Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerusakan pada telinga dalam yang disebabkan oleh penggunaan obat tertentu
seringkali ditemukan dalam praktek kedokteran sehari-hari. Ototoksik sudah lama dikenal
sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan
yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. Contoh yang paling
sering digunakan adalah obat-obat golongan aminoglikosida untuk penatalaksanaan
beberapa penyakit seperti diare, tuberculosis paru, dsb, ataupun eritromisin, obat anti
inflamasi yang juga sering digunakan, yang mempertinggi angka kejadian ototksisitas.
Sebagai seorang klinisi, dokter haru s mengetahui bahwa obat yang bersifat ototksis dapat
menyebabkan kerusakan pada system pendengaran dan keseimbangan yang sering kali
tidak diperhatikan. Sehingga seorang dokter harus mengenali jenis obat-obatan yang
bersifat ototoksik.
Obat ototoksik dapat didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi dapat
menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti koklea,
vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada struktur-struktur ini yang
disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan
pendengaran, tinnitus dan gangguan keseimbangan. Ototksisitas didefinisikan sebagai
kerusakan pada struktur koklea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Membahas persoalan yang terdapat dalam kasus yang diberikan pembimbing
praktikum farmakologi
2. Mengetahui obat yang bersifat ototoksik sesuai kasus yang diberikan
3. Sebagai syarat untuk mengikuti praktikum farmakologi blok 19 modul 1

1.3. Manfaat Penulisan


1

Dapat memahami obat-obat yang memiliki efek samping ototoksik sesuai kasus
yang diberikan oleh pembimbing praktikum farmakologi.

BAB II
2

ISI
1. Seorang penderita berumur 28 tahun dirawat di Rumah Sakit Umum dengan sesak
nafas. Hasil diagnosis dokter adalah pneumonia. Terapi yang didapat adalah injeksi
pencilin prokain 2x2.4 juta unit IM, gentamicin 2x80 mg iv, asam salisilat 500 mg
sehari 3 kali. Setelah dirawat selama 5 hari penderita mengeluh pusing berputarputar dan tinnitus. Diagnose tambahan vertigo. Diberi obat flunarizin 1x10 mg dan
obat suntik diteruskan. Dua hari kemudian penderita mengeluh pendengaran
berkurang.
a. Sebutkan obat obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas.

Gentamisin
Asam salisilat

b. Sebutkan obat-obat antibiotic yang bersifat ototoksik.


Antiobiotik yang bersifat ototoksik :
Golongan Aminoglikosida : Streptomisin, Neomisisn, Kanamisin, Gentamisin,

Tobramisin< Amikasin, Netilmisin, dan Sisomisin


Golongan Makrolida : Eritromisin
Vankomisin, Viomisin, Capreomisin, dan Minosiklin dapat megakibatkan
ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi ginjalnya.

c. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat


tersebut.
Gentamisin
Mekanisme ototoksik antibiotik golongan aminoglikosida terjadi karena degenerasi
berat sel rambut organ Corti mulai di bagian basilar menjalar ke apeks.
Asam salisilat
Obat ini dapat dengan cepat memasuki koklea dan perilimfe bersamaan di kadar
serum. Peningkatan kadar obat ini menimbulkan gejala tinitus, dan umumnya
3

menyebabkan tuli sensorineural yang reversibel. Mekanismenya dengan banyak


faktor, tapi lebih terjadi karena proses metabolisme didalam koklea.
d. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat
pada kasus tersebut.
-

Gentamisin
Tinitus
Early hearing loss
Ketidakseimbangan
Vertigo
Oscillopsia
Nystagmus
Asam salisilat
Tinitus
Hearing loss
Nausea
Vomiting
Headache
Confusion
Takikardia
takipnea

e. Apa risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut.


a.
b.
c.
d.
e.
f.

pemberian terapi dengan dosis tinggi


konsentrasi serum tinggi
terapi dalam waktu lama
pasien usia lanjut
pasien dengan insufisiensi renal
pasien dengan kondisi gangguan dengar sebelumnya

f. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan


obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototksik disebabkan
oleh obat tersebut.
Vestibular autorotation test (VAT)
Vestibulo-ocular reflex testing equipment (VORTEQ)
Electronystagmography (ENG)
ENG gunanya untuk memonitor gerakan bola mata. Prinsipnya sederhana saja,
yaitu bahwa kornea mata itu bermuatan positif. Muatan positif ini sifatnya sama
dengan muatan positif listrik atau magnet yang selalu mengimbas daerah
4

sekitarnya. Dengan meletakkan elektroda pada kulit kantus lateral mata kanan dan
kiri, maka kekuatan muatan kornea kanan dan kiri bisa direkam. Rekaman muatan
ini disambungkan pada galvanometer. Bila muatan kornea kanan sama dengan
kiri, galvanometer akan menunjukkan angka nol (di tengah). Jadi kesimpulannya
jarum galvanometer akan bergerak sesuai dengan gerak bola mata. Dengan

demikian, nistagmus yang terjadi bisa dipantau dengan baik.


