Penydalam Elias Tarigan
Penydalam Elias Tarigan
dirawat. Nilai troponin T yang tinggi dalam 24 jam pertama saat dirawat, merupakan
petunjuk Yang baik sebagai nilai prognostik bebas (independent).
Penelitian substudi Global Use of Stategies to Open Occluded Arteies (GUSTO)
IIA pada 801 penderita iskemik miokard akut, membandingkan pemeriksaan
troponin T, CK- MB dan EKG yang diperiksa dalam 12 -24 jam saat dirawat. Nila nilai
troponin T > 0,1 ng/ml, mempunyai korelasi positif dengan kematian dalam 30 hari
(11,8% vs 3,9 %, p<0,01) dibanding dengan CK- MB dan EKG. Studi ini
menyimpulkan troponin T adalah penanda prognost ik yang baik dibandingkan CK- MB
dan EKG.
Schuchert A dkk meneliti pada 158 penderita angina pektoris tak stabil,
dimana pada 11 penderita hasil toponin T meningkat ( >0,1 ng/ml), 5 dari 11
penderita tersebut meninggal selama perawatandi rumah sakit, sedangkan 6
penderita yang lain meninggal sesudah keluar dari rumah sakit salam 30 hari.
Ravkilde dkk meneliti dari 127 pasien sindroma koroner akut, didapati
sebanyak 35% kadar troponin T meninggi ( >0,1 ng/ml), dalam 6 bulan kemudian
terdapat 22 % penderita yang troponin T meninggi meninggal. Demikian juga oleh
Wu dkk dari 131 penderita sindroma koroner akut yang diteliti, 21% troponin T
meninggi dalam 1 bulan didapatkan 30% dari troponin T meninggi meninggal.
Lindahl dkk dari 976 penderita sindroma koroner akut, 51% nilai troponin T
meninggi, dalam 1 bulan kemudian didapatkan 13% dari troponin T meninggi
meninggal .
Dengan banyaknya penelitian yang telah mempublikasikan tentang
penggunaan klinik pemeriksaan troponin T serum dalam mendeteksi kerusakan
miokard, baik pada infark miokard akut, angina pektoris tak stabil maupun menilai
secara dini keberhasilan reperfusi terapi trombolitik, strarifikasi resiko dan
meramalkan serangan jantung serta prediktor prognastik, sehingga pemeriksaan
kwalitatif troponin T ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration di Amerika
untuk digunakan di klinik, dan saat ini telah dikembangkan alat generasi ke II
(Troponin- T ELISA) dari alat ini yang dapat memeriksa troponin T secara kwantitaif
yang lebih sensitif dari Boehringer Mannheim.
Penelitian tentang nilai troponin T dan hubungannya dengan perjalanan klinis
penderita sindroma koroner akut belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut di Medan, sehingga para
klinisi dapat lebih waspada dan hati- hati pada penatalaksanaan penderita sindroma
koroner akut dengan peningkatan nilai troponin T.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Troponin T
Otot serat lintang terutama terdiri dari dua tipe miofilamen, yaitu filamen
tebal yang mengandung miosin dan filamen tipis yang terdiri dari aktin, tropomiosin
dan troponin ( gambar 1). Troponin yang berlokasi pada filamen tipis dan mengatur
aktivasi kalsium untuk kontraksi otot secara teratur, merupakan suatu protein
kompleks yang terdiri dari 3 subunit dengan struktur dan fungsi yang erbeda, yaitu :
1) Troponin T (TnT), @) Troponin I (TnI),3) Troponin C (TnC).
Troponin T spesifik untuk jantung dan struktur primernya berbeda dari otot
skelet isoform. Demikian pula TnI untuk otot jantung dan dapat dibedakan dari otot
skelet lainnya dengan cara imunologik. Sebaiknya TnC ditemukan pada otot jantung
dan rang ka.
Kompleks troponin adalah suatu kelompok yang terdiri dari 3 subunit protein
yang berlokasi pada filamen tipis dari apparatus kontraktil, yaitu :
1. Troponin C ( TnC), mengikat kalsium dan bertanggung jawab dalam proses
pengaturan aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot skelet dan jantung. Berat
molekulnya adalah 18.000 Dalton.
2. Troponin I (TnI) dengan berat molekul 24.000 Dalton merupakan subunit
penghambat yang mencegah kontraksi otot tanpa adanya kalsium dan troponin.
3. Troponin T (TnT) berat molekulnya 37.000 Dalton bertanggung jawab dalam
ikatan kompleks troponin terhadap tropomiosin.
Troponin T kardiak, suatu polipeptida yang berlokasi pada filamen tipis
merupakan protein kontraktil regular, paa orang sehat TnT tidak dapat dideteksi atau
terd eteksi dalam kadar yang sangat rendah, tetapi terdapat dalam sitoplasma miosit
jantung sebanyak 6% dan dalam bentuk ikatan sebanyak 94%. Troponin T lokasinya
intraseluler, terikat pada kompleks troponin dan untaian molekul tropomision.
