohon informasi tidak di pungut biaya,
jika adanya dokumen informasi yang harus di
fotocopy dan penggandaan CD dibebankan
kepada pemohon informasi.

1. Active cooperation on action programs


(mensosialisasikan program-program peme
rintah agar mendapat dukungan penuh dari
rakyat);
2. Compliance in regulatory programs
(mengkampanyekan
peraturan-peraturan
pemerintah serta perundang-undangan baru
agar diketahui dan dipatuhi masyarakat);
3. Voter support for the incumbent adminis
trattions policies (mengupayakan agar
pemilih mendukung kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tengah berkuasa).
Dengan demikian, mekanisme komuni
kasi birokrasi yang dilakukan oleh Diskominfo
Provinsi Jawa Barat yaitu memberikan dan
menyelarasakan layanan jenis informasi yang
sesuai dengan tuntutan UU KIP agar tidak terjadi
over lapping dengan fungsi Humas di setiap
organisasi perangkat daerah (OPD) yang ada
di lingkungan Provinsi Jawa Barat, khususnya
pada Biro Humas di Bagian Sekretariat Daerah
Provinsi Jawa Barat. Mekanisme komunikasi
birokrasi merupakan suatu bentuk pelayanan
publik dari suatu lembaga pemerintahan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari Saleh (2010:13)
yang menyebutkan kegiatan pelayanan adalah
sebuah kegiatan yang menitikberatkan pada
upaya memberikan sesuatu yang terbaik bagi
seseorang untuk memenuhi tanggungjawab
formal sebagai seorang petugas terhadap mereka
yang dilayani yaitu sebagai abdi masyarakat.
Sehingga mekanisme yang dibangun dalam
komunikasi birokrasi yaitu membangun budaya
pelayanan publik lembaga pemerintah agar
menghasilkan jenis pelayanan yang prima atas

Dengan adanya aturan tersebut, maka


setidaknya pemenuhan akan informasi yang
dibutuhkan oleh masyarakat akan berjalan
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

52

Aat Ruchiat Nugraha, Trie Damayanti

dasar kesadaran dan niat baik dalam melayanai


kebutuhan masyarakat, khususnya seputar
informasi pemerintahan.
3.

dalam mengakses berbagai informasi yang


penting yang ada di lembaganya;
4. SDM, artinya jumlah SDM di bagian
Humas OPD rata-rata bukan berasal dari
kompetensi public relations maupun ilmu
komunikasi, tetapi bagian Humas dijadikan
tempat buangan bagi para pegawai yang
tidak produktif atau yang tidak mempunyai
jabatan;
5. Sarana/prasarana, artinya pemerintah belum
memberikan keleluasaan dalam menyediakan
sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh
bagian Humas dalam mendukung kegiatan
komunikasi lembaganya.

Hambatan-hambatan dalam melaku


kan Komunikasi Birokrasi Aparatur
Pemerintah
dalam
Implementasi
UU KIP di Dinas Komunikasi dan
Informatika Provinsi Jawa Barat

Menurut Mustafa (2013: 103) birokrasi


pemerintah merupakan garis terdepan yang
berhubungan dengan pemberian pelayanan
umum kepada masyarakat. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah harus bersikap netral baik
dari sisi politik maupun dari sisi administratif.
Sehingga dalam pelayanan umum, birokrasi
pemerintah dituntut lebih efektif dan efisien
dalam mewujudkan kualitas pelayanan,
khususnya di bidang layanan jenis informasi di
lembaga pemerintahan.

Sedangkan dengan adanya PPID di Badan


Publik atau Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) di lingkungan Pemerintahan Provinsi
Jawa Barat masih mendapatkan hambatan
diantaranya yaitu:
1. Adanya
persepsi
negatif
terhadap
implementasi UU KIP;
2. Belum ada pemahaman yang sama, apa yang
harus disiapkan dalam pembentukan PPID;
3. Belum jelasnya PPID dalam menetapkan
jenis informasi publik yang dikecualikan,
melayani jenis informasi pemerintahan, dan
menangani keberatan layanan informasi
pemerintahan;
4. Terbatasnya SDM yang kompeten, sarana
dan prasarana, serta anggaran pendukung
pada PPID di setiap OPD.

Secara umum hambatan yang didapat


dari lembaga pemerintahan tingkat organisasi
perangkat daerah (OPD), khususnya di Dinas
Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa
Barat dalam mengimplementasikan UU KIP
sebagai wujud pelayanan bagi masyarakat
diantaranya adalah:
1. Political will, artinya keseriusan pimpinan
lembaga didalam melaksanakan kebijakan
pelaksanaan UU KIP yang masih kurang
proaktif terhadap pentingnya SDM yang
berkompetensikan public relations atau ilmu
komunikasi;
2. Anggaran, artinya dengan adanya pem
berlakuan UU KIP ini, maka badan publik
secara tidak langsung harus menyediakan
anggaran tambahan guna mengumpulkan
informasi dan menyebarkannya melalui
kegiatan-kegiatan komunikasi;
3. Kelembagaan, artinya secara kelembagaan
pemerintah masih menempatkan posisi
Humas di bagian Eselon III di setiap OPD atau
berada di bagian Umum dan secara fungsional
Humas Pemerintah di OPD tersebut masih
belum memiliki kewenangan yang luas

D. Simpulan dan Saran


Simpulan
1. Strategi komunikasi birokrasi aparatur
pemerintah dalam implementasi UU KIP pada
Diskominfo Provinsi Jawa Barat telah sesuai
melalui penerapan unsur-unsur komunikasi
yang meliputi pemilihan komunikator,
penyampaian isi pesan, pemilihan media,
serta pemilihan target komunikan dengan
memadukan kegiatan komunikasi lisan (tatap
muka), komunikasi tulisan serta pemanfaatan
teknologi komunikasi.

Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

53

2. Mekanisme
Komunikasi
Birokrasi
Aparatur Pemerintah yang dibangun dalam
implementasi UU KIP Diskominfo Provinsi
Jawa Barat telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu
adanya standar operasional prosedur yang
dibuat berdasarkan Juklak dan Juknis yang
telah ditetapkan oleh Peraturan Gubernur.
3. Hambatan-hambatan dalam melakukan
Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah
dalam Implementasi UU KIP di Diskominfo
Provinsi Jawa Barat secara umum meliputi
keterbatasan dalam aspek SDM, aspek
kelembagaan, dan aspek political will dari
pimpinan lembaga publik belum memahami
peran dan fungsi Humas Pemerintahan
dalam era keterbukaan informasi secara
komprehensif.

kompetensi tuntutan implementasi UU KIP,


yaitu yang berlatar belakang ilmu public
relations atau ilmu komunikasi agar setiap
kegiatan komunikasi dapat tercapai sesuai
dengan sasaran yang telah ditetapkan oleh
lembaga. Selain itu, OPD tersebut agar dapat
lebih memperjuangkan peran dan fungsi
kehumasan di setiap unit kerjanya agar berada
pada level strategis dalam menghimpun dan
menyampaikan informasi lembaga terhadap
publiknya atau sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Cutlip, Scott M., and Center, Allen H., 2000,
Effective Public Relations:Eight Edition,
Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs,
New Jersey.

Saran

Dwidjowijoto, Rian Nugroho, 2004, Kebijakan:


Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

1. Pelaksanaan strategi komunikasi birokrasi


aparatur yang dilakukan di Diskominfo
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah baik,
namun dalam hal-hal tertentu, khususnya
pada saat implementasi UU KIP ini maka
diperlukan suatu strategi baru yang lebih
bisa mencitrakan positif lembaga publik
sebagai lembaga pelayanan publik yang
transparan, nonbirokratis, cepat, mudah dan
bertanggungjawab.
2. Mekanisme komunikasi birokrasi aparatur
pemerintahan di Diskominfo Provinsi Jawa
Barat telah membuat aturan yang sesuai
dengan peraturan yang berlaku di lingkungan
lembaga pemerintahan. Namun, untuk
tahapan implementasinya masih diperlukan
suatu sistem pengawasan evaluasi dari
pelaksanaan mekanisme tersebut agar dapat
berjalan dengan efektif dan efisien dalam
rangka melayani publik.
3. Sebaiknya Diskominfo pemerintah Provinsi
Jawa Barat dapat berupaya mengatasi
hambatan komunikasi birokrasinya melalui
rekruitmen tenaga SDM nya yang berasal
dari core keilmuan yang sesuai dengan

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Effendy, Onong Uchjana, 1983, Dimensidimensi Komunikasi, Penerbit Alumni,


Bandung.
Hasan, Erliana, 2005, Komunikasi Pemerintahan,
Refika Aditama, Bandung.
Mulyana, Deddy, 2003, Metode Penelitian
Kualitatif,
Remaja
Rosdakarya,
Bandung.
Mustafa, Delly, 2013, Birokrasi Pemerin
tahan, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Noegroho, Agoeng, 2010, Teknologi
Komunik asi, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Saleh, Akh. Muwafik, 2010, Public Service
Communication: Praktik Komunikasi
dalam Pelayanan Publik, UMM Press,
Malang.

