memaksimalkan hasil, tidak berlebih; tetapi cukup untuk semua makhluk dan
berkesinambungan. Inilah filosofi mendasar PO.
Praktek pertanian yang menggunakan bibit unggul yang dihasilkan oleh
perusahaan benih, bahan-bahan kimia buatan pabrik (agrokimia) baik untuk
pemupukan lahan dan pengendalian hama awalnya dirasakan dapat meningkatkan
hasil produksi pertanian. Namun, setelah beberapa dekade, praktek tersebut
menimbulkan permasalahan khususnya terhadap kerusakan ekosistem lahan
pertanian dan kesehatan petani itu sendiri. Penurunan hasil pertanian yang
dibarengi dengan meningkatnya daya tahan hama dan penyakit tanaman,
disebabkan karena fauna tanah yang bermanfaat bagi tanaman semakin berkurang
dan mikroorganisme yang berguna bagi kesuburan tanah pun nyaris hilang akibat
pemakaian input agrokimia yang berlebihan. Bahkan, hama dan penyakit tanaman
bukannya menurun, tapi justru semakin kebal terhadap bahan-bahan kimia
tersebut. Sehingga, petani memerlukan dosis yang lebih tinggi lagi untuk
membasminya. Ini artinya, petani tidak saja menebar racun untuk membasmi
hama dan penyakit, tetapi juga meracuni dirinya sendiri.
Perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan
lingkungan global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat. Kepedulian
tersebut dilanjutkan dengan usaha-usaha yang konkrit untuk menghasilkan pangan
tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya tanah, air, dan udara serta
aman bagi kesehatan manusia. Salah satu usaha yang dirintis adalah dengan
pengembangan PO yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat,
bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan. Sebenarnya, PO
ini sudah menjadi kearifan/pengetahuan tradisional yang membudaya di kalangan
petani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik ini mulai ditinggalkan
oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan agrokimia
diterapkan di bidang pertanian. Sejak saat itu, petani menjadi target asupan
agrokimia dan tergantung dari pihak luar. Setelah muncul persoalan dampak
lingkungan akibat penggunaan bahan kimia di bidang pertanian, teknologi PO
yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat mulai diperhatikan
lagi. (Sutanto, 2002).
belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik.
Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang
belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan
demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara
intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan
lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk
pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay
oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar
produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh
seperti Jepang, Taiwan dan Korea. Potensi pasar produk pertanian organik di
dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas.
Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada insentif harga yang
memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada
awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari
bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan
memproduksi komoditas tersebut. Areal tanam pertanian organik, Australia dan
Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin
dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar.
Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah
yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1). Sayuran, kopi dan teh
mendominasi pasar produk pertanian organik internasional di samping produk
peternakan.
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar
internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan
komparatif antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka
untuk mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung
pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa
olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain. Pengembangan selanjutnya pertanian
organik di Indonesia harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global.
Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan
seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera
dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar
kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki
merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur
kelembagaan baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian
intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi,
asosiasi atau korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling penting lembaga
tani tersebut harus dapat memperkuat posisi tawar petani. Pertanian Organik
Modern. Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem
pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern
berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem
produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik
modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan
sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan
makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup,
mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik
terus berkembang.
Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini
diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu
produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke
Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan
kimia lainnya. Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk
pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen.
Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu.
Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih
mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat
membatasi
penggunaan
pestisida
sintetis.
Pengendalian
OPT
dengan
dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait. Sertifikasi
Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti
misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat
penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan
hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem
pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan, (Tabel 2). Menghadapi
era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik
Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional.