Anda di halaman 1dari 42

R. L.

Stine
Bergaya Sebelum Mati!
(Goosebump # 4)
Edit by : zheraf.net
http://www.zheraf.neti
1
"Tak ada yang bisa dilakukan di Pitts Landing," kata Michael Warner, memasukkan
tangannya ke kantong celana jins pudarnya.
"Ya Pitts Landing adalah terowongan,." Kata Banks Greg.
Doug Arthur dan Shari Walker menggumamkan persetujuan mereka.
Pitts Landing adalah terowongan . Itulah slogan kota, menurut Greg dan tiga tema
nnya. Sebenarnya, Pitts Landing tak jauh berbeda dari kota-kota kecil lain denga
n jalan-jalan sepi. rumput teduh dan nyaman, rumah-rumah tua.
Tapi di sini itu, suatu sore yang nyaman, dan empat sekawan itu nongkrong di jal
an masuk rumah Greg, menendang-nendang kerikil, bertanya-tanya apa yang harus di
lakukan untuk bersenang-senang dan bergembira.
"Ayo kita pergi ke Grover dan melihat apa buku-buku komik baru sudah datang," us
ul Doug.
"Kita tak punya uang, Bird," kata Greg padanya.
Semua orang yang menyebut Doug "Bird" karena dia sangat mirip burung. Suatu julu
kan yang lebih baik mungkin adalah "Bangau." Dia punya kaki kurus yang panjang d
an punya langkah yang besar dan jauh. Di bawah rambut tebal coklatnya, yang jara
ng ia sisir, ia punya mata kecil cokelat seperti burung dan hidung panjang yang
melengkung seperti paruh. Doug tak benar-benar senang dipanggil Bird, tapi ia su
dah terbiasa untuk itu.
"Kita masih bisa melihat komik-komik itu," desak Bird.
"Sampai Grover mulai berteriak padamu," kata Shari. Dia menggembungkan pipinya d
an melakukan tiruan yang cukup baik dari pemilik toko yang kasar itu. " Apa kau
akan bayar atau akan menetap ?"
"Dia pikir dia keren," kata Greg, menertawakan tiruan Shari. "Dia benar-benar br
engsek."
"Kupikir X-Force baru akan datang di minggu ini," kata Bird.
"Kau mestinya bergabung dengan X-Force," kata Greg, mendorong temannya dengan ma
in-main. "Kau bisa jadi Manusia Burung. Kau akan jadi terkenal !."
"Kita semua harus bergabung dengan X-Force," kata Michael. "Jika kita pahlawan s
uper, mungkin kita akan memiliki sesuatu untuk dikerjakan."
"Tidak, kita tak akan punya pekerjaan," jawab Shari dengan cepat. "Tak ada kejah
atan untuk diperangi di Pitts Landing."
"Kita bisa melawan rumput alang-alang," saran Bird. Dia pelawak dalam kelompok i
tu.
Yang lainnya tertawa. Mereka berempat sudah berteman sejak lama. Greg dan Shari
tinggal bertetangga satu sama lain, dan orang tua mereka berteman terbaik. Bird
dan Michael tinggal di blok berikutnya.
"Bagaimana kalau main kasti?" usul Michael. "Kita bisa pergi ke taman bermain."
"Tidak," kata Shari. "kau tak dapat bermain hanya dengan empat orang." Dia mendo
rong kebelakang helaian rambut hitamnya yang mengganggu, yang jatuh di wajahnya.
Shari mengenakan kaus kuning besar di atas celana panjang hijau terang.
"Mungkin kita akan menemukan beberapa anak lain di sana," kata Michael, mengambi
l segenggam kerikil dari jalanan dan menyaringnya melalui jari-jarinya yang gemu
k itu. Michael berambut merah pendek, bermata biru, dan berwajah penuh bintik-bi
ntik. Dia tak benar-benar gemuk, tapi tak ada seorangpun yang akan menyebutnya k
urus.
"Ayo, mari kita main kasti," desak Bird. "Aku butuh latihan. Liga Kecilku dimula
i dalam beberapa hari.."
"Liga Kecil ? Di musim gugur?" tanya Shari.
"Ini musim liga yang baru. Pertandingan pertamanya hari Selasa setelah sekolah.,
" Bird menjelaskan.

"Hei - kami akan datang menontonmu," kata Greg.


"Kami akan datang menontonmu dicoret," tambah Shari. Hobinya adalah mengolok-olo
k Bird.
"Kau main di posisi apa ?" tanya Greg.
"Penghalang," sela Michael.
Tak ada yang tertawa. Lelucon Michael selalu terasa datar.
Bird mengangkat bahu. "Mungkin outfield (penangkap dan pelempar bola). Kenapa ka
u tak bermain, Greg?"
Dengan bahu yang besarnya dan lengan dan kakinya yang berotot, Greg adalah atlet
alami kelompok itu. Dia (berambut) pirang dan tampan, dengan mata abu-abu hijau
berkedap-kedip dan senyum ramah yang lebar.
"Kakakku Terry seharusnya pergi mendaftarkanku, tapi dia lupa," kata Greg, ekspr
esi wajahnya jijik.
"Di mana Terry?" Tanya Shari. Dia agak naksir pada kakak Greg.
"Dia punya pekerjaan di hari Sabtu setelah sekolah. Di Dairy Freeze," kata Greg
padanya.
"Ayo kita pergi ke Dairy Freeze!" seru Michael antusias.
"Kita tak punya uang - ingat?" kata Bird muram.
"Terry akan memberi kita horen es krim gratis," kata Michael, menatap penuh hara
pan pada Greg.
"Ya horen es krim gratis. Tapi tak ada es krim di dalamnya," kata Greg padanya.
"Kau tahu bagaimana jujurnya kakakku itu."
"Ini membosankan," keluh Shari, menonton burung murai melompat di trotoar. "Ini
membosankan, berdiri di sekitar sini berbicara tentang bagaimana bosannya kita."
"Kita bisa duduk dan berbicara tentang bagaimana bosannya kita," usul Bird, memo
nyongkan setengah mulutnya dengan senyum konyol yang selalu digunakannya saat ia
membuat lelucon bodoh.
"Ayo kita jalan-jalan atau lari-lari kecil atau berbuat sesuatu," desak Shari. I
a berjalan melintasi halaman dan mulai berjalan, menyeimbangkan badannya di punc
ak-puncak putih yang tinggi di tepi trotoar, melambaikan tangannya seperti pemai
n (akrobat) di kawat yang tinggi.
Anak-anak itu mengikutinya, meniru di permainan dadakan Follow the Leader (Ikuti
si Pemimpin), semuanya menyeimbangkan badannya di tepi trotoar saat mereka berj
alan.
Seekor anjing cocker spaniel yang penasaran datang melesat keluar dari pagar tet
angga, menyalak bersemangat. Shari berhenti untuk membelainya. Anjing itu, mengi
baskan ekor pendeknya penuh semangat, menjilat tangannya beberapa kali. Lalu anj
ing itu kehilangan minat dan menghilang kembali ke pagar.
Keempat sahabat itu melanjutkan ke blok, bermain-main mencoba untuk menjatuhkan
satu sama lainnya dari trotoar saat mereka berjalan. Mereka menyeberangi jalan d
an melanjutkan melewati sekolah. Beberapa orang sedang bermain basket, dan beber
apa anak-anak kecil bermain sepak bola memakai lapangan bisbol, tetapi tak ada y
ang mereka kenal.
Jalanan berbelok menjauh dari sekolah. Mereka mengikutinya melewati rumah-rumah
yang biasa. Kemudian, tepat di luar area berhutan kecil, mereka berhenti dan mel
ihat lapangan rumput yang melandai, rumput yang tak dipotong selama berminggu-mi
nggu, gulma-gulma tinggi mencuat di mana-mana, semak-semak acak-acakan dan tumbu
h tak terkendali.
Di atas lapangan, hampir-hampir tersembunyi dalam bayangan-bayangan besar dari p
ohon ek tua, tergeletak sebuah rumah besar bobrok. Rumah itu, siapa pun bisa mel
ihatnya, dulu pernah besar. Atap berpapan abu-abu, tiga loteng tinggi, dengan be
randa yang ditutupi kawat nyamuk, atap merah yang miring, dan cerobong asap ting
gi pada kedua ujungnya. Tapi jendela-jendela yang pecah di lantai dua, sirap-sir
ap kotor yang retak karena cuaca, tempat-tempat kosong bernoda di atap, dan daun
-daun jendela tergantung longgar di samping jendela-jendela yang berlapis debu a
dalah bukti rumah itu tak terurus.
Semua orang di Pitts Landing tahu itu rumah Coffman. Coffman adalah namayang dic
at di kotak surat yang miring pada tiang yang rusak di jalan depan.
Tapi rumah itu telah kosong selama bertahun-tahun - sejak Greg dan teman-temanny

a bisa mengingat.
Dan orang-orang suka menceritakan kisah-kisah aneh tentang rumah itu: cerita han
tu, kisah tentang pembunuhan liar dan hal-hal mengerikan yang terjadi di sana. K
emungkinan besar, tak satupun darinya yang benar.
"Hei - aku tahu apa yang bisa kita lakukan untuk bersenang-senang," kata Michael
, sambil menatap rumah yang bermandikan bayang-bayang.
"Hah ? Apa yang kau bicarakan?" tanya Greg berwaspada.
"Ayo kita pergi ke rumah Coffman," kata Michael, mulai untuk berjalan melewati l
apangan yang berisi rerumputan liar.
"Wah. Apakah kau gila?" teriak Greg, bergegas untuk mengejarnya.
"Ayo masuk," kata Michael, mata birunya menangkap cahaya matahari akhir sore yan
g tersaring turun melalui pohon-pohon ek yang tinggi. "Kita ingin suatu petualan
gan. Sesuatu yang agak menarik, bukan ? Ayo - Ayo kita periksa."
Greg ragu-ragu dan menatap rumah itu. Satu udara dingin membasahi punggungnya.
Sebelum ia bisa menjawab, suatu bentuk gelap melompat dari bayang-bayang rerumpu
tan liar yang tinggi dan menyerangnya!
2
Greg berguling mundur ke tanah.
"Aah!" jeritnya.
Kemudian dia menyadari yang lainnya tertawa.
"Ini anjing cocker spaniel yang bodoh itu!" teriak Shari. "Dia mengikuti kita!"
"Pulanglah, anjing. Pulanglah!." Bird mengusir anjing itu pergi.
Anjing berlari ke tepi jalan, berbalik, dan menatap kembali pada mereka, ekor pe
ndeknya bergoyang-goyang marah.
Merasa malu bahwa dia tadi begitu takut, Greg perlahan-lahan menarik dirinya ber
diri, mengharapkan teman-temannya untuk memberinya hiburan. Tapi mereka menatap
rumah Coffman dan berpikir.
"Ya, Michael benar," kata Bird, memukul keras punggung Michael, begitu keras, Mi
chael meringis dan berbalik untuk menghantam Bird. "Ayo kita lihat seperti apa i
tu di sana."
"Tidak," kata Greg, mundur. "Maksudku, tempat semacam ini menyeramkan bukan?"
"Jadi?" Shari menantangnya, bergabung dengan Michael dan Bird, yang mengulangi p
ertanyaannya: "Jadi?"
"Jadi.. Aku tak tahu.," Jawab Greg. Dia tak suka menjadi salah satu orang yang b
erakal dalam kelompok itu. Semua orang selalu menertawakan seseorang yang beraka
l. Dia lebih suka menjadi orang yang liar dan gila. Tapi, entah bagaimana, akhir
nya ia selalu jadi yang berakal.
"Aku tak berpikir kita harus masuk ke sana," katanya, menatap rumah tua terlanta
r itu.
"Apakah kau ayam (panggilan untuk orang yang pengecut-pent) ?" tanya Bird.
"Ayam!" Michael bergabung masuk.
Bird mulai berketok keras, menyelipkan tangannya ke ketiak dan mengepakkan leng
annya. Dengan matanya yang bulat dan hidungnya bengkok, ia tampak seperti seekor
ayam.
Greg tak ingin tertawa, tapi ia tak bisa menahannya.
Bird selalu membuatnya tertawa.
Ketokan dan kepakan itu tampaknya jadi akhir diskusi. Mereka berdiri di kaki tan
gga beton yang rusak yang menuju ke beranda ditutup dengan kawat nyamuk.
"Lihatlah. Jendela berikutnya ke pintu depan rusak," kata Shari. "Kita bisa mera
ihnya dan membuka pintu."
"Ini keren," kata Michael antusias.
"Apakah kita benar-benar melakukan ini?" Greg, jadi satu-satunya orang yang bera
kal, harus bertanya. "Maksudku - bagaimana akan Spidey"
Spidey adalah seorang pria aneh yang tampaknya berumur lima puluh atau enam pulu
h tahun, mereka semua pernah melihatnya mengintai kota. Ia berpakaian hitam-hita
m dan bergerak pelan di sepanjang panjang, berkaki ramping. Dia tampak seperti l
aba-laba hitam, sehingga semua anak-anak memanggilnya Spidey.
Kemungkinan besar ia adalah seorang pria tunawisma. Tak ada yang benar-benar tah

u apa-apa tentang dirinya - dari mana ia berasal, tempat tinggalnya. Tapi banyak
anak-anak telah melihatnya berkeliaran di sekitar rumah Coffman.
"Mungkin Spidey tak seperti orang asing," kata Greg.
Tapi Shari telah mencapai melalui kaca jendela yang rusak untuk membuka pintu de
pan. Dan setelah sedikit usaha, ia memutar kenop kuningan dan pintu kayu yang be
rat terbuka.
Mereka satu demi satu melangkah ke pintu masuk depan, Greg dengan enggan memimpi
n di bagian belakang. Saat itu sudah gelap di dalam rumah. Hanya sorotan sempit
sinar matahari berhasil mengalir ke bawah melalui pepohonan tebal di depan, menc
iptakan lingkaran cahaya pucat pada karpet cokelat usang di kaki mereka.
Papan lantai berderit ketika Greg dan teman-temannya berjalan melewati ruang tam
u itu, yang kosong kecuali beberapa kardus bahan makanan yang terguling di salah
satu dinding.
Perabotan Spidey itu? Greg bertanya-tanya.
Karpet ruang tamu, bisa dikatakan usang, yang ada di jalan masuk, memiliki noda
oval gelap di tengahnya. Greg dan Bird, berhenti di ambang pintu, keduanya melih
atnya pada waktu yang sama.
"Kau pikir itu darah?" tanya Bird, matanya yang kecil bersinar gembira.
Greg merasakan hawa dingin di bagian belakang lehernya. "Mungkin kecap," jawabny
a.
Bird tertawa dan menampar dengan keras di belakang.
Shari dan Michael menjelajahi dapur. Mereka menatap meja dapur yang tertutup deb
u ketika Greg melangkah di belakang mereka. Dia melihat langsung apa yang telah
menarik perhatian mereka. Dua tikus abu-abu gemuk berdiri di meja, menatap kemba
li pada mereka.
"Mereka lucu," kata Shari. "Mereka tampak seperti tikus kartun,"
Bunyi suaranya membuat dua hewan pengerat itu berlari cepat di sepanjang meja, d
i sekitar wastafel, dan hilang dari pandangan.
"Mereka kotor," kata Michael, wajahnya jijik. "Kupikir mereka itu tikus besar (r
at). Bukan tikus (curut-bahasa jawa)"
"Tikus besar punya ekor yang panjang, tikus tidak," Kata Greg padanya.
"Mereka pasti tikus besar," gumam Bird, mendorong melewati mereka dan masuk ke l
orong. Dia menghilang ke bagian depan rumah.
Shari mengulurkan tangan dan membuka lemari di atas meja. Kosong. "Kukira Spidey
tak pernah menggunakan dapur," katanya.
"Ya, aku tak berpikir dia adalah seorang koki yang ahli," canda Greg.
Dia mengikuti Shari ke ruang makan yang panjang dan sempit, seperti kosong dan b
erdebu sebagai ruang-ruang lainnya. Sebuah lampu gantung rendah masih tergantung
di langit-langit, begitu cokelat dengan tempelan debu, mustahil untuk mengataka
n bahwa itu adalah kaca.
"Seperti rumah hantu," kata Greg pelan.
"Huu," jawab Shari.
"Tak banyak yang bisa dilihat di sini," keluh Greg, setelah kembali ke lorong ge
lap. "Kecuali kau mendapatkan getaran dari bola yang berdebu."
Tiba-tiba, suara keras sesuatu yang patah membuat Greg melompat.
Shari tertawa dan meremas bahunya.
"Apa itu!" teriaknya, tak mampu menahan rasa takutnya.
"Rumah tua melakukan hal-hal seperti itu," kata Shari. "Mereka membuat suara-sua
ra tanpa alasan sama sekali."
"Kupikir kita harus pergi," desak Greg, kembali malu bahwa dia bertindak begitu
ketakutan. "Maksudku, disini membosankan."
"Ini sesuatu yang menarik, ada di tempat yang kita tidak seharusnya berada," kat
a Shari, mengintip ke dalam ruangan kosong yang gelap - mungkin sebuah ruangan k
erja atau belajar di suatu waktu.
"Kupikir," jawab Greg ragu.
Mereka menabrak Michael.
"Di mana Bird?" tanya Greg.
"Kupikir ia turun di ruang bawah tanah," jawab Michael.
"Hah? Ruang bawah tanah?"
Michael menunjuk ke satu pintu yang terbuka di sebelah kanan lorong. "Tangganya

di sana."
Ketiga-tiganya ber jalan mereka ke bagian atas tangga. Mereka mengintip ke dalam
kegelapan. "Bird?"
Di suatu tempat jauh di ruang bawah tanah, suara Bird sampai kepada mereka dalam
suatu jeritan ngeri: "Tolong ! Ini menangkapku, siapapun - tolong bantu. Ini me
nangkapku!"
3
"Ini menangkapku. Ini menangkapku!"
Pada saat Bird bersuara menjerit ketakutan, Greg mendorong melalui Michael dan S
hari, yang berdiri beku dengan mulut ternganga ngeri. Hampir-hampir melayang men
uruni tangga yang curam, Greg memanggil temannya. "Aku datang Bird! Apa itu!"
Jantungnya berdebar, Greg berhenti di bawah tangga, setiap ototnya tegang dengan
ketakutan. Matanya panik mencari-cari melalui cahaya berasap yang mengalir dari
jendela ruang bawah tanah di dekat langit-langit.
"Bird?"
Dia di sana, duduk nyaman, tenang, di atas tong sampah logam yang terbalik, kaki
nya disilangkan, teesenyum lebar di wajah burungnya. "Kena kau," katanya pelan,
dan tertawa keras.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" suara-suara takut datang dari Michael dan Shari. Me
reka berteriak-teriak menuruni tangga, datang berhenti di samping Greg.
Mereka hanya perlu waktu beberapa detik untuk menyadari situasinya.
"Lelucon bodoh lainnya?" tanya Michael, suaranya masih gemetar ketakutan.
"Bird - kau iseng lagi pada kami?" tanya Shari, menggelengkan kepalanya.
Menikmati momennya, Bird mengangguk, dengan setengah seringai anehnya. "Kalian t
erlalu mudah (ditipu)," ejeknya.
"Tapi, Doug -" Shari memulai. Dia hanya memanggilnya Doug ketika ia kesal dengan
nya. "Apakah kau belum pernah mendengar anak yang berteriak serigala? Bagaimana
jika kapan-kapan sesuatu yang buruk terjadi, dan kau benar-benar butuh bantuan,
dan kami pikir kau hanya iseng?"
"Apa yang bisa terjadi?" jawab Bird puas. Dia berdiri dan menunjuk ke sekeliling
ruang bawah tanah. "Lihat - di sini lebih terang daripada di atas."
Dia benar. Sinar matahari dari halaman belakang mengalir turun melalui empat jen
dela-jendela panjang di permukaan tanah, dekat langit-langit ruang bawah tanah.
"Aku masih berpikir kita harus keluar dari sini," desak Greg, matanya bergerak c
epat di sekitar ruangan besar yang kacau itu.
Di belakang tong sampah Bird yang terbalik berdiri sebuah meja buatan sendiri ya
ng terbuat dari selembar kayu triplek diletakkan diatas empat kaleng cat. Sebuah
kasur yang hampir datar, kotor dan bernoda, juga bersandar di dinding, selimut
wol pudar terlipat di bawah.
"Spidey pasti hidup di bawah sini!" seru Michael.
Bird iseng berjalan melalui tumpukan kotak-kotak makanan kosong yang telah dilem
parkan di seluruh lantai - kebanyakan makan malam TV. "Hei, makan malam si orang
yang lapar !" serunya. "Di mana Spidey memanaskan makanan-makanan ini?"
"Mungkin dia memakannya (dalam keadaan) beku," usul Shari. "Kau tahu. Seperti es
lilin."
Dia berjalan menuju lemari kayu ek yang tinggi dan membuka pintunya. "Wah. Ini s
angat bagus!" Katanya. "Lihat!" Dia mengeluarkan sebuah mantel bulu yang tampak
kumal dan melilitkannya di bahunya. "Bagus!" ulangnya, berputar-putar di dalam m
antel tua.
Dari seberang ruangan, Greg bisa melihat bahwa lemari itu penuh dengan pakaian t
ua. Michael dan Bird bergegas bergabung dengan Shari dan mulai menarik keluar se
pasang celana panjang yang kelihatan aneh yang berlonceng bawahnya, kemeja mengu
ning dengan lipatan di bagian depan, dasi-dasi yang dicelup selebar satu kaki, d
an syal-syal dan saputangan-saputangan besar berwarna cerah.
"Hei, teman-teman -" Greg memperingatkan. "Tidakkah kalian pikir mungkin benda-b
enda itu milik seseorang?"
Bird berputar, selendang merah berbulu halus melilit leher dan bahu. "Ya. Baju-b
aju Ini adalah kostum Spidey." kelakarnya.