54

Aat Ruchiat Nugraha, Trie Damayanti

Website:

Tondowidjojo, John, 2004, Dasar dan


Arah Pubic Relations, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.

www.jabarprov.go.id diakses 20 Desember


2012

Yin, Robert K, 1996, Studi Kasus (Desain dan


Metode), Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

www.diskominfo.jabarprov.go.id diakses 20
Desember 2012

Referensi Lain:

www.bppt.jabarprov.go.id diakses 20
Desember 2012

Majalah Info Dinas Komunikasi dan


Informatika Provinsi Jawa Barat. Edisi I Tahun
2012
Undang - undang Keterbukaan Informasi
Publik Tahun 2008

www.bkd.jabarprov.go.id diakses 20 Desember


2012
www.kemkominfo.go.id diakses 21 Desember
2012
www.kip.go.id diakses 21 Desember 2012
http://koswaraero.blogspot.com/2011_05_01_
archive.html diakses 22 Desember 2012

Komunikasi Birokrasi Aparatur Pemerintah dalam Implementasi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik

55

ISSN 2252 - 4630

MEDIA TELEVISI NASIONAL DAN IDENTITAS BUDAYA


BANGSA INDONESIA
1

Are Embu Hendriquez1


ABSTRACT
The Indonesian nation, just like all other nations in the world,
has a clear identity. The identity as a nation can be seen through
their culture. The cultural heritage of this nation must always be
preserved, guarded, cherished by their owners, especially by the
younger generation. A national television medias role, in this case
TVRI, becomes very important in the effort to maintain, care for and
love its culture. The role done by the Republic of Indonesia television
media during the New Order was seen to be very successfull. After
the emergence of private television stations, the nations attention to
culture in this country began to recede. Many of them were mostly
oriented on business and give less attention to matters in relation to
culture. Claims against of nations cultural heritage by Malaysian at
some point in the past made us realized the importance of keeping and
maintaining ones own cultural heritage. These incidents should be a
warning for the television media managers in Indonesia to take part in
this responsibility. The appearance of popular culture, which is very
popular with the young people of this nation, spread through by the
television media in Indonesia is another phenomenon that needs to
be given attention to. The presence of popular culture could displace
ones own culture. Invasion of popular culture is a form of cultural
imperialism. It is also one form of another threat to the existence of
Indonesia culture itself.

Keywords: cultural identity, cultural imperialism, popular culture

Interact:
Vol.2, No.1, Hal. 56-63.
Mei, 2013
Prodi Ilmu Komunikasi,
Unika Atma Jaya Jakarta

1 Are Embu Hendriquez adalah dosen pada program studi Ilmu Komunikasi UNIKA ATMA JAYA Jakarta yang sedang mengambil
Program Doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia

56

LatarBelakang

sedikit banyak terabaikan, walaupun mungkin


belum terlupakan. Mengapa begitu? Mengapa
budaya menjadi sesuatu yang penting dan perlu
dijaga dan dipelihara? Dalam kaitan dengan
soal budaya bangsa sebagai identitas, mengapa
komunikasi massa menjadi sesuatu yang
penting, dan bukan, misalnya, politik? Media
komunikasi massa yang dimaksudkan di sini
lebih terfokus dan tertuju pada media televisi,
namun ini tidak bermaksud sedikit pun untuk
mengabaikan peran dan kehadiran dari media
komunikasi lainnya.

Setiap bangsa memiliki identitasnya


masing-masing. Identitas bangsa itu tampak
melalui budaya yang dimilikinya. Budaya
menjadi penanda dan sekaligus pengikat sebuah
kelompok masyarakat tertentu, termasuk
masyarakat dalam kelompok besar yang kita
sebut bangsa. Indonesia sebagai sebuah bangsa
memiliki identitas budaya yang sangat unik
dan kaya, karena di dalam himpunan bangsa
ini terdapat begitu banyak suku bangsa dengan
sub-budaya suku bangsanya masing-masing.
Di dalam perbedaan itu, ada ciri budaya yang
menjadi milik bersama dan menjadi pengikat
semua. Bahasa Indonesia, misalnya, adalah
unsur budaya yang mengikat semua masyarakat
Indonesia. Selain bahasa, ada produk budaya
dari suku tertentu yang lama-kelamaan menjadi
milik bersama dan diterima oleh semua
kelompok budaya seperti batik. Itu sekedar
sebuah contoh tentang kekayaan budaya bangsa
Indonesia. Contoh lain adalah tarian atau lagulagu dari daerah tertentu yang lama-kelamaan
dinyanyikan atau ditarikan oleh hampir semua
masyarakat Indonesia, dan dianggap menjadi
milik bersama bangsa Indonesia walaupun
asal-mulanya dari salah satu daerah tertentu.
Unsur-unsur budaya ini menjadi faktor pengikat
bangsa.

Tulisan dalam makalah ini berusaha


menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di
atas, dan hal-hal lain yang terkait dengan masalah
komunikasi media televisi dan identitas budaya
bangsa Indonesia. Perlu juga ditegaskan di sini
bahwa tulisan ini tidak bermaksud pula untuk
menolak adanya perubahan dan perkembangan
dalam budaya suatu masyarakat. Budaya itu
bersifat dinamis, tidak statis. Perubahan dan
perkembangan dalam setiap kebudayaan adalah
hal yang mungkin bahkan pasti. Yang ditolak
atau perlu dihindari adalah sikap menolak atau
mengingkari warisan budaya sendiri karena
perasaan bahwa budaya asing itu selalu lebih
baik. Apalagi sikap penerimaan terhadap
pengaruh budaya asing itu disertai dengan
sikap yang gegabah, tanpa sebuah sikap kritis
dan hati-hati.

Sampai pada masa Orde Baru, identitas


budaya bangsa ini dengan segala kekayaan
dan keunikannya tampak masih terjaga dan
terpelihara dengan baik oleh pemerintah dan
juga oleh masyarakatnya sendiri. Itu terjadi
berkat peran media komunikasi massa Televisi
Republik Indonesia (TVRI). TVRI berperan
sebagai sarana untuk menyebarluaskan budaya
bangsa ini ke segala pelosok daerah di Nusantara
sekaligus sebagai pengikat dan penjaga nilainilai budaya bangsa.

Budaya Indonesiadalam TV Nasional


Perseteruan Indonesia dan Malaysia
tidak hanya terkait dengan masalah perbatasan
(politik) terkait soal kepemilikan pulau Sipadan
dan Ligitan, yang berakhir dengan keputusan
makamah Internasional memenangkan pihak
Malaysia, tetapi juga berkenaan dengan
persoalan menyangkut masalah budaya.
Pemerintah dan rakyat Malaysia beberapa
waktu lalu telah mengklaim beberapa produk
seni dan budaya Indonesia, seperti lagu Caca
Marica, beberapa tarian (Reog Ponorogo dari
Jawa Timur, tari Pendet dari Bali), musik
Angklung dari Sunda, dan Batik dari Jawa,
sebagai produkproduk budaya hasil kreasi
bangsa Malaysia. Atas klaim itu, pemerintah

Selepas rezim Orde Baru, dengan


peran TVRI yang begitu menonjol, muncul
berbagai media televisi lain milik swasta
dengan arah dan orientasinya yang berbeda.
Persoalan menyangkut nilai dan produkproduk budaya sebagai identitas bangsa ini

Media Televisi Nasional dan Identitas Budaya Bangsa Indonesia

57

dan Masyarakat Indonesia benar-benar menjadi


marah karena merasa haknya atas produkproduk budaya tersebut telah dirampas oleh
pihak Malaysia.

akan budayamilik bangsanya sendiri yang


begitu kaya dan banyak ragamnya, warisan dari
para leluhur.
Pilihan terhadap media televisi bisa
dikatakan lebih baik dan lebih efektif sebagai
sarana penyebaran nilai dan produk budaya
bangsa bagi generasi muda dibandingkan
dengan melalui sarana buku dan pendidikan di
sekolah. Karena televisi memiliki jangkauan
yang sangat luas dan daya tariknya jauh lebih
besar karena faktor audio dan visualnya. Para
pemirsa, terutama generasi muda, akan selalu
ingat akan budaya bangsanya sendiri.

Ribut soal klaim kepemilikan


atas
produk-produk budaya itu diliput juga oleh
hampir semua jenis media massa di Indonesia
termasuk media on-line. Aksi protes dari
rakyat Indonesia pun bermunculan baik secara
langsung melalui demonstrasi di jalan maupun
lewat media massa. Alasan protes itu jelas,
karena produk-produk budaya tersebut di atas
adalah milik bangsa Indonesia, dan sekaligus
mencerminkan identitas bangsa Indonesia.

Sejak awal tahun 1990-an sampai


sekarang, peran TVRI sedikit banyak bergeser
karena kehadiran televisi swasta. Acara seni
budaya dari berbagai daerah di Indonesia
seperti yang pernah muncul di TVRI, sekarang
tidak lagi muncul. Apakah karena rating yang
berpengaruh pada pihak pemasang iklan?
Boleh jadi begitu. Tetapi yang pasti, orientasi
dari semua televisi swasta adalah pada bisnis.
Berbeda dengan TVRI, karena TVRI itu milik
pemerintah, maka berbagai pertimbangan
terutama berkaitan dengan soal politik dan
budaya akan tetap menjadi hal yang selalu
diperhatikan.

Sebuah pertanyaan iseng pun muncul.


Mengapa pihak Malaysia baru sekarang
mengklaim produk-produk budaya itu
sebagai miliknya? Kalau sudah ada niat untuk
mengambil apa yang sebetulnya bukan haknya,
mengapa tidak dari dulu niat untuk mengklaim
itu dilontarkan? Kita tidak tahu persis apa
yang menjadi alasannya, dan karena itu kita
hanya bisa menduga-duga. Namun ada satu
penjelasannya yang kiranya cukup masuk akal
untuk menjawab pertanyaan ini, sekalipun tentu
tidak dengan sebuah kepastian yang penuh.
Sejak awal pemerintahan Orde Baru
sampai dengan menjelang akhir tahun 1990an, hanya ada satu media televisi yang selalu
ditonton oleh hampir seluruh masyarakat
Indonesia, yaitu Televisi Republik Indonesia.
Selain berperan untuk menyampaikan berbagai
informasi tentang kebijakan pemerintah dan
berbagai hasil pembangunan, ada satu hal yang
luar biasa dari TVRI, yaitu menjadi medium
untuk penyebarluasan berbagai karya seni dan
budaya bangsa ini dalam berbagai bentuk acara
seni dan budaya. Ada acara tarian, nyanyian,
pentas musik tradisional, dan berbagai jenis
pentas lainnya. Hampir setiap propinsi, bahkan
beberapa daerah di tingkat kabupaten, pernah
tampil di layar TVRI untuk menyajikan
karya-karya seni budaya bangsa ini. Mungkin
terkadang terasa membosankan dan monoton.
Namun dengan demikian, bangsa ini- terutama
generasi yang lahir kemudian tetap diingatkan
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

Dari segi bisnis, barangkali tayangan


budaya menjadi tidak menarik dan tidak
memberikan banyak keuntungan. Karena itu,
acara ini untuk sekian lama vakum dari televisi
swasta. Yang ditayangkan adalah produk
budaya populer, sesuatu yang lebih diminati
oleh generasi muda dari pada budaya sendiri.
Dari segi bisnis pun tampilan budaya populer
dalam media televisi tampak menarik karena
sudah dikemas sedemikian rupa demi mencapai
perolehan keuntungan bisnis.
Melupakan budaya sendiri mungkin
tidak, tetapi ada kesan bahwa budaya sendiri,
juga karena absennya peran media televisi
swasta yang terkesan kurang peduli soal
budaya bangsa, mulai kurang diperhatikan
menjadi tampak jelas. Kenyataan ini menjadi
sebuah peluang bagi pihak luar seperti
58

Embu Hendriquez

Malaysia untuk mencoba masuk dengan klaim


sebagaimana sudah disebutkan di atas. Klaim
seperti itu muncul karena ada kesan adanya
pengabaian dari pemilik budaya sendiri untuk
mengurus, memelihara, dan mengingat kembali
akan harta warisan para leluhur bangsa ini.
Disini, peran media komunikasi terutama
televisi menjadi sangat penting dan berarti.
Komunikasi, termasuk televisi, menjadi salah
satu ciri umum dan esensial dari budaya.
Karena tanpa komunikasi, budaya tidak bisa
berkembang, tidak bisa disebarluaskan, dan
tidak bisa eksis (Denis McQuail, McQuails
Mass Communication Theory, 2010: 112-113).
Namun peran ini tampak hilang ketika kita
mulai mamasuki era televisi swasta.

Selain dalam bentuk nilai, sikap dan


perilaku, budaya asing (kapitalis) yang sudah
dikemas untuk keuntungan dari segi bisnis
itu, juga hadir dalam bentuk produk seperti,
- musik, tarian dst. Imperialisme budaya
dalam bentuk penetrasi produk-produk budaya
rancangan industri para kapitalis, yang masuk
ke negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin,
oleh Douglas Kellner dianggap sebagai merusak
budaya negara-negara tujuan (Douglas Kellner,
Televisi and the Crisis of Democracy, 1990: 8788).
Senada dengan Kellner adalah John
Tomlinson. Menurut Tomlinson, proses
imperialisme budaya harus dilihat sebagai hal
yang mempunyai fungsi memainkan peran
dalam penyebarluasan kapitalisme. Kapitalisme,
dalam pandangan Marx, demikian ditegaskan
Tomlinson, harus dilihat sebagai lebih dari
sekedar cara produksi. Ada dua pendekatan
untuk melihat kaitan kapitalisme dengan
imperialisme budaya.

Imperialisme Budaya dan Televisi


Perkembangan kapitalisme nagaranegara Barat, terutama Amerika Serikat, tidak
terpisah dari peran media komunikasi televisi.
Produk-produk dari Amerika melalui berbagai
perusahaan multinasional disebar ke seluruh
dunia. Proses pertama adalah internalisasi
tentang sikap, nilai, selera, perilaku, dan
konsep tentang berbagai hal seperti kecantikan,
kesehatan, kejantanan, modernisasi, kemajuan,
dst. Nilai, sikap, perilaku mulai terbentuk.
Pembentukan ini adalah bagian dari yang kita
sebut sebagai imperialisme budaya. Artinya,
perasaan, minat, selera, dan cara bertindak
tidak lagi menurut budaya kita, tetapi menurut
budaya negara kapitalis yang sedang memburu
keuntungan lewat produk-produk yang hendak
ditawarkan. Misalnya, untuk merokok saja,
seorang pria harus mengisap rokok Mallboro,
karena terkesan lebih macho dan jantan seperti
seorang cow-boy. Peran budaya, yang hadir
melalui cara berpikir, bertindak, gaya hidup,
termasuk dalam soal mengkonsumsi, yang
telah diinternalisasi lewat televisi diharapkan
menjadi pintu masuk menuju tindakan lain yaitu:
menentukan sikap dalam memilih produkproduk yang ditawarkan. Jadi penaklukan
secara budaya menjadi tahap awal untuk masuk
dalam penaklukan dan penguasaan secara
ekonomi dan bisnis.

Pendekatan pertama mengatakan bahwa


kapitalisme adalah sebuah kekuatan budaya
yang menghegemonisasi. Dimana-mana di
seluruh dunia banyak hal terlihat dan dirasakan
sama. Kendaraan sama, rumah-rumah di
banyak kota tampak sama, gaya arsitektur
tampak sama, toko-toko dan pusat perbelanjaan
beserta barang-barang yang ditawarkan terlihat
sama, musik, radio, kaset dan berbagai jenis
barang lainnya cenderung seragam. Ini terjadi
karena segala sesuatu dirancang dan diproduksi
secara massal (John Tomlinson, the discourse
of cultural imperialism, dalam Denis McQuail
(ed.), McQuails Reader in Mass Communication
Theory , 2002: 228).
Terkait dengan kapitalisme sebagai
kekuatan budaya yang menghegemonisasi, kita
dapat juga menjelaskan soal budaya populer.
Dalam kajian postmodernisme, budaya populer
adalah budaya dari kaum pinggiran atau
minoritas. Realitas sosial itu menggambarkan
bahwa ada dominasi dari kelompok (ekonomi,
budaya) yang dominan terhadap kelompok
yang dianggap subordinan. Munculnya budaya
Media Televisi Nasional dan Identitas Budaya Bangsa Indonesia

59

populer itu adalah sebuah bentuk perlawanan


terhadap dominasi dari kelompok budaya
yang dominan (McQuail, 2002: 11-12; James
Lull, Media, Komunikasi, Kebudayaan, 1998:
85-87). Ada keinginan untuk melawan dan
sekaligus menegaskan bahwa tidak hanya ada
satu budaya, yaitu budaya dominan. Masih ada
budaya-budaya lain, yang belum mendapatkan
tempat untuk tampil. Kebutuhan kaum
minoritas ini tertampung oleh kapitalis melalui
wadah media agar budaya ini tetap eksis, dan
sekaligus bisa populer dimana-mana. Artinya
eksistensi mereka mendapatkan pengakuan.
Kedua belah pihak sama-sama untung. Budaya
kaum minoritas itu bisa masuk media televisi,
dan pihak kapitalis juga untung karena produk
budaya kaum minoritas ini bisa dijual kemanamana melalui media (televisi). Invasi budaya
populer ke berbagai negara di dunia seperti
di Afrika, Amerika Latin, dan Asia termasuk
Indonesia sedikit banyak akan mengganggu
kehadiran budaya setempat yang sudah ada.
Minimal budaya populer dari sebuah negara
yang masuk ke negara lain seperti Indonesia,
akan mengundang perhatian dan minat dari
para generasi muda di negara tersebut. Musik
Reggae dari Jamaica, atau musik rap dari
kelompok masyarakat kulit hitam Amerika,
sekedar menyebut beberapa, adalah contohcontoh budaya populer. Kehadiran budaya
populer ini dapat mengganggu eksistensi
budaya lokal yang sekaligus menjadi identitas
dari kelompok budaya di sebuah negara yang
dituju oleh pihak kapitalis. Keadaannya akan
menjadi lebih parah lagi kalau generasi muda,
pemilik budaya lokal atau budaya bangsa dari
sebuah negara, seperti Indonesia, mengidap
semacam inferiority complex. Sikap dan mental
inferior ini tidak hanya terdapat pada individuindividu, tetapi juga pada kelompok. Misalnya,
generasi muda Indonesia, sekedar contoh, bisa
merasa dan menilai dirinya dan juga budaya
milik bangsanya lebih rendah jika dibandingkan
dengan orang luar dan budaya luar seperti
dari Amerika Serikat. Sebaliknya juga terjadi,
produk-produk budaya asing, kita ambil contoh
lagi dari Amerika Serikat, selalu dinilai sebagai
lebih hebat dan lebih tinggi dari budaya kita.
Akibatnya mudah ditebak. Generasi muda
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

kita akan dengan mudah sekali meninggalkan


warisan bangsanya dan berkiblat ke Amerika
Serikat dan beberapa negara maju lainnya dalam
berbagai hal: menari, menyanyi, bermusik,
mengkonsumsi dst. Kalau mau merokok harus
rokok Mallboro. Kalau mau minum harus CocaCola, dan bukan minuman teh botol sosro.
Kalau mau makan ayam, rasanya lebih enak
dan bangga kalau bisa menikmati daging ayam
di restoran Kentucky Fried Chicken dan bukan
di restoran ayam Kalasan atau restoran ayam
Mbok Berek.
Pendekatan kedua, dalam melihat
hubungan kapitalisme dan imperialisme
budaya, mengatakan bahwa penyerbarluasan
kapitalisme adalah penyebarluasan sebuah
budaya konsumerisme.
Lahirlah budaya
baru dan semangat baru yaitu konsumerisme.
Perilaku dan sikap konsumeristis ini tentu
terkait erat dengan peran media komunikasi
(televisi). Konsep ini juga terkait dengan
konsep lain yang diusung oleh pihak kapitalis,
melalui media televisi, dan ditanamkan dalam
hati dan pikiran banyak orang termasuk kita
di Indonesia tentang, modernisme, kemajuan,
peradaban, dst.
Konsumerisme, kemajuan, peradaban,
modernisme adalah nilai-nilai yang selalu
dikaitkan dengan negara-negara Barat sebagai
asal-usulnya. Kebijakan yang bersumber dari
budaya timur, termasuk Indonesia sebenarnya
mengajarkan tentang sikap tahu diri atau tahu
batas, sederhana, dan secukupnya dalam
memenuhi kebutuhan demi menjaga tatanan
alam dan sosial. Nilai ini mengajarkan agar
supaya orang tidak menjadi rakus, dan serakah.
Namun nilai-nilai seperti ini tampaknya tinggal
sisa-sisa, karena sudah tergerus oleh modernisasi
yang datang dari barat. Generasi muda sekarang
pun barangkali tidak lagi mengetahui nilai-nilai
budaya seperti ini.
Bagaimana Seharusnya Peran Media Televisi
Nasional
Sebuah teori yang disebut sebagai
teori normatif, sering diungkapkan dalam
60

Embu Hendriquez

kaitan dengan penjelasan tentang kebijakan


menyangkut budaya dan media. Teori ini
menegaskan beberapa hal yang penting.
Pertama, media sering melindungi warisan
budaya resmi dari sebuah bangsa atau
masyarakat khususnya dalam pendidikan, ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra. Kedua, media
mendukung varian-varian ekspresi budaya
kelompok regional, lokal, dan kelompok
minoritas, karena alasan otentitas, identitas,
dan karena alasan politis. Ketiga, media, -yang
diterima oleh semua teori, mengakui hak yang
sama dari semua ekspresi budaya, termasuk
budaya populer. ( Denis McQuail, McQuails
Mass Communication Theory, 2010: 206).

masih relevan dan perlu, yaitu prinsip butir 1


sampai butir 3. Persoalannya adalah bagaimana
prinsip ini diterjemahkan ke dalam peraturan
yang sifatnya lebih mengikat, atau mungkin
sudah ada dalam peraturan (misalnya dalam
UU penyiaran?) Jika sudah ada, soal berikutnya
adalah bagaimana menjamin agar prinsip yang
sudah dimuat dalam aturan ini dapat ditegakkan
dan dilaksanakan. Masalah penegakan ini tentu
berkaitan erat dengan peran KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia). Pertanyaannya, apakah
KPI diberi ruang dan wewenang yang cukup
untuk menjalankan perannya? Kemudian
mengenai peran pengawasan oleh pihak KPI,
sebaiknya tidak hanya berkutat soal pelanggaran
terhadap aturan hukum dan moral dalam bidang
penyiaran, tetapi juga harus diperluas ke masalah
menyangkut budaya bangsa yang eksistensinya
perlu dijaga dan dirawat.

Ada sebuah konsensus perihal kualitas


budaya yang harus diakomodasi dalam media,
termasuk televisi. Konsensus itu menghasilkan
sejumlah prinsip sebagai berikut (Denis
McQuail, 2010: 206):

Kedua, terkait dengan pelaksanaan dan


operasionalisasi dari prinsip-prinsip ini maupun
aturan-aturan yang sudah dibuat terkait dengan
prinsip-prinsip ini, peran dari pihak media
khususnya televisi menjadi sangat penting. Jadi
tidak bisa hanya diserahkan kepada pihak KPI.
Pihak televisi sendiri harus mengambil peran
aktif dan harus bertanggung jawab dalam kaitan
dengan masalah menjaga kualitas budaya dan
identitas budaya bangsa ini. Terkesan bahwa
sekarang ini pihak televisinasional, terutama
milik perusahaan swasta lebih berorientasi
dalam mengejar keuntungan bisnis dari pada
menunjukkan tanggung jawab dan perannya
untuk ikut menjaga dan melindungi budaya
bangsa ini. Ada kesan kuat, tentunya juga
bertolak dari fakta, bahwa sebagian media
televisi nasional cukup sering melirik ke
produk-produk budaya luar untuk ditayangkan
kepada pemirsa di dalam negeri, sementara
budaya bangsa sendiri yangbegitu kaya,
beragam, unik, dan bahkan luar biasa sama
sekali tidak dihiraukan. Sekedar contoh, dalam
beberapa waktu yang lalu beberapa televisi
swasta di Indonesia gencar menayangkan
tarian gangnam style dari Korea Selatan, dan
generasi muda kita tampaknya sangat antusias
dalam membicarakan sekaligus memperagakan
model tarian ini dalam acara senam pagi.