Computerized dynamic posturography (CDP)
Rotary chair (SHAT)
Head-shaking
Electrocochleography (EcoG)
Auditory brainstem response (ABR)
Otoacoustic emissions
Pure toneaudiometry
Speech discrimination

g. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik.


Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obatobat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu
dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperi
tinitus, kurang pendengaran dan vertigo.
h. Apakah alternative untuk penggantian obat untuk terapi tersebut?
- Antibiotiknya dapat diberikan nafsilin/oxasillin, ceftazidime atau cefepime atau
tikarcilin-klav/Meronem/Aztreonam
- Analgesic dan antipiretik dapat diberikan paracetamol.

2.

Seorang penderita berumur 50 tahun menderita osteomyelitis dan gagal jantung.


Mendapat terapi natrium diklofenak 3x50 mg, ciprofloksasin 3x750 gram,
furosemid 1x20 mg, Aspar K (Kalium aspartat) 1x1 tablet. Obat furosemid dan
aspar K sudah diminumnya selama 1 tahun. Setelah obat selama dua minggu ia
merasa pendengaran sering berdenging dan pendengaran berkurang.
5

a. Sebutkan obat obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas.
Natrium diklovenak, furosemid, dan natrium diklovenak
b. Sebutkan obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Salisilat
Diclofenac
Etocolac
Fenprofen
Ibuprofen
Indomethacin
Naproxen
Piroxicam
Sulindac

c. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat


tersebut.

1. Natrium diklofenak merupakan salah satu obat yang termasuk dalam golongan
obat anti inflamasi non streroid (NSAID). NSAID diketahui menghambat
metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, NSAID juga
menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion
lipofilik dan bila semakin rendah maka semakin besar kelarutannya. Asam asetil
salisilat secara umum menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang
berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Salisilat menghambat protein
membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas
melalui translokasi transmembran dari anion monovalendeperti CL-, sehingga
mempengaruhi daya cochlear ampliifier. Penelitian pada tulang temporal pasien
yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang
normal. Hal ini menyatakan bahwa efek ototaksisitas obat in adalah reversibel
(Durrant, et.al, 2009)
2. Furosemid
Furosemid adalah salah satu obat yang termasuk dalam deuritic loop bersama
ethycynic acid dan bumetanid yang bekerja pada bagian asendens ansa henle
tebal. Diuretik digunakan untuk memodifikasi komposisi dan atau volume cairan
6

tubuh untuk menangani kondisi seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal
ginjal, sirosis, dan sindrom nefrotik. Deuritic loop bekerja pada bagian ascending
dari loop of henle ginjal. Target kerja obat ini adalah protein potassium-2 cloride
(NA+-K+2-Cl-) cotransporters. Protein ini ternyata banyak diitemukan pada sel
epitelial dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea.
Inhibisi dari kerja protein ko-transporter tersebuh menyebabkan ekskresi Na +dari
sel marginal keruang interstisial sehingga menimbulkan edema pada ruang
interstisial dan juga pada sel penyusun stria vaskularis. Kondisi ini mempengaruhi
potensial endokoklea, yang penting untuk mempertahankan potensial sel
rambutdalam batasan yang normal. (Durrant, et.al, 2009). Akan terjadi penurunan
potensial positif endolimfe. Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada
motilitas sel rambut luar yang akan menimbulkan disfungsi sensori . gangguan
pendengaran yang ditimbulkan meliputi tinitus, gangguan pendengaran, ketulian,
vertigo, dan rasa penuh pada telinga. Gangguan pendengaran dan ketulian
biasanya bersifat reversibel, tetapi tidak selalu (Heidjen, et.al, 2007)
3. Ciprofloksasin
Ciprofloksasin merupakan obat golongan quinolon yang merupakan analog asam
nalidiksat yang difluorinasi. Obat ini bekerja dengan menghambat DNA girase
(topoisomerase II) yaitu enzim yang bertanggungjawab terhadap terbuka dan
tertutupnya lilitan DNA sehingga mencegah relaksasi DNA superkoil yang
dibutuhkan untuk transkripsi dan duplikasi normal. Penggunaan berkelanjutan
dalam dosis tinggi menyebabkan hilangnya sel-sel rambut luar, mengurangi
perfusi sekitar koklea dan meyebabkan perubahan biokimia. Onset ototoksisitas
dari ciprofloxacin biasanya 3 sampai 4 hari dimulainya penggunaan obat ini.
Pasien akan merasakan gejala tinitus yang disertai dengan kehilangan
pendengaran akibat ototoksisitasnya.

d. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat
pada kasus tersebut.