"Lihat topi ini baad," kata Shari, berbalik untuk memamerkan topi ungu terang be
rpinggiran lebar yang diambilnya.
"Rapi," kata Michael, memeriksa jubah biru panjang. "Pakaian ini pasti setidakny
a dua puluh lima tahun. Ini mengagumkan.. Bagaimana mungkin seseorang meninggalk
annya di sini begitu saja?"
"Mungkin mereka akan datang kembali untuk itu," usul Greg.
Saat teman-temannya memeriksa isi lemari, Greg berjalan ke ujung lain dari ruang
bawah tanah besar itu. Satu tungku perapian menempati dinding yang luas, pipa y
ang tertutup sarang laba-laba yang tebal. Sebagian tersembunyi oleh saluran tung
ku, Greg bisa melihat tangga, mungkin mengarah ke pintu keluar.
Rak kayu berjajar di tengah dinding, penuh dengan kaleng cat lama, kain, koran,
dan alat-alat ya gberkarat.
Siapapun yang siapa tinggal di sini pastinya benar-benar seorang tukang, pikir G
reg, memeriksa meja kerja kayu di depan rak. Sebuah catok logam dijepit ke tepi
meja kerja. Greg memutar pegangan, mengharapkan jepitan catok terbuka.
Tapi ia terkejut, saat ia memutar gagang catok, suatu pintu tepat di atas meja k
erja muncul terbuka. Greg menarik seluruh pintu hingga terbuka, menampakkan sebu
ah rak lemari tersembunyi.
Tergeletak di rak itu sebuah kamera.
4
Selama beberapa saat, Greg hanya menatap kamera itu.
Sesuatu mengatakan kepadanya kamera disembunyikan karena suatu alasan.
Sesuatu mengatakan bahwa dia tak boleh menyentuhnya. Dia harus menutup pintu rah
asia dan berjalan pergi.
Tapi dia tak bisa melawannya.
Dia mengulurkan (tangannya) ke rak tersembunyi itu dan mengambil kamera itu deng
an tangannya.
Kamera itu ditarik keluar dengan mudah. Kemudian, Greg terkejut, pintu langsung
terhentak menutup dengan suara keras.
Aneh, pikirnya, membalik kamera itu di tangannya.
Tempat yang aneh untuk meninggalkan kamera. Mengapa seseorang menaruhnya di sini
? Jika ini cukup berharga untuk disembunyikan di lemari rahasia, mengapa mereka
tak membawanya bersama mereka?
Dengan bersemangat Greg memeriksa kamera itu. Kamera itu besar dan cukup berat,
dengan lensa panjang. Mungkin lensa potret jarak jauh, pikirnya.
Greg sangat tertarik dengan kamera-kamera. Dia memiliki kamera otomatis murahan,
yang mengambil foto dengan baik. Tapi ia menabung uang sakunya dengan harapan m
embeli kamera yang benar-benar baik dengan banyak lensa.
Dia suka melihat majalah-majalah kamera, mempelajari model-model yang berbeda, m
emilih yang ingin dibelinya.
Seringkali ia melamun tentang bepergian di seluruh dunia, pergi ke tempat-tempat
menakjubkan, puncak-puncak gunung dan sungai-sungai di hutan tersembunyi. Dia m
emotret semua yang dia lihat dan menjadi seorang fotografer terkenal.
Kameranya di rumah itu terlalu payah. Itu sebabnya semua foto-fotonya yang kelua
r terlalu gelap atau terlalu terang, dan semua orang di foto-fotonya ada sinar t
itik merah di mata mereka.
Greg bertanya-tanya apakah kamera ini ada gunanya.
Mengangkat bidikan kamera ke matanya, ia mengamati sekitar ruangan. Dia datang b
erhenti di Michael, yang mengenakan dua bulu kuning terang Boas, topi Stetson pu
tih dan telah naik ke puncak tangga untuk berpose.
"Tunggu !Tahan!" teriak Greg, bergerak mendekat, mengangkat kamera itu ke matany
a. "Biarkan aku memotretmu, Michael."
"Di mana kau menemukannya?" tanya Bird.
"Apa kamera itu ada filmnya di dalamnya?" tuntut Michael.
"Aku tak tahu," kata Greg. "Ayo kita lihat."
Sambil bersandar pada jeruji pagar, Michael melakukan pose apa saja yang diangga
pnya canggih.
Greg menunjuk ke kamera dan menfokuskan dengan hati-hati. Butuh waktu yang singk

at bagi jarinya untuk menemukan tombol rana (pemetik foto). "Oke, siap Katakanla
h cheese (keju)?"
"Cheddar," kata Michael, menyeringai ke arah Greg saat ia menahan posenya pada j
eruji pagar.
"Sangat lucu. Michael amat lucu." Kata Bird sinis.
Greg memusatkan Michael di bingkai jendela bidik, kemudian menekan tombol rana.
Kamera itu ditekan dan berkilat.
Kemudian kamera itu membuat suara mendesing elektronik. Sebuah slot terbuka di b
agian bawah, dan satu kertas karton persegi meluncur keluar.
"Hei - ini salah satu dari kamera cuci otomatis," seru Greg. Dia menarik keluar
kertas karton persegi dan memeriksanya. "Lihat - gambarnya mulai dicuci."
"Coba kulihat," teriak Michael ke bawah, bersandar di pagar.
Tapi sebelum dia mulai menuruni tangga, semua orang mendengar suara berderak ker
as.
Mereka semua mendongak ke sumber suara - dan melihat jeruji pagar putus dan Mich
ael melayang ke pinggir atas.
"Tidaaaak!" jerit Michael saat dia jatuh ke lantai, dengan lengan terentang, bul
u Boas bulu di belakangnya seperti ekor-ekor binatang.
Dia berbalik di udara, lalu terbentur beton keras di punggungnya, matanya membek
u, melebar keheranan dan takut.
Dia terpental satu kali.
Lalu berteriak lagi: "Pergelangan kakiku! Aaauuu! Pergelangan kakiku!" Dia merai
h pergelangan kakinya yang cedera, lalu cepat-cepat melepaskan dengan terkesiap
keras. Terlalu sakit untuk menyentuhnya.
"Ohhh - pergelangan kakiku!"
Masih memegang kamera dan foto, Greg bergegas untuk Michael. Shari dan Bird mela
kukan hal yang sama.
"Kami akan pergi mencari bantuan," kata Shari pada Michael, yang masih (berbarin
g) di punggungnya, mengerang kesakitan.
Tapi kemudian mereka mendengar langit-langit berderit.
Langkah-langkah kaki. Di atas mereka.
Seseorang ada di rumah.
Seseorang mendekati tangga ruang bawah tanah.
Mereka akan tertangkap.
5
Langkah-langkah kaki di atas semakin keras.
Keempat sekawan itu saling memandang ketakutan.
"Kita harus keluar dari sini," bisik Shari.
Langit-langit berderak.
"Kalian tak bisa meninggalkanku di sini!" protes Michael. Dia menarik dirinya ke
posisi duduk.
"Cepat - berdiri," perintah Bird.
Michael berusaha berdiri. "Aku tak dapat berdiri dengan kaki ini." Wajahnya menu
njukkan kepanikannya.
"Kami akan membantumu," kata Shari, memutar matanya ke Bird. "Aku akan memegang
satu lengan, kau (Bird) memegang yang lainnya."
Bird dengan patuh bergerak maju dan menarik lengan Michael di bahunya.
"Oke, ayo kita bergerak!" bisik Shari, menyangga Michael dari sisi lainnya.
"Tapi bagaimana kita keluar?" tanya Bird terengah-engah.
Langkah-langkah kaki itu semakin keras. Langit-langit berderak di bawah berat ba
dan mereka.
"Kita tak bisa naik tangga itu," bisik Michael, bersandar pada Shari dan Bird.
"Ada satu tangga lagi di belakang tungku perapian," kata Greg pada mereka, sambi
l menunjuk.
"Ini mengarah keluar?" tanya Michael, meringis dari rasa sakit pergelangan kakin
ya.
"Mungkin."
Greg memimpin jalan. "Berdoa saja pintu itu tak digembok atau lainnya."

"Kami berdoa! Kami berdoa!" kata Bird.


"Kita pergi dari sini!" kata Shari, mengerang di bawah lengan berat Michael.
Bersandar berat terhadap Shari dan Bird, Michael tertatih-tatih setelah Greg, da
n mereka berjalan ke tangga di belakang tungku perapian. Tangga itu, mereka meli
hat, mengarah ke pintu ganda kayu di permukaan tanah.
" Aku tak melihat gembok," kata Greg khawatir. " Mudah-mudahan, pintu itu terbuk
a!"
"Hei - siapa di bawah sana?" suara seorang pria yang marah memanggil dari belaka
ng mereka.
"Itu - itu Spidey!" Michael tergagap.
"Cepat!" desak Shari, memberikan Greg dorongan karena ketakutan. "Ayo!"
Greg mengatur kamera itu ke bawah pada tangga teratas. Kemudian dia mengulurkan
tangan dan meraih pegangan pintu ganda.
"Siapa di bawah sana?"
Suara Spidey terdengar dekat, marah.
"Pintu-pintu itu bisa dikunci dari luar," bisik Greg, ragu-ragu.
"Cukup dorong saja, Bung!" pinta Bird.
Greg menghela napas dalam-dalam dan mendorong dengan seluruh kekuatannya.
Pintu itu tak bergeming.
"Kita terjebak," katanya kepada mereka.
6
"Sekarang apa?" rengek Michael.
"Coba lagi," Bird mendesak Greg. "Mungkin hanya macet." Dia menyelip keluar dari
bawah lengan Michael. "Sini. Aku akan membantumu."
Greg pindah ke atas memberi ruang bagi Bird untuk naik disampingnya. "Siap?" tan
yanya. "Satu, dua, tiga - dorong!"
Kedua anak laki-laki mendorong pintu kayu berat itu dengan sekuat mereka.
Dan pintu terbuka.
"Oke! Sekarang kita keluar dari sini!" kata Shari gembira.
Dengan membawa kamera itu, Greg memimpin jalan keluar. Halaman belakang itu, ia
lihat, terhalang rerumputan liar dan tumbuh di luar kendali di bagian depan. Sat
u dahan yang sangat besar jatuh dari sebuah pohon ek tua, mungkin saat badai, ro
boh setengah di pohon, setengah di tanah.
Entah bagaimana, Bird dan Shari berhasil menyeret Michael menaiki tangga dan ke
rerumputan.
"Kau bisa berjalan? Coba saja," kata Bird.
Masih bersandar kepada mereka berdua, Michael dengan enggan menekan kakinya di a
tas tanah. Dia mengangkatnya. Kemudian menekan lagi. "Hei, rasanya sedikit lebih
baik," katanya, terkejut.
"Kalau begitu ayo kita pergi," kata Bird.
Mereka lari ke pagar tanaman penuh tumbuhan yang berada di sepanjang sisi halama
n, Michael sendiri sekarang melangkah dengan hati-hati di atas pergelangan kaki
yang sakit, berjaga-jaga sebaik mungkin. Lalu, tetap di bawah bayangan pagar, me
reka berjalan memutari rumah ke depan.
"Bagus!" teriak Bird gembira saat mereka sampai di jalanan. "Kita berhasil!"
Terengah-engah, Greg berhenti di pinggir jalan dan berbalik kembali ke rumah. "L
ihat!" teriaknya, menunjuk ke jendela ruang tamu.
Sebuah bayangan gelap berdiri di jendela, tangan-tangan menempel pada kaca.
"Itu Spidey," kata Shari.
"Dia c uma - menatap kita," seru Michael.
"Aneh," kata Greg. "Mari kita pergi."
Mereka tak berhenti hingga mereka sampai di rumah Michael, suatu rumah luas berk
ayu merah bergaya peternakan di belakan halaman depan yang teduh.
"Bagaimana pergelangan kakimu?" tanya Greg.
"Sudah mendingan. Bahkan tak terlalu sakit," kata Michael.
"Bung, kau bisa saja terbunuh!" kata Bird, menyeka keringat dari dahinya dengan
lengan kausnya.
"Terima kasih mengingatkanku," kata Michael datar.

"Untungnya kau punya semua bantal tambahan," goda Bird.


"Diam," gumam Michael.
"Nah, kalian menginginkan petualangan," kata Shari, bersandar di batang pohon.
"Pria itu Spidey sudah pasti aneh," kata Bird, menggelengkan kepalanya.
"Kau lihat bagaimana caranyamenatap kita?" tanya Michael. "Berpakaian hitam selu
ruhnya dan semuanya. Dia tampak seperti semacam zombie atau sesuatu?"
"Dia melihat kita," kata Greg pelan, tiba-tiba merasa dingin ketakutan. "Dia mel
ihat kita sangat jelas. Kita sebaiknya menjauh dari sana.."
"Untuk apa?" tuntut Michael. "Itu bukan rumahnya. Dia hanya tidur di sana. Kita
bisa menelepon polisi akan dirinya."
"Tapi kalau dia benar-benar gila atau sesuatu, tak ada mengatakan apa yang mungk
in dilakukannya," jawab Greg berpikir.
"Ah, dia tak akan melakukan apa pun," kata Shari tenang. "Spidey tak ingin masal
ah. Dia hanya ingin dibiarkan sendiri.."
"Ya," Michael setuju dengan cepat. "Dia tak ingin kita bermain-main dengan baran
g-barangnya. Itulah mengapa ia berteriak seperti itu dan mengejar kita.."
Michael sedang membungkuk, menggosok pergelangan kakinya. "Hei, mana fotoku?" tu
ntutnya, meluruskan (diri) dan berpaling ke Greg.
"Hah?"
"Kau tahu. Foto yang kau ambil dengan kamera itu."
"Oh Benar.." Greg tiba-tiba menyadari dia masih mencengkeram erat kamera itu di
tangannya. Dia meletakkannya dengan hati-hati di rumput dan merogoh saku belakan
g celananya. "Aku menaruhnya di sini ketika kita mulai berlari," jelasnya.
"Yah ? Apakah itu keluar?"tuntut Michael.
Ketiganya berkerumun membungkuk di sekitar Greg agar bisa melihat jepretan foto.
"Wah - tunggu sebentar!" teriak Greg, menatap tajam pada foto kecil persegi itu.
"Ada sesuatu yang salah. Apa yang terjadi di sini?"
7
Keempat Mends (?) itu melongo atas foto di tangan Greg, mulut mereka ternganga k
arena terkejut.
Kamera telah menangkap Michael di udara saat ia jatuh ke lantai melalui jeruji p
agar yang rusak.
"Itu tak mungkin!" teriak Shari.
"Kau mengambil foto sebelum aku jatuh!" kata Michael, merebut foto itu dari tang
an Greg sehingga ia bisa mempelajarinya dekat. "Aku mengingatnya."
"Ingatanmu salah," kata Bird, bergerak untuk mendapatkan pandangan yang lain dar
i balik bahu Michael. "Kau jatuh, bung. Suatu foto aksi yang bagus." Dia mengamb
il kamera. "Ini adalah kamera yang bagus yang kau curi, Greg."
"Aku tak mencurinya" - Greg memulai - "Maksudku, aku tak menyadari -"
"Aku tak jatuh!" Michael bersikeras, memiringkan gambar di tangannya, mempelajar
inya dari setiap sudut. "Aku berpose, ingat ? Aku memiliki senyum besar konyol d
i wajahku, dan aku berpose."
"Aku ingat senyum konyol itu," kata Bird, menyerahkan kamera kembali ke Greg. "A
pakah kau punya ekspresi lainnya?"
"Kau tak lucu, Bird," gumam Michael. Dia mengantongi gambar itu.
"Aneh," kata Greg. Dia melirik arlojinya. "Hei - aku harus pergi."
Dia mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain dan menuju rumah. Matahari sore
sedang turun dibalik sekelompok pohon palem, bentuk yang panjang pergeseran bay
angan-bayangan di atas trotoar.
Dia telah berjanji pada ibunya bahwa ia akan merapikan kamarnya dan membantu men
yedot debu sebelum makan malam. Dan sekarang ia sudah terlambat.
Apa itu mobil asing di jalanan? ia bertanya-tanya, berlari-lari kecil melewati h
alaman tetangga menuju rumahnya.
Itu adalah mobil biru station wagon Taurus. Merek baru.
Ayah mengambil mobil baru kami! ia menyadari.
Wow! Greg berhenti untuk mengaguminya. mobil ini masih memiliki stiker menempel
ke jendela pintu. Dia membuka pintu pengemudi, membungkuk, dan mencium bau pelap

is vinil.
Mmmmmm. Itu bau mobil baru.
Dia menarik napas dalam lagi. Baunya begitu enak. Begitu segar dan baru.
Dia menutup pintu keras-keras, menilai bunyi debam benda padat it saat tertutup.
Mobil baru yang hebat, pikirnya penuh semangat.
Dia mengangkat kamera ke matanya dan mengambil beberapa langkah mundur jalanan.
Aku harus mengambil gambarnya, pikirnya. Untuk mengingatkan seperti apa mobil it
u saat benar-benar baru.
Dia mundur sampai ia membingkai seluruh mobil station wagon itu dalam jendela bi
dik. Lalu ia menekan tombol pemetik potret.
Seperti sebelumnya, kamera berbunyi klik keras, lampu kilat menyala, dan dengan
deru elektronik, sebuah foto yang belum dicuci, suatu persegi abu-abu dan kuning
meluncur keluar dari bagian bawah.
Membawa kamera dan foto, Greg berlari ke dalam rumah melalui pintu depan. "Aku p
ulang!" teriaknya. "Turun sebentar lagi!" Dan bergegas menaiki tangga berkarpet
ke kamarnya.
"Greg? Apakah itu kau? Ayahmu di rumah," panggil ibunya dari lantai bawah.
"Aku tahu. Sebentar lagi (aku) turun. Maaf, aku terlambat!" teriak Greg kembali.
Lebih baik aku menyembunyikan kamera ini, putusnya. Jika ibu atau ayah melihatny
a, mereka akan ingin tahu punya siapa itu dan dari mana aku mendapatkannya. Dan
aku tak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"Greg - apakah kau sudah melihat mobil baru ? Apa kau sudah turun?" panggil ibun
ya tak sabar dari kaki tangga.
"Aku datang!" teriaknya.
Matanya panik mencari tempat persembunyian yang baik.
Di bawah tempat tidurnya?
Tidak. Ibunya mungkin menyedot (debu) di bawah sana dan menemukannya.
Kemudian Greg teringat ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya. Dia menem
ukan ruangan itu tahun lalu ketika orangtuanya membelikannya satu set tempat tid
ur baru. Dengan cepat, ia mendorong kamera itu masuk (kedalam).
Menatap ke dalam cermin di atas meja rias, ia menyikat rambut pirangnya sikat de
ngan cepat, mengusap coretan jelaga hitam di pipinya dengan satu tangan, kemudia
n mulai ke pintu.
Dia berhenti di ambang pintu.
Foto mobil itu. Di mana ia meletakkannya?
Butuh beberapa detik untuk mengingat bahwa ia melemparkannya ke tempat tidurnya.
Penasaran tentang bagaimana hasilnya, ia kembali untuk mengambilnya.
"Oh, tidak!"
Dia menjerit pelan ketika dia menatap foto itu.
8
Apa yang terjadi di sini? Greg bertanya-tanya.
Dia mendekatkan foto itu ke wajahnya.
Ini tak benar, pikirnya. Bagaimana ini bisa!
Mobil biru station wagon Taurus dalam foto itu berantakan. Tampaknya seolah-olah
mengalami kecelakaan yang mengerikan. Kaca depannya hancur. Logam bengkok dan m
elemgkung. Pintu di sisi pengemudi itu ambruk,
Mobil itu tampak (hancur) seluruhnya!
"Ini tak mungkin!" Greg berucap pelan.
"Greg, kau di mana?" panggil ibunya. "Kami semua lapar, dan kau membuat kami men
unggu."
"Maaf," jawabnya, tak dapat mengalihkan pandangannya dari foto itu. "Aku datang.
"
Dia memasukkan foto itu ke dalam laci lemari paling atas dan berjalan ke lantai
bawah. Gambar dari mobil yang terbakar menguasai pikirannya.
Hanya untuk memastikan, ia menyeberangi ruang tamu dan mengintip keluar dari jen
dela depan ke jalan masuk.