1. Konten media harus merefleksikan dan


mengekspresikan bahasa dan budaya
kontemporer (artefak-artefak dan cara
hidup) dari orang-orang yang dilayani
oleh media itu (secara nasional, regional,
dan lokal).
2. Suatu prioritas harus diberikan pada media
untuk peran terkait dengan pendidikan,
ekspresi, dan keberlanjutan dari warisan
budaya suatu negara.
3. Media seharusnya mendorong kreativitas
dan originalitas budaya, dan mendorong
karya-karya budaya yang berkualitas
tinggi (menurut kriteria estetis, moral,
intelektual, dan profesional).
4. Ketentuan atau syarat budaya harus
berbeda-beda,
yang
mencerminkan
permintaan, termasuk permintaan untuk
budaya populer dan budaya hiburan.
Terkait dengan sejumlah prinsip tersebut
di atas, ada beberapa catatan yang perlu
dikemukakan. Pertama, prinsip-prinsip yang
dikemukakan oleh McQuail ini adalah sebuah
hasil kesepakatan bersama yang terjadi di
Amerika Serikat. Ada beberapa butir dari
prinsip ini bisa dipakai di Indonesia karena

Media Televisi Nasional dan Identitas Budaya Bangsa Indonesia

61

Kesimpulan

Apakah bangsa ini sudah kekurangan tarian?


Atau apakah tarian-tarian dalam budaya kita
tidak menarik dan karena itu tidak cukup pantas
diangkat ke layar televisi sehingga bisa menjadi
populer? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu
dilontarkan supaya kita menjadi sadar kembali,
terutama pihak televisi, bahwa kita memiliki
budaya yang luar biasa kaya dan menarik untuk
diketahui, baik oleh generasi muda kita sendiri
maupun oleh pihak luar.

Terkait dengan tiga prinsip dari empat


prinsip yang disebut di atas, kita boleh menilai
bahwa prinsip-prinsip ini belum sepenuhnya
diwujudkan oleh media televisi nasional
baik milik pemerintah maupun swasta. TVRI
sebagai media televisi milik pemerintah untuk
saat ini sangat jarang mengekspresikan bahasa
dan budaya kontemporer. Barangkali yang
bisa terlihat adalah aspek budaya di bidang
musik,dan unsur ini pun masih terbilang sedikit.
Jenis musik seperti keroncong atau musik khas
daerah tertentu seperti gamelan Jawa atau
musik Sunda dikawinkan atau diberi sentuhan
dengan irama musik kontemporer seperti jazz.
Namun secara keseluruhan tampilan aspek
budaya di media TVRI lebih kuat dengan ciri
khas kedaerahan atau unsur nasionalnya yang
begitu kental.Bagi kalangan generasimu dan
mungk ini merupakan sesuatu yang kurang
terlalu menarik buat mereka.Sebagian besar
generasi muda kita cenderung berorientasi
keluar dalam banyak hal termasuk di bidang
musik dan budaya secara keseluruhan. Media
yang bisa memenuhi kebutuhan mereka adalah
media televisi swasta nasional.

Ketiga, khusus bagi negara-negara di


Afrika, Amerika Latin, dan Asia, ada soal
spesifik yang belum tertampung dalam prinsipprinsip media sebagaimana tersebut di atas.
Yang menjadi masalah adalah negara-negara
ini justru menjadi sasaran invasi budaya luar
khususnya budaya yang dirancang dan dikemas
oleh negara-negara kapitalis. Karena itu perlu
prinsip lain atau kebijakan lain di masingmasing negara dalam menghadapi budaya luar
demi menjaga identitas budaya bangsa sendiri.
Ini adalah sebuah kenyataan yang tak terelakkan
yang sudah, sedang, dan terus- menerus
terjadi. Khusus untuk Indonesia, pemerintah
Indonesia (terutama kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan) bekerja sama dengan pihak
media televisi swasta dan berbagai pihak lain
yang terkait, perlu memikirkan kembali soal
bagaimana menghidupkan serta mengaktualkan
kembali budaya sendiri sambil menghadapi
pengaruh budaya yang datang dari luar.

Aspek pendidikan dan pewarisan nilainilai budaya bangsa juga merupakan suatu
faktor yang perlumen jadi perhatian seluruh
bangsa khususnya untuk kalangan media
televisi nasional. Mengharapkan pihak TVRI
semata sebagai penjaga dan pewaris nilai-nilai
budaya bangsa juga merupakan suatu sikap
yang tidak adil. Apalagi konten TVRI bagi
sebagaian besar generasi muda kita barang
kali tidak terlalu menarik dibanding konten
yang disajikan televisi nasional swasta. Yang
menjadi persoalan ada lahan spek hiburan di
sebagian televisi swasta mendapatkan porsi
yang begitu banyak dan unsur yang memuat
niali-nilai pendidikan menjadi sangat sedikit.
Aspek hiburan mengalahkan unsur pendidikan,
dan nilai-nilai budaya baru yang dibawa
melalui media televisi swasta menggeser nilainilai budaya bangsa. Yang hadir di hadapan kita
melalui sebagian layar televisi swasta adalaha
cara gossip, infotainment, dangdutan dan tarian

Khusus bagi pihak media televisinasional,


sebagai sebuah catatan akhir, perlu ada upaya
untuk mengubah pola dan kebijakan dalam
memainkan perannya jika ingin terlibat
dalam tanggung jawab untuk menjaga dan
memelihara identitas budaya bangsa ini. Peran
ini harus dijalankan mengingat pengaruh
media televisi lebih besar dan lebih kuat dan
berdaya jangkau lebih luas dibandingkan
dengan media cetak atau melalui pendidikan di
sekolah. Tanpa komunikasi (televisi) budaya
menjadi tidak berarti. Kehadiran komunikasi
(televisi) memungkinkan terjadinya proses
penyebarluasan dan pemeliharaan serta
pengingatan terhadap budaya bangsa, terutama
bagi generasi muda bangsa Indonesia.
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

62

Embu Hendriquez

DAFTAR PUSTAKA

yang terus-menerus bagai orang kesetanan.


Gejala ini memang sedang marak terjadi,
sekalipun harus diakui bahwa ada juga beberapa
televisi swasta nasional yang masih memiliki
kepedulian terhadap aspek budaya bangsa dan
soal pendidikan sebagaimana terlihat melalui
isi tayangannya.Kenyataan ini harus menjadi
perhatian kita semua, khususnya para pengelola
media televisi nasional. Semoga kedepan
televisi nasional dapat memainkan peran yang
berarti sebagai media yang tidak hanya untuk
hiburan semata tetapi juga sebagai media untuk
pendidikan dan pewarisan nilai-nilai budaya
bangsa ini.

McQuail, Denis (ed.) (2002) McQuails Reader


Mass Communicatio Theory. London,
Thousand Oaks: Sage Publications
McQuail, Denis (2010) McQuails Mass
Communicatio Theory. London: Sage
Publications.
Little John, Stephen W. & Karen A. Foss (eds.)
(2009) Encyclopedia of Communication
Theory (jilid 1). California, London:
Sage Publications
Kellner, Douglas (1990) Television and the
Crisis of Democracy. Colorado: Westview
Press, Inc.
Lull,

James (1998) Media, Komunikasi,


Kebudayaan suatu pendekatan Global
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Media Televisi Nasional dan Identitas Budaya Bangsa Indonesia

63

ISSN 2252 - 4630

Employee Relations dan Corporate Reputation


Belajar dari Google
Isabella Astrid Siahaya1

ABSTRACT
Nowadays companies highly acknowledge the
significant role of employee to improve companys perfor
mance. As important as it is, in Indonesia, companies are
publicize actively their relationship with their employees.
An Indonesias leading newspaper ran an article covering
companies that provide attractive facilities that employees
can use in their office. Also described is how every
company tries to make their employees feel comfortable
at work, treat them well and make them happy which at
the end contribute to increase productivity. This article,
particularly, discusses about how employee relation is
used to build and improve companys reputation.

Keywords:

Interact:
Vol.2, No.1, Hal. 64-70.
Mei, 2013
Prodi Ilmu Komunikasi,
Unika Atma Jaya Jakarta

corporate values, corporate culture,


corporate identity, corporate brand dan
corporate reputation, employee relations.

1 I. Astrid Siahaya adalah Ketua Program Studi Komunikasi di UNIKA ATMA JAYA Jakarta, dan dapat dihubungi di isabela.
siahaya@atmajaya.ac.id

64

Pendahuluan

para karyawan harus mulai bekerja pada pukul


09.00 s.d 16.00. Tidak boleh bekerja sebelum
dan sesudah waktu yang telah ditetapkan. Pagi
hari, para karyawan mengantarkan anaknya
ke sekolah dan sore hari sepulang kerja para
karyawan harus pulang ke rumah berkumpul
bersama keluarga, menemani anak bermain
sepak bola dan berbincang-bincang dengan istri.
Hal ini dilakukan karena perusahaan percaya
bahwa karyawan yang bahagia akan lebih
produktif. Kebahagiaan berasal dari rumah,
itu sebabnya perusahaan di Norwegia sangat
memperhatikan kehidupan keluarga karyawan.

