Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
berikatan silang dengan senyawa seperti glutaraldehid atau toluene diisosianat. Sel mikroba
juga dapat diamobilisasi melalui ikatan ion dengan senyawa polielektrolit. Metoda
amobilisasi dengan cara ini jarang dilakukan untuk sel. Dalam penggunaan untuk amobilisasi
sel, metoda ini biasanya dikombinasikan dengan metoda penjerapan (entrapment) untuk
stabilisasi proses amobilisasi. Metoda ini diterapkan untuk amobilisasi sel mikroba,
tumbuhan maupun enzim.
2.
Metoda ini merupakan metoda pengembangan dari metoda ikatan antar polimer
(cross-linking). Pada saat proses amobilisasi biasanya ditambahkan senyawa yang berfungsi
sebagai spacer seperti gelatin, albumin, polietilenimin ke dalam suspensi sel yang akan
diamobilisasi. Selanjutnya suspensi sel ini diamobilisasi dengan metoda ikatan antar polimer.
Prosedur ini akan membuat sel terperangkap pada suatu jaring kovalen. Metoda ini banyak
menyebabkan kematian sel, akan tetapi pada beberapa aplikasi metoda ini dapat digunakan
(Brodelius, 1987).
Sama halnya dengan metoda ikatan antar polimer, metoda ini juga banyak digunakan
dalam amobilisasi sel tumbuhan, sel mikroba dan enzim.
3.
4.
Metoda Adsorpsi
Metoda ini didasarkan kepada afinitas mikroba terhadap suatu permukaan padat.
Fenomena ini dapat terjadi secara alami. Misalnya, mikroba yang terikat pada butiran pasir,
partikel tanah, permukaan gigi, permukaan logam dan permukaan senyawa polivinilklorida.
Kekuatan afinitas mikroba terhadap suatu permukaan padat tergantung pada jenis mikroba.
Reaksi yang terjadi antara permukaan padat dengan sel adalah interaksi elektrostatik.
Beberapa jenis bahan yang telah digunakan untuk amobilisasi sel dengan cara ini adalah
selulosa, lektin, polivinilklorida (Brodelius, 1987). Metoda ini banyak diaplikasikan untuk
amobilisasi sel mikroba.
5.
kuat dalam menahan sel tetap berada di dalam matrik apabila dibandingkan dengan metoda
adsorpsi atau secara kimia (Brodelius, 1987).
Dalam aplikasinya, metode penjerapan ini paling sering digunakan untuk amobilisasi
sel tumbuhan, mikroba, maupun amobilisasi enzim.
C. Teknik Kultivasi
Metabolit sekunder dapat dihasilkan dengan kultivasi. Kultivasi digunakan untuk
memproduksi metabolit sekunder dalam skala besar atau skala industri. Kultivasi berdasarkan
cara operasi bioreaktor dapat dibagi menjadi 3 teknik, yaitu:
1. Sistem Batch (Nir Sinambung)
Bioreaktor diisi dengan media segar steril dan inokulasikan dengan inokulum (kultivasi
sistem tertutup), kemudian isi bioreaktor dikeluarkan untuk dilakukan pemanenan produk.
Bioreaktor dibersihkan untuk digunakan pada kultivasi berikutnya.
E. Matrik Amobilisasi
Matrik yang digunakan dalam proses amobilisasi ditentukan oleh metoda yang akan
dipilih untuk amobilisasi. Diantara matrik yang umum digunakan untuk amobilisasi sel dapat
adalah:
1. Polimer sintetis
Polimer sintetis biasanya dipilih karena ingin mendapatkan sifat fisika kimia tertentu
dari matrik tersebut. Porositas dan sifat hidrofob/hidrofil dari matrik jenis ini dapat diatur
lebih mudah. Contoh polimer sintetis yang banyak digunakan untuk amobilisasi sel adalah,
gel poliakrilamid, metakrilat, poliurethan, resin epoksi.
2. Polimer alam
Polimer alam mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh polimer sintetis yaitu,
polimer alam dapat diterima oleh hampir semua jenis sel. Sel umumnya dapat
mempertahankan availabilitasnya yang tinggi apabila diamobilisasi dengan polimer alam.
Polimer alam dapat dibedakan berdasarkan perbedaan mekanisme pembentukan gelnya, yaitu
polimer alam yang membentuk gel dengan perubahan temperatur (thermal gel) contohnya,
kolagen, gelatin, agar, karagen. Polimer alam yang membentuk gel dengan reaksi pengionan,
contohnya alginat, kitosan.
Alginat merupakan polimer alam atau polisakarida yang diekstraksi dari alga coklat
(Phaeophyta). Monomer alginat terdiri dari asam -D-manuronat dan asam -L-guluronat.