Di sana berdiri station wagon, berkilauan dalam cahaya matahari terbenam. Mengki
lap dan sempurna.
Dia berbalik dan berjalan ke ruang makan di mana saudaranya dan orang tuanya sud
ah duduk. "Mobil wagon baru yang mengagumkan, Yah," kata Greg, mencoba mengusir
gambar foto itu dari pikirannya.
Tapi dia terus melihat logam yang bengkok, pintu pengemudi yang ambruk, kaca dep
an yang hancur.
"Setelah makan malam," Ayah mengumumkan kepada Greg dengan gembira, "Aku akan me
mbawa kalian semua berjalan-jalan dengan mobil baru!"
9
"Mmmm ini ayam yang enak,." Kata saudara Greg Terry, berbicara sambil menguyah.
"Terima kasih atas pujiannya," kata Mrs Banks datar, "tapi itu daging sapi muda
-bukan daging ayam"
Greg dan ayahnya tertawa. Wajah Terry memerah. "Yah," katanya, masih mengunyah,
"itu daging sapi muda yang sangat enak, rasanya sebagus ayam!"
"Aku tak tahu mengapa aku repot-repot memasak," desah Mrs Bank.
Mr Banks mengganti topik pembicaraan. "Bagaimana di Dairy Freeze?" dia bertanya.
"Kami kehabisan vanili sore ini," kata Terry, menggarpu sebuah kentang kecil dan
memasukkannya utuh ke dalam mulutnya. Dia mengunyah sebentar, lalu menelannya.
"Orang-orang jengkel tentang itu."
"Kupikir aku tak bisa ikut," kata Greg, menatap makan malamnya, yang hampir tak
tersentuh. "Maksudku -"
"Mengapa tidak?" tanya ayahnya .
"Yah..." Greg mencari di pikirannya alasan yang baik. Dia perlu satu, tapi pikir
annya kosong.
Dia tak bisa memberitahu mereka kebenaran.
Bahwa dia telah mengambil foto Michael, dan foto itu menunjukkan Michael jatuh.
Lalu beberapa detik kemudian, Michael jatuh.
Dan sekarang ia telah mengambil gambar dari mobil baru. Dan mobil itu hancur di
foto.
Greg tak benar-benar tahu apa artinya. Tapi dia tiba-tiba dipenuhi dengan perasa
an yang kuat, takut, ketakutan,. . . Yang ia tak tahu apa.
Semacam perasaan salah yang tak pernah dialaminya sebelumnya.
Tapi dia tak bisa memberitahu mereka semua itu. Itu terlalu aneh. Terlalu gila.
"Aku... berencana untuk pergi ke Michael," katanya berbohong, menatap piringnya.
"Yah, telpon dia dan katakan padanya kau akan menemuinya besok," kata Mr Banks,
mengiris daging sapinya. "Itu tak masalah."
"Yah, aku juga merasa kurang sehat," kata Greg.
"Apa yang salah?" tanya Mrs Bank dengan keprihatinan singkat. "Apakah kau demam?
Kupikir kau tampak sedikit memerah ketika kau masuk"
"Tidak," jawab Greg tak nyaman. "Bukan demam. Aku hanya merasa agak lelah, tak t
erlalu lapar.."
"Bisakah aku memiliki daging ayammu - Maksudku, daging sapi?" tanya Terry penuh
semangat. Dia meraih garpunya melewati meja dan menangkap potongan daging di pir
ing Greg.
"Yah, perjalanan yang menyenangkan bisa membuat kau merasa lebih baik," kata aya
h pada Greg, melirik Greg curiga. "Kau tahu, udara segar. Kau bisa berbaring di
belakang jika kau mau.."
"Tapi, ayah -" Greg berhenti. Dia telah menggunakan semua alasan yang bisa dipik
irkannya. Mereka tak akan pernah percaya kalau dia mengatakan dia harus tinggal
di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah pada malam minggu!
"Kau ikut kami, titik," kata Mr Banks, masih mempelajari Greg. "Kau sudah sekara
t saat mobil baru ini tiba aku benar-benar tak mengerti masalahmu.."
Aku juga tidak, aku Greg pada dirinya sendiri.
Aku tak mengerti sama sekali. Mengapa aku begitu takut naik mobil baru? Hanya ka
rena ada sesuatu yang salah dengan itu kamera bodoh itu?

Aku jadi bodoh, Greg berpikir, berusaha mengusir perasaan takut yang mengambil n
afsu makannya.
"Oke, Yah. Baik," katanya, memaksakan tersenyum. "Aku ikut."
"Apa ada kentang lagi?" tanya Terry.
10
"Ini sangat mudah dikendarai," kata Mr Banks, mempercepat ke jalan masuk ke jala
n bebas hambatan. "Ini seperti menangani mobil kecil, tak seperti station wagon.
"
"Banyak ruang di belakang sini, Yah," kata Terry, menggeser rendah jok belakang
di samping Greg, mengangkat lututnya ke belakang kursi depan.
"Hei, lihat - ada pegangan minuman yang ditarik keluar dari dasbor!" seru Ibu Gr
eg. "Itu rapi."
"Mengagumkan, Bu," kata Terry sinis.
"Yah, kita tak pernah memiliki pegangan minuman sebelumnya," jawab Mrs Bank. Dia
berbalik kembali kepada dua anak laki-laki itu. "Apakah sabuk pengaman kalian t
erkait? Apakah bekerja dengan benar?"
"Ya. Baik-baik saja,." Jawab Terry.
"Mereka memeriksanya di showroom, sebelum aku mengambil mobil ini," kata Mr Bank
s, memberi tanda untuk pindah ke jalur kiri.
Sebuah truk menderu, mengeluarkan awan knalpot belakangnya. Greg memandang kelua
r jendela depan. Jendela pintu masih tertutup oleh stiker mobil baru.
Mr Banks keluar dari jalan tol, ke jalan raya empat jalur hampir kosong yang men
ikung ke arah barat. Matahari terbenam adalah bola merah rendah di cakrawala di
langit abu-abu arang.
"Tancap gas, Yah," desak Terry, duduk dan bersandar ke depan. "Ayo kita lihat ap
a yang mobil ini bisa dilakukan."
Mr Banks menurut menekan kakinya pada pedal gas. "Kecepatan luncurnya tampaknya
sekitar enam puluh (mil perjam)," katanya.
"Pelan-pelan," omel Mrs Bank. "Kau tahu batas kecepatan lima puluh lima."
"Aku hanya mengujinya," kata ayah Greg membela diri. "Kau tahu. Memastikan persn
elingnya tidak slip atau yang lainnya.."
Greg menatap speedometer yang bersinar. Mereka tujuh puluh (mil per jam) sekaran
g.
"Pelan-pelan. Aku serius," desak Mrs Bank. "Kau bertingkah seperti remaja gila."
"Itu aku!" Mr Banks menjawab, tertawa. "Ini mengagumkan!" katanya, menirukan Ter
ry, mengabaikan permohonan istrinya untuk memperlambat.
Mereka meraung melewati beberapa mobil kecil di jalur kanan. Lampu-lampu mobil y
ang bergerak menuju mereka putih terang yang kabur di malam yang gelap itu.
"Hei, Greg, kau tenang sekali," kata ibunya. "Kau baik-baik saja?"
"Yeah, aku baik-baik saja,." Kata Greg pelan.
Dia berharap ayahnya akan memperlambat. Dia berjalan tujuh puluh lima (mil per j
am) sekarang.
"Bagaimana menurutmu, Greg?" tanya Mr Banks, menyetir dengan tangan kiri saat ta
ngan kanannya mencari-cari di dashboard. "Di mana tombol lampu? Aku harus menyal
akan lampu mobilku."
"Mobil bagus," jawab Greg, berusaha terdengar antusias. Tapi dia tak bisa mengus
ir rasa takutnya, tak bisa mengeluarkan foto mobil hancur itu dari pikirannya.
"Mana saklar lampu yang bodoh itu? Harusnya ada di sini di suatu tempat," kata M
r Banks.
Saat ia melirik dashboard yang tak biasa, station wagon membelok ke kiri.
"Yah - hati-hati truk itu!" jerit Greg.
11
Klakson berbunyi.
Satu hembusan udara kuat menyapu mobil station wagon, seperti gelombang laut rak
sasa mendorongnya ke samping.

Mr Banks membelokkan mobil station wagon ke kanan.


Truk itu menderu lewat.
"Maaf," kata ayah Greg, dengan mata lurus ke depan, memperlambat mobil untuk ena
m puluh, lima puluh lima, lima puluh. . .
"Aku bilang perlambat," omel Mrs Banks, menggelengkan kepala. "Kita bisa saja te
rbunuh!"
"Aku coba untuk menemukan lampu," jelasnya. "Oh, Di sini. Di roda setir." Dia me
ngklik lampu itu.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Mrs Bank, berpaling untuk memeriksa mereka.
"Ya. Baik," kata Terry, terdengar sedikit terguncang. Truk itu akan menabrak tem
patnya di sisi mobil.
"Aku baik-baik saja," kata Greg. "Bisakah kita kembali sekarang?"
"Tidakkah kau ingin terus?" tanya Mr Banks, tak mampu menyembunyikan kekecewaann
ya. "Kupikir kita akan terus ke Santa Clara, berhenti dan membeli beberapa es kr
im atau yang lainnya.."
"Greg benar," kata Mrs Banks pelan kepada suaminya. "Cukup untuk malam ini, Saya
ng. Mari kita berbalik.."
"Truk itu tak sedemikian dekat," bantah Mr Bank. Tapi dia menurut keluar dari ja
lan raya dan mereka menuju rumah.
Lalu, aman dan sehat di kamarnya, Greg mengambil foto itu keluar dari lemari dan
memeriksanya. Di foto station wagon baru itu, sisi pengemudi ambruk, kaca depan
hancur.
"Aneh," katanya keras-keras, dan memasukkan foto itu di ruangan rahasia di ujung
papan tempat tidurnya di mana ia menyembunyikan kamera itu. "Sungguh aneh."
Dia menarik kamera keluar dari tempat persembunyiannya dan memutarnya di tangann
ya.
Aku akan coba sekali lagi, putusnya.
Dia berjalan ke lemari dan membidik dirinya cermin.
Aku akan mengambil gambar diriku di cermin, pikirnya.
Dia mengangkat kamera, kemudian merubah pikirannya. Itu tak akan bekerja, ia men
yadari. Lampu kilat akan memantul kembali dan merusak foto. Sambil mencengkeram
kamera di satu tangan, ia berjalan melintasi lorong ke kamar Terry. Saudaranya a
da di mejanya, mengetik di papan ketik komputer, wajahnya bermandikan cahaya bir
u dari layar monitor.
"Terry, bisakah aku memotretmu?" tanya Greg pelan, memegang kamera itu.
Terry mengetik lagi, lalu mendongak dari layar. "Hei - dari mana kau dapat kamer
a itu?"
"Eh... Shari meminjamkannya padaku," kata Greg padanya, berpikir cepat. Greg tak
suka berbohong. Tapi dia merasa tak enak menjelaskan pada Terry bagaimana dia d
an teman-temannya telah menyelinap ke rumah Coffman dan dia lari dengan kamera i
tu.
"Jadi bisakah aku memotretmu?" tanya Greg.
"Aku mungkin akan merusak kameramu," canda Terry.
"Kupikir ini sudah rusak," kata Greg padanya. "Itu sebabnya aku ingin mengujinya
padamu."
"Silakan," kata Terry. Dia menjulurkan lidahnya dan menyilangkan matanya.
Greg menekan pemetik potret. Satu foto yang dicuci meluncur keluar dari slot di
depan.
"Trim's. Sampai ketemu.." Greg menuju ke pintu.
"Hei - aku tak dapat melihatnya?" panggil Terry.
"Jika keluar," kata Greg, dan bergegas melintasi lorong ke kamarnya.
Dia duduk di tepi tempat tidur. Memegang foto dalam pangkuannya, ia menatapnya t
ajam saat foto itu dicuci. Warna kuning pertama-tama yang mengisi. Lalu warna me
rah muncul, diikuti dengan nuansa biru.
"Wah," gumam Greg saat wajah kakaknya muncul. "Ada sesuatu yang jelas salah di s
ini."
Dalam foto tersebut, mata Terry tak disilangkan, dan lidahnya tak mencuat keluar
. Ekspresinya suram, ketakutan. Ia tampak sangat kesal.
Saat memperhatikan latar belakangny, Greg kembali terkejut. Terry tak ada di kam
arnya. Dia di luar ruangan. Ada pohon-pohon di latar belakang. Dan suatu rumah.

Greg menatap rumah itu. Itu tampak begitu akrab.


Apakah rumah itu di seberang jalan dari taman bermain?
Dia melihat sekali lagi melihat ekspresi ketakutan Terry. Kemudian dia menyelipk
an foto dan kamera ke dalam ruang rahasianya di ujung papan tempat tidurnya dan
dengan hati-hati menutupnya.
Kamera itu pasti rusak, dia memutuskan, berusaha untuk tidur.
Ini adalah penjelasan terbaik yang bisa keluar dari (pikiran)nya.
Berbaring di tempat tidur, menatap bayang-bayang langit-langit yang bergeser, ia
memutuskan untuk tak memikirkannya lagi.
Satu kamera yang rusak tak perlu dicemaskan.
***
Selasa sore setelah sekolah, Greg bergegas untuk menemui Shari di taman bermain
untuk menonton pertandingan Liga Kecil Bird.
Itu adalah sore hari yang hangat, matahari tinggi di langit yang tak berawan. Ru
mput lapangan baru saja dipangkas dan mengisi udara dengan bau manis yang tajam.
Greg menyeberangi rumput dan memicingkan mata ke sinar matahari yang cerah, menc
ari Shari. Kedua tim melakukan pemanasan di sisi lapangan kasti, berteriak dan t
ertawa, suara bola masuk ke dalam sarung tangan bersaing dengan suara nyaring me
reka.
Beberapa orang tua dan anak datang untuk menonton. Sebagian berdiri di sekitar l
apangan, sebagian lagi duduk di tempat duduk terbuka stadion di sepanjang garis
base pertama.
Greg melihat Shari belakang (pemain) penahan dan melambaikan tangan padanya. "Ap
a kau membawa kamera itu?" tanyanya penuh semangat, berlari menyambutnya.
Greg mengangkatnya.
"Bagus," seru Shari, sambil menyeringai. Dia meraihnya.
"Kupikir ini rusak," kata Greg, berpegangan pada kamera. "Foto-foto tak keluar d
engan benar. Sulit untuk menjelaskan.."
"Mungkin itu bukan fotonya. Mungkin itu tukang fotonya," goda Shari.
"Mungkin aku akan memfotomu dilempari sandwich," ancam Greg. Dia mengangkat kame
ra itu ke matanya dan menunjuknyapada Shari.
"Potret itu, dan aku akan memfotomu memakan kamera," ancam Shari main-main. Dia
meraih ke atas dengan cepat dan menarik kamera itu dari tangan Greg.
"Untuk apa kau ingin kamera ini, sih?" tanya Greg, berupaya setengah hati untuk
mengambilnya kembali.
Shari memegangnya menjauh dari tangannya yang terulur. "Aku ingin mengambil gamb
ar Bird saat ia datang untuk memukul. Dia tampak seperti burung unta di piring."
"Aku dengar itu." Bird muncul di samping mereka, pura-pura tersinggung.
Dia tampak konyol dalam seragam putihnya yang dikanji. Kemeja itu terlalu besar,
dan celananya terlalu pendek. Topi adalah satu-satunya benda yang sesuai. Warna
nya biru, dengan lumba-lumba perak di atas paruhnya dan kata-kata: PITTS LANDING
DOLPHINS.
"Nama macam apa Dholphin ( Lumba-lumba) bagi tim kasti?" tanya Greg, menyambar p
aruh topi dan memutar topi itu kebelakang di kepala Bird.
"Semua topi lainnya dibawa," jawab Bird. "Kami punya pilihan antara Zephyrs (ang
in sepoi-sepoi)dan Dholpins (lumba-lumba). Tak seorang pun dari kami tahu apa it
u Zephyrs,. Jadi kami mengambil Dholpins."
Shari menatapnya dari atas ke bawah. "Mungkin kalian harus bermain dalam pakaian
jalananmu."
"Trim's atas dorongannya," jawab Bird. Dia melihat kamera dan mengambil itu dari
nya. "Hei, kau bawa kamera itu. Apa ada filmnya?"
"Ya. Kupikir begitu," kata Greg padanya. "Coba kulihat." Dia meraih kamera, teta
pi Bird mengayunkan keluar dari genggamannya.
"Hei - apa kau akan berbagi hal ini, Greg?" tanyanya.
"Hah? Apa maksudmu?" Greg meraih kamera itu lagi, dan sekali lagi Bird mengayunk
annya menjauh darinya.
"Maksudku, kita semua mempertaruhkan nyawa kita turun di ruang bawah tanah menda

patkan itu, kan?" kata Bird. "Kita semua harus berbagi."


"Yah..." Greg tak memikirkannya. "Kurasa kau benar, Bird. Tapi aku orang yang me
nemukannya. Jadi -"
Shari meraih kamera itu dari tangan Bird. "Kukatakan pada Greg untuk membawanya
sehingga kita bisa mengambil gambarmu ketika kau sudah bangun."
"Satu bentuk contoh yang baik?" tanya Bird.
"Satu contoh buruk," kata Shari.
"Kalian hanya iri," jawab Bird, mengerutkan kening, "karena aku seorang atlet al
ami, dan kalian tak bisa menyeberang jalan tanpa jatuh di wajah kalian." Dia mem
utar kembali topi menghadap ke depan.
"Hei, Bird - kembali ke sini!" panggil salah satu pelatih dari lapangan bermain.
"Aku harus pergi," kata Bird, memberi mereka satu lambaian cepat dan mulai berla
ri kembali ke teman-teman timnya.
"Jangan. Tunggu. Biarkan aku mengambil fotomu dengan cepat sekarang," kata Greg.
Bird berhenti, berbalik, dan mencari satu pose.
"Tidak, aku akan memfotonya," desak Shari.
Dia mulai untuk meningkatkan kamera ke matanya, membidik ke arah Bird. Dan saat
ia mengangkatnya, Greg meraih untuk itu.
"Biarkan aku mengambilnya!"
Dan kamera pun berpindah. Ditekannya dan lalu (kamera itu) bersinar sekejap.
Satu foto yang dicuci meluncur keluar.
"Hei, kenapa kau melakukan itu?" tanya Shari dengan marah.
"Maaf," kata Greg. "Aku tak bermaksud -"
Dia menarik foto itu dan memegangnya di tangannya. Greg dan Bird mendekati menon
ton yang dicuci itu.
"Buset, apa sih itu!" teriak Bird, menatap tajam di persegi kecil itu saat warna
-warna menjadi cerah dan mengambil bentuk.
"Oh, wow!" teriak Greg.
Foto itu memperlihatkan Bird tergeletak tak sadarkan diri telentang di tanah, mu
lutnya terbuka, lehernya tertekuk dengan sudut yang menakutkan, matanya tertutup
rapat.
12
"Hei - ada apa dengan kamera bodoh ini?" tanya Bird, menyambar foto dari tangan
Shari. Dia memiringkan dari satu sisi ke sisi lain, menyipitkan mata di itu. "In
i di luar fokus atau sesuatu lainnya."
"Aneh," kata Greg, menggelengkan kepalanya.
"Hei, Bird - ke sini!" panggil pelatih Dolphins.
"Aku datang!" Bird mengembalikan foto itu ke Shari dan berlari ke teman-teman ti
mnya.
Peluit ditiup. Kedua tim menghentikan latihan dan berlari ke bangku sepanjang ga
ris base ketiga.
"Bagaimana ini bisa terjadi!" tanya Shari pada Greg, melindungi matanya dari sin
ar matahari dengan satu tangan, memegang erat foto ke wajahnya dengan tangannya
yang lain. "Ini benar-benar terlihat seperti Bird berbaring di tanah, pingsan at
au yang lainnya. Tapi ia berdiri tepat di depan kita."
"Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti," jawab Greg berpikir. "Kamera i
ni terus melakukan hal itu."
Membawa kamera di sisinya, berayun dengan tali yang ramping, ia mengikuti Shari
ke tempat yang teduh di samping bangku-bangku stadion.
"Lihat betapa bengkok lehernya," lanjut Shari. "Ini sangat mengerikan."
"Ada sesuatu yang jelas salah dengan kamera ini," kata Greg. Dia mulai mencerita
kan tentang foto yang ia ambil dari mobil station wagon baru, dan foto dari Terr
y saudaranya. Tapi Shari menyelanya sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya.
"- Dan itu foto Michael. Menunjukkan dia jatuh dari tangga bahkan sebelum dia ja
tuh. Hanya saja ini begitu aneh..."

"Aku tahu," kata Greg.