Perusahaan yang lebih menitikberatkan


pada aspek profit semata terbukti seringkali
justru gagal mencapai tujuannya. Di tengah
menguatnya tuntutan berbagai pihak terhadap
tata kelola perusahaan yang baik, value
perusahaan diharapkan mampu mentransformasi
perusahaan menjadi lebih berbudaya, lebih
manusiawi.
Setiap perusahaan memiliki value dan
konsistensi dalam menerapkan value kemudian
menciptakan budaya organisasi dan selanjutnya
menjadi identitas dari suatu perusahaan.
Identitas inilah yang menjadi ciri khas suatu
perusahaan.

Saat ini peran karyawan memang tidak


dapat lagi dikesampingkan. Sebegitu pentingnya
value yang berkaitan dengan karyawan
sehingga Apple harus memutuskan hubungan
kerja dengan salah satu partner kerjanya di
Cina yaitu Guangdong Real Faith Pingzhou
Electronics setelah terbukti mempekerjakan
anak dibawah umur dan dengan jam kerja yang
sangat panjang (Baihaki 2013). Skandal ini
dimuat diberbagai media sehingga Apple tidak
memiliki pilihan selain memutuskan hubungan
kerja agar citranya tetap terjaga.

Beberapa perusahaan telah menjadikan


employee relations sebagai salah satu value
perusahaan. Karyawan tidak dapat lagi hanya
dipandang sebagai seseorang yang datang
untuk mencari pekerjaan di perusahaan dan
bekerja untuk kemudian menunggu gaji setiap
bulannya. Karyawan harus dipandang sebagai
bagian penting dari perusahaan, sebagai partner
untuk meraih profit, bahwa jika tidak ada
karyawan maka tidak ada yang akan bekerja
untuk memproduksi barang dan jasa yang akan
dijual. Karyawan dipandang sebagai bagian
penting perusahaan yang mengkomunikasikan
nilai-nilai perusahaan terhadap konsumen,
terhadap masyarakat luas. Karyawan menjadi
penghubung antara perusahaan dengan
masyarakat. Karyawan yang memiliki sense
of belonging terhadap perusahaan juga dapat
menjadi pendukung setia bagi perusahaannya
di saat-saat krisis.

Bagaimana dengan perusahaan di


Indonesia, Apakah telah tercipta budaya
organisasi partisipatori? apakah karyawan
bisa memperoleh informasi yang cukup
mengenai perusahaan? apakah karyawan telah
memperoleh haknya? Jika ada, apakah memang
employee relations ini telah menjadi value atau
sekedar untuk meningkatkan citra? Pertanyaan
tersebut akan coba diuraikan dalam makalah
ini.
Employee relations sebagai corporate values:
praktik di Google

Lattimore et al (2010) menjelaskan bahwa


ketika perusahaan melakukan komunikasi
karyawan yang efektif, hasilnya adalah mereka
akan memperoleh karyawan yang semakin
puas dan lebih produktif, meningkatnya
pencapaian tujuan organisasi, serta akan terjadi
peningkatan dalam berhubungan dengan
konsumen, komunitas dan investor. Metro TV
pernah memberitakan bahwa di Norwegia,

Terdapat berbagai sumber yang


mengemukakan definisi employee relations.
Beberapa definisi employee relations akan
dibahas terlebih dahulu sebagai landasan
dari makalah ini. Selanjutnya akan dibahas
bagaimana Google menjadikan employee
relations sebagai value yang tercermin melalui
Employee Relations dan Corporate Reputation, Belajar dari Google

65

corporate culture dan mampu meningkatkan


reputasi Google. Berikut adalah definisi dari
employee relations:

dalam organisasi. Penekanan pada peran public


relations ini sama dengan penekanan yang
dinyatakan dalam definisi Yulianita. Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa employee
relations adalah upaya yang dilakukan oleh
internal public relations untuk menciptakan
Komunikasi yang efektif didalam perusahaan,
dimana karyawan dapat dihargai baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok.

Menurut Gennard dan Judge (Leat 2007),


employee relations adalah
a study of the rules, regulations and
agreements by which employees are
managed both as individuals and as a
collective group, the priority given to the
individual as opposed to the collective
relationship varying from company to
company depending upon the values of
management. As such it is concerned
with how to gain peoples commitment
to the achievement of an organizations
business goals and objectives in a
number of different situations

Google adalah contoh perusahaan yang


menjadikan karyawan sebagai bagian penting
dalam bisnisnya. Employee relations sebagai
value telah dilakukan secara konsisten oleh
google dan menjadi corporate culture. Hal ini
tercermin dalam budaya kerja Google sebagai
berikut (google.com n.d):
Budaya kami

Selain itu, Lattimore et al (2010)


menyatakan bahwa komunikasi karyawan
adalah

Orang-orang di balik layarlah yang


membuat Google menjadi perusahaan seperti
saat ini. Kami mempekerjakan orang-orang yang
cerdas dan tekun, dan kami lebih mengutamakan
kemampuan di atas pengalaman. Meskipun
karyawan Google berbagi tujuan dan visi yang
sama untuk perusahaan, kami menerima semua
orang dari latar belakang yang berbeda dan
dengan keragaman bahasa, yang mencerminkan
pengguna global yang kami layani. Di luar
pekerjaan, karyawan Google melakukan
bermacam hobi, mulai dari bersepeda hingga
beternak lebah, mulai dari bermain frisbee
hingga berdansa foxtrot.

suatu spesialisasi public relations yang


berhubungan dengan bagaimana
para profesional public relations di
korporasi, perusahaan konsultan,
dan organisasi nirlaba membantu
mewujudkan komunikasi yang efektif
antarkaryawan dan antara karyawan
dengan manajemen.
Sedangkan definisi employee relations
menurut Yulianita (2003) adalah kegiatan
public relations untuk memelihara hubungan,
khususnya antara manajemen dengan para
karyawannya.

Kami berusaha mempertahankan budaya


terbuka yang sering kali dikaitkan dengan
perusahaan rintisan, yang mana setiap orang
merupakan kontributor aktif dan merasa
nyaman untuk berbagi ide serta opini. Dalam
pertemuan wajib mingguan kami (TGIF)
tidak termasuk yang lewat email atau di kafe
para karyawan Google mengajukan pertanyaan
langsung kepada Larry, Sergey, serta eksekutif
lainnya mengenai masalah perusahaan, berapa
pun banyaknya. Kantor dan kafe kami dirancang
untuk mendorong interaksi antara karyawan
Google di dalam tim dan antar tim lainnya,
serta untuk menghidupkan percakapan tentang

Definisi
dari
Gennard dan Judge
menekankan bahwa employee relations
adalah studi tentang peraturan dan perjanjian
dengan karyawan baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok kolektif. Hal ini
berarti perusahaan tetap harus memperhatikan
karyawan sebagai seorang individu. Definisi
lain, yaitu dari Lattimore et al menekankan
pada pentingnya peran internal public relations
dalam membentuk komunikasi yang efektif
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

66

Isabella Astrid Siahaya

dengan bermain video game untuk melepas


penat. Karyawan harus menjaga kesehatan
dengan makan makanan bergizi dan Google
menyediakan makanan serta minuman gratis
bagi karyawan.

pekerjaan serta bermain. (http://www.google.


com/intl/id/about/company/facts/culture/)
Melalui pernyataan budaya di atas
tercermin bahwa Google menerapkan budaya
partisipasi. Kesimpulan tersebut dapat diambil
karena para Googler, sebutan bagi karyawan
Google, memiliki hak untuk bertanya bahkan
dapat mengajukan pertanyaan langsung kepada
Larry Page dan Sergey Brin, pendiri sekaligus
pimpinan Google, serta para pemimpin lainnya.
Artinya dalam budaya kerja Google, karyawan
dapat memberikan masukan, informasi, dan
melakukan komunikasi timbal balik dengan
pihak manajemen. Ciri budaya partisipasi
lainnya yang terdapat di Google adalah setiap
departemen didorong untuk bekerjasama. Untuk
itu kantor dan kafe di rancang agar selalu ada
interaksi baik didalam tim maupun antar tim.