Natrium diklofenak
7

Gejala yang ditimbulkan walaupun jarang adalah sakit kepala, peasaan


gugup, perubahan mood, kesulitan tidur, vertigo dan tinnitus. Tinnitus
merupakan gejala subjektif awal yang kemudian dapat diikuti hilang

pendengaran yang bersifat reversibel.


Ciprofloksasin
Tanda dan gejala yang dapat ditimbulkan adalah nyeri kepala,
gangguan tidur, mual, muntah, kegelisahan, depresi, asthenia, kebingungan,
halusinasi, konvulsi, parestesia, gangguan visual, pendengaran, penciuman

dan tinitus. Siprofloksasin dapat menyebabkan kerusakan pada saraf.


Furosemid
Furosemide dapat menimbulkan penglihatan kabur, pusing, telinga
berdengung dan mual. Biasanya frekuensi urin maksimal sampai enam jam
setelah dosis pertama, dan akan menurun setelah mengkonsumsi furosemide
dalam waktu beberapa minggu.

e. Apa risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut.

Siprofloksasin
Dilaporkan ototoksitas dengan orang yang memiliki kanker ovarium, non-

Hodgkin Limfoma, sinusitis.


Natrium diklofenak
Pemakainan obat ini harus berhati-hati jika terdapat tukak lambungdan

pemakaian dosis tinggi dapat menyebabkan otoksitas.


Furosemid
Faktor resiko ototoksis adalah usia lanjut, dosis tinggi dan peningkatan
temperatur.

f. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan


obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototksik disebabkan
oleh obat tersebut.
Adapun

cara

mendiagnosis

suatu

kelainan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


8

Anamnesis:
Anamnesis

yang

lengkap

diperlukan

untuk

mendiagnosis

gangguan

pendengaran yang disebabkan oleh ototoksisitas. Selain itu, pemeriksaan fisik


termasuk tekanan darah sangat diperlukan. Pada pemeriksaan otoskopi tidak dijumpai
kelainan pada telinga yang sakit. Anamnesis yang lengkap dapat ditanyakan
berdasarkan tanda dan gejala dari pasien tersebut, adapun sebagai berikut:
Keluhan utama (SOCRATES)
Riwayat penyakit sekarang: kapan pertama kali terjadi gejala tersebut? Apakah
dirasakan mendadak? Apakah terjadi pada satu sisi atau keduanya?
Riwayat penyakit dahulu: apakah sebelumnya pernah merasakan gangguan seperti
ini? Apakah pernah dirawat di Rumah Sakit karena gangguan ini atau gangguan
lain? Apakah pernah menderita suatu penyakit yang berhubungan dengan gejala
(zeperti: DM, gagal ginjal, malaria,dll; yang menggunakan obat-obatan yang
memounyai sifat ototoksik)?
Riwayat penyakit keluarga: apakah ada keluarga yang menderita hal yang sama?
Apakah ada riwayat penyakit keturunan (seperti DM, hipertensi, dll)?
Riwayat pengobatan (obat-obatan apa saja yang sedang dikonsumsi, dosisnya, dan
sudah berapa lama menggunakan obat tersebut)
Berikut ciri gangguan pendengaran akibat ototoksisitas:
Kehilangan pendengaran tiba-tiba biasanya satu telinga yang tidak jelas
penyebabnya, berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.
Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka kehilangan
pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi klik atau pop kemudian pasien
kehilangan pendengaran.
Gejala pertama adalah berupa tinitus, beberapa jam bahkan beberapa hari
sebelumnya bisa didahului oleh infeksi virus, trauma kepala, obat-obat ototoksik,
dan neuroma akustik.
Pusing mendadak (vertigo) merupakan gejala awal terbanyak dari tuli mendadak
yang disebabkan oleh iskemik koklear dan infeksi virus, dan vertigo akan lebih
hebat pada penyakit meniere, tapi vertigo tidak ditemukan atau jarang pada tuli
mendadak akibat neuroma akustik,
9

Mual dan muntah


Demam tinggi dan kejang
Riwayat infeksi virus seperti mumps, campak, herpes zooster, CMV, influenza B
Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit metabolik seperti DM
Telinga terasa penuh, biasanya pada penyakit meniere
Riwayat berpergian dengan pesawat atau menyelam ke dasar laut
Riwayat trauma kepala dan bising keras

Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan pendengaran, tes garpu tala: Rinne positif, Weber
lateralisasi ke telinga yang normal, Schwabach memendek, kesan tuli
sensorineural.