"Coba kulihat kamera itu," kata Shari dan menarik kamera dari tangannya. "Apakah
masih ada film yang tersisa?"
"Aku tak bisa beritahu," mengakui Greg. "Aku tak bisa menemukan penghitung film
atau apa pun."
Shari memeriksa kamera dengan dekat, menggulirkannya di tangannya. "Ia tak menga
takan di mana saja. Bagaimana kau bisa tahu apakah itu dikeluarkan atau tidak."
Greg mengangkat bahu.
Pertandingan bisbol mulai berlangsung. Dholphins adalah tim tamu. Tim lain, Card
inals, berlari keluar untuk mengambil posisi mereka di lapangan.
Seorang anak di bangku menjatuhkan kaleng sodanya. Kaleng itu menghantam tanah d
an tumpah, dan anak itu mulai berteriak. Sebuah mobil station wagon tua berisi d
engan remaja melaju lewat, membunyikan radio, bunyi klakson meraung-raung .
"Di mana kau menempatkan filmnya?" tanya Shari tak sabar.
Greg melangkah lebih dekat untuk membantunya memeriksanya. "Di sini, pikirku," k
atanya, menunjuk. "Apa bagian belakangnya tak dilepas?"
Shari menggesek-geseknya. "Tidak, kupikir tidak begitu. Sebagian besar kamera cu
ci otomatis memuatnya di depan.."
Dia menarik belakangnya, tetapi kamera tak terbuka. Dia mencoba menarik dari baw
ah. Tak lebih beruntung. Memutar kamera, dia mencoba menarik lensanya. Ini tak b
ergeming.
Greg mengambil kamera darinya. "Tak ada slot atau lubang di depan."
"Nah, kamera apa itu, sih?" Shari menuntut.
"Eh... Ayo kita lihat." Greg mempelajari bagian depan, memeriksa bagian atas len
sa, kemudian membalik kamera ke atas dan mempelajari bagian belakangnya.
Dia menatap ke arahnya dengan ekspresi terkejut di wajahnya. "Tak ada nama merek
nya. Tak ada."
"Bagaimana bisa kamera tidak punya nama?" teriak Shari jengkel. Dia menyambar ka
mera menjauh dari Greg dan memeriksa dengan seksama, menyipitkan matanya terhada
p sinar matahari sore yang terang benderang.
Akhirnya, dia menyerahkan kamera kembali kepadanya, kalah. "Kau benar, Greg. Tak
ada namanya. Tak ada kata apapun. Tak ada. Kamera bodoh," tambahnya dengan mara
h.
"Wah. Tunggu," Kata Greg padanya. "Ini bukan kameraku, ingat aku tak membelinya.
? Aku mengambilnya dari rumah Coffman."
"Yah, ayo kita setidaknya mengetahui bagaimana cara membukanya dan melihat isiny
a," kata Shari.
Pukulan Dolphin pertama muncul ke penjaga base kedua. Pukulan kedua memukul pada
tiga ayunan lurus. Selusin penonton atau sedemikian berteriak memberi semangat
pada tim mereka.
Anak kecil yang telah menjatuhkan sodanya terus berteriak. Tiga anak-anak yang n
aik sepeda, melambaikan tangan pada teman-temannya di tim, tetapi tak berhenti u
ntuk menonton.
"Aku sudah mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa mencari cara untuk membukanya,
" aku Greg.
"Berikan padaku," kata Shari dan meraih kamera itu darinya. "Harusnya ada tombol
atau sesuatu. Harus ada beberapa cara untuk membukanya. Ini konyol."
Ketika dia tak bisa menemukan tombol atau tuas apapun, ia mencoba menarik belaka
ngnya sekali lagi, mencongkel dengan kuku-kuku jarinya. Lalu ia mencoba memutar
lensa, tapi tak mau berputar.
"Aku tak akan menyerah," katanya, mengertakkan gigi. "Aku tak akan. Kamera ini h
arus terbuka. Itu harus!"
"Menyerahlah. Kau akan menghancurkannya," kata Greg, meraihnya.
"Merusaknya. Bagaimana aku bisa merusaknya?" Shari menuntut. "Ini tak punya bagi
an-bagian yang bergerak. Tak ada!."
"Ini tak mungkin," kata Greg.
Dengan wajah jijik, Shari menyerahkan kamera padanya. "Oke, aku menyerah. Periks
a sendiri, Greg.."
Greg mengambil kamera itu, mulai mengangkatnya ke wajahnya, lalu berhenti.
Mengeluarkan teriakan pelan terkejut, mulutnya ternganga dan matanya lurus ke de

pan terbuka lebar. Kaget, Shari berpaling untuk mengikuti tatapan terkejutnya.
"Oh tidak!"
Ada di tanah beberapa meter di luar garis base pertama, berbaring Bird. Dia tele
ntang, lehernya tertekuk di sudut yang aneh dan tak wajar, matanya tertutup rapa
t.
Edit by : zheraf.net
http://www.zheraf.net
13
"Bird!" teriak Shari.
Napas Greg tercekat di tenggorokan. Dia merasa seolah-olah dia tercekik. "Oh!" a
khirnya ia berhasil berteriak dengan suara melengking serak.
Bird tak bergerak.
Shari dan Greg, berlari berdampingan dengan kecepatan penuh, mencapai Bird bersa
ma-sama.
"Bird?" Shari berlutut di sampingnya. "Bird?"
Bird membuka satu mata. "Kena kau," katanya pelan. Setengah senyum aneh terbentu
k di wajahnya, dan dia tertawa bernada tinggi terbahak-bahak.
Butuh waktu bagi Shari dan Greg untuk bereaksi. Mereka berdua berdiri ternganga,
terbelalak lebar di teman mereka yang tertawa.
Kemudian, jantung Greg mulai melambat normal, ia meraih ke bawah, meraih Bird de
ngan kedua tangannya, dan menariknya bangkit dengan kasar.
"Aku akan memegangnya saat kau memukulnya," Greg menawari (Shari), memegang Bird
dari belakang.
"Hei, tunggu -" protes Bird, meronta-ronta menggeliat keluar dari cengkeraman Gr
eg.
"Rencana yang bagus," kata Shari, menyeringai.
"Aduh! Hei - lepaskan! Ayolah! Lepaskan!" protes Bird, berusaha sia-sia bergulat
agar bebas. "Ayolah! Apa masalah kalian? Itu lelucon, teman-teman!"
"Sangat lucu," kata Shari, memberikan pukulan main-main di bahu Bird. "Kau amat
lucu, Bird."
Bird akhirnya membebaskan dirinya dengan menarik keras dan menari menjauh dari m
ereka berdua. "Aku hanya ingin menunjukkan kalian semua untuk tahu bagaimana pal
sunya kamera cuci bodoh itu."
"Tapi, Bird -" Greg memulai.
"Hanya saja rusak, itu saja," kata Bird, menyikat beberapa helai rumput yang bar
u dipotong di celana seragamnya. "Kau pikir karena itu, ia menunjukkan Michael j
atuh menuruni tangga, ada yang aneh dengan ini. Tapi itu bodoh.. Benar-benar bod
oh."
"Aku tahu itu," jawab Greg tajam. "Tapi bagaimana kau menjelaskannya?"
"Sudah kubilang, man. Kamera itu rusak. Rusak. Itu saja."
"Bird - ke sini!" satu suara memanggil, dan sarung tangan penangkap bola Bird da
tang terbang di kepalanya. Dia menangkapnya, melambai dengan satu seringai ke Sh
ari dan Greg, dan berlari ke area lapangan bisbol bersama dengan anggota lain da
ri Dolphins.
Membawa kamera erat di satu tangan, Gcreg memimpin jalan ke bangku-bangku stadio
n. Dia dan Shari duduk di ujung bangku Bagian bawah.
Beberapa penonton sudah kehilangan minat pada permainan yang berlangsung dan tel
ah pergi. Beberapa anak telah mengambil bola kasti dari lapangan dan bermain sen
diri menangkap (bola) di belakang bangku penonton. Di seberang taman bermain, em
pat atau lima anak-anak mulai bermain sepak bola.
"Bird sungguh konyol," kata Greg, matanya pada permainan.
"Dia membuatku takut sampai mati," seru Shari. "Kupikir dia benar-benar terluka.
"
"Badut," gumam Greg.
Mereka menyaksikan permainan dalam keheningan selama beberapa saat. Ini tak terl
alu menarik. Dolphins kalah 12-3 di babak ketiga. Tak satu pun dari para pemain
yang (bermain) sangat baik.

Greg tertawa saat pemukul Cardinal, seorang anak dari kelas mereka bernama Joe G
arden, menghantam bola yang melayang keluar ke lapangan dan tepat di atas kepala
Bird.
"Itu bola ketiga yang terbang di atas kepalanya!" teriak Greg.
"Mungkin dia akan hilang di matahari!" seru Shari, ikut tertawa.
Mereka berdua menyaksikan kaki panjang bangau Bird (mengejar) setelah bola. Pada
saat ia berhasil menangkapnya dan mengangkatkatnya ke arah lapangan, Joe Garden
sudah berputar ke base dan mencetak (angka).
Ada ejekan keras dari para penonton.
Pemukul Kardinal selanjutnya melangkah ke tempat memukul. Beberapa anak lagi tur
un dari bangku, setelah cukup melihat.
"Disini matahari sangat panas," kata Shari, melindungi matanya dengan satu tanga
n. "Dan aku punya banyak PR. Mau pergi?."
"Aku hanya ingin melihat babak berikutnya," kata Greg, mengamati pemukul mengayu
n dan meleset. "Bird main di babak berikutnya. Aku ingin tinggal dan mengejeknya
.."
"Apa itu gunanya teman?" kata Shari sinis.
Ini butuh waktu lama untuk Dolphins untuk menyelesaikan babak ketiga. The Cardin
als telah memukul di seluruh urutan mereka.
Kaos Greg basah dengan keringat waktu Bird datang ke tempat memukul di awal (bab
ak) keempat.
Meskipun Shari dan Greg mencemooh dengan nyaring, Bird berhasil memukul bola mel
ewati shotstop (perhentian pendek di antara base ke 2 dan ke 3) untuk single (pe
rhentian aman di base 1).
" Pukulan yang mujur!" teriak Greg, menangkupkan tangannya seperti sebuah megafo
n.
Bird pura-pura tak mendengarnya. Dia melemparkan helm pemukulnya (pada rekan tim
nya), menyesuaikan topinya, dan mengambil pimpinan singkat dari base pertama.
Pemukul berikutnya mengayunkan pada lemparan pertama dan gagal.
"Ayo pergi," desak Shari, menarik lengan Greg. "Ini terlalu panas. Aku mati keha
usan.."
"Ayo kita lihat apakah Bird -"
Greg tak menyelesaikan kalimatnya.
Pemukul memukul bola berikutnya dengan keras. Ini membuat suara keras saat menin
ggalkan (tongkat) pemukul.
Selusin orang - pemain dan penonton - menjerit saat bola terbang melintasi lapan
gan, bergerak dengan garis yang tajam, dan memhantam ke sisi kepala Bird dengan
suara lain.
Greg menyaksikan dengan ngeri saat bola memantul dari Bird dan tergiring jauh ke
tengah lapangan rumput. Mata Bird terbelalak tak percaya, kebingungan.
Dia berdiri membeku di tempat pada garis base untuk waktu yang lama.
Kemudian mengangkat kedua tangan dengan dramatis ke atas kepalanya, dan ia menje
rit melengking, panjang dan keras, seperti ringkikan bernada tinggi dari kuda.
Matanya bergulung di kepalanya. Dia berlutut. Mengeluarkan teriakan lain, kali i
ni lebih pelan. Lalu roboh, menggeletak ke punggungnya, lehernya berada di sudut
yang tak wajar, matanya tertutup.
Dia tak bergerak.
14
Dalam hitungan detik, kedua pelatih dan kedua tim itu buru-buru berlari ke pemai
n yang jatuh itu, berkerumun di atasnya, membentuk suatu lingkaran erat, hening
di sekelilingnya.
Sambil berteriak, "Bird Bird!" Shari melompat dari bangku dan mulai berlari ke l
ingkaran penonton dengan ngeri.
Greg mulai mengikuti, tapi berhenti ketika ia melihat sosok yang akrab yang berl
ari (dengan kecepatan) penuh menyeberangi jalan, melambai kepadanya.
"Terry!" teriak Greg.
Mengapa saudaranya datang ke taman bermain? Mengapa dia tak di tempat kerjanya s
ehabis sekolah di Dairy Freeze?

"Terry ? Apa yang terjadi?" teriak Greg.


Terry berhenti, terengah-engah, keringat mengalir di dahinya merah yang terang.
"Aku... Berlari... Di... Sepanjang... Jalan," ia berhasil mengucapkan.
"Terry, apa yang salah?" Perasaan sakit pelan-pelan timbul dari perut Greg.
Saat Terry mendekat, wajahnya berekspresi ketakutan yang sama seperti di foto di
rinya yang diambil Greg.
Ekspresi ketakutan yang sama. Dengan rumah yang sama di belakangnya di seberang
jalan.
Foto itu telah menjadi kenyataan. Sama seperti foto Bird tergeletak di tanah itu
menjadi kenyataan.
Tenggorokan Greg tiba-tiba terasa kering seperti kapas. Dia menyadari bahwa lutu
tnya gemetar.
"Terry, apa yang terjadi?" ia berhasil berteriak.
"Ayah," kata Terry, meletakkan satu tangan beratnya di bahu Greg.
"Hah, Ayah?"
"Kau harus pulang, Greg. Ayah - Dia mengalami kecelakaan yang buruk."
"Kecelakaan?" kepala Greg berputar. Kata-kata Terry tak masuk akal baginya.
"Di mobil baru," jelas Terry, kembali meletakkan tangan beratnya di bahu Greg ya
ng gemetar. "Mobil baru ini (rusak) total. Sepenuhnya (rusak) total.."
"Oh," desah Greg, merasa lemah.
Terry meremas bahunya. "Ayolah. Cepat."
Memegang erat kamera di satu tangan, Greg mulai berlari mengejar kakaknya.
Mencapai jalan, ia berbalik kembali ke taman bermain untuk melihat apa yang terj
adi dengan Bird.
Banyak orang masih berkerumun di sekitar Bird, menghalangi dirinya dari pandanga
n.
Tapi - apa itu bayangan gelap di balik bangku? Greg bertanya-tanya.
Seseorang - seseorang serba hitam - bersembunyi di belakang sana.
Mengawasi Greg?
"Ayo!" desak Terry.
Greg menatap tajam bangku-bangku itu. Sosok gelap itu mundur keluar dari pandang
an.
"Ayolah, Greg!"
"Aku datang!" teriak Greg, dan mengikuti saudaranya menuju rumah.
15
Dinding-dinding rumah sakit itu berwarna hijau pucat. Seragam yang dikenakan ole
h para perawat yang bergegas melewati koridor yang terang itu putih. Ubin lantai
di bawah kaki Greg saat ia bergegas dengan saudaranya menuju kamar ayah mereka
berwarna cokelat gelap dengan bintik oranye.
Warna-warna.
Semua yang bisa Greg lihat itu berwarna kabur, berbentuk tak jelas.
Debam sepatu menimbulkan suara berisik di lantai yang keras. Dia hampir tak bisa
mendengarnya di atas debaran hatinya.
(Rusak) total. Mobil itu (rusak) total.
Sama seperti di foto.
Greg dan Terry berbelok di suatu sudut. Dinding-dinding di koridor ini kuning pu
cat. Pipi Terry merah. Dua dokter yang dilewati mengenakan pakaian bedah hijau l
imau.
Warna-warna. Hanya warna-warna.
Greg berkedip, mencoba untuk melihat lebih jelas. Tapi itu semua berlalu dengan
terlalu cepat, terlalu tak nyata. Bahkan bau rumah sakit yang tajam, aroma unik
dari alkohol, makanan basi, dan obat pembasmi kuman, tak bisa membuatnya jadi ny
ata baginya.
Kemudian dua bersaudara itu memasuki kamar ayah mereka, dan semuanya menjadi nya
ta.
Warna-warna itu memudar. Gambar itu menjadi tajam dan jelas.
Ibu mereka melompat dari kursi lipat di samping tempat tidur.
"Hai, anak-anak."

Dia menggenggam segumpal kertas tisu di tangannya. Jelas bahwa ia telah menangis
. Dia memaksakan senyum ketat di wajahnya, tapi matanya memerah, pucat dan pipin
ya bengkak.
Berhenti persis di ambang pintu kamar kecil, Greg membalas sapaan ibunya dengan
suara pelan, tercekik. Kemudian matanya, melihat dengan jelas sekarang, berpalin
g kepada ayahnya.
Perban Mr Banks seperti mumi yang menutupi rambutnya. Satu tangannya di gips. Ta
ngan lainnya tergeletak di sisinya dengan tabung terpasang tepat di bawah pergel
angan tangan, meneteskan cairan gelap ke lengan. Seprai ditarik sampai ke dadany
a.
"Hei - bagaimana kabarmu, guys?" tanya ayah mereka. Suaranya terdengar tak jelas
, seolah-olah datang dari jauh.
"Yah -" Terry memulai.
"Dia akan baik-baik saja," sela Mrs Banks, melihat pandangan ketakutan di wajah
anak-anaknya.
"Aku merasa baik," kata Mr.Banks grogi.
"Kau tak terlihat begitu baik," kata Greg tanpa berpikir , melangkah dengan hati
-hati ke tempat tidur.
"Aku baik-baik saja. Sungguh," desah ayah mereka. "Beberapa patah tulang. Itu sa
ja." Dia mendesah, lalu mengernyit dari rasa sakit. "Kurasa aku beruntung."
"Kau sangat beruntung," kata Mrs.Banks cepat.
Apa yang beruntung? Greg bertanya-tanya diam-diam pada dirinya sendiri. Dia tak
bisa mengalihkan pandangannya dari tabung yang menusuk ke dalam lengan ayahnya.
Sekali lagi, ia memikirkan jepretan foto dari mobil itu. Foto itu diatas kamarny
a di rumah, terselip di dalam ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya.
Hasil foto itu menampilkan mobil yang (rusak) total. Sisi pengemudi ambruk masuk
.
Haruskah ia memberitahu mereka tentang hal itu?
Dia tak bisa memutuskan.
Apakah mereka mempercayainya kalau dia memberitahu mereka?
"Apamu yang patah, Yah?" tanya Terry, duduk di radiator di depan jendela, memasu
kkan tangannya ke saku celana jeansnya.
"Ayahmu tangannya patah dan beberapa tulang rusuknya," jawab Mrs. Bank cepat. "D
an dia mengalami gegar otak ringan. Para dokter mengamatinya untuk luka dalam. T
api, sejauh ini, masih baik."
"Aku beruntung," ulang Mr Banks. Dia tersenyum pada Greg.
"Ayah, aku harus memberitahumu tentang foto kuambil ini," kata Greg tiba-tiba, b
erbicara cepat, suaranya gemetar dengan gugup. "Aku mengambil foto dari mobil ba
ru itu, dan -"
"Mobil ini benar-benar hancur," sela Mrs Banks. Duduk di tepi kursi lipat, ia me
ngusap jari-jarinya, memutar-mutar cincin pernikahannya, sesuatu yang selalu ia
lakukan saat ia gugup.
"Aku senang kalian tak melihatnya."
Suaranya tercekat di tenggorokannya. Kemudian ia menambahkan, "Ini merupakan kea
jaiban dia tak terluka lebih buruk."
"Foto ini -" Greg mulai lagi.
"Nanti," kata ibunya dengan kasar. "Oke?" Dia menatapnya dengan pandangan penuh
arti.
Greg merasa wajahnya menjadi panas.
In hal penting, pikirnya.
Lalu ia memutuskan mereka mungkin tak akan percaya padanya, bagaimanapun juga. S
iapa yang akan percaya dengan cerita yang sepertinya gila?
"Apakah kita bisa mendapatkan mobil baru lagi?" tanya Terry..
Mr Banks mengangguk hati-hati. "Aku harus menelepon perusahaan asuransi," katany
a.
"Aku akan menelepon mereka ketika aku pulang," kata Mrs. Banks. "Kau tak benar-b
enar memiliki tangan yang bebas."
Semua orang tertawa pada saat itu, tertawa gugup.
"Aku merasa agak mengantuk," kata Mr.Banks. Matanya setengah tertutup, suaranya
teredam.

