Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT
DESEMBER 2014

TRAUMA KAPITIS

Disusun Oleh :

AISYAH TRISTANIA
11O 208 074

Supervisor :

Dr. dr. Hj.Jumraini Tamasse, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
1

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................

LEMBAR PENGESAHAN . ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG . 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI 1
2.2 FISIOLOGI ..
2.3 DEFINISI ..
2.4 ETIOLOGI
2.5 KLASIFIKASI ..
2.6 FAKTOR RISIKO .
2.7 PATOFISIOLOGI .
2.8 MANIFESTASI KLINIS ...
2.9 DIAGNOSIS ..
2.10 DIAGNOSIS BANDING
2.11 PENATALAKSANAAN
2.12 PROGNOSIS ...
DAFTAR PUSTAKA ..
LAMPIRAN .

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah
salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun.
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena
peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada
tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma
ketiga terbanyak di dunia.1
Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000
populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000
pasien per tahun. Langlois et al mendapatkan bahwa lebih dari 1,1 juta orang di
Amerika Serikat menderita cedera kepala setiap tahunnya. Gururaj et al pada
tahun 2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap tahunnya
adalah 160 per 100.000 populasi.1
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau
permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian / kelumpuhan pada usia
dini.2 Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa sedini
mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan
prognosa yang tepat, akurat dan sistematis.3 Dalam suatu penelitian menunjukkan
bahwa tindakan operasi pada trauma kepala berat dalam rentang waktu 4 jam
pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan 60-70% pasien. Namun bila
opereasi dilakukan lebih dari 4 jam setelah kejadian, tingkat kematian dapat
melebihi angka 90%. Hal ini dapat dilakukan setelah adanya penegakan diagnose
trauma kepala dengan pemeriksaan klinis awal yang ditunjang dengan diagnose
imajing.3

Pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan adalah modalitas pilihan


utama pada pasien dengan cedera kepala akut karena mampu melihat seluruh
jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intrakranial
dan ekstrakranial. GCS sangat berperan penting dalam menentukan keputusan
klinis terhadap pasien cedera kepala, salah satunya tentang apakah pasien cedera
kepala tersebut memerlukan pemeriksaan CT scan atau tidak.1 Glasgow coma
scale (GCS) merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai acuan
pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien cedera
kepala. Cedera kepala dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan tingkat kesadaran menurut skor GCS, cedera kepala ringan (CKR)
jika GCS 1415, cedera kepala sedang (CKS) jika GCS 913, dan cedera kepala
berat (CKB) jika GCS 38.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :4,5
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama
pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.6,7 Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal, dan
oksipital.5, Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah
tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang
otak dan serebelum.4
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :

a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.5 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.4
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan Arteri meningea
terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).4
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.4
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis.5 Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.4
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.4 Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.8 Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.4
6. Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah
dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.4 Angka ratarata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.
7. Tentorium
Tentorium

serebeli

membagi

rongga

tengkorak

menjadi

ruang

supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).4
8. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam


dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.5

2.2 Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
a. Tekanan Intra Kranial
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai
15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang
jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan
serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume
pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.11
b. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga
bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural
dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran
darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.

2.3 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent.12 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:

Simple head injury

Commotio cerebri

Contusion cerebri

Laceratio cerebri

Basis cranii fracture


Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai

cedera kepala ringan.

Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri

digolongkan sebagai cedera kepala berat.


Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan
kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum
dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala
harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

2.4 Etiologi
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya
tertembak peluru/benda tajam.
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
c. Cedera akselerasi

Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan.
d. Kontak benturan (gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek.
e. Kecelakaan lalu lintas.
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian.

2.5 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasideselerasi gerakan kepala.14
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.15
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak

10

lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari

benturan (countercoup).16
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.17

Coup dan contercoup16

11

2.6 Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala
yang muncul setelah cedera kepala.Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam
menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi
aspek,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus.Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu
cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala :4
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam.
3. Morfologi Cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis

12

frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan


petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
-Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
-Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
-Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
-Parese nervus facialis ( N VII )
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua
jenis lesi sering terjadi bersamaan. Cedera otak difus umumnya menunjukkan
gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita
sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya
koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut
kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksonal Difus (CAD).
1) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi
pada regon temporal atau temporopariental akibat. Manifestasi klinik berupa
gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa
jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan
neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara
progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus
lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
2) Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural
(kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous
tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasipembuluh

13

arteri pada permukaan otak.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh


permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
3) Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum.
Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hariatau jam mengalami
evolusi membentuk perdarahan intracerebral.
4) Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi
dan deselerasi. Cedera ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera
kepala. Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu, namun terjadi disfungsi neurologi yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak
diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad (keadaan amnesia pada
peristiwa sebelum dan sesudah cedera).
Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya
atau hilangnya kesadaran.Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible.
Penderita akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita
dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada
beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit
neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi
serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal Difus (CAD) adalah dimana penderita mengalami coma
pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa
atau serangan iskemi. Penderita akan dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi

14

atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila
bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang
otak primer.