Alginat tidak memiliki unit berulang yang teratur. Alginat berada di dalam sel alga dalam
bentuk gel mengandung ion natrium, kalsium, magnesium, stronsium dan barium. Alginat ini
berfungsi memberikan kekuatan dan fleksibilitas pada jaringan. Alginat mempunyai
kemampuan dalam mengikat air dan membentuk gel, viskositasnya tinggi serta memiliki
stabilitas yang baik. Alginat adalah matrik amobilisasi sel yang paling banyak digunakan,
karena ramah terhadap sel, mudah teknik pembuatannya terutama untuk pembuatan dalam
jumlah besar, dan murah harga. Keuntungannya ini masih dapat mengimbangi
kekurangannya yang juga dimiliki oleh senyawa polimer alam lain yaitu kemampuannya
menahan sel di dalam matrik lebih rendah dari pada polimer sintetis (Brodelius, 1987).
Kitin adalah senyawa polimer alam yang disusun oleh monomer N-asetil Dglukosamin, bersifat sukar larut seperti selulosa. Kitin merupakan polisakarida berwarna
putih, bersifat kaku. Senyawa ini tinggi ketersediaannya di alam karena secara aktif
diproduksi oleh makhluk hidup dan merupakan senyawa penyusun cangkang udang dan
kepiting. Kitosan adalah turunan kitin yang telah kehilangan gugus asetilnya. Kitin dan
kitosan merupakan polimer poliamin yang berbentuk linier, mempunyai gugus amino aktif,
dapat diproses menjadi berbagai macam bentuk mulai dari serpihan, serbuk halus, butiran,
membran, spons, kapas, serat, dan gel. Keduanya bersifat biokompatibel, artinya dapat
berikatan dengan sel mamalia dan sel mikroba secara agresif, hampir tidak mempunyai efek
samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba, mempunyai
aktivitas biologi di dalam jaringan, organ, sel hewan dan tumbuhan (Kumar 2000). Kitin
secara komersial diperoleh dari limbah industri pengolahan hasil laut, diantaranya udang dan
kepiting. kitin juga dapat ditemukan pada anggota Crustaceae yang lain, pada beberapa jenis
fungi, dan serangga tertentu. Ketersediaan yang tinggi dan untuk pemanfaatan limbah serta
usaha untuk mengurangi pencemaran akibat limbah hasil laut merupakan pertimbangan
utama dalam pemanfaatan limbah industri hasil laut sebagai sumber kitin (Kumar, 2000).
Membuat desintegrasi sel ke dalam blok-blok polimer secara mekanik. Cara ini
menghasilkan keseragaman partikel yang rendah.
2. Membekukan sel bersama-sama dengan matriknya, setelah itu diperkecil ukurannya dengan
pemotongan. Cara ini kurang efisien untuk pembuatan dalam jumlah besar.
3. Membuat sel menjadi manik-manik atau butiran (beads) bersama-sama dengan matriknya.
Proses amobilisasi sel diawali dengan menginisiasi kalus dengan cara penanaman eksplan
pada media padat aseptis yang telah ditambahkan zat pengatur tumbuh.
2.
Setelah ditutup dengan kertas aluminium, selanjutnya diinkubasi pada suhu (25 3) C
hingga terbentuk kalus.
3. Setelah kalus cukup besar, dilakukan subkultur, yaitu memindahkan kalus yang telah dibagi
ke media padat. Subkultur dilakukan berulang kali hingga diperoleh kalus yang meremah
(friable).
4.
Dari kalus tersebut dibuat kultur suspensi sel dengan media cair; kemudian diinkubasikan
dengan digojog pada gyrorotary shaker (penggojog-berpusing).
5. Selanjutnya dilakukan subkultur sehingga diperoleh biomasa yang cukup. Suspensi sel yang
diperoleh disaring. Biomasa yang lolos disebut sel halus dan yang tertinggal di penyaring
disebut sel kasar.
6.
Amobilisasi dilakukan terhadap suspensi sel halus dan suspensi sel kasar dalam larutan
natrium alginat. Manik-manik yang mengandung sel (sel amobil) diinkubasi dalam media cair
sebagai control, media produksi ditambah elisitor dan prazat/precursor. Pertumbuhan sel
untuk kultur sel amobil diamati berdasarkan berat kering (BK) sel. Sel yang diamobilisasi
tumbuh lebih lambat dari pada kultur suspensi sel. Kadar dalam sampel kultur sel amobil
dianalisis dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography), yang
dilengkapi dengan detektor UV (=254 nm) (Kadar, 2009).