"Ini obat penghilang rasa sakit yang dokter berikan padamu," Mrs Banks, mengatak
an kepadanya. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan menepuk tangannya. "Tidurlah.
Aku akan kembali dalam beberapa jam."
Dia berdiri, masih memainkan cincin kawinnya, dan memberi isyarat dengan kepalan
ya ke arah pintu.
"Selamat tinggal , Yah," kata Greg dan Terry serempak.
Ayah mereka menggumamkan balasan. Mereka mengikuti ibu mereka keluar pintu.
"Apa yang terjadi!" tanya Terry ketika mereka berjalan melewati pangkalan perawa
t, kemudian menyusuri gang panjang berwarna kuning pucat. "Maksudku, kecelakaan
itu."
"Seorang pria berlari melalui lampu merah," kata Mrs.Banks, matanya yang memerah
lurus ke depan. "Dia membajak ke kanan ke sisi mobil ayahmu. Remnya katanya tak
bekerja."
Dia menggelengkan kepalanya, air mata terbentuk di sudut matanya.
"Aku tak tahu," katanya, mendesah. "Aku hanya tak tahu harus berkata apa. Syukur
lah dia akan baik-baik saja."
Mereka berbelok ke gang hijau, berjalan berdampingan. Beberapa orang menunggu de
ngan sabar di lift di ujung lorong.
Sekali lagi, Greg menemukan dirinya berpikir tentang foto-foto yang diambilnya d
engan kamera aneh itu.
Pertama Michael. Lalu Terry. Kemudian Bird. Kemudian ayahnya.
Keempat foto itu semuanya menunjukkan sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang meng
erikan yang belum terjadi.
Dan lalu keempat foto itu semuanya menjadi kenyataan.
Greg merasa merinding saat pintu lift terbuka dan kerumunan kecil orang bergerak
maju untuk menekan ke dalam.
Apa itu benardari kamera itu? ia bertanya-tanya.
Apa kamera itu menunjukkan masa depan?
Atau apakah kamera itu benar-benar menyebabkan hal-hal buruk terjadi?
16
"Yeah, aku tahu itu, Bird baik-baik saja." Kata Greg ke dalam gagang telepon. "A
ku bertemu dengannya kemarin, ingat ? Dia beruntung. Benar-benar beruntung. Dia
tak mengalami gegar otak atau apa pun."
Di ujung lain dari saluran kawat itu - di rumah sebelah - Shari setuju, kemudian
mengulangi permintaannya.
"Tidak, Shari aku benar-benar tak ingin," jawab Greg keras.
"Bawa,"tuntut Shari. "Ini hari ulang tahunku."
"Aku tak ingin membawa kamera itu. Itu bukan ide yang baik. Sungguh," kata Greg
padanya.
Itu adalah akhir pekan berikutnya. Sabtu sore. Greg sudah hampir keluar pintu, d
alam perjalanan ke pesta ulang tahun Shari, ketika telepon berdering.
"Hai, Greg. Mengapa kau tidak dalam perjalanan ke pestaku?" Shari menanyainya ke
tika ia berlari untuk mengangkat gagang telepon.
"Karena aku di telepon denganmu," jawab Greg datar.
"Yah, bawa kamera itu, oke?"
Greg tak melihat kamera itu, tak dikeluarkan dari tempat persembunyiannya sejak
kecelakaan ayahnya.
"Aku tak ingin membawanya," dia bersikeras, meskipun Shari menuntut dengan nada
tinggi. "Apakah kau tak mengerti, Shari. Aku tak ingin orang lain terluka.?"
"Oh, Greg," kata Shari, berbicara dengannya seolah-olah dia tiga tahun. "Kau tak
benar-benar percaya hal itu? Kau tak benar-benar percaya kamera yang dapat meny
akiti orang."
Greg terdiam sejenak.
"Aku tak tahu apa yang kupercayai," katanya akhirnya. "Aku hanya tahu bahwa, per
tama Michael, lalu, Bird -"
Greg menelan ludah. "Dan aku bermimpi, Shari Kemarin malam."
"Hah? Mimpi apa?" tanya Shari tak sabar.
"Tentang kamera itu. Aku telah memotret seluruh keluargaku -... Ibu, Ayah, dan T

erry. Mereka sedang memanggang. Di halaman belakang. Aku mengangkat kamera itu.
Aku lalu berkata, 'Katakan Cheese, Katakan Cheese,...' berulangkali. Dan ketika
kulihat melalui jendela bidik, mereka tersenyum kembali padaku - tapi mereka (me
njadi) tulang belulang. Semuanya. Kulit mereka lenyap, dan -..... dan ... "
Suara Greg melemah.
"Mimpi yang bodoh," kata Shari, tertawa.
"Tapi itulah sebabnya aku tak ingin membawa kamera," desak Greg. "Kupikir -"
"Bawa, Greg," sela Shari. "Ini bukan kameramu, kau tahu. Kita semua berempat di
rumah Coffman. Ini milik kita berempat.. Bawa."
"Tapi mengapa, Shari?" Greg menuntut.
"Ini akan jadi suatu kebodohan, itu saja. Kamera itu akan mengambil foto aneh se
perti itu.."
"Itu pasti," gumam Greg.
"Kami tak punya apa-apa lagi yang harus dilakukan untuk pestaku," kata Shari pad
anya. "Aku ingin menyewa video, tapi ibuku bilang kita harus pergi ke luar rumah
. Dia tak ingin rumah berharganya kacau. Jadi kupikir kita bisa mengambil foto s
emua orang dengan kamera aneh itu. Kau tahu. Melihat hal-hal aneh apa yang kelua
r. "
"Shari, aku benar-benar tak -"
"Bawa," perintahnya. Dan menutup telepon.
Greg berdiri untuk waktu yang lama menatap gagang telepon, berpikir keras, menco
ba untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Lalu ia meletakkan gagang telepon dan dengan enggan naik menuju ke kamarnya.
Dengan desahan keras, dia menarik kamera dari tempatnya bersembunyi di ujung tem
pat tidurnya. "Ini hari ulang Shari, setelah semua," katanya keras-keras pada di
rinya sendiri.
Tangannya gemetar saat ia mengangkatnya. Dia menyadari bahwa dia takut.
Aku seharusnya tak melakukan hal ini, pikirnya, merasa jerat berat ketakutan di
perutnya.
Aku tahu aku tak boleh melakukan hal ini.
17
"Bagaimana kabarmu, Bird?" panggil Greg, berjalan melintasi teras batu pipih hal
aman belakang Shari.
"Aku merasa baik-baik saja," kata Bird, memukul temannya dengan lima (jari) yang
tinggi. "Satu-satunya masalah adalah, sejak bola yang memukulku," lanjut Bird,
petok petok - berkotek sepert
mengerutkan kening, "dari waktu ke waktu aku mulai
i ayam!" Dia mengibaskan tangannya dan mulai mondar-mandir di halaman belakang,
berkotek-kotek di bagian atas suaranya.
"Hei, Bird - pergi berbaringlah bertelur!" teriak seseorang, dan semua orang ter
tawa.
"Bird lagi," kata Michael, menggelengkan kepalanya. Dia memukul bahu Greg dengan
ramah. Michael, rambut merahnya seperti biasa tak disisir, memakai celana jins
pudar dan kemeja olahraga Hawaii (bermotif) bunga sekitar tiga kali ukurannya, t
erlalu besar untuknya.
"Dari mana kau dapat baju itu?" tanya Greg, memegang lengan panjang Michael deng
an bahu untuk mengaguminya.
"Dalam sebuah kotak sereal," sela Bird, masih mengepakkan lengannya.
"Nenekku memberikannya padaku," kata Michael, mengerutkan kening.
"Dia membuatnya di rumah," sela Bird. Satu lelucon tak pernah cukup.
"Tapi kenapa kau memakainya?" Greg bertanya.
Michael mengangkat bahu. "Yang lainnya kotor."
Bird membungkuk, mengambil gumpalan kecil kotoran dari rumput, dan mengoleskanny
a pada bagian belakang kemeja Michael. "Sekarang yang ini juga kotor," katanya.
"Hei, kau -" Michael bereaksi pura-pura marah, menyambar Bird dan mendorongnya k
e pagar.
"Apakah kau membawanya?"
Mendengar suara Shari, Greg berpaling ke arah rumah dan melihatnya berlari-lari
kecil melintasi teras ke arahnya. Rambutnya yang hitam ditarik ke belakang dalam

satu kepangan, dan terlalu besar, seperti sutra kuning yang turun diatas kaki p
anjang hitam yang elastis.
"Apakah kau membawanya?" ulangnya dengan tak sabar. Sebuah gelang menarik yang d
iisi dengan perak-perak kecil yang mempesona - hadiah ulang tahun - berkerincing
di pergelangan tangannya.
"Ya." Greg dengan enggan mengangkat kamera.
"Bagus," katanya.
"Aku benar-benar tak mau -" Greg memulai.
"Kau dapat mengambil fotoku yang pertama karena itu hari ulang tahunku," sela Sh
ari. "Sini. Bagaimana dengan ini?" Dia menemukan pose yang canggih, bersandar ke
pohon dengan tangan di belakang kepalanya.
Greg dengan patuh mengangkat kamera. "Apa kau yakin kau ingin aku melakukan ini,
Shari?"
"Ya. Ayo.. Aku ingin mengambil foto semua orang."
"Tapi mungkin akan keluar foto-foto aneh," protes Greg.
"Aku tahu," jawab Shari tak sabar, menahan posenya. "Itu untuk bersenang-senang.
"
"Tapi, Shari -"
"Michael muntah di kemejanya," dia mendengar Bird memberitahu seseorang di dekat
pagar.
"Aku tidak!" jerit Michael.
"Maksudmu itu terlihat alami!" tanya Bird.
Greg bisa mendengar banyak tawa parau, semua itu dengan mengorbankan Michael.
"Maukah kau memotret!" teriak Shari, berpegangan pada batang pohon yang kecil.
Greg menunjuk lensa pada Shari dan menekan tombol. Kamera berputar, dan (kotak)
persegi yang belum dicuci keluar .
"Hei, apa hanya kami anak laki-laki yang diundang?" tanya Michael, melangkah ke
Shari.
"Ya. Hanya kalian bertiga,." Kata Shari. "Dan sembilan anak perempuan."
"Oh, wow." wajah Michael berubah.
"Berikutnya ambil foto Michael," kata Shari pada Greg.
"Tidak akan!" jawab Michael dengan cepat, mengangkat tangannya seolah-olah untuk
melindungi dirinya dan mundur. "Terakhir kali kau mengambil fotoku dengan kamer
a itu, aku jatuh dari tangga."
Berusaha menjauh, Michael mundur tepat ke Nina Blake, salah satu teman Shari itu
. Nina bereaksi dengan pekikan kaget, kemudian mendorongnya main-main, dan Micha
el terus mundur.
"Michael, ayolah. Ini pestaku," panggil Shari.
"Apa yang akan kita lakukan? Apakah ini?" tuntut Nina dari separuh jalan di sebe
rang halaman.
"Kupikir kita akan mengambil foto semua orang dan lalu bermain satu permainan at
au yang lainnya," kata Shari pada Nina.
"Satu permainan?" Bird menimpali "Maksudmu seperti Spin the Bottle (Memutar Boto
l)?"
Beberapa anak tertawa.
"Truth or Dare (kebenaran atau tantangan) !" saran Nina.
"Ya. Truth or Dare!" kata beberapa gadis lain setuju.
"Oh, tidak," Greg mengerang pelan untuk dirinya sendiri. Truth or Dare berarti b
anyak ciuman dan kecanggungan, pertunjukan yang memalukan.
Sembilan perempuan dan hanya tiga anak laki-laki.
Itu akan sangat memalukan.
Bagaimana bisa Shari melakukan ini kepada kami? ia bertanya-tanya.
"Nah, apakah sudah keluar?" tanya Shari, menyambar lengan Greg. "Coba kulihat."
Greg begitu kesal harus bermain Truth or Dare, dia lupa tentang potret yang dicu
ci di tangannya. Dia mengangkatnya, dan mereka berdua memeriksanya.
"Dimana aku?" tanya Shari heran. "Apa yang kau bidik? Kau tak mengenaiku!"
"Hah?" Greg menatap foto itu. Ada pohon. Tapi tak Shari. "Aneh. Aku mengarahkann
ya tepat padamu. Aku mengarahkannya dengan hati-hati,!" Protesnya.
"Yah, kau tak mengenaiku. Aku tidak dalam bidikan," jawab Shari jijik.
"Tapi, Shari -"

"Maksudku, ayolah - aku tak terlihat, Greg aku bukan vampir atau sesuatu yang la
in. Aku bisa melihat bayangan diriku di cermin. Dan aku biasanya muncul di foto.
..."
"Tapi, lihat -" Greg menatap tajam foto itu. "Ini pohon dimana kau bersandar. Ka
u bisa melihat batang pohon dengan jelas. Dan ada tempat di mana kau berdiri."
"Tapi di mana aku?" desak Shari, menggemerincingkan gelangnya yang menarik denga
n berisik. "Sudahlah." Dia meraih foto dari Greg dan melemparkannya di atas rump
ut. "Ambil satu lagi. Cepat."
"Yah, oke Tapi -." Greg masih bingung memikirkan foto itu. Mengapa Shari tak mun
cul di dalamnya? Dia membungkuk, mengambil foto itu, dan memasukkannya ke dalam
sakunya.
"Berdirilah lebih dekat kali ini," perintah Shari.
Greg pindah beberapa langkah lebih dekat, hati-hati memusatkan Shari dalam jende
la bidik, dan menangkap gambar. Sebuah persegi film dengan cepat (bergerak) ke d
epan.
Shari berjalan mendekat dan menarik gambar dari kamera. "Ini lebih baik berubah,
" katanya, menatap keras untuk kertas itu saat warnanya menjad gelap dan mulai m
engambil bentuk.
"Jika kau benar-benar ingin gambar dari setiap orang, kita harus mendapatkan kam
era lain," kata Greg, matanya juga terkunci pada jepretan foto.
"Hei - Aku tak percaya!" teriak Shari.
Sekali lagi, ia tak terlihat.
Pohon itu difoto dengan jelas, dalam fokus yang sempurna. Tapi Shari itu tak ter
lihat.
"Kau benar. Kamera bodoh ini rusak," katanya sebal, menyerahkan foto itu ke Greg
. "Lupakan saja." Dia berpaling dari Greg dan memanggil yang lain. "Hei, teman teman, Truth or Dare!"
Ada beberapa sorakan dan beberapa erangan.
Shari memimpin mereka kembali ke hutan di belakang halaman belakang untuk bermai
n. "Lebih pribadi," jelasnya. Ada tanah terbuka melingkar tepat di balik pohon-p
ohon, tempat pribadi yang sempurna.
Permainan ini sama memalukannya seperti yang Greg bayangkan. Di antara anak laki
-laki, hanya Bird tampak menikmatinya. Bird menyukai hal bodoh seperti ini, piki
r Greg, dengan iri.
Untungnya, setelah lebih dari setengah jam, ia mendengar Mrs Walker, ibu Shari i
tu, memanggil dari rumah, memanggil mereka kembali untuk memotong kue ulang tahu
n.
"Ah, sayang sekali," kata Greg sinis. "Pas saat pertandingan semakin membaik."
"Bagaimanapun juga, kita harus keluar dari hutan," kata Bird, menyeringai. "Keme
ja Michael membuat tupai takut."
Tertawa dan berbicara tentang permainan itu, anak-anak berjalan mereka kembali k
e teras dimana lilin-lilin merah muda dan putih kue ulang tahun, menyala semua,
sudah menunggu di meja payung bundar.
"Aku harus menjadi seorang ibu sangat buruk," canda Mrs Walker, "memungkinkan ka
lian semua untuk pergi ke hutan sendirian."
Beberapa gadis-gadis tertawa.
Pisau kue pisau di tangannya, Mrs Walker memandang berkeliling. "Di mana Shari?"
Semua orang berpaling mata mereka untuk mencari halaman belakang. "Dia bersama k
ami di hutan," kata Nina Mrs Walker. "Hanya satu menit lalu."
"Hei, Shari!" Bird yang disebut, menangkupkan tangan di depan mulut sebagai mega
fon. "Bumi memanggil Shari! Ini waktunya kue!"
Tak ada jawaban.
Tak ada tanda-tanda keberadaannya.
"Apakah dia pergi ke dalam rumah?" tanya Greg.
Mrs Walker menggeleng. "Tidak. Dia tak datang ke teras belakang rumah. Apakah di
a masih di hutan?"
"Aku akan pergi memeriksa," kata Bird padanya. Memanggil-manggil nama Shari, ia
berlari ke tepi pepohonan di belakang halaman. Kemudian ia menghilang ke dalam p
ohon, masih memangil-manggil.

Beberapa menit kemudian, Bird muncul, memberi tanda pada orang lain dengan menga
ngkat bahu.
Tak ada tanda-tanda keberadaannya.
Mereka memeriksa rumah. Halaman depan. Hutan lagi.
Tapi Shari telah lenyap.
18
Greg duduk di tempat teduh dengan punggung bersandar pada batang pohon, kamera i
tu di atas tanah di sisinya, dan menyaksikan para polisi berseragam biru.
Mereka menutupi halaman belakang dan bisa dilihat membungkuk rendah saat mereka
mendaki di sekitar hutan. Dia bisa mendengar suara-suara mereka, tapi tak bisa m
emahami apa yang mereka katakan. Wajah mereka benar-benar bingung.
Semakin banyak polisi yang tiba, berwajah muram, resmi.
Dan kemudian polisi-polisi, tak berseragam lebih gelap.
Mrs Walker telah menelepon pulang suaminya dari permainan golf. Mereka duduk mer
ingkuk bersama di kursi terpal di sudut teras. Mereka saling berbisik, mata mere
ka melesat menyeberangi halaman. Berpegangan tangan, mereka tampak pucat dan cem
as.
Semua orang telah pergi.
Di teras, meja masih tetap teratur. Lilin-lilin ulang tahun telah terbakar semua
ke bawah, lilin biru dan merah mencair dalam genangan air keras pada lapisan me
rah muda dan putih, kue yang tak tersentuh.
"Tak ada tandanya," seorang polisi berpipi merah dengan kumis putih-pirang menga
takan keluarga Walkers. Ia melepas topinya dan menggaruk kepalanya, menampakkan
rambut pirangnya yang pendek.
"Apakah seseorang... Membawanya pergi?" tanya Mr Walker, masih memegang tangan i
strinya.
"Tak ada tanda-tanda perlawanan," kata polisi itu. "Tak ada tanda apa-apa, sungg
uh."
Mrs Walker mendesah keras dan menundukkan kepala. "Aku tak mengerti."
Ada keheningan yang panjang dan menyakitkan.
"Kami akan terus mencari," kata polisi itu. "Saya yakin kita akan menemukan... S
esuatu."
Dia berbalik dan berjalan menuju hutan.
"Oh. Hai." Dia berhenti di depan Greg, menatap seolah-olah melihat dia untuk per
tama kalinya. "Kau masih di sini, nak? Semua tamu lain sudah pulang." Dia mendor
ong rambutnya ke belakang dan meletakkan kembali topinya.
"Ya, aku tahu," jawab Greg dengan sungguh-sungguh, mengangkat kamera ke pangkuan
nya.
"Aku petugas Riddick," katanya.
"Ya, aku tahu," jawab Greg pelan.
"Kenapa kau tak pulang ke rumah setelah kami berbicara denganmu, seperti yang la
in?" tanya Riddick.
"Aku hanya kesal, kukira," kata Greg padanya. "Maksudku, Shari adalah teman baik
, Anda tahu?" Ia berdehem, yang terasa kering dan ketat. "Lagipula, aku tinggal
tepat di sana." Dia memberi isyarat dengan kepalanya ke rumahnya sebelah.
"Nah, kau sebaiknya juga pulang, Nak," kata Riddick, memutar matanya ke hutan de
ngan dahi berkerut. "Pencarian ini bisa memakan waktu lama. Kami tak menemukan s
esuatu di belakang sana.."
"Aku tahu," jawab Greg, menggosok tangannya ke bagian belakang kamera.
Dan aku tahu bahwa kamera ini adalah alasan hilangnya Shari, pikirnya, merasa se
dih dan ketakutan.
"Satu menit dia berada di sana. Di menit berikutnya dia tak ada," kata polisi it
u, mengamati wajah Greg seolah mencari jawaban di sana.
"Ya," jawab Greg. "Ini sangat aneh."
Ini lebih aneh daripada yang orang tahu, pikir Greg.
Kamera membuatnya tak terlihat. Kamera melakukannya.
Pertama, dia menghilang dari foto.
Lalu ia menghilang dalam kehidupan nyata.

Kamera ini melakukannya padanya. Aku tak tahu bagaimana. Tetapi ini perbuatan ka
mera ini.
"Apakah kau ada sesuatu yang mau kau beritahukan padaku?" tanya Riddick, tangan
bertumpu pada pinggul, tangan kanannya tepat di atas sarung cokelat usang yang m
embawa pistol. "Apakah kau melihat sesuatu. Sesuatu yang mungkin memberi kita pe
tunjuk, membantu kita (memberi jalan) keluar? Sesuatu yang kau tak ingat untuk m
emberitahuku sebelumnya?"
Haruskah aku memberitahunya? Greg bertanya-tanya.
Jika aku bercerita padanya tentang kamera, dia akan bertanya dari mana aku menda
patkannya. Dan aku harus mengatakan padanya bahwa aku mendapatkannya di rumah Co
ffman. Dan kita semua akan mendapat masalah karena melanggar di sana.
Tapi - masalah terbesar. Shari hilang. Pergi. Lenyap. Itu jauh lebih penting.
Aku harus memberitahunya, Greg memutuskan.
Tapi kemudian dia ragu-ragu. Jika aku mengatakan kepadanya, dia tak akan percaya
padaku.
Jika aku mengatakan kepadanya, bagaimana hal itu akan membantu membawa Shari kem
bali?
"Kau tampak sangat bermasalah," kata Riddick, berjongkok di sebelah Greg di temp
at teduh. "Siapa nammu, lagi?"
"Greg. Greg Bank."
"Yah, kau tampak sangat bermasalah, Greg," ulang polisi lembut. "Mengapa tak kau
katakan padaku apa yang mengganggumu. Mengapa tak kau katakan padaku apa yang a
da di pikiranmu? Kupikir itu akan membuatmu merasa jauh lebih baik."
Greg menghela napas panjang dan melirik ke teras. Mrs Walker menutupi wajahnya d
engan tangan. Suaminya membungkuk di atasnya, mencoba untuk menenangkannya.
"Yah..." Greg mulai.
"Silakan, Nak," desak Riddick pelan. "Apakah Akau tahu di mana Shari ini?"
"Kamera ini," sembur Greg keluar. Dia tiba-tiba bisa merasakan denyut darah terh
adap pelipisnya.
Dia mengambil napas dalam-dalam dan kemudian melanjutkan. "Anda lihat, kamera in
i aneh."
"Apa maksudmu?" Riddick bertanya pelan.
Greg menghela napas dalam-dalam. "Aku mengambil foto itu. Sebelum Shari.. Ketika
saya pertama kali tiba. Saya mengambil dua gambar. Dan dia tak terlihat. Pada k
edua foto itu. Lihat?"
Riddick memejamkan mata, lalu membukanya. "Tidak, aku tak mengerti."
"Shari tak terlihat dalam foto. Segala sesuat yang lain ada di sana. Tapi ia tid
ak ada. Dia telah lenyap, lihatlah. Dan, kemudian, kemudian, ia benar-benar meng
hilang. Kamera ini-..... Itu memprediksikan masa depan, saya kira. Atau kamera i
tu membuat hal buruk terjadi. " Greg mengangkat kamera itu, mencoba menyerahkann
ya ke tangan ke polisi.
Riddick tak berusaha untuk mengambilnya. Dia hanya menatap tajam Greg, menyipitk
an mata, ekspresi wajahnya mengeras.
Greg tiba-tiba merasakan tikaman ketakutan.
Oh, tidak, pikirnya. Mengapa dia menatapku seperti itu?
Apa yang dia lakukan?
19
Greg terus memegang kamera itu menjauh ke polisi.
Tapi Riddick dengan cepat naik bangkit. "Kamera itu membuat hal buruk terjadi?"
Matanya menatap tajam ke Greg.
"Ya," kata Greg padanya. "Ini bukan kameraku, lihat. Dan setiap kali saya mengam
bil gambar -?"
"Nak, itu cukup," kata Riddick lembut. Dia mengulurkan tangan dan meletakkan sat
u tangannya ke bahu Greg yang gemetar. "Saya pikir kau sangat kesal, Greg," kata
nya, suaranya hampir berbisik. "Saya tidak menyalahkanmu ini sangat mengecewakan
untuk semua orang.."
"Tapi itu benar -" Greg mulai bersikeras.
"Aku akan meminta petugas yang di sana," kata Riddick, menunjuk, "untuk membawam

