Lapkas Dm+nefrolithiasis
Lapkas Dm+nefrolithiasis
KASUS
Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 48 tahun
Alamat
No. CM
: A088093
BB
: 98 kg
TB
: 160 cm
SIO
: (+)
Bayar
: Jamkesmas
Diagnosa
Dokter
Pemeriksaan Fisik
KU
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 140/70 mmHg
1
Nadi
: 86 x/menit
Suhu
: 36 0C
RR
: 20 x/menit
Status Generalis
Kepala
: Normocephal
Mata
: Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Reflek cahaya (+), isokhor
Hidung
Mulut
Leher
Paru
Jantung
Inspeksi: Simetris, gerakan dinding dada sama dada kiri dan kanan
:
-
Abdomen
:
-
Inspeksi: Datar, bekas luka (-), bekas operasi (-), massa (-)
Punggung
Ekstremitas
Tahanan :
5
Laboratorium
Tanggal: 07/05/2012
Hb
: 10,9 g/dl
Leukosit
: 7400 / ul
Trombosit
: 260.000 / ul
Ht
: 31,2 %
LED
Waktu perdarahan
: 2 00 menit
Waktu pembekuan
: 7 00 menit
GDS
: 120,9 mg/dl
(j. 15.00)
Ureum
: 32,4 mg/dl
Kreatinin
: 1,16 mg/dl
Elektrolit
Na : 141, 5
K : 3,88
Ca : 9,0
Cl : 106,2
Radiologi
Tanggal : 19/04/2012
Foto thoraks:
Kesan : Tidak tampak Cardiomegali
Tidak tampak KP aktif
EKG : Sinus Rythm
Obat
Metformin 3 x 500 mg
Advis
Periksa Gula Darah Sewaktu tanggal 8 Mei 2012 jam 06.00 pagi.
Intraoperasi
Tanggal : 08/05/2012
Keadaan Prabedah
KU
: Baik
Kesadaran
: CM
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 100/90 mmHg
Nadi
: 111 x/menit
RR
: 18 x/menit
Suhu
: 37 0C
Hb
: 10, 9 gr%
Leukosit
: 7400 /ul
: 155 mg/dl
Elektrolit
Na : 141, 5
K : 3,88
Ca : 9,0
Cl : 106,2
Rontgen thoraks : Tidak tampak cardiomegali dan tidak tampak KP aktif
Status Fisik
: ASA II
Penatalaksanaan Anestesi
I.
Anestesi Umum:
Posisi
: Lateral
Premedikasi
: - Ondancentron 4 mg
- Ranitidine 30 mg
Respirasi
: Controlled
Medikasi
Fentanyl 60 mg
Propofol 150 mg + 20 mg
Atracurium 40 mg
Chrome 50 mg
Ketorolac 50 mg
Furosemid 10 mg
Cairan
= 98 ml/jam
Pengganti puasa
Pengganti Puasa = Maintenance x Lama puasa
= 98 x 8 jam
= 784 ml
Medium tissue trauma (4cc/kgBB/jam)
BB x 4 cc/kgBB/jam :
= 4 x 58 kg/jam
= 232 cc/jam
Cairan Perioperatif
5
: 500 ml
KU
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
TandaVital
:
-
TD
Nadi
: 110 x/mnt
RR
: 18 x/mnt
Suhu
: Afebris
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik
terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa plasma
puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa
plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar glukosa
plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus
diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas
ADA
batas ini.
menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl)
sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau
200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga
didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang
serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7
2.2 KLASIFIKASI 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya
retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi
insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka selsel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami
ketoasidosis jika insulin dihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami
8
ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup
dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali
memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.
2.3 PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh
pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-pulau
Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar 300 m.
Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di
pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang
tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin.
Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan
proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar
insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung
dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan
insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormonhormon
gastrointestinal
(gastrin,
sekretin,
cholecystokinin-pancreozymin,
dan
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan
faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat oleh
resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.
Menyebabkan
resistensi
terhadap
insulin
karena
perubahan
pada
post
reseptor
- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap
menambah resiko terjadinya pancreatitis.
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik
renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan
penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non
diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi
insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin
dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi
katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan postreseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9
10
2.4 DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan
sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi
glukosa oral >= 200 mg/dl.
(seperti
diabetes ketoasidosis
atau sindrom
hiperglikemik-
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon
insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan.
Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis
banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan
hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat
sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan
hipertrigliseridemia.
11
tekanan
darah
>
30
mmHg
pada
perubahan
posisi
tegak
berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka
dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 %
pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan
neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan
yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi
ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration
rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus
difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang
hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang
adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan
penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula
yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan
pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan
oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada
sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan
tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan
tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap
13
stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan
penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam
diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu
melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan
melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon
hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa
menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis
sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada
pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama
|pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak
nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan
penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal tidak relevan
selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat
induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi
jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek
yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan
kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak
berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang
menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita,
teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi.
Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan
perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7
15
kecukupan
karbohidrat
untuk
mencegah
metabolisme
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM
Preoperatif
D5W
(1
ml/kg/jam)
pagi
hari) Unit/jam
insulin
=
Glukosa
17
Intraoperattf Regular
insulin Sama
(berdasarkan
dengan
sliding preoperatif
scale)
dengan
preoperatif
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi
Kadar
darah
4,4
4,4 - 6,6
( 80 - 120 )
6,6-9,9
(120 - 180)
9,9 - 13,2
(180 - 240) .
> 13,75
(>250)
19
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting
yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan
regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu
teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%
ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian
cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di
bawah ini:
Kadar gula
Infus insulin
5 cc/jam (1 unit/jam)
10 cc/jam (2 unit/jam)
15 cc/jam (3 unit/jam)
20 cc/jam (4 unit/jam)
20
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in
A Practice of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 2006: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang
Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common
Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
4. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed.
Anesthesia, 4th ed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
5. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.
Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
6. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with
Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
7. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 5nded, Lange Medical Book, 2006: 636-655.
8. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa
Offset, Bandung, 1991: 36-106.
9. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
10. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation
22
Lampiran
DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan
Nama Patent
Onset
Peak
Durasi
15-20
1-3 jam
3-5 jam
15 0,5-1,5
3-5 jam
mnt
Insulin lispro
mnt
Regular
jam
jam
1,5-4
5-8 jam
jam
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn Monotard HM 1,2-5
6-12
18-24
susp)
jam
jam
6-12
18-24
NPH
jam
(Isophane Humulin
Insulin)
N, 1-1,5
Isulatard HM
jam
jam
jam
Lantus
2-5 jam
24 jam
Long Acting
Insulin gargine
Lainnya
Pencampuran 30 Mixtard
% regular insulin HM
& 70 % NPH
30 Sampai
24 jam
30 mnt
Humulin
30/70
FAKTOR RESIKO DM
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit
pulih
2. Neuropatik otonom
- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
- Hipotermia intra operatif
- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
23
24