2.7 Diagnosis
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002)
antara lain:23
1. Pemeriksaan kesadaran
GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu
pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. adalah 3 sedangkan nilai
tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk
mengkategorikan pasien menjadi
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13 : cedera kepala sedang
GCS > 13 : cedera kepala ringan
Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala.
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974
(Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007). Sejak itu GCS
merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera
kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera
terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat
kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup
dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam
menentukan prognosa.
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor
GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS.
Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata
yang bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat
menjadi prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid )

15

mempunyai mortalitas 90 %. Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera
dan usia di atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan.
Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi
pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat
penting.
2.Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus
diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan
ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.
4. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar
tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi
fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau
perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat
pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang
lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan
dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.

16

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang
relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata
TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu
pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya
struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di
sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah
dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera
kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih
berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif
pada penderita cedera kepala ringan.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk
memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan untuk
menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil CT Scan pada
pasien .Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan
pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi
koma.Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.4,16
a. Terapi Farmakologi

17

Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk


mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila ditemukan
peningkatan

tekanan

intracranial

yang

refrakter

tanpa

cedera

difus,

autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan


barbiturat.
Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan metabolism serebral,
menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus
vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi
burst. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada
neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan
intrakranial, mempertahankan volume intravaskular volume. Dengan akses vena
sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium
145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target
tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
b. Terapi Nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan
kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi
30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat
dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7
hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
c. Terapi Prevensi Kejang
Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK,
penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat
mencegah

berkembangnya

kejang

onset

lambat

(mencegah

efek

kindling).Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada


minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi pada terapi prevensi
kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi, gangguan elektrolit, dan infeksi.
d. Penanganan Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan
apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan
muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala

18

hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah


laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu
cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.
e. Penanganan Cedera Kepala Sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow
Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Postrauma
Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami amnesia
lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.
Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi :
1. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma
3. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat
penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak
antara lain; mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan
dizziness.
Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi
kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk
disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi .
f. Penanganan Cedera Kepala Berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:
1. Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
2. Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini neurologi
dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.

2.9 Komplikasi
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
a. Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
b. Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya

19

c. Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian
timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing,
kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi
perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial.
d. Akut (minimal 24 jam sampai dengan 3x24 jam)
1) Interval lucid
2) Peningkatan TIK
3) Gejala lateralisasi hemiparese
e. Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
f. Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada
sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus
piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik
positif.
g. CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
h. LCS : jernih
i. Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
2. Hematom subdural
a. Letak : di bawah duramater
b. Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan
laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri.
c. Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
d. Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
e. CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian.
Bagian hipodens yang berbentuk cresent. Hiperdens yang berbentuk cresent di
antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan

20

bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Isodens terlihat dari midline
yang bergeser
f. Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis
yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita
dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan
direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi.

Keadaan ini bisa

menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang


terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya
lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala
kerusakan jaringan otak juga tidak ada.

Cairan otak pun normal, hanya

tekanannya dapat meninggi.


TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :19
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N.
VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun,
mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan

21

tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia,


menarik diri, dan depresi.

2.10 Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang
dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai
prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga
85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejalagejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti mudah letih,
sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable.
Pengukuran Outcome :
a. Glasgow Outcome Scale (GOS)
Glasgow Outcome Scale (GOS) terdiri dari 5 kategori, antara lain:
-Meninggal
-Status vegetative
-Kecacatan yang berat
-Kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke
sekolah dan pekerjaannya)
-Kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).
b. Disability Rating Scale (DRS)
Disability Rating Scale (DRS) merupakan skala tunggal untuk melihat
progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8
kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan.
c. Functional Independent Measure (FIM)
Pengukuran outcome dengan menggunakan Functional Independent
Measure (FIM) banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 item skala
yang digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri,
kognitif.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurfaise. Hubungan Derajat Cedera Kepala Dan Gambaran Ct-Scan Pada


Penderita Cedera Kepala Di Rsu Dr. Soedarso Mei-Juli 2012 [Naskah Publikasi].
Pontianak: Universitas Tanjungpura; 2012
2. Osborn, A (2003).Head and Neck, Brain, Spine : Diagnostic and Surgical
Imaging Anatomy Series. in Hubungan Gambaran Hasil CT Scan Dengan Nilai
Glasgow Coma Scale Pada Pasien Cedera Kepala di RS Urip Sumohardjo Bandar
Lampung [Skripsi].Bandar Lampung 2013.
3. J-L af Geijerstam and M Britton, 2005, Mild head injury: reliability of early
computed tomographic findings in triage for admission, Emerg Med
4.American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004.
5. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto
H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
6. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery.
2nd ed. Volume 3. Oxford Press;2000.
7. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC;2003.
8.Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery.
4th ed. Elsevier Churchill Livingstone;2007.
9. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier
Saunders;2006.
10. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrtz Principles of
Surgery. 8th ed. McGraw-Hill;2005.
11. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta :
Deltacitra Grafindo;2005.
12. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru : PERDOSI;2007.

23

13. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Disitasi dari
http://www.biausa.org pada tanggal 13 Juli 2009. Perbaharuan terakhir : Januari
2009.
14. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill;1996.
15. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of
Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot
William & Wilkins;2003.
16. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic brain injury.
Disitasi dari : http://findlaw.doereport.com pada tanggal 19 Juni 2008.
17.

Saanin

S.

Cedera

Kepala.

Disitasi

dari

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery.htm
18. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam
:Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi
trauma IKABI;2004
19. Soertidewi, L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2012

24

Anda mungkin juga menyukai