u pulang sekarang. Dan aku akan menyuruh dia memberitahu orangtuamu bahwa kau te
lah melalui pengalaman yang sangat menakutkan.."
Aku tahu ia tak akan percaya padaku, Greg berpikir dengan marah.
Bagaimana aku bisa begitu bodoh?
Sekarang dia mengira aku sejenis kasus kacang.
Riddick memanggil polisi di samping rumah dekat pagar.
"Tidak, tidak apa-apa," kata Greg, cepat menarik diri, menggendong kamera di tan
gannya. "Aku bisa pulang dengan baik."
Riddick menatapnya curiga. "Kau yakin?"
"Ya. Aku bisa berjalan sendiri."
"Jika kau ada sesuatu untuk dikatakan padaku nanti," kata Riddick, menurunkan pa
ndangannya ke kamera, "cukup memanggil di stasiun, oke?"
"Oke," jawab Greg, berjalan perlahan menuju depan rumah.
"Jangan khawatir, Greg. Kami akan melakukan yang terbaik," panggil Riddick setel
ahnya. "Kita akan menemukannya. Letakkan kamera menjauh dan cobalah untuk berist
irahat, oke?"
"Oke," gumam Greg.
Dia bergegas melewati keluarga Walkers, yang masih meringkuk bersama di bawah pa
yung di teras.
Mengapa aku begitu bodoh? ia bertanya pada dirinya sendiri saat dia berjalan pul
ang. Mengapa aku berharap polisi percaya pada cerita aneh?
Aku bahkan tak yakin aku percaya diriku sendiri.
Beberapa menit kemudian, dia membuka layar pintu belakang dapurnya. "Ada orang d
i rumah?"
Tak ada jawaban.
Dia berjalan melalui lorong kembali menuju ruang tamu. "Ada orang di rumah?"
Tak ada.
Terry bekerja. Ibunya pasti telah mengunjungi ayahnya di rumah sakit.
Greg merasa buruk. Dia benar-benar tak ingin sendirian sekarang. Dia benar-benar
ingin memberitahu mereka tentang apa yang telah terjadi ke Shari. Dia benar-ben
ar ingin berbicara dengan mereka.
Masih membawa kamera itu, ia menaiki tangga ke kamarnya.
Dia berhenti di ambang pintu, berkedip dua kali, lalu menjerit ngeri.
Buku-bukunya tersebar di seluruh lantai. Selimut telah ditarik dari tempat tidur
nya. Laci mejanya semua terbuka, isinya berserakan di sekitar ruangan. Lampu mej
a itu pada sisinya di lantai. Semua pakaiannya telah ditarik dari lemari pakaian
dan lemari dinding dan dilemparkan ke mana-mana.
Seseorang telah berada di kamar Greg - dan sudah membolak-balik seluruh isi kama
r!
20
Siapa yang melakukan ini? tanya Greg pada dirinya sendiri, menatap ngeri kamarny
a dirampok.
Siapa yang dengan kasar membuat kamarku terpisah seperti ini?
Dia menyadari bahwa dia tahu jawabannya. Dia tahu siapa yang akan melakukannya,
yang telah melakukannya.
Seseorang mencari kamera itu.
Seseorang yang putus asa untuk mendapatkan kembali kamera itu.
Spidey?
Pria mengerikan yang berpakaian serba hitam yang tinggal di rumah Coffman. Apaka
h dia pemilik kamera itu?
Ya, Greg tahu, Spidey yang melakukannya.
Spidey telah melihat Greg, memata-matai Greg dari balik bangku di pertandingan L
iga Kecil.
Dia tahu bahwa Greg memiliki kameranya. Dan dia tahu di mana Greg tinggal.
Pikiran itu adalah yang paling mengerikan .
Dia tahu di mana Greg tinggal.
Greg berpaling dari kekacauan di kamarnya, bersandar di dinding lorong, dan meme
jamkan mata.

Dia membayangkan Spidey, sosok gelap bergerak pelan begitu menakutkan di atas ka
ki kurusnya. Dia membayangkannya di dalam rumah, rumah Greg. Di dalam kamar Greg
.
Dia ada di sini, pikir Greg. Dia mengais-ngais semua barang-barangku. Dia mengha
ncurkan kamarku.
Greg melangkah kembali ke kamarnya. Dia merasa semuanya campur aduk. Dia merasa
ingin berteriak marah dan menangis mencari bantuan, semuanya sekaligus.
Tapi dia sendirian. Tak ada seorang pun yang mendengarnya. Tak ada seorang pun u
ntuk membantu dia.
Bagaimana sekarang? ia bertanya-tanya. Bagaimana sekarang?
Dengan tiba-tiba, bersandar di kusen pintu, menatap kamarnya yang kacau balau, i
a tahu apa yang harus ia lakukan.
21
"Hei, Bird, ini aku."
Greg memegang gagang telepon di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya deng
an tangan yang lain. Dia tak pernah bekerja begitu keras - atau begitu cepat - d
alam hidupnya.
"Apakah mereka menemukan Shari?" tanya Bird penuh semangat.
"Aku belum mendengar. Aku tak berpikir begitu," kata Greg, matanya mengamati kam
arnya. Hampir kembali normal.
Dia telah menempatkan semuanya kembali, dibersihkan dan diluruskan. Orang tuanya
tak akan pernah menduganya.
"Dengar, Bird, aku tak menelepon tentang itu," kata Greg, berbicara dengan cepat
dalam telepon. "Panggilkan Michael untukku, oke? Temui aku di taman bermain. Di
lapangan kasti."
"Kapan? Sekarang??" tanya Bird, terdengar bingung.
"Ya," kata Greg padanya. "Kita harus bertemu. Ini penting."
"Ini hampir makan malam," protes Bird. "Aku tak tahu apakah orang tuaku -"
"Ini penting," ulang Greg tak sabar. "Aku harus bertemu kalian. Oke?"
"Yah... Mungkin aku bisa menyelinap keluar selama beberapa menit," kata Bird, me
rendahkan suaranya. Dan kemudian Greg mendengar dia berteriak kepada ibunya: "Ta
k ada seorang pun, Bu. Aku tak bicara pada siapa pun!"
Wah, itu pikiran yang cepat! Greg berpikir sinis. Dia pembohong lebih buruk dari
aku!
Dan kemudian dia mendengar panggilan Bird ke ibunya: "Aku tahu aku telepon. Tapi
aku tak berbicara dengan siapa pun. Ini hanya Greg."
Terima kasih banyak, teman, Greg berpikir.
"Aku harus pergi," kata Bird.
"Ajak Michael, oke?" Greg mendesak.
"Ya. Oke. Sampai ketemu." Dia menutup telepon.
Greg meletakkan gagang telepon, lalu mendengarkan ibunya. Dibawah tenang. Dia ma
sih belum ada di rumah. Dia tak tahu tentang Shari, Greg sadar. Dia tahu dia dan
ayahnya akan sangat marah.
Sangat kesal.
Hampir kesal karena dia.
Berpikir tentang temannya yang hilang, ia pergi ke jendela kamarnya dan melihat
ke bawah pada pintu halaman berikutnya. Sekarang sepi.
Semua polisi telah pergi. Orang tua Shari yang terguncang pasti sudah masuk ke d
alam.
Seekor tupai duduk di bawah naungan luas dari pohon besar, mati-matian menggerog
oti biji pohon ek, biji ek lainnya di kakinya.
Di sudut jendela, Greg bisa melihat kue ulang tahun, masih duduk sedih di meja k
osong, tempat itu teratur semua, dekorasinya masih berdiri.
Sebuah pesta ulang tahun untuk hantu.
Greg bergidik.
"Shari masih hidup," katanya lantang. "Mereka akan menemukannya. Dia masih hidup
.."
Dia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

Memaksakan diri menjauh dari jendela, ia bergegas untuk menemui kedua temannya.
22
"Tidak akan," kata Bird panas, bersandar di bangku bangku. "Apa kau benar-benar
pergi?"
Sambil mengayunkan kamera itu dengan kabelnya, Greg berbalik berharap penuh pada
Michael. Tapi Michael menghindari tatapan Greg. "Aku dengan Bird," katanya, mat
anya pada kamera itu.
Sejak itu setelah makan malam, taman bermain itu hampir sunyi. Beberapa anak-ana
k kecil di atas ayunan di ujung lain. Dua anak kecil mengendarai sepeda mereka b
erputar dan mengelilingi lapangan sepak bola.
"Kupikir mungkin kalian akan datang denganku," kata Greg, kecewa. Dia menendang
serumpun rumput dengan sepatunya. "Aku harus mengembalikan benda ini," lanjutnya
, menaikkan kamera itu. "Aku tahu itu yang harus kulakukan. Aku harus mengembali
kannya ke tempat aku menemukannya.."
"Tidak," ulang Bird, menggelengkan kepala. "Aku tak akan kembali ke rumah Coffma
n. Satu kali sudah cukup."
"Ayam (pengecut)?" Greg bertanya dengan marah.
"Ya," aku Bird dengan cepat.
"Kau tak harus mengembalikannya," bantah Michael. Dia menarik dirinya ke sisi ba
ngku-bangku, naik ke dek ketiga kursi, lalu menurunkan dirinya ke tanah.
"Apa maksudmu?" tanya Greg tak sabar, menendang rumput.
"Buang saja, Greg," desak Michael, membuat gerakan melempar dengan satu tangan.
"Itu saja. Lemparkan ke tempat sampah di suatu tempat."
"Ya. Atau tinggalkan saja di sini," saran Bird. Dia meraih kamera itu. "Berikan
padaku. Aku akan menyembunyikannya di bawah kursi."
"Kau tak mengerti," kata Greg, mengayunkan kamera di luar jangkauan Bird. "Membu
angnya tak akan ada gunanya."
"Mengapa tidak?" tanya Bird, membuat ayunan lain untuk (mengambil) kamera itu.
"Spidey akan kembali untuk kamera itu," kata Greg dia panas. "Dia akan kembali k
e kamarku mencarinya. Dia akan datang setelah aku. Aku tahu itu."
"Tapi bagaimana kalau kita tertangkap saat mengembalikannya?" Tanya Michael.
"Ya. Bagaimana jika Spidey yang di rumah Coffman, dan ia menangkap kita?" kata B
ird.
"Kau tak mengerti," teriak Greg. "Dia tahu di mana aku tinggal. Dia berada di ru
mahku. Dia berada di kamarku. Dia ingin kamera itu kembali, dan -.!!"
"Sini. Berikan padaku,." Kata Bird. "Kita tak harus kembali ke rumah itu. Dia da
pat menemukannya. Di sini."
Dia meraih lagi untuk (mengambil) kamera itu.
Greg memegang erat tali dan mencoba menariknya.
Tapi Bird meraih sisi kamera itu.
"Tidak!" Greg berteriak saat kamera itu berkilat. Dan berputar.
Satu (kertas) persegi film meluncur keluar.
"Tidak!" Greg berteriak pada Bird, ngeri, menatap persegi putih yang mulai berpr
oses. "Kau mengambil fotoku!"
Tangannya gemetar, ia menarik hasil jepretan dari kamera.
Apa yang akan kamera itu tunjukkan?
23
"Maaf," kata Bird. "Aku tak bermaksud untuk -"
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, satu suara memutuskannya dari belakang
bangku penonton. "Hei - Bagaimana kalian sampai di sana?"
Greg memandang hasil cetak itu dengan terkejut. Dua anak laki-laki yang tampak t
angguh melangkah keluar dari bayang-bayang, ekspresi mereka keras, mata mereka (
menatap) kamera itu.
Dia mengenali mereka dengan segera - Joey Ferris dan Mickey Ward - dua anak kela
s sembilan yang selalu keluar bersama-sama, selalu berlagak sombong di sekitarny
a, bertingkah tangguh, memilih anak-anak yang lebih muda dari mereka.

Mereka khususnya mengambil sepeda anak-anak , mengendarainya, dan membuangnya di


suatu tempat. Ada desas-desus di sekitar sekolah bahwa Mickey pernah memukuli s
eorang anak begitu parah sehingga anak itu lumpuh seumur hidup. Tapi, Greg perca
ya Mickey membuat sendiri rumor itu dan menyebarkannya sendiri.
Kedua anak laki-laki itu cukup besar untuk umur mereka. Tak ada seorangpun dari
mereka yang sangat baik di sekolah. Dan bahkan meskipun mereka selalu mencuri se
peda dan skateboard, meneror anak-anak kecil, dan terlibat perkelahian, tak satu
pun dari mereka pernah kelihatan untuk mendapat masalah yang serius.
Joey memiliki rambut pirang pendek, diatur rapi lurus ke atas, dan mengenakan pe
rhiasan bulat seperti intan di satu telinga. Mickey berwajah bulat merah penuh j
erawat, rambut hitam nenjuntai ke bahunya, dan meremas-remas tusuk gigi di antar
a giginya. Kedua anak laki-laki memakai kaos Heavy Metal dan celana jeans.
"Hei, aku harus pulang," kata Bird cepat, setengah meloncat dan setengah menari
menjauh dari bangku penonton.
"Aku juga," kata Michael, tak mampu untuk menutupi rasa takut yang tampak di waj
ahnya.
Gregg menyelipkan hasil foto itu ke dalam saku celana jinsnya.
"Hei, kau menemukan kameraku," kata Joey, meraih kamera itu dari tangan Greg. Ma
ta abu-abu kecilnya terbakar pada Greg seakan mencari reaksi. "Trims, Bung."
"Berikan kembali, Joey," kata Greg sambil mendesah.
"Ya. Jangan ambil kamera itu," kata Mickey temannya, satu senyum tersebar di waj
ahnya yang bundar. "Ini milikku!" Dia bergulat (untuk mendapatkan) kamera menjau
h dari Joey.
"Berikan kembali," desak Greg marah, mengulurkan tangannya. Lalu ia memelankan n
ada suaranya. "Ayolah guys, kamera itu bukan milikku.."
"Aku tahu itu bukan milikmu," kata Mickey, menyeringai. "Karena itu punyaku!"
"Aku harus mengembalikannya kepada pemiliknya," kata Greg, berusaha untuk tak me
ngeluh, tetapi suaranya terdengar di tepian.
"Bukan, kau bukan pemiliknya, Aku pemiliknya sekarang," desak Mickey.
"Apakah kau belum pernah mendengar tentang penemu adalah pemelihara?" tanya Joey
bersandar pada Greg mengancam. Dia enam inci lebih tinggi dari Greg, dan lebih
berotot.
"Hei, biarkan dia memiliki benda itu," bisik Michael di telinga Greg. "Kau ingin
menyingkirkannya? Benar"
"Tidak!" protes Greg.
"Apa masalahmu, wajah bintik?" tanya Joey pada Michael, memandangi Michael naik
dan turun.
"Tak ada masalah," kata Michael lembut.
"Hei - katakan cheese!" Mickey mengarahkan kamera pada Joey.
"Jangan lakukan itu," sela Burung, melambaikan tangannya panik.
"Mengapa tidak?" tuntut Joey.
"Karena wajahmu akan mematahkan kamera," kata Bird, tertawa.
"Kau benar-benar lucu," kata Joey sinis, menyipitkan matanya mengancam, mengeras
kan wajahnya. "Kau ingin senyum bodoh itu jadi permanen?" Dia mengangkat sekepal
an besar.
"Aku tahu anak ini," kata Mickey pada Joey, menunjuk pada Bird. "Dia mengira dia
barang panas."
Kedua anak laki-laki itu menatap tajam Bird, mencoba untuk menakut-nakutinya.
Bird menelan ludah. Dia mundur selangkah, menabrak bangku-bangku. "Tidak, aku ti
dak," katanya pelan. "Aku tak berpikir aku barang panas."
"Dia terlihat seperti sesuatu yang kuinjak kemarin," kata Joey.
Ia dan Mickey tertawa terbahak-bahak bernada tinggi, tawa hyena (hewan mirip anj
ing dari Afrika atau Asia selatan) dan saling menepuk satu sama lain.
"Dengar, guys. Aku benar-benar butuh kamera itu kembali," kata Greg, mengulurkan
tangan untuk mengambilnya. "Ini tidak bagus, toh itu rusak.. Dan itu bukan mili
kku."
"Ya, itu benar. Ini rusak," tambah Michael, mengangguk-angguk.
"Ya. Benar,." Kata Mickey sinis. "Kita lihat saja." Dia mengangkat kamera lagi d
an mengarahkannya pada Joey.
"Sungguh, guys. Aku butuh itu kembali,." Kata Greg putus asa.

Jika mereka mengambil foto dengan kamera itu, Greg menyadarinya, mereka mungkin
menemukan rahasianya. Foto itu akan menunjukkan masa depan, hanya menunjukkan ha
l-hal buruk terjadi kepada orang-orang. Kamera itu jahat. Mungkin bahkan menyeba
bkan kejahatan.
"Katakan cheese," perintah Mickey pada Joey.
"Cukup tekan benda bodoh itu!" jawab Joey dengan tak sabar.
Tidak, pikir Greg. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. Aku harus mengembalikan
kamera itu ke rumah Coffman, pada Spidey.
Menuruti kata hatinya, Greg melompat maju. Dengan berteriak, ia menyambar kamera
itu dari wajah Mickey.
"Hei -" Mickey bereaksi terkejut.
"Ayo kita pergi!" teriak Greg pada Bird dan Michael.
Dan tanpa berkata lagi, ketiga sahabat itu berbalik dan mulai berlari melewati t
aman bermain yang sepi menuju rumah mereka.
Jantungnya berdebar di dadanya, Greg mencengkeram erat kamera itu dan berlari se
cepat dia bisa, sepatunya membentur keras di atas rumput kering.
Mereka akan menangkap kita, pikir Greg, nafasnya sekarang terengah-engah keras s
ekarang saat dia berlari ke jalan. Mereka akan menangkap kita dan memukul kita.
Mereka akan mengambil kembali kamera itu. Kami daging mati. Daging mati.
Greg dan teman-temannya tidak berbalik sampai mereka di seberang jalan. Dengan n
apas ribut, mereka menoleh ke belakang - dan berteriak kaget lega.
Joey dan Mickey tak beranjak dari samping bangku. Mereka tak mengejar. Mereka be
rsandar di bangku-bangku, tertawa.
"Kalian nanti akan kami tangkap, guys!" teriak Joey setelah mereka.
"Ya. Nanti." Ulang Mickey.
Mereka berdua tertawa lagi, seolah-olah mereka telah mengatakan sesuatu yang luc
u.
"Hampir saja," kata Michael, masih terengah-engah.
"Mereka serius," kata Bird, tampak sangat susah. "Mereka nanti akan menangkap ki
ta. Kita tinggal sejarah."
"Omong kasar. Mereka cuma kebanyakan udara panas," desak Greg.
"Oh, ya?" teriak Michael. "Lalu kenapa kita lari seperti itu?"
"Karena kita terlambat untuk makan malam," canda Bird. "Sampai nanti, guys. Aku
akan menangkapnya jika aku tak terburu-buru.."
"Tapi kamera itu-" protes Greg, masih mencengkeram erat dengan satu tangan.
"Sudah terlambat," kata Michael, dengan gugup menyapu tangan kebalakang pada ram
but merahnya.
"Ya Kita akan melakukannya besok atau lainnya." Bird setuju.
"Lalu kalian akan ikut denganku?" tanya Greg penuh semangat.
"Eh.. Aku harus pergi,." Kata Bird tanpa menjawab.
"Aku juga," kata Michael dengan cepat, menghindari tatapan Greg.
Mereka bertiga dari memalingkan mata mereka kembali ke taman bermain. Joey dan M
ickey sudah lenyap. Mungkin pergi untuk meneror anak-anak lainnya.
"Sampai nanti," kata Bird, menepuk bahu Greg sambil berjalan pergi. Ketiga sahab
at itu berpisah, berlari ke arah yang berbeda melewati rumput dan jalanan masuk,
menuju rumah.
Greg telah berlari sepanjang jalan ke halaman depan sebelum ia teringat hasil fo
to yang ia masukkan ke dalam saku celana jinsnya.
Dia berhenti di jalan masuk dan menariknya keluar.
Matahari merendah di belakang garasi. Dia memegang hasil foto itu dekat ke wajah
nya untuk melihat dengan jelas.
"Oh, tidak!" teriaknya. "Aku tak percaya!"
24
"Ini tak mungkin!" Greg berteriak keras, menganga dengan hasil foto di tangannya
yang gemetar.
Bagaimana Shari masuk ke foto?
Foto ini diambil beberapa menit sebelumnya, di depan bangku-bangku di taman berm
ain.