Arjanti (2013) dari kompas.com secara


singkat menuliskan fasilitas yang disediakan
Google untuk karyawannya adalah
(1)
makanan dan minuman gratis, (2) jaminan
kesehatan berupa fasilitas gym, kolam renang
dan massage, (3) aturan 80/20 yaitu aturan
yang mengharuskan karyawan Google untuk
menghabiskan 80 persen waktu kerja di kantor
untuk menyelesaikan tugas mereka, namun
20% dapat dihabiskan untuk mengerjakan
proyek khusus yang sesuai dengan passion,
(4) bertemu banyak orang pintar termasuk,
Larry Page dan Sergey Brin, pendiri Google.
Meskipun para karyawannya sudah pintar,
Google tetap mendorong mereka untuk selalu
belajar. Salah satu buktinya, pintu kamar
mandi dan bagian atas urinoir dalam toilet
kantor mereka dihiasi berbagai puzzle dan tips
seputar coding. Rupanya para Googler juga
percaya bahwa toilet merupakan salah satu
tempat terbaik untuk menemukan inspirasi, (5)
techstop yaitu unit tech-support yang dijaga
oleh para spesialis TI terbaik di Googleplex. Di
sana, para karyawan yang mendapat kesulitan
berhubungan dengan hardware dan software
bisa meminta pertolongan dalam 24 jam sehari
dan 7 hari dalam seminggu (6) memberikan
cuti melahirkan dan punya anak bagi karyawan
laki-laki, bonus biaya-biaya untuk meringankan
pembelian kebutuhan bayi, dan (7) tunjangan
kematian kepada karyawannya yang meninggal
dunia.

Employee relations telah menjadi


value bagi Google. Value berarti sesuatu
yang berharga dan karena berharga maka
kita berusaha untuk mengejarnya. Kesehatan
memiliki nilai (berharga), maka orang berusaha
untuk menjaga kesehatan dengan mengatur
pola makan, istirahat cukup dan olahraga. Bagi
Google, para Googler, adalah aset berharga.
Sebegitu berharganya sehingga pemimpin
Google bersedia mengakui bahwa para Googlerlah yang membuat perusahaan bisa seperti
sekarang ini (lihat di Budaya Kami). Google
menghargai latar belakang karyawannya yang
beragam. Karyawan dihargai sebagai individu
dengan memberikan mereka kesempatan untuk
melakukan hobinya masing-masing.
Apa yang dijanjikan oleh Google melalui
pernyataan Budaya Kami, bukan semata tulisan
di website. Perusahaan yang didirikan oleh dua
alumni Stanford University ini mewujudkan
culture tersebut melalui penyediaan fasilitas
yang memudahkan dan menyenangkan bagi
karyawan untuk bekerja di Google. Media ramai
memberitakan bahwa Google menyediakan
tempat olahraga bagi karyawan, mulai dari
ruang gym, kolam renang, lapangan basket, voli
dan golf. Selain itu jika karyawan lelah bekerja
maka ada fasilitas massage dan bisa bersantai

Google tidak hanya membina hubungan


baik dengan karyawan yang berada di kantor
pusat di California, Amerika Serikat. Ningrum
(2013) dari liputan6.com menuliskan tentang
fasilitas dan suasana kantor Google di Tel
Aviv, Israel, dimana setiap ruang diatur
sedemikian rupa agar tak hanya memberikan
kenyamanan bekerja bagi karyawannya, tapi
juga memberikan inspirasi dan kreativitas.
Setiap ruang dirancang dengan tema berbeda,
Employee Relations dan Corporate Reputation, Belajar dari Google

67

yang menggambarkan keragaman Israel sebagai


sebuah negara dan bangsa. Setiap tema dipilih
dengan bantuan karyawan Google lokal, agar
ide-ide yang dipilih dapat diinterpretasikan.
Mulai dari gaya pedesaan, beachy hingga
kelas atas perkotaan atau futuristik. Jika lelah
bekerja, karyawan bisa melihat keluar jendela
dan menikmati pemandangan kota, atau main

perosotan di terowongan yang disediakan


Google. Di beberapa sudut ruangan dipercantik
dengan pohon dan meja piknik. Kantor ini juga
memiliki dapur dan restoran, tinggal pilih mau
makanan halal atau non-halal. Google juga
menyediakan fasilitas olahraga untuk membakar
kalori. Berikut foto-foto kantor Google di Tel
Aviv, Israel:

Gambar : Kantor Google di Tel Aviv, Israel. (Photography: Itay Sikolski / officesnapshots, Sumber: Ningrum, 2013)
InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

68

Isabella Astrid Siahaya

Employee Relations di Indonesia

Kantor Google di Tel Aviv, Israel menjadi


gambaran bagaimana Google menghargai
perbedaan dan keragaman. Fasilitas yang ada
di kantor di Tel Aviv hampir sama lengkap
dan mewahnya dengan yang ada di California,
termasuk ruang gym. Ini menunjukkan sikap
adil para pimpinan perusahaan. Jikapun ada
perbedaan maka itu karena menyesuaikan
dengan selera lokal. Think globally, act localy.

Di Indonesia, walaupun banyak per


usahaan yang tetap memperlakukan karyawan
dengan tidak layak, seperti mengabaikan
keselamatan dengan mengangkut karyawan
menggunakan mobil terbuka yang biasanya
dilakukan perusahaan perkebunan, namun
beberapa perusahaan telah berusaha memper
lakukan karyawan dengan adil. Unilever
Indonesia, Ogilvy & Mather Indonesia, per
usahaan furniture Olympic dan PT PLN
(Persero) adalah beberapa contoh perusahaan
yang telah berupaya menjalin hubungan baik
dengan karyawan. Keempat perusahaan tersebut
menjalin komunikasi yang lebih terbuka dengan
karyawan.

Employee Relations dan Corporate


Reputation
Menurut Melewar (2008) reputation result
from reflection upon historical accumulated
impact of previously observed identity cues
and transactional experiences. Sementara
menurut Dowling, corporate reputation adalah
the evaluation (respect, esteem, estimation, in
which organizations image is held by people.

Kantor modern didesain dengan menge


depankan kenyamanan karyawan. Kini, di
kantor karyawan tidak lagi sekedar bekerja.
Mereka berekreasi dengan biliar dan perosotan,
membuat album musik, berolahraga, hingga
mengasuh bayi (Kusuma 2013). Komunikasi
dua arah-pun mulai diberlakukan di beberapa
perusahaan di Indonesia.

Masih mengacu pada kasus Google,


perusahaan tersebut telah berhasil mewujudkan
karakteristiknya dan membuat perbedaan
melalui employee relations. Reputasi Google
terus meningkat, tidak heran Google menjadi
target dari para pencari kerja Deliusno (2012).
Media memberitakan bahwa setiap 25 detik,
Google menerima 1 lamaran kerja dan 40.000
lamaran untuk magang setiap harinya. Bahkan
Google menjadi perusahaan idaman bagi para
pencari kerja selama 4 tahun yaitu 2007, 2008,
2012, dan 2013. Di tahun 2012, Google juga
berada di urutan kedua sebagai perusahaan
paling inovatif (Yusuf 2012).

Olympic adalah perusahaan furniture dari


Indonesia, pemiliknya, Au Bintoro, membangun
studio musik di kawasan pabrik. Studio tersebut
dapat digunakan oleh karyawan untuk berlatih
musik dan bernyanyi bersama Bintoro setelah
jam kerja. Unilever Indonesia melengkapi
kantor dengan fasilitas gym, kantin mewah
dengan makanan dan minuman gratis pada
jam makan siang, dan karyawan juga diberi
kebebasan untuk mengambil satu hari bekerja
dirumah. Bermain billiard di areal perkantoran,
kafe dirancang untuk rekreasi karyawan,
mainan perosotan disediakan oleh Ogilvy &
Mather Indonesia untuk karyawannya. Bermain
billiard pun biasa dilakukan dengan atasan. PT
PLN (Persero) menyediakan fasilitas penitipan
bayi (day care) dan employee care centre yaitu
wadah pengaduan karyawan (Kusuma 2013).

Reputasi ini tidak diraih dalam waktu


singkat, membutuhkan waktu 15 tahun bagi
Google untuk membangun perusahaan yang
dimulai dari garasi tersebut sampai menjadi
seperti saat ini. Di tengah persaingan yang sangat
kompetitif, identitas perusahaan dibutuhkan
agar para stakeholder dapat mengenali suatu
perusahaan dan Google berhasil membentuk
identitas melalui employee relations.

Employee Relations dan Corporate Reputation, Belajar dari Google

69

Hubungan baik yang terjadi antara


pimpinan dan karyawan membuat komunikasi
menjadi lebih efektif. Dalam keterbukaan
seperti ini, informasi disampaikan dengan lebih
terbuka dan dapat memotong jalur birokrasi.
Keterbukaan informasi membuat karyawan
merasa puas. Hal ini dapat mencegah terjadinya
hal-hal negatif seperti demonstrasi atau aksi
mogok karyawan. Karyawan menjadi lebih
kreatif dan berbagai ide baru muncul saat
mereka sedang bermain.