- Pemeriksaan Penunjang:
a. Audiometri khusus
Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor : 100% atau

kurang dari 70%


Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif.

Kesan : Bukan tuli retrokoklea


b. Audiometri tutur (speech audiometry)
SDS (speech discrimination score): kurang dari 100%
Kesan : Tuli sensorineural
c. Audiometri impedans
Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif atau positif
sedangkan kolateral positif.
Kesan : Tuli sensorineural Koklea
d. BERA ( Brainstem Evolved Responce Audiometry)
Menunjukkan tuli sensori neural ringan sampai berat.
Pemeriksaan pendengaran awal yang dilakukan sebaiknya dilakukan
selengkap mungkin, minimal dengan audiometric nada murni dengan frekuensi
0,25-8kHz. Pada audiometri nada murni menunjukkan tuli sensorineural ringan
sampai berat. Pemeriksaan audiometri nada tutur memberi hasil tuli sensorineural
sedangkan pada audiometri impedans terdapat kesan tuli sensorineural koklea.
10

Pada anak-anak dapat dilakukan tes BERA dimana hasilnya menunjukkan tuli
sensorineural ringan sampai berat.

Klasifikasi Audiometri Nada Murni


Kehilangan

Klasifikasi

dalam Desibel

Pendengaran normal

0-15

Kehilangan pendengaran kecil

>15-25

Kehilangan pendengaran ringan

>25-40

Kehilangan pendengaran sedang

>40-55
>55-70

Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat


Kehilangan pendengaran berat

>70-90
>90

Kehilangan pendengaran berat sekali

Klasifikasi Audiometri Tutur


1. Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB
2. Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB
3. Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB
4. Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB

Kriteria ototoksik telah ditetapkan oleh American Speech-Language-Hearing


Association (ASHA), the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for
Adverse Events (CTCAE), dan oleh Brock.
ASHA membagi ototoksisitas menjadi:

11

Nada murni 20 dB atau lebih pada satu frekuensi


Nada murni 10 dB atau lebih pada 2 frekuensi yang berdekatan
Kehilangan respon pendengaran pada pemeriksaan 3 frekuensi
CTCAE membagi berdasarkan derajat keparahan ketulian akibat ototoksik menjadi 14:

Grade 1 : 15 25 dB, pada 2 atau lebih frekuensi setidaknya pada salah

satu telinga
Grade 2 : >25 90 dB, pada 2 frekuensi setidaknya pada salah satu telinga
Grade 3 : penurunan pendengaran memrlukan intervensi berupa obatobatan atau alat bantu dengar ( >20 dB bilateral pada frekuansi

percakapan; >30 dB unilateral)


Grade 4 : Indikasi untuk implant koklear

Broke membagi ototoksik menjadi 5 berdasarkan derajat keparahan ketulian akibat


ototoksik.
o Grade 0 : <40 dB pada seluruh frekuensi
o Grade 1 : Ambang pendengaran 40 dB atau lebih tinggi pada
frekuensi 8.000 Hz
o Grade 2 : Ambang pendengaran 40 dB atau lebih tinggi pada
frekuensi 4.000-8.000 Hz
o Grade 3 : Ambang pendengaran 40 dB atau lebih tinggi pada
frekuensi 2.000-8.000 Hz
o Grade 4 : Ambang pendengaran 40 dB atau lebih tinggi pada
frekuensi 1.000-8.000 Hz
Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak diperiksa dengan pemeriksaan
audiometric standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan
Audiotory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk dokumentasi dan
monitoring pasien. OAE khususnya sensitive dand apat menggambarkan keadaan pada
sel rambug luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian kokhleotoksik secara objektif.
OAE juga dilaporkan lebih sensitive bila dibandingkan dengan audiometric nada
murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah pemberian gentamisin.

12

Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya terbatas pada frekuensi 14kHz.

g. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik.

Mempertimbangkan pengguanaan obat-obat ototoksik

dengan menilai

kerentanan pasien. Sebelum memulai pengobatan, terlebih dahulu ditentukan

tingkat pendengaran dasar dari pasien dan dilakukan juga uji keseimbangan
Memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejalagejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang

pendengaran dan vertigo.