Tapi ada Shari, berdiri dekat di samping Greg.


Tangannya gemetar, mulutnya ternganga tak percaya, Greg terbelalak menatap foto
itu.
Itu sangat jelas, sangat tajam. Mereka di sana di tempat bermain. Dia bisa melih
at lapangan kasti di latar belakang.
Dan di sanalah mereka, Greg dan Shari.
Shari berdiri begitu jelas, begitu tajam - tepat di sampingnya.
Dan mereka berdua menatap lurus ke depan, mata mereka nelebar, mulut mereka terb
uka, ekspresi mereka membeku karena ketakutan ketika suatu bayangan besar menutu
pi mereka berdua.
"Shari?" teriak Greg, menurunkan hasil foto dan matanya melesat atas halaman dep
an. "Apa kau di sini ? Bisakah kau mendengarku?"
Dia mendengarkan.
Sunyi.
Dia mencoba lagi.
"Shari? Apa kau di sini?"
"Greg!" satu suara memanggil.
Mengeluarkan teriakan kaget, Greg berbalik. "Hah?"
"Greg!" ulang suara itu. Ia perlu waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa itu
adalah ibunya, memanggilnya dari pintu depan.
"Oh, Hai Bu." Merasa bingung, ia menyelipkan hasil foto itu kembali ke saku cela
na jinsnya.
"Ke mana saja kau?" tanya ibunya sambil berjalan ke pintu. "Aku mendengar tentan
g Shari. Aku begitu kesal. Aku tak tahu di mana kau berada."
"Maaf, Bu," kata Greg, mencium pipinya. "Aku - aku harusnya meninggalkan catatan
."
Dia melangkah ke dalam rumah, merasa aneh dan bermacam-macam, sedih, bingung dan
ketakutan, semuanya pada waktu yang sama.
****
Dua hari kemudian, pada hari yang (bercuaca) tinggi, awan abu-abu, udara panas d
an berkabut, Greg berjalan mondar-mandir di kamarnya setelah pulang sekolah.
Rumah itu kosong kecuali untuk dirinya. Terry sudah pergi beberapa jam sebelum k
e pekerjaannya setelah sekolah di Freeze Dairy. Mrs Bank pergi ke rumah sakit un
tuk menjemput ayah Greg, yang akhirnya pulang.
Greg tahu ia harusnya senang ayahnya kembalinya. Tapi masih ada terlalu banyak h
al mengganggunya, menarik-narik pikirannya.
Menakutkannya.
Untuk satu hal, Shari masih belum ditemukan.
Polisi benar-benar bingung. Teori baru mereka adalah bahwa dia telah diculik.
Panik (memikirkannya), orang tuanya dengan sedih menunggu telepon di rumah. Tapi
tak ada penculik yang menuntut uang tebusan.
Tak ada petunjuk apapun.
Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menunggu. Dan harapan.
Saat hari-hari berlalu, Greg merasa lebih dan lebih bersalah. Dia yakin Shari ta
k diculik. Dia tahu bahwa entah bagaimana, kamera itu telah membuatnya menghilan
g.
Tapi ia tak bisa memberitahu orang lain apa yang diyakininya.
Tak seorang pun akan percaya kepadanya. Setiap orang yang dia coba untuk menceri
takan kisah itu akan berpikir dia gila.
Kamera tak akan bisa jahat, setelah semuanya.
Kamera tak bisa membuat orang jatuh dari tangga. Atau mencelakakan mobil mereka.
Atau menghilangkan dari pandangan.
Kamera hanya dapat merekam apa yang dilihat.
Greg menatap keluar dari jendela kamarnya, menekankan dahinya kaca, memandang ke
halaman belakang Shari itu. "Shari - di mana kau?" tanyanya dengan keras, menat
ap pohon tempat ia berpose.
Kamera itu masih tersembunyi di dalam ruangan rahasia di ujung tempat tidurnya.

Tak seorang pun dari Bird maupun Michael yang setuju untuk membantu Greg kembali
ke rumah Coffman.
Selain itu, Greg memutuskan untuk menahan kamera itu beberapa saat lagi, dalam k
asus ini ia membutuhkannya sebagai barang bukti.
Dalam hal ia memutuskan untuk menceritakan ketakutannya tentang hal itu kepada s
eseorang.
Dalam kasus. . .
Ketakutannya yang lain adalah Spidey akan kembali, kembali ke kamar Greg, kembal
i untuk (mengambil) kamera itu.
Begitu banyak yang harus ditakutinya.
Dia menjauhkan dirinya dari jendela. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu
dalam beberapa hari terakhir menatap halaman belakang Shari yang kosong itu.
Berpikir. Berpikir.
Sambil mendesah, dia merogoh ujung ranjang dan menarik keluar dua hasil foto yan
g disembunyikannya di sana bersama dengan kamera itu.
Kedua hasil foto itu diambil Sabtu lalu di pesta ulang tahun Shari itu. Memegang
satu foto di masing-masing tangan, Greg menatap mereka, berharap ia bisa meliha
t sesuatu yang baru, sesuatu yang tak perhatikannya sebelumnya.
Tetapi foto tak berubah. Foto itu masih menunjukkan pepohonnya, halaman belakang
nya, kehijauan di bawah sinar matahari. Dan tak Shari. Tak ada satu pun di mana
Shari telah berdiri. Seolah-olah lensa itu telah menembus tepat melalui dirinya.
Menatap foto, Greg menjerit sedih.
Kalau saja ia tak pernah pergi ke rumah Coffman.
Kalau saja ia tiak pernah mencuri kamera.
Kalau saja ia tak pernah mengambil foto-foto dengan kamera itu.
Kalau saja. . . kalau saja. . . kalau saja. . .
Sebelum ia menyadari apa yang dia lakukan, dia merobek dua hasil foto itu menjad
i potongan-potongan kecil.
Dadanya naik turun, terengah-engah keras, ia merobek foto itu dan membiarkan pot
ongannya jatuh ke lantai.
Ketika ia merobek keduanya menjadi pecahan-pecahan kertas kecil, ia menjatuhkan
dirinya tertelungkup di tempat tidurnya dan memejamkan matanya, menunggu hatinya
berhenti berdebar-debar, menunggu perasaan berat dari rasa bersalah dan ngeri h
ilang.
Dua jam kemudian, telepon di samping tempat tidurnya berdering.
Itu Shari.
25
"Shari - itu benar-benar kau?" Greg berteriak di telepon.
"Ya. Ini aku!" Dia terdengar sama terkejutnya dengannya.
"Tapi bagaimana? Maksudku -" Pikirannya berlomba. Dia tak tahu harus berkata apa
.
"Tebakanmu sebaik tebakanku," kata Shari padanya. Dan kemudian dia berkata, "Tun
ggu sebentar."
Dan Greg mendengar langkah menjauhnya dari telepon untuk berbicara dengan ibunya
. "Bu - Ibu sudah berhentilah menangis -. Ini benar-benar aku. Aku sudah pulang.
."
Beberapa detik kemudian, dia kembali di telepon. "Aku sudah di rumah selama dua
jam, dan Ibu masih menangis dan menangis."
"Aku juga merasa akan menangis," aku Greg. "Aku - aku tak bisa percaya ini. Shar
i, di mana kau?!"
Jalur ini hening beberapa saat.
"Aku tak tahu," Shari akhirnya menjawab.
"Hah?"
"Aku benar-benar tak tahu. Itu hanya sangat aneh, Greg. Satu menit, ada aku di p
esta ulang tahunku. Menit berikutnya, aku berdiri di depan rumahku. Dan itu dua
hari kemudian.. Tapi aku tak ingat pergi jauh. Atau sedang di tempat lain. Aku t
ak ingat apa-apa sama sekali. "

"Kau tak ingat pergi ? Atau pulang?" tanya Greg.


"Tidak. Tak ada," kata Shari, suaranya gemetar.
"Shari, foto-foto yang ku ambil darimu - ingat? Dengan kamera aneh itu? Kau tak
kelihatan di dalamnya ?"
"Dan lalu aku menghilang," kata Shari, menyelesaikan pikiran Greg.
"Shari, menurutmu -?"
"Aku tak tahu," jawabnya cepat. "Aku -. Aku harus pergi sekarang. Polisi ada di
sini. Mereka ingin menanyaiku. Apa yang akan kukatakan pada mereka. Mereka akan
berpikir aku sudah hilang ingatan atau jadi gila atau sesuatu (yang lain)..?."
"Aku - aku tak tahu," kata Greg, benar-benar bingung. "Kita harus bicara. Kamera
itu -."
"Aku tak bisa sekarang," katanya. "Mungkin besok. Oke?" Dia berteriak pada ibuny
a bahwa dia akan datang. "Sampai jumpa, Greg. Sampai ketemu." Dan kemudian dia m
enutup telepon.
Greg meletakkan gagang telepon, tetapi duduk di tepi tempat tidurnya menatap tel
epon untuk waktu yang lama.
Shari kembali.
Dia sudah kembali sekitar dua jam.
Dua jam. Dua jam. Dua jam.
Lalu matanya beralih ke jam radio di samping telepon.
Baru dua jam sebelumnya, ia telah merobek dua hasil foto Shari yang tak terlihat
.
Pikirannya berputar dengan ide-ide liar, ide-ide gila.
Apakah ia membawa Shari kembali dengan merobek foto-foto itu?
Apakah ini berarti bahwa kamera itu menyebabkan dia menghilang? Bahwa kamera itu
menyebabkan semua hal mengerikan yang muncul dalam foto tersebut?
Greg menatap telepon untuk waktu yang lama, berpikir keras.
Dia tahu apa yang harus ia lakukan. Dia harus bicara ke Shari. Dan ia harus meng
embalikan kamera itu.
****
Dia bertemu Shari di tempat bermain sore berikutnya. Matahari melayang tinggi di
langit yang tak berawan. Delapan atau sembilan anak-anak terlibat dalam keribut
an berisik dalam satu pertandingan sepak bola, berlari ke satu arah, lalu yang l
ain persis di luar lapangan bisbol.
"Hei - kau terlihat seperti dirimu!" seru Greg saat Shari berlari-lari kecil dat
ang ke tempatnya berdiri di samping bangku-bangku. Dia mencubit lengan Shari. "Y
a. Ini kau, oke."
Shari tak tersenyum. "Aku merasa baik-baik saja," katanya sambil menggosok-gosok
lengannya. "Hanya bingung. Dan lelah. Polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan p
adaku selama berjam-jam Dan ketika akhirnya mereka pergi, orang tuaku mulai masu
k."
"Maaf," kata Greg pelan, menatap sepatunya.
"Kupikir Ibu dan Ayahku percaya entah bagaimana itu salahku bahwa aku menghilang
," kata Shari, mengistirahatkan punggungnya ke sisi bangku, menggelengkan kepala
.
"Ini salah kamera itu," gumam Greg. Dia mengangkat matanya ke Shari. "Kamera itu
jahat."
Shari mengangkat bahu. "Mungkin. Aku tak tahu harus berpikir apa. Aku benar-bena
r tak tahu."
Greg menunjukkan Shari hasil foto itu, yang menunjukkan mereka berdua di taman b
ermain menatap dengan ngeri saat bayangan bergerak pelan ke atas mereka.
"Begitu aneh," seru Shari, mempelajarinya dengan keras.
"Aku ingin mengembalikan kamera itu ke rumah Coffman," kata Greg panas. "Aku bis
a pulang dan mengambilnya sekarang. Maukah kau membantuku? Maukah kau ikut denga
nku?."
Shari akan menjawab, tapi berhenti.
Mereka berdua melihat bayangan gelap bergerak, meluncur ke arah mereka dengan ce
pat, diam-diam, di atas rumput.

Dan kemudian mereka melihat pria itu berpakaian serba hitam, kakinya yang kurus
itu naik turun dengan keras saat ia datang pada mereka.
Spidey!
Greg meraih tangan Shari itu, membeku ketakutan.
Dia dan Shari terganga ngeri saat bayangan Spidey yang merayap bergerak pelan di
atas mereka.
26
Greg mengakui punya perasaan ngeri. Dia tahu hasil foto itu baru saja menjadi ke
nyataan.
Saat sosok gelap Spidey bergerak menuju mereka seperti tarantula hitam, Greg men
arik tangan Shari itu. "Lari!" teriaknya dengan suara melengking yang tak dikena
linya.
Dia tak harus mengatakannya. Mereka berdua berlari sekarang, terengah-engah saat
mereka berlari melintasi rerumputan ke jalanan. Sepatu mereka berdebam keras di
tanah saat mereka mencapai trotoar dan terus berlari.
Greg berbalik untuk melihat Spidey memperkecil jarak. "Dia mengejar!" ia berhasi
l berteriak ke Shari, yang beberapa langkah di depannya.
Spidey, wajahnya masih tersembunyi dalam bayang-bayang topi kasti hitam, bergera
k dengan kecepatan mengejutkan, kakinya yang panjang menendang tinggi saat ia me
ngejar mereka.
"Dia akan menangkap kita!" teriak Greg, merasa seolah-olah dadanya hendak meleda
k. "Dia... Terlalu... Cepat!"
Spidey bergerak lebih dekat, bayangannya merayap di atas rumput.
Lebih dekat.
Saat mobil itu membunyikan klakson, Greg menjerit.
Dia dan Shari berhenti sebentar.
Klakson berbunyi lagi.
Greg berbalik dan melihat seorang pria muda yang dinealnya dalam sebuah hatchbac
k kecil (mobil yang pintunya dibuka keatas). Itu Jerry Norman, yang tinggal di s
eberang jalan.
Jerry menurunkan jendela mobilnya. "Apa orang ini mengejar kalian?" tanyanya pen
uh semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia memundurkan mobil ke arah Spidey. "Tuan,
aku akan menelepon polisi!"
Spidey tak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik dan melesat di seberang jalan.
"Kuperingatkan Anda -" Jerry meneriakinya.
Tapi Spidey sudah lenyap di balik pagar tinggi.
"Anak-anak apa kalian baik-baik saja?" Desak tetangga Greg.
"Ya. Baik," Greg berhasil menjawab, masih terengah-engah, dadanya naik-turun.
"Kami baik-baik saja. Terima kasih, Jerry," kata Shari.
"Aku telah melihat orang itu di sekitar lingkungan ini," kata pemuda itu, menata
p melalui kaca depan di pagar tinggi. "Tak pernah terpikir kalau ia berbahaya. A
nak-anak, kalian ingin aku menelepon polisi?."
"Tak apa-apa," jawab Greg.
Begitu aku memberikan kembali kameranya, dia akan berhenti mengejar kami, pikir
Greg.
"Yah, hati-hati - oke?" Jerry berkata. "Kalian butuh tumpangan ke rumah atau apa
?" Dia mempelajari wajah-wajah mereka seolah-olah mencoba untuk menentukan bagai
mana ketakutan dan kesal mereka.
Baik Greg dan Shari menggelengkan kepala mereka.
"Kami akan baik-baik saja," kata Greg. "Terima kasih."
Jerry memperingatkan mereka sekali lagi untuk berhati-hati, kemudian melaju perg
i, ban mobilnya berdecit saat ia berbelok.
"Hampir saja," kata Shari, matanya pada pagar. "Mengapa Spidey mengejar kita?"
"Dia mengira aku punya kamera itu. Dia menginginkannya kembali," kata Greg padan
ya. "Temui aku besok, oke. Di depan rumah Coffman? Bantu aku mengembalikannya?"
Shari menatapnya tanpa menjawab, ekspresinya berpikir, waspada.
"Kita akan berada dalam bahaya - kita semua - sampai kita mengembalikan kamera i
tu," desak Greg.

"Oke," kata Shari tenang. "Besok."


27
Sesuatu bergerak cepat melalui rerumputan liar yang tinggi yang tak dipotong di
halaman depan.
"Apa itu?" teriak Shari, berbisik meskipun tidak ada orang lain di depan mata. "
Itu terlalu besar untuk tupai."
Dia berlama-lama di belakang Greg, yang berhenti untuk melihat ke rumah Coffman.
"Mungkin itu racoon atau sesuatu yang lain," kata Greg padanya. Dia mencengkera
m erat kamera itu di kedua tangannya.
Saat itu pukul tiga lebih sedikit, sore berikutnya, hari yang berkabut dan mendu
ng. Pegunungan awan gelap mengancam hujan yang bergulir di langit, membentang di
belakang rumah, menuangkannya dalam bayangan.
"Akan badai," kata Shari, tinggal dekat belakang Greg. "Ayo kita selesaikan ini
dan pulang."
"Ide bagus," kata Greg, sambil menatap langit yang berat.
Guntur bergemuruh di kejauhan, meraung rendah. Pepohonan tua yang menghiasi hala
man depan berbisik dan menggeleng-geleng.
"Kita tak bisa lari begitu saja ke dalam," kata Greg, mengamati langit yang gela
p. "Pertama kita harus pastikan Spidey tak ada."
Mereka berjalan cepat melalui rerumputan tinggi dan rumput-rumput liar, mereka b
erhenti di jendela ruang tamu dan mengintip masuk. Guntur bergemuruh, rendah dan
panjang, di kejauhan. Greg pikir ia melihat makhluk lain berlari tergesa-gesa m
elalui rerumputan liar di sekitar sudut rumah.
"Terlalu gelap di sana. Aku tak bisa melihat apa-apa," keluh Shari.
"Ayo kita periksa ruang bawah tanah," usul Greg. "Di situlah Spidey menghabiskan
waktunya, ingat?"
Langit jadi gelap hijau keabu-abuan menakutkan saat mereka berjalan ke belakang
rumah dan berlutut untuk mengintip ke bawah melalui jendela ruang bawah tanah di
permukaan tanah.
Sambil memicingkan mata melalui kaca jendela yang berdebu mereka bisa melihat me
ja kayu lapis darurat yang dibuat Spidey, lemari pakaian di dinding, pintunya ma
sih terbuka, pakaian tua berwarna-warni tertumpah keluar, kotak makanan beku yan
g kosong berserakan di lantai.
"Tak ada tanda dari dia," bisik Greg, menggendong kamera itu di lengannya seolah
-olah kamera itu mungkin mencoba melarikan diri darinya jika dia tidak memegangn
ya erat-erat. "Ayo kita bergerak."
"Apa - apa kau yakin?" Shari tergagap. Dia ingin jadi berani. Tapi pemikiran bah
wa ia telah menghilang selama dua hari - benar-benar lenyap, kemungkinan besar k
arena kamera itu - pemikiran menakutkan itu melekat dalam pikirannya.
Michael dan Bird adalah ayam (pengecut), pikirnya. Tapi mungkin merekalah yang c
erdas.
Dia berharap ini berakhir. Semuanya berakhir.
Beberapa detik kemudian, Greg dan Shari membuka pintu depan. Mereka melangkah ke
dalam ruang depan yang gelap. Berhenti.
Mendengarkan.
Dan kemudian mereka berdua melompat saat mendengar suara keras, dentaman tiba-ti
ba tepat di belakang mereka.
28
Sharilah yang pertama untuk mendapatkan kembali suaranya. "Ini hanya pintu!" ter
iaknya. "Angin -"
Hembusan angin yang keras telah membuat pintu depan terbanting.
"Ayo kita selesaikan ini," bisik Greg, sangat gemetar.
"Kita tak seharusnya masuk ke rumah ini sejak pertama kali," bisik Shari saat me
reka berjalan berjingkat-jingkat, langkah demi langkah berderit, menyusuri loron
g gelap menuju tangga ruang bawah tanah.
"Sudah agak terlambat untuk itu," jawab Greg tajam.