Budaya kami, http://www.google.com/intl/id/


about/company/facts/culture/, diakses 20
Maret 2013.
Deliusno, Panjangnya proses jadi karyawan
google, 19 Oktober 2012, diakses pada
20 Maret 2013 http://tekno.kompas.com/
read/2012/10/19/18090542/panjangnya.
proses.jadi.karyawan.google
Dowling, GR 2001, Creating corporate
reputations:
identity,
image
and
performance, Oxford University Press,
Oxford.

Upaya menerapkan employee relations


yang baik bukan berarti membuat keempat
perusahaan tersebut telah mampu meraih
kepercayaan dari masyarakat, seperti halnya
Google. Menurut Lattimore et al, budaya
organisasi mengacu pada karakter sebuah
organisasi,
sejarahnya,
pendekatannya
dalam pengambilan keputusan, caranya
memperlakukan karyawan, dan bagaimana
berurusan dengan dunia luar. Di Google,
cara memperlakukan karyawan telah menjadi
karakter perusahaan. Sedangkan empat
perusahaan di Indonesia yang menjadi contoh
diatas belum dapat dikatakan demikian karena
baru saja memulainya. Jika tidak konsisten,
maka bisa saja dikatakan bahwa keempat
perusahaan tersebut hanya sekedar follower.

Dundon T & Rollinson D 2011, Understanding


employment relations, 2nd edition,
McGraw-Hill
Higher
Education,
Berkshire.
Ningrum DW 2013, Kerennya kantor baru
Google di Tel Aviv Israel! 07 Februari
2013, diakses 25 Maret 2013. http://tekno.
liputan6.com/read/506564/kerennyakantor-baru-google-di-tel-aviv-israel
Kusuma, M 2013 Bekerja sambil bermain, 10
Maret 2013, Kompas.
Leat, M 2007 Exploring employee relations,
2nd edition, Butterworth-Heinemann Elsevier, Burlington.

Daftar Pustaka

Yulianita, N 2003 Dasar-dasar Public Relations,


Pusat Penerbit Universitas LPPM
UNISBA, Bandung.

Arjanti, RA 2013, Beginilah Cara Google Bikin


Karyawan Betah, 11 Maret 2013, diakses
25 Maret 2013. http://tekno.kompas.com/
read/2013/03/11/17153022/beginilah.
cara.google.bikin.karyawan.betah

Yusuf O, Apple kembali menjadi perusahaan


paling inovatif, 13 November 2012,
diakses 26 Maret, 2013. http://tekno.
kompas.com/read/2012/11/13/11485883/
Apple.Kembali.Jadi.Perusahaan.Paling.
Inovatif

Baihaki, 2013, Gunakan 74 Persen Pekerja


di Bawah Umur, Apple Hentikan Kerja
sama dengan Supplier Cina, 24 Januari
2013, diakses 25 Maret 2013 http://www.
beritateknologi.com/gunakan-74-persenpekerja-di-bawah-umur-apple-hentikankerja-sama-dengan-supplier-cina/

InterAct, Vol. 2, No. 1, Mei, 2013

70

Isabella Astrid Siahaya

ISSN 2252 - 4630


Pedoman Penulisan Naskah Jurnal InterAct
1. Artikel merupakan karya ilmiah berupa hasil penelitian atau kajian kritis yang belum
pernah dipublikasikan di jurnal ilmiah manapun
2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan menggunakan
pengolah kata MS Word dan kertas berukuran kwarto ukuran 21,5 x 28 cm huruf Times
New Roman 12, dan diketik denga jarak 2 spasi. Panjang artikel 15-24 halaman (termasuk
lampiran jika ada). Jarak pengetikan 4 cm dari kiri dan atas kertas, 3 cm dari kanan dan
bawah kertas. Nomor halaman ditulis kanan bawah kertas.
3. Artikel dilampiri biodata singkat tentang penulis dan surat pernyataan bahwa artikel
tersebut belum pernah dimuat di jurnal manapun.
4. Artikel yang dinilai layak terbit akan diberitahu melalui surat elektronik (e-mail). Jika
setelah dibaca pembaca ahli artikel dirasa perlu diperbaiki, Redaksi akan mengembalikannya
kepada penulis dan meminta penulis merevisi sesuai dengan batas waktu yang ditentukan
Redaksi. Sebaliknya, jika artikel tidak layak terbit, artikel tidak akan dikembalikan ke
penulis, kecuali atas permintaan penulis.
5. Penulis akan menerima honorarium atas artikel yang dimuat dan bukti publikasi sebanyak
dua jurnal.
6. Sistematika penulisan artikel:
a. JUDUL (huruf capital 12 pt, bold, center, tidak lebih dari 14 kata)
b. Nama penulis (normal, 12 pt, center, tanpa gelar)
c. Nama fakultas/instansi kerja (normal, 12 pt, center)
d. Nama universitas (normal, 12 pt, center)
e. Alamat e-mail (huruf miring, 12 pt, center)
f. Abstrak (huruf capital, tebal, 12 pt); terdiri dari satu paragraph sekitar 150 250 kata
dan ditulis dalam Bahasa Inggris jika artikel dalam Bahasa Indonesia begitu pula
sebaliknya.
g. Kata kunci (normal, 12 pt, 3-5 kata/frasa)
A. (artikel berupa hasil penelitian)
PENDAHULUAN (kapital 12 pt, tebal)
METODE PENELITIAN (kapital 12 pt, tebal)
HASIL DAN PEMBAHASAN (kapital 12 pt, tebal)
SAMPUL (DAN SARAN/REKOMENDASI) (kapital 12 pt, tebal)
CATATAN (endnote, bukan catatan kaki) (kapital 12 pt, tebal)
PUSTAKA ACUAN (kapital 12 pt, tebal)
UCAPAN TERIMA KASIH (kapital 12 pt, tebal)
LAMPIRAN (bila perlu) (kapital 12 pt tebal)
B. (artikel berupa kajian kritis):
PENDAHULUAN
INTI (berisi pembahasan yang mendalam, terdiri dari judul dan/atau subjudul)
SIMPULAN/PENUTUP
7.

8.

Aturan pengutipan langsung


Jika panjang kutipan kurang dari empat baris, harus dipadukan dalam teks dengan
memberikan tanda petik diawal dan diakhir kutipan. Jika kutipan lebih dari atau sama
dengan empat baris, kutipan dibuat dalam baris tersendiri dan ditulis dengan spasi tunggal,
diberi indensi sepuluh huruf, terletak di tengah, dan tanpa tanda petik.
Nama penulis yang disitir atau dirujuk, ditulis dengan sistem nama dan tahun. Urutannya
71

ISSN 2252 - 4630


adalah nama (dibalik urutannya, sesuai dengan pencatumannya di dalam Pustaka Acuan),
tahun terbit buku/artikel, dan nomor halaman. Contoh: (Foster 1993: 18).
9. Tabel atau gambar diberi nomor urut, judul (ditulis huruf tebal) dan sumber-sumbernya.
10. Pustaka acuan hanya berisi pustaka yang mutakhir (paling lama sepuluh tahun kebelakang)
yang dikutip dalam artikel.


Disusun berdasarkan cara penulisan dari Harvard Referencing System, contoh sebagai
berikut:
-
Buku

Elder, B 1995, The magic of Australia, Beaut Books, Sydney.
-
Artikel dalam jurnal:

Peterson, J & Schmidt, A 1999, Widening the horizons for secondary schools,
Journal of Secondary Education, vol. 3, no. 8, pp. 89106.
-
Artikel dalam surat kabar:

Condren, P 1999, Swiss prepare charges, Weekend Australian, 3031 July, p. 1.
-
Artikel dalam website:

Barro, RJ 1997, Macroeconomics, 5th edn, viewed 17 February 2006, http://purl.
library.cqu.edu.au/EBOOKS/339-0289-29960
-
Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi

Herbert-Cheshire, L 1997, Living by the sea, BA Hons Thesis, Central Queensland
University.

(Note: The title is not italicised as this has not been published).
11. Artikel dikirim melalui e-mail: nia.sarinastiti@atmajaya.ac.id atau sarinastiti@yahoo.
com. Artikel juga dapat dikirim melalui pos dalam bentuk CD beserta hardcopy sebanyak
dua (2) eksemplar.
Alamat Redaksi:
Redaksi Interact
UP: Dr. Nia Sarinastiti
Prodi. Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi
Gedung C. Lt. 1
Unika. Atma Jaya
Jl. Jend. Sudirman No. 51, Jakarta 12930
Telp: 021-5708967, ext: 348

72

Anda mungkin juga menyukai