(1)
(2)
Gambar 4. Manik-manik sel amobil, sel kasar (1) dan sel halus (2)
Parameter pengukuran dasar dari pertumbuhan sel seperti peningkatan berat basah, berat
kering, jumlah sel, dan indek mitotik dan penentuan respirasi sel dan viabilitas sel sulit
dilakukan.
b.
Hilangnya nutrient di dalam media akan memberikan informasi yang sedikit mengenai
pertumbuhan sel atau tingkatan fisiologinya.
Pelepasan produk
Pengoperasian sistem sel tumbuhan amobil ini penting dalam pelepasan produk dari sel ke
dalam medium dimana hal itu dapat diperbaiki tanpa kehilangan biomasa. Bagaimanapun,
eksresi dari metabolit sekunder dengan kultur sel tanaman adalah hal yang tidak biasa,
produknya akan terakumulasi dalam vakuola. Pengambilan produk dari sel merupakan
masalah yang utama dalam kultur. Dalam sistem yang tidak alamiah mengekskresi produk,
dua tahap sistem kultur yang terdiri dari pengulangan akumulasi produk dan pelepasan
produk yang sudah dipakai. Biomassa amobil yang digunakan kembali harus dapat
mempertahankan membrannya atau paling tidak dapat memperbaiki fungsi membrane dengan
cepat.
b. Produk recovery
Produksi sel amobil perlu dipertimbangkan juga dalam segi ekonominya. Metode klasik
misalnya, membutuhkan pelarut yang mahal sehingga tidak ekonomis tetapi dapat membuka
solusi baru dalam bidang bioteknologi, seperti penggunaan sel amobil antibody untuk
menghilangkan produk tertentu dari medium.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amobilisasi dalam bidang bioteknologi didefinisikan sebagai suatu cara yang
digunakan untuk menempatkan secara fisika atau kimia suatu sel, organel, enzim atau protein
lainnya ke dalam suatu penyangga berupa bahan padat, matrik, atau membran. Amobilisasi
dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan stabilitas dan membuat sel, organel atau
enzim dapat digunakan secara terus menerus. Terdapat 5 metode pembuatan amobilisasi sel,
yaitu metoda ikatan antar polimer (cross-linking), metoda kopolimerisasi (copolymerization),
metoda ikatan kovalen, metoda adsorpsi, metoda penjerapan (entrapment). Matriks yang
digunakan adalah polimer sintetis dan polimer alam. Proses pembuatan amobilisasi sel adalah
pertama menginisiasi eksplan hingga terbentuk kalus yang friable pada media padat;
kemudian disubkultur pada suspensi sel dan dikulturkan bertahap hingga diperoleh biomassa
dengan jumlah yang diinginkan; dilakukan penyaringan suspensi sel dan diperoleh sel kasar
(tertahan pada penyaring) dan sel halus (filtrate); sel kasar dan halus dibuatkan ke dalam
matriks natrium alginat; manik-manik dimasukkan dalam media cair, dengan penambahan
elisitor atau prazat dan inkubasi hingga diperoleh metabolit sekunder yang diinginkan dalam
jumlah tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Brodelius, P.E., 1985, Immobilized Plant Cells, in: Enzymes and Immobilized Cell in
Biotechnology,(Laskin, A.I., ed.), 109-148, The Benyamin / Commings Publishing Company,
Inc., London.
Brodelius, P.E., 1990, Transport and Accumulation of Secondary Metabolites, in: Current Plant
Science and Biotechnology in Agriculture, Vol.IX: Progress in Plant Cellular and Molecular
Biology (Nijkamp,H.J., van der Plas, L.H.W., van Aartrijk,J., eds.), 567-576, Kluwer
Academic Publisher, Dordrecht-The Netherlands.
Chibata, I, 1978, Immobilized Enzymes. Kodansha Ltd., Jepang.
Hunter,C.S. and Kilby, N.J., 1988, Electropermeabilization and Ultrasonic Techniques for
Harvesting Secondary Metabolites from Plant Cells in Vitro, in: Manipulating Secondary
Metabolism, (R.J.Robins and M.J.C, Rhodes, eds.), 285-289, Cambridge University Press,
Cambridge.
Kadar, V.R., 2009, Peningkatan Kadar Andrografolid dari Kultur Sel Andrographis paniculata
(Burm.f.) Wallich ex Ness Melalui Teknik Amobilisasi Sel dalam Bioreaktor, ITB, Bandung.
Soegihardjo, C. J. dan Koensoemardiyah, 2005, Produksi diosgenin dengan sistem sel amobil
dari Costus speciosus smith, Majalah Farmasi Indonesia, 16(4), 246 253.
http://aboealkhair.blogspot.com/2013/07/amobilisasi-sel_9479.html