Membuka pintu ke anak tangga ruang bawah tanah, ia berhenti lagi. "Suara keras a
pa itu yang terdengar di lantai atas ?"
Raut muka Shari menegang ketakutan saat ia mendengarnya juga, suara ketukan, ber
ulang yang hampir berirama.
"Daun penutup jendela?" tebak Greg.
"Ya," Shari dengan cepat setuju, bernapas lega. "Banyak dari daun daun jendela it
u yang longgar, ingat?"
Seluruh rumah tampak mengerang.
Guntur bergemuruh luar, lebih dekat sekarang.
Mereka melangkah ke tangga, lalu menunggu mata mereka untuk menyesuaikan diri de
ngan kegelapan.
"Tak bisakah kita tinggalkan kamera itu di sini, dan lari?" tanya Shari, lebih m
irip permohonanan daripada pertanyaan.
"Tidak, aku ingin mengembalikannya," desak Greg.
"Tapi, Greg -" Shari menarik-narik lengan Greg saat ia mulai menuruni tangga.
"Tidak!" Greg menarik diri dari genggamannya. "Dia berada di kamarku, Shari. Dia
merobek segala sesuatu, mencari kamera itu. Aku ingin dia menemukannya di tempa
tnya! Jika dia tak menemukannya, dia akan kembali ke rumahku. Aku tahu dia akan!
"
"Oke, oke. Ayo kita cepat-cepat.."
Lebih terang dalam ruang bawah tanah, cahaya abu-abu merembes turun dari jendela
-jendela tingkat empat bawah tanah. Di luar, angin berputar-putar dan mendorong
kaca-kaca jendela. Satu kilatan pucat petir membuat bayangan-bayangan berkedip d
i dinding ruang bawah tanah. Rumah tua itu mengerang seakan tak senang akan bada
i.
"Apa itu ? Langkah kaki?" Shari berhenti separuh jalan di ruang bawah tanah dan
mendengarkan.
"Ini hanya rumah ini," Greg bersikeras. Tapi suaranya bergetar mengungkapkan bah
wa ia sama takutnya seperti temannya, dan dia berhenti untuk mendengarkan juga.
Duk. Duk. Duk.
Daun jendela tinggi di atas mereka meneruskan irama pukulannya.
"Di mana kau menemukan kamera itu, sih?" bisik Shari, mengikuti Greg ke dinding
yang jauh di seberang tungku perapian besar dengan saluran jaring laba-laba yang
tumbuh tinggi bagaikan dahan pohon yang pucat.
"Di sini," kata Greg padanya. Dia melangkah ke meja kerja dan meraih catok yang
terjepit di tepi. "Saat aku memutar catok itu, pintu terbuka. Beberapa macam rak
tersembunyi. Disitulah kamera itu -.."
Ia memutar gagang catok itu.
Sekali lagi, pintu rak-rak rahasia itu muncul terbuka.
"Bagus," bisiknya penuh semangat. Dia berkelebat. Shari tersenyum.
Dia memasukkan kamera itu ke rak itu, menyelipkan tali pengikat untuk membawa di
bawahnya. Lalu ia mendorong menutup pintu itu. "Kita keluar dari sini."
Dia merasa jauh lebih baik. Jadi lega. Jadi jauh lebih ringan.
Rumah itu mengerang dan berderit. Greg tak peduli.
Kilatan petir lainnya, kali ini lebih terang, seperti kedipan kamera, mengirimka
n bayangan yang berkelap-kelip di dinding.
"Ayo," bisiknya. Tapi Shari sudah di depannya, berjalan dengan hati-hati di atas
kotak makanan berserakan di mana-mana, bergegas menuju tangga.
Mereka sudah berjalan menaiki setengah tangga, Greg satu langkah di belakang Sha
ri, saat, di atas mereka, Spidey diam-diam melangkah tampil di atas tangga , men
ghalangi pelarian mereka.
29
Greg mengerjapkan mata dan menggelengkan kepala, seolah-olah ia bisa mengusir ba
yangan dari sosok muram yang menatap ke bawah ke arahnya.
"Tidak!" teriak Shari, dan jatuh kebelakang melanggar Greg.
Greg menyambar pagar, lupa bahwa pagar itu telah jatuh ke bawah karena berat bad
an Michael saat kunjungan pertama mereka yang tidak beruntung ke rumah itu. Untu
ngnya, Shari kembali keseimbangan sebelum menjatuhkan mereka berdua menuruni tan

gga.
Petir menyambar di belakang mereka, mengirimkan kilatan cahaya putih di tangga.
Tapi sosok tak bergerak di tangga di atas mereka tetap terselubung dalam kegelap
an.
"Ayo kita pergi!" Greg akhirnya berhasil berteriak, dapat bersuara lagi.
"Ya, Kami telah mengembalikan kamera Anda!" Shari menambahkan, terdengar melengk
ing dan ketakutan.
Spidey tak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah ke arah mereka, ke anak tangga per
tama. Dan kemudian ia menuruni anak tangga yang lain.
Hampir tersandung lagi, Greg dan Shari mundur ke lantai ruang bawah tanah.
Tangga kayu itu berderit memprotes saat sosok gelap itu melangkah perlahan, mant
ap, turun. Saat ia sampai di lantai ruang bawah tanah, sambaran petir berderak m
enebarkan cahaya biru di atasnya, dan Greg dan Shari melihat wajahnya untuk pert
ama kalinya.
Dalam kilatan warna yang singkat sekali, mereka melihat bahwa ia sudah tua, lebi
h tua daripada yang mereka bayangkan. Matanya yang kecil dan bulat seperti keler
eng gelap. Mulutnya itu kecil, juga berkerut meringis, menyeringai mengancam.
"Kami telah mengembalikan kamera itu," kata Shari, menatap ketakutan saat Spidey
perlahan-lahan mendekat. "Tidak bisakah kami pergi sekarang? Tolonglah?"
"Coba kulihat," kata Spidey. Suaranya lebih muda daripada wajahnya, lebih hangat
daripada matanya. "Ayo."
Mereka ragu-ragu. Tapi dia tak memberi mereka pilihan.
Mengantarkan mereka kembali melewati lantai yang berantakan ke meja kerja, dia m
embungkus tangan laba-labanya yang besar, di catok dan memutar pegangan. Pintu t
erbuka. Dia mengeluarkan kamera itu dan memegangnya dekat ke wajahnya untuk meme
riksanya.
"Kalian seharusnya tak mengambilnya," katanya kepada mereka, berbicara pelan, me
mbalikkan kamera itu di tangannya.
"Kami minta maaf," kata Shari cepat.
"Bisakah kita pergi sekarang?" tanya Greg, berjalan pelan menuju tangga.
"Ini bukan kamera biasa," kata Spidey, mengangkat mata kecilnya untuk mereka.
"Kami tahu," kata Greg tanpa berpikir. "Foto-foto yang diambil. Foto-foto itu -.
"
Mata Spidey terbelalak, ekspresinya marah. "Kalian mengambil foto dengan kamera
itu?"
"Hanya beberapa," kata Greg padanya, berharap dia menutup mulutnya. "Foto-foto i
tu tidak keluar. Sungguh.."
"Kau tahu tentang kamera, lalu," kata Spidey, bergerak cepat ke tengah lantai.
Apakah dia mencoba untuk menghalangi pelarian mereka? Greg bertanya-tanya.
"Itu rusak atau sesuatu yang lainnya," kata Greg ragu-ragu, memasukkan tangannya
ke saku celana jeans.
"Ini tak rusak," Sosok tinggi, berkulit gelap berkata pelan. "Kamera ini jahat."
Dia menunjuk ke arah meja kayu lapis rendah. "Duduklah di sana."
Shari dan Greg saling pandang. Lalu, dengan enggan, mereka duduk di tepi papan,
duduk kaku, gugup, mata mereka melesat ke tangga,ke arah melarikan diri.
"Kamera ini jahat," ulang Spidey, berdiri atas mereka, memegang kamera itu denga
n kedua tangannya. "Aku harusnya tahu. Aku membantu menciptakannya."
"Kau seorang penemu?" tanya Greg, sambil melirik Shari, yang gugup menarik-narik
sehelai rambut hitamnya.
"Aku seorang ilmuwan," jawab Spidey. "Atau, harus kukatakan, aku dulu seorang il
muwan. Namaku Frederick. Dr Fritz Frederick." Dia memindahkan kamera dari satu t
angan ke tangan lain. "Rekan laboratoriumku menemukan kamera ini. Ini adalah keb
anggaan dan kegembiraannya. Lebih dari itu, itu akan memberinya suatu keberuntun
gan. Apa yang harus kukatakan." Dia berhenti sejenak, suatu ekspresi penuh pemik
iran tenggelam di wajahnya.
"Apa yang terjadi padanya? Apakah dia mati?" tanya Shari, masih mengutak-atik se
helai rambutnya.
Dr Fredericks mencibir. "Tidak. Lebih buruk. Aku mencuri penemuannya. Aku mencur
i rencana dan kamera itu. Aku jahat, kalian lihat. Aku masih muda dan serakah. J
adi sangat rakus. Dan tidaklah sulit bagiku mencuri untuk membuat keberuntungank

u."
Dia berhenti, menatap mereka berdua seolah menunggu mereka untuk mengatakan sesu
atu, untuk mengajukan pencelaan mereka kepadanya, mungkin. Tapi ketika Greg dan
Shari tetap diam, menatapnya dari meja kayu lapis rendah, ia melanjutkan ceritan
ya.
"Ketika aku mencuri kamera itu, secara mengejutkan aku tertangkap rekanku. Sayan
gnya, sejak saat itu, semua kejutan itu adalah milikku." Satu senyum aneh, sedih
, terlintas di wajah tuanya. "Rekanku, kalian lihat, jauh lebih jahat daripadaku
."
Dr Fredericks terbatuk ke tangannya, lalu mulai berjalan mondar-mandir di depan
Greg dan Shari saat ia berbicara, berbicara pelan, perlahan-lahan, seakan mengin
gat cerita itu untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.
"Rekanku adalah seorang yang benar-benar jahat. Dia berkecimpung dalam seni kege
lapan. Aku harus mengoreksi diriku sendiri. Dia tak hanya mencoba-coba. Dia cuku
p menguasai semuanya."
Dia mengangkat kamera itu, melambaikan itu di atas kepalanya, kemudian menurunka
nnya. "Rekanku mengutuk kamera itu. Jika dia tak dapat keuntungan darinya, ia in
gin memastikan bahwa aku tak akan pernah mendapatkannya, juga. Dan dia menaruh k
utukan di atasnya."
Ia melayangkan pandangannya pada Greg, bersandar di atasnya. "Apakah kalian tahu
tentang beberapa orang-orang primitif yang takut kamera? Mereka takut kamera ka
rena mereka percaya bahwa jika kamera itu mengambil foto mereka, kamera itu akan
mencuri jiwa mereka." Dia menepuk-nepuk kamera itu. "Nah, kamera ini benar-bena
r mencuri jiwa."
Menatap kamera itu, Greg bergidik.
Kamera itu mencuri Shari pergi.
Apakah kamera itu telah mencuri semua jiwa mereka?
"Orang-orang telah meninggal karena kamera ini," kata Dr Frederick, mengucapkan
napas, lambat sedih. "Orang-orang yang dekat denganku. Itulah caranya bagaimana
aku belajar kutukan itu, mempelajari kejahatan kamera itu. Dan kemudian aku bela
jar sesuatu yang sama menakutkannya. Kamera itu tak dapat dihancurkan."
Dia terbatuk, berdeham keras-keras, dan mulai mondar-mandir di depan mereka lagi
. "Dan jadi aku bersumpah untuk menjaga rahasia kamera itu. Menjauhkannya dari o
rang-orang sehingga tak dapat melakukan kejahatan. Aku kehilangan pekerjaanku. K
eluargaku. Aku kehilangan segalanya karena kamera itu. Tapi aku bertekad untuk m
enjaga kamera itu agar tidak bisa membahayakan. "
Dia berhenti mondar-mandir dengan punggungnya ke arah mereka. Dia berdiri diam,
bahu membungkuk, tenggelam dalam pikirannya.
Greg segera bangkit dan memberi isyarat untuk Shari untuk melakukan hal yang sam
a. "Yah... Eh.. Saya kira. Ada baiknya kami mengembalikannya," katanya ragu-ragu
. "Maaf kami telah menyebabkan begitu banyak masalah."
"Ya, kami sangat menyesal," ulang Shari tulus. "Kurasa kamera itu kembali di tan
gan yang tepat."
"Selamat tinggal," kata Greg, mulai menuju langkah. "Sudah larut, dan kami -"
"Tidak!" teriak Dr Fredericks, mengejutkan mereka berdua. Dia bergerak cepat unt
uk memblokir jalan. "Aku khawatir kalian tak bisa pergi. Kalian tahu terlalu ban
yak.."
30
"Aku tak dapat membiarkan kalian pergi," kata Dr Frederick, wajahnya berkedip da
lam cahaya biru kilat. Dia menyilangkan tangannya yang kurus di depan kaus hitam
nya.
"Tapi kami tak akan memberitahu siapa pun," kata Greg, suaranya naik sampai kata
-katanya menjadi permohonan. "Sungguh."
"Rahasia Anda aman ditangan kami," desak Shari, mata ketakutan tertuju pada Greg
.
Dr Fredericks menatap mereka mengancam, tapi tak menjawab.
"Kau bisa mempercayai kami," kata Greg, suaranya bergetar. Dia melemparkan panda
ngan ketakutan pada Shari.

"Selain itu," kata Shari, "bahkan jika kami memberitahu setiap orang, siapa yang
akan mempercayai kami?"
"Cukup bicaranya," bentak Dr Frederick. "Ini tak akan memberi kalian kebaikan ap
apun. Aku telah bekerja terlalu lama dan terlalu keras untuk menjaga rahasia kam
era ini."
Satu desakan angin kembali mendorong jendela-jendela, mengirimkan satu lolongan
rendah. Angin membawa suara gemuruh drum hujan. Langit yang melalui jendela ruan
g bawah tanah hitam seperti malam hari.
"Anda - tak bisa terus menahan kami di sini selamanya!" teriak Shari, tak mampu
menahan kengerian yang tumbuh dari suaranya.
Sekarang hujan memukul-mukul jendela, hujan yang tetap.
Dr Fredericks menegakkan dirinya, sepertinya tumbuh lebih tinggi. Matanya keciln
ya membara pada Shari. "Maafkan aku," katanya, suaranya (jadi) bisikan penyesala
n. "Maaf. Tapi aku tak punya pilihan.."
Dia mengambil langkah lain terhadap mereka.
Greg dan Shari saling pandang ketakutan. Dari tempat mereka berdiri, di depan me
ja kayu lapis yang rendah di tengah ruang bawah tanah, anak-anak tangga tampakny
a seratus mil jauhnya.
"A-apa yang akan Anda lakukan?" teriak Greg, teriakannya melebihi ledakan guntur
yang mengguncang jendela ruang bawah tanah.
"Tolong -!" Shari memohon. "Jangan -!"
Dr Fredericks bergerak maju dengan kecepatan yang mengejutkan. Memegang kamera d
i satu tangan, ia meraih bahu Greg dengan yang tangannya yang lain.
"Tidak!" Greg menjerit. "Lepaskan!"
"Lepaskan dia!" jerit Shari.
Dia tiba-tiba menyadari bahwa kedua tangan Dr Frederick dipergunakan.
Ini mungkin satu-satunya kesempatanku, pikir Shari.
Dia menarik napas dalam-dalam dan menerjang maju.
Mata Dr Fredericks melotot, dan dia berteriak kaget saat Shari merebut kamera it
u dengan kedua tangannya dan menarik kamera itu menjauh darinya. Dia dengan pani
k membuat satu sambaran untuk mengambil kamera itu, dan Greg sepenuhnya bebas.
Sebelum pria putus asa itu bisa mengambil langkah lain, Shari mengangkat kamera
itu dengan mata dan lensa menunjuk ke arahnya.
"Tolong - jangan! Jangan tekan tombol itu!" teriak orang tua itu.
Dia melesat maju, matanya liar, dan meraih kamera itu dengan kedua tangan.
Greg menatap ngeri saat Shari dan Dr Fredericks bergulat, keduanya memegang kame
ra itu, masing-masing berusaha mati-matian untuk merebut menjauhkannya dari yang
lain.
Sret!
Ledakan cahaya terang mengejutkan mereka semua.
Shari menyambar kamera itu. "Lari!" jeritnya.
31
Ruang bawah tanah itu menjadi berputar kabur abu-abu dan hitam ketika Greg meles
at sendiri menuju tangga.
Dia dan Shari berlari berdampingan, tergelincir di atas kotak makanan, melompati
kaleng dan botol kosong.
Hujan guntur kembali ke jendela. Angin melolong, mendorong kaca-kaca itu. Mereka
bisa mendengar jeritan sedih Dr Frederick di belakang mereka.
"Apakah kamera itu mengambil foto kita atau dia?" tanya Shari.
"Aku tak tahu. Ayo cepat!" jerir Greg.
Orang tua itu melolong seperti binatang yang terluka, jeritannya bersaing dengan
hujan dan angin yang mendorong jendela.
Anak-anak tangga itu tak terlalu jauh. Tapi tampaknya butuh (waktu) selamanya un
tuk menjangkaunya.
Selamanya.
Selamanya, Greg berpikir. Dr Fredericks ingin menahan Shari dan dia di sana sela
manya.
Terengah-engah keras, mereka berdua mencapai anak tangga yang gelap. Satu sambar

an petir yang memekakkan telinga membuat mereka berhenti dan berbalik.


"Hah?" teriak Greg nyaring.
Terkejut, Dr Frederick tak mengejar mereka.
Dan jeritan sedih itu telah berhenti.
Ruang bawah tanah itu sunyi.
"Apa yang terjadi?" teriak Shari terengah-engah.
Menyipitkan mata kembali ke kegelapan, Greg butuh waktu untuk menyadari bahwa be
ntuk, gelap kusut berbaring di lantai di depan meja kerja adalah Dr Frederick.
"Apa yang terjadi?" teriak Shari, dadanya naik-turun saat ia berusaha menarik na
pas. Masih memegang erat tali kamera itu, ia ternganga karena terkejut tubuh pri
a tua itu, masih telentang pada lantai.
"Aku tak tahu," jawab Greg berbisik terengah-engah.
Dengan enggan, Greg mulai kembali ke Dr Frederick. Mengikuti dekat di belakang,
Shari menjerit pelan ngeri ketika dia dengan jelas melihat wajah manusia yang ja
tuh.
Mata melotot, mulut terbuka seperti (huruf) O ngeri, wajah itu menatap mereka. B
eku. Mati.
Dr Fredericks sudah mati.
"Apa yang - terjadi!" Shari akhirnya berhasil berkata, menelan ludah, memaksakan
dirinya untuk berpaling dari wajah mengerikan menderita.
"Kupikir dia mati ketakutan," jawab Greg, meremas bahu Shari dan bahkan ia tak m
enyadarinya.
"Hah? Ketakutan?"
"Dia tahu lebih baik dari siapa pun apa yang kamera itu bisa lakukan," kata Greg
. "Ketika kau memfotonya, kupikir... Kupikir itu membuatnya takut hingga mati!"
"Aku hanya ingin dia melepas penjagaannya," teriak Shari. "Aku hanya ingin kita
diberi kesempatan untuk melarikan diri. Aku tak berpikir -."
"Foto itu," sela Greg. "Ayo kita lihat foto itu."
Shari mengangkat kamera itu. Foto itu masih setengahnya di dalam kamera. Greg me
nariknya keluar dengan tangan gemetar. Dia mengangkatnya sehingga mereka berdua
bisa melihatnya.
"Wow," seru Grg tenang. "Wow."
Foto itu memperlihatkan Dr Frederick terbaring di lantai, matanya melotot, mulut
nya membeku terbuka ngeri.
Ketakutan Dr Fredericks , Greg menyadari - ketakutan yang telah membunuhnya - ad
a di sana, membeku pada film, beku di wajahnya.
Kamera itu meminta korban lain. Kali ini, selamanya.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" Shari bertanya, menatap sosok tergeletak itu d
i kaki mereka.
"Pertama, aku menempatkan kamera ini kembali," kata Greg, mengambil kamera itu d
arinya dan memasukkannya kembali di raknya. Ia memutar gagang catok, dan pintu k
e ruangan rahasia itu tertutup.
Greg menghela napas lega. Menyembunyikan kamera mengerikan itu jauh membuatnya m
erasa jauh lebih baik.
"Sekarang, ayo kita pulang dan menelepon polisi," katanya.
***
Dua hari kemudian, di hari yang sejuk cerah dengan angin sepoi-sepoi gemerisik p
ohon-pohon, empat sahabat itu berhenti di pinggir jalan, bersandar pada sepeda m
ereka, dan menatap rumah Coffman. Bahkan dalam terang sinar matahari, pohon-poho
n tua yang mengelilingi rumah itu menutupinya dalam bayangan.
"Jadi kau tak memberitahu polisi tentang kamera itu?" tanya Bird, menatap jendel
a, depan yang kosong dan gelap .
"Tidak. Mereka tak akan percaya," kata Greg padanya. "Selain itu, kamera itu har
us tetap dikurung selamanya! Selamanya!. Aku berharap tak ada yang pernah tahu t
entang hal itu."
"Kami mengatakan kepada polisi kami berlari ke dalam rumah itu untuk menghindari
hujan," tambah Shari. "Dan kami mengatakan kami mulai menjelajahi sambil kami m
enunggu badai berhembus diatas. Dan kami menemukan tubuh itu di ruang bawah tana

h.."
"Apa Spidey mati?" tanya Michael, menatap rumah.
"Polisi bilang itu gagal jantung," kata Greg padanya. "Tapi kita tahu yang seben
arnya."
"Wow. Aku tak percaya satu kamera tua itu bisa melakukan begitu banyak kejahatan
," kata Bird.
"Aku percaya," kata Greg tenang.
"Ayo keluar dari sini," desak Michael. Dia mengangkat sepatunya ke pedal dan mul
ai menggelinding. "Tempat ini benar-benar mengerikan."
Tiga anak lainnya mengikuti, mengayuh pergi berpikir dalam.
Mereka telah berbelok dan menuju blok berikutnya ketika dua sosok muncul dari pi
ntu belakang rumah Coffman. Joey Ferris dan Mickey Ward melangkahi rumput liar y
ang memenuhi ke jalur mobil.
"Anak-anak bodoh itu tidak terlalu cerdik," kata Joey temannya. "Mereka bahkan t
ak pernah melihat kami hari yang lain. Tak pernah melihat bahwa kami mengawasi m
ereka melalui jendela ruang bawah tanah.."
Mickey tertawa. "Ya Mereka. Brengsek."
"Mereka tak bisa menyembunyikan kamera ini dari kami. Tak mungkin, man," kata Jo
ey. Dia mengangkat kamera dan memeriksanya.
"Ambil fotoku," tuntut Mickey. "Ayo, kita mencobanya.."
"Ya. Oke.. Joey mengangkat jendela bidik untuk matanya. "Katakanlah Cheese."
Satu klik. Satu kilatan. Suatu suara mendesing.
Joey menarik hasil foto itu dari kamera, dan kedua anak laki-laki itu dengan ant
usias berkerumun di sekitarnya, menunggu untuk melihat (foto) apa yang dicetak.
Edit by : zheraf.net
http://www.zheraf.net

Anda mungkin juga menyukai