Selama masa pengobatan, dilakukan monitoring fungsi pendengaran.
Monitoring harus dilakukan dengan interval waktu yang tetap. Jika pasien
menunjukan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga, harus dilakukan upaya
untuk mengurangi efek ototoksik secepat mungkin dengan cara evaluasi
audiologik dan menghentikan pengobatan atau mengganti dengan obat

alternatif lain.
Pada penggunaan antibiotic aminoglikosid, pemeriksaan sebaiknya dilakukan
1-3 minggu sekali. Pada penggunaan obat kempterapi pemeriksaan sebaiknya
dilakukan 1 minggu sekali. Jarak waktu pemeriksaan dapat menjadi lebih
singkat apabila ditemukan gejala otoksisitas. Pemeriksaan harus dilanjutkan
sampai dengan 3-6 bulan setelah terapi ototoksik diberikan.

h. Apakah alternative untuk penggantian obat untuk terapi tersebut?


a. Diklofenak 3 x 50 mg aman untuk dikonsumsi. Jikapun diganti, dapat diganti
dengan Paracetamol 3 x 500 mg ataupun obat anti inflamasi yang lain seperti
Piroxicam.
b. Ciprofloksasin 3 x 750 mg aman dikonsumsi. Jika pun ingin diganti, bisa diganti
dengan golongan antibiotik (sesuai dengan penyebabnya), contohnya golongan
cephalosporin seperti cefadroksil, Golongan penisilin seperti amoksilin. Terapi
antibiotik alternatif untuk pasien osteomyelitis dengan tinitus pada pemberian
13

antibiotik ciprofloksasin adalah clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole,


atau rifampin yang tidak mempunyai efek samping pada telinga dan merupakan
pilihan terapi yang juga efektif terhadap osteomyelitis. Clindamycin dapat
diberikan secara oral setelah terapi melalui IV selama 1-2 minggu. Cloxacillin dari
golongan penicillin dapat pula dibelikan pada pasien osteomyelitis akut dengan
dosis 250-500 mg selama 6 hari per oral, diberikan 1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan. Dapat pula dipertimbangkan terapi antibiotik dari golongan
cephalosporin generasi 3 jika diduga kuman penyebabnya gram negatif.
c. Furosemid 1 x 20 mg dan Aspar K 1 x 1 mg dapat diganti dengan jenis ACE
Inhibitor tanpa pemberian lagi Aspar K. karena Aspar K hanya diberikan untuk
mengurangi efek samping dari pemberian Furosemid.

3. Seorang penderita berumur 20 tahun 45 Kg mederita TBC, mendapat pengobatan


obat paket RHZES di puskesmas, setelah tiga minggu pengobatan penderita
mengeluh telingganya berdenging dan pendengaran berkurang. Mendapat
pengobatan tersebut selama satu bulan, ia mendapat penyakit malaria dan dirawat
di Rumah sakit. Di RS obat TBC diteruskan dan mendapat terapi kinin (quinine),
untuk obat penurun panas ia mendapat parasetamol 3 x 500 mg. Pada hari ketiga
pengobatan ia merasa telinganya berdenging dan pendengaran berkurang serta
kadang-kadang pusing berputar.
a. Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas
- Streptomisin
- Kinin

b. Sebutkan obat-obat antimalaria yang bersifat ototoksik


- Kinin
- Klorokuin (dosis tinggi oral)
c. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat
tersebut.
Farmakokinetik Aminoglikosida
Aminoglikosida memasuki telinga dalam dengan cepat setelah pemberian
melalui parenteral. Obat ini dapat ditemukan pada telinga dalam beberapa menit
14

setelah pemberian dan mencapai masa stabil pada 30 menit sampai 3 jam, adanya
akumulasi aminoglikosida pada telinga dalam menjadi penyebab kerusakan
struktur pendengaran. Aminoglikosida tetap berada pada telinga dalam walaupun
aminoglikosida dalam serum sudah tidak ada. Walaupun half-life aminoglikosida
pada serum 3-5 jam, obat ini tetap berada pada cairan telinga dalam sampai
beberapabulansetelahterapi.
Aminoglikosida dapat ditemukan pada sel rambut koklea dan sedikit berada pada
sel pendukung membran basilar serta dinding lateral. Pada sel rambut,
aminoglikosida yang tampak akan dihantar ke dalam struktur lisosom pada
permukaanapikal,karenacocokdenganreseptorendositotik.
Alat transport aminoglikosida belum diketahui dengan pasti, megalin merupakan
alat transport aminogliosida di tubulus ginjal, ditemukan pada duktus koklea,
termasuk dinding lateral, namun tidak ditemukan pada sel rambut luar, yang
merupakan target organ dari aminoglikosida.
Ototoksisitas aminoglikosida dapat terjadi pada koklea atau vestibulum
dan bisa pada keduanya. Kerusakan sel- sel sensori pada koklea yang tidak dapat
regenerasi lagi, utamanya pada sel- sel rambut luar pada basal koklea lalu
menyebar ke apeks. Sel- sel rambut dalam mengalami degenerasi kemudian
secara perlahan- lahan, selanjutnya mempengaruhi bagian lain dari koklea
termasuk stria vaskularis dan sel- sel spiral ganglion, hal ini terjadi terutama
karena pengaruh ototoksik yang berat. Pada sistem vestibular, kelainan sel- sel
rambut dimulai dari apeks krista ampularis kemudian menyebar ke perifer
reseptorvestibular.
Kerusakan utama ototoksik aminoglikosida terjadi pada basal koklea, sehingga
gejala klinis yang pertama kali muncul adalah adanya gangguan pendengaran
pada frekwensi tinggi. Kesulitan untuk mendeteksi lebih awal keadaan ini karena
pemeriksaan audiometri yang tidak rutin dilakukan pada frekwensi tinggi dan
ganguan persepsi bicara akan terjadi pada toksisitas yang berat berupa gangguan
pendengaran pada frekwensi percakapan. Kerusakan vestibular kadang kala sulit

15

untuk

dideteksi

karena

adanya

kemampuan

kompensasi

visual.

Mekanisme Ototoksik
Aminoglikosida yang berada pada cairan endolimfe dan perilimfe akan masuk ke
organ corti melalui beberapa cara. Salah satu jalan utamanya melalui pintu
transduksi yang didasarkan pada fakta bahwa aminoglikosida akan lebih ototoksik
ketika distimulasi secara akustik, cara yang lain adalah melalui transport obat
yang besar melalui jalur endositosis yang akan menghantarkan obat ke lisosom.
Reactive oxygen species (ROS) atau radikal bebas, merupakan penyebab utama
terjadinya ototoksisitas aminoglikosida. ROS merupakan bagian dari sel normal
fisiologi yang berada pada semua sel, berupa sel pada lefel rendah yang akan
selalu diimbangi oleh antioksidan intrinsik dan enzim antioksidan. Namun, ketika
produksi ROS berlebih dapat terjadi kerusakan jaringan yang luas dan dapat
membuka jalan kearah kematian sel. ROS dipercaya menyebabkan terjadinya
apoptosis dan nekrosis sel rambut, tahapan terjadinya kematian sel, dimulai dari
masuknya aminoglikosida ke dalam sel rambut luar melewati transduser mekanoelektrikal selanjutnya terbentuk komplek aminoglikosida dan besi yang bereaksi
dengan donor elektron seperti asam arahidonat membentuk ROS, seperti
superoksida, radikal hidroksi, dan hidrogen peroksida kemudian mengaktifkan c
Jun N terminal kinase (JNK) yang akan mentranslokasi nukleus untuk
mengaktifkan gen pada sel yang mengalami kematian, gen ini kemudian
translokasi ke mitokondria menyebabkan lepasnya sitokrom yang akan memicu
terbentuknya apoptosis (gambar 5). Salah satu jalan yang diaktifasi oleh
aminoglikosida melalui ROS adalah JNK dan berkontribusi terhadap terbentuknya
apoptosis. Salah satu target JNK adalah membentuk faktor transkripsi, aktifasi
protein -1. Terapi dengan gentamisin meningkatkan aktifasi protein- 1 di koklea
pada sel rambut luar. Aminoglikosida dapat membentuk kompleks dengan besi
dan memperbesar formasi katalis besi yang berasal dari asam lemak tak jenuh.
Kerusakan sel- sel rambut pada koklea akan diganti oleh sel pendukung tanpa
adanya proses inflamasi dan ini menandakan adanya proses apoptosis, walaupun
16

pada beberapa peneliti menyebutkan bahwa proses nekrosis dapat terjadi juga
pada ototoksisitas aminoglikosida dalam jumlah yang sedikit sekali.
Patomekanisme Kina
Mekanisme dari tuli akibat ototoksik masih belum jelas. Patologinya
meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apical, yang diikuti oleh sel rambut
dalam. Hal ini awalnya menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi
yang dapat

berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu tidak

mengetahui adanya gangguan pendnegaran hingga defisit mencapai derajat ringan


sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi percakapan. Kebanyakan poin yang
terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat dengan glikosaminoglikan stria
vaskularis, yang menyebabkan perubahan strial dan perubahan sekunder sel-sel
rambut. Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan1.
Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi
(>250 mg) dapat mengakibatkan ototoksisitas. Ototksisitas terjadi pula bila obat
diberikan secara parenteral, misalnya pada malaria serebral. Efek ototoksik
berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Kuinin juga dilaporkan menimbulkan
gangguan pendengaran bila digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan
dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram.
Kerusakan N VIII menimbulkan tinitus, berkurangnya pendengaran dan vertigo.
d. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat
pada kasus tersebut.
- Streptomisin (Aminoglikosida)
Kekusakan akut pada kokhlea berupa tinitus
Penurunan ambang dengar pada frekuensi tinggi (>4.000 Hz) dan

mempengaruhi frekuensi bicara


Gejala toksisitas vestibuler berupa gangguan keseimbangan dan gejala
gangguan visual. Ganggguan visual berupa oscillopsia muncul ketika kepala
bergerak yang menyebabkan pandangan kabur untuk sementara waktu.

- Kuinin
17

Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo


Gangguan pendengaran sensorineural dan bersifat sementara. Gangguan
pendengaran sensorineural dengan penurunan pendengaran di frekuensi 4.000
Hz

e. Apakah risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut


Faktor Risiko Aminoglikosid
Faktor Risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan risiko ototoksik antara
lain pemberian dosis tinggi, konsentrasi serum tinggi, terapi dalam waktu lama, pasien
dengan usia lanjut, pasien dengan isufisiensi renal, pasien dengan gangguan dengar
sebelumnya, riwayat keluarga yang mengalami ototoksitas, dan pasien yang sedang
menerima pengobatan loop diuretic.
Faktor Risiko Kina
Keracunan kina disebabkan kelebihan dosis atau reaksi kepekaan. Dosis fatal
kina

untuk

dewasa

kurang

Gejala

lebih

gram.
keracunan

sinkonism", bila ringan yang terkena dahulu ialah sistem pendengaran berupa tinitus
dan sistem penglihatan. Mula-mula penderita merasa mual, muntah, kabur dan telinga
berdenging. Pada yang berat dapat terjadi perangsangan susunan saraf ialah bingung,
gelisah

dan

delirium.

Reaksi idiosinkrasi pada penggunaan kina berupa kemerahan pada kulit, gatal-gatal dan
bercak merah, demam, gangguan pada lambung, sesak napas, ketulian dan gangguan
penglihatan.
Gejala-gejala ini akan hilang bila obat dihentikan.
f. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat
dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh
obat tersebut
Anamnesis:

o Tanda dan gejala


Streptomisin : Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut
18

pada kokhlea adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran


mungkin tidak disadari oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang
dengar pada frekuensi tinggi (>4.000Hz) yang dapat semakin memberat
dan mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat mengalami kurang
dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Gejala toksisitas vestibuler
biasanya berupa gangguan keseimbangan dan gejala gangguan visual.
Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan dimana pijakan
kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia muncul
ketika kepala bergerak yang berdampak pandangar kabur untuk
sementara waktu yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu
lalulintas atau mengenali wajah orang ketika sedang berjalan.

Kuinin : Toksisitas akibat kuinin dapat mengakibatkan tinitus, gangguan


pendengaran dan vertigo. Gangguan dengarnya biasanya sensorineural dan
sementara.

Temuan

khas

audiogram

berupa

gangguan

dengar

sensorineural dengan penurunan di frekuensi 4.000Hz . Gangguan dengar


yang permanen sangat jarang dilaporkan pada toksisitas akibat
penggunaan kuinin.
o Riwayat pemakaian obat ototoksik yang lama
o Biasanya tuli arena obat itu Tuli Sensorineural (tidak ada gap), tuli
bilateral atau tuli unilateral.

Pemeriksaan
Pemeriksaan pendengaran awal yang dilakukan sebaiknya dilakukan
selengkap mungkin, minimal dengan audiometri nada murni dengan frekuensi
0,25 8kHz. Lengkapi juga dengan riwayat pasien, riwayat keluarga,
pemeriksaan otoskopi telinga dan audiometri tutur bila memungkinkan.
Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna
19

untuk menentukan kelainan vestibuler. Head-Shake Test adalah cara mudah


untuk mendeteksi adanya gangguan sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk
diperintahkan untuk menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri
dengan sudut 10-20. Pasien dengan gangguan vestibuler akan mengalami
pandangan kabur atau rasa pening atau mual.
Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes romberg
dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat,
awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau
terlipat didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan
untuk tetap berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk
terjatuh atau condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi
maka hasilnya positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan
romberg dipertajam dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah
satu kaki berada didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.
Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal
tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler,
sehingga terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem
keseimbangan secara lebih lengkap harus dilakukan.

g. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik.


- Streptomisin
Pencegahan dilakukan dengan memonitor kadar obat dalam serum dan fungsi
ginjal serta pemeriksaan pendengaran sebelum, selama dan sesudah terapi.
Identifikasi pasien dengan faktor risiko dan gunakan obat alternatif pada pasien
tersebut. Aminoglikosid bertahan lama di kokhlea sehingga pasien harus
diedukasi untuk menghindari lingkungan yang bising sampai dengan 6 bulan
sesudah terapi dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi kerusakan kokhlea
akibat bising.
Pada penggunaan aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh ginjal, oleh
20

karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan aminoglikosid


sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan meningkatkan risiko
ototoksik. Maka fungi ginjal sebaiknya diawasi dengan jadwal sebagai berikut :
1. Pasien dengan kadar kreatinin serum normal dan :

a. Terapi selama 14 hari atau kurang : periksa kadar kreatinin 2 kali


seminggu.
b. Terapi selama lebih dari 14 hari : periksa kadar kreatinin 3 kali
seminggu
2. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang meningkat namun stabil :
periksa kadar kreatinin 2 hari sekali.
3. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang naik dan turun secara tidak
terduga : periksa kadar kreatinin setiap hari.

Kuinin
Kuinin bisa digunakan bersamaan dengan obat kedua biasanya Doksisiklin untuk
memperpendek durasi pengobatan Kuinin biasanya sampai 3 hari dan membatasi
toksisitasnya.

h. Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ?


o Streptomisin
Alternatif untuk penggantian obat Streptomisin adalah Amikacin.
Amikacin di indikasikan untuk pengobatan kasus yang dicurigai tuberculosis atau
diketahui disebabkan oleh strain-strain yang resisten-streptomisin atau resistenmultiobat. Amikacin harus digunakan dengan kombinasi setidaknya satu dan lebih
baik lagi dua atau tiga obat lainnya dimana isolatnya rentan untuk terapi kasuskasus yang resisten obat. Pemberian dosis yang direkombinasikan adalah 15
mg/kg/hari secara intramuscular atau intravena setiap hari selama 5 hari pertama
dalam seminggu untuk 2 bulan pertama dari terapi dan kemudian 1-1,5 g atau tiga
kali dalam seminggu hingga selesai perawatan 6 bulan penuh.
o Kuinin
21

Mefloquine, 15 mg/kg sekaligus atau 750 mg, kemudian 500 mg dalam 6-8 jam
atau Artesunate atau artemether dosis tunggal harian 4 mg/kg ke-0, 2 mg/kg pada
hari ke-2 san 3, 1 mg/kg pada hari ke-4 hingga 7 pengobatan atau Halofantrine,
500 mg setiap 6 jam untuk 3 dosis; diulang dalam 1 minggu.

BAB III
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
Ototoksik merupakan salah satu efek samping pengobatan kedokteran,
dengan bertambahnya obat-obatan maka bertambah pula daftar obat-obat yang
ototoksik. Obat-obat antibiotik, NSAID, dan obat anti malaria terdapat beberapa
yang bersifat ototoksik. Namun, ada pengobatan alternatif untuk terapi penyakitpenyakit yang menggunakan obat bersifat ototoksik. Contoh antibiotik yang
ototoksik adalah antibiotik golongan aminoglikosida dan makrolida. Untuk obat
obat NSAID yang menyebabkan ototoksik adalah salisilat, diklofenak, etocolac,
efenprofren, ibuprofen, indometasin, naproxen, piroxicam, dan sulindac.
Sedangkan obat-obat antimalaria yang menyebabkan ototoksik adalah kuinin dan
klorokuin. Keluhan awal yang biasa muncul pada sistem pendengaran berupa
tinnitus.
Kehilangan pendengaran yang terjadi pada frekuensi yang tinggi. Namun,
kehilangan pendengaran oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila terjadi
gangguan telinga dalam pada pemeriksaan audiometrik saat pemberian obat-obat
22

ototoksik, maka pengobatan harus dihentikan dan digantikan dengan alternatif


obat lain. Berat-ringannya gangguan pendengaran tergantung pada jenis obat,
jumlah, dan lamanya pengobatan.
3.2

SARAN
1. Pertimbangkan pemberian obat-obatan yang bersifat ototoksik kepada pasien.
2. Pemberian obat-obatan ototoksik mesti dibarengi dengan monitoring untuk
memastikan ada tidaknya gejala ototoksik yang timbul.

23

Anda mungkin juga menyukai