Kompleks troponin merupakan suatu protein yang mengatur interaksi aktin dan
miosin bersama-sama dengan kadar kalsium intra seluler. Pada otot jantung
manusia, diperkirakan 6% dari total TnT miokardial ditemukan sebagai larutan pada
sitoplasmik ( fraksi bebas), yang mungkin berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis
kompleks troponin. TnT yang larut dalam cairan sitosol akan mencapai sirkulasi
darah dengan cepat bila terjadi kerusakan miokard, sedangkan TnT yang terikat
secara struktural sirkulasi darah lebih lambat karena harus memisahkan lebih dahulu
( degradasi proteolitik) dari jaringan kontraktil. Karena pelepasan TnT terjadi dalam
2 tahap, maka perubahan kadar TnT serum pada IMA mempunyai 2 puncak (bifasik).
Puncak pertama disebabkan oleh pelepasan TnT dari cairan sitosol dan puncak kedua
karena pelepasan TnT yang terikat secara struktural. Sehingga pada kasus IMA, TnT
kardiak akan masuk lebih dini kedalam sirkulasi darah dari pada CK- MB sehingga
dalam waktu singkat kadarnya dalam darah sudah dapat diukur,s edangkan puncak
kedua pelepasan TnT ini berlangsung lebih lama dibanding dengan CK- MB, sehingga
disebut jendela diagnostik yang lebih besar dibanding dengan petanda jantung
lainnya. Tampaknya pelepasan troponin T beberapa jam setelah infark miokard
adalah berasal dari sitoplasma, sehingga akan mencapai sirkulasi darah dengan
cepat. Sedangkan pelepasan yang berkepanjangan akibat dari kerusakan strukstur
apparatus, sehingga untuk mencapai sirkulasi darah lebih lambat karena harus
memisahkan lebih dahulu ( degradasi proteolitik) dari jaringan kontraktil . troponin T
kardiak terdeteksi setelah 3- 4 jam sesudah kerusakan miokard dan masih tinggi
dalam serum selama 1- 2 minggu. Dilaporkan troponin T merupakan pemeriksaan
yang sangat bermanfaat terutama bila penderita IMA yang disertai dengan
kerusakan otot skelet. Pelepasan troponin T sitolitik juga sensitif terhadap perubahan
perfusi arteri koroner dan dapat digunakan dalam menilai keberhasilan terapi
reperfusi.
TnT kardiak merupakan protein spesifik miokard dan dapat dibedakan dari
isoformnya yang terdapat pada otot lurik dengan teknik imunologi.
Oleh karena itu TnT kardiak dapat digunakan untuk mendeteksi adanya nekrosis
miokard pada keadaan dimana terdapat peningkatan CK non kardiak paa cedera
lurik.
1.1.1. FUNGSI TROPONIN T
Kompleks troponin menyebabkan aktifasi kalsium untuk kontraksi dan
memodulasi fungsi kontraktil otot serat lintang. Oleh sebab itu troponin dan
tropomiosin disebut sebagai protein pengatur. Meningkatnya kadar kalsium dalam
sitosol dirangsang oleh depolarisasi membran sel akibat penempatan sisi bebas
ikatan kalsium pada troponin C. Peningkatan kalsium pada troponin C menimbulkan
perubahan pada kompleks troponin, sehingga terjadi pergeseran serat tropomiosin.
Perubahan serat tropomiosin menjadi berbalik dan menghadapkan sisi ikatan miosin
kearah molekul aktin, menyebabkan molekul dapat berikatan dengan molekul
miosin. Gaya elektrostatik menyebabkan bagian kepala molekul miosin miring dan
geseran itu menimbulkan kontraksi otot. Bilamana kalsium bebas tidak lagi yang
dapat mengikat molekul TnC, maka akan terjadi perubahan bentuk TnC. Hasilnya TnI
mengikat aktin dan menghambat aktifasi ATP- ase dari aktin- miosin, sehingga otot
relaksasi.
Berbagai tipe otot (otot skelet, otot jantung, otot polos) memiliki sifat
kontraksi yang berbeda. Sebagian secara genetik ditentukan oleh perbedaan dari
struktur beberapa protein kontraktil dan protein pengaturnya. Sebagai contoh,
troponin T jantung dan otot skelet berbeda pada komposisi asam aminonya sehingga
dapat dibedakan secara imunologi. Perkembangan saat ini memungkinkan
dilakukannya suatu pemeriksaan imunologi untuk mengatur kadar troponin T dalam
plasma yang spesifik untuk jantung.
1.1.2. PENGLEPASAN TROPONIN T
Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang
reversible atau irreversible ( berupa kematian sel). Pada iskemia miokard, glikolisis
anaerob dapat mencukupi kebutuhan fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat.
Penghambatan proses transportasi yang dipengaruhi ATP dalam membran sel
menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan terakhir hilangnya integritas
membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula- mula akan terjadi pelepasan protein
yang terurai bebas dalam sitosol melalui transport vesikular. Setelah itu terjadi difusi
bebas dari isi sel kedalam interstisium yang dimungkinkan oleh pecahnya seluruh
membran sel. Peningkatan kadar laktat intra sel disebabkan
proses glikolisis
sehingga menurunkan pH yang diikuti oleh pelepasan dan aktifasi enzim- enzim
proteolitik lisosom. Perubahan pH bersama-sama dengan aktifasi enzim proteolitik
mengakibatkan terjadinya disintegrasi struktur intra seluler dan degradasi protein
yang struktural terikat. Implikasi klinisnya adalah jika terjadi kerusakan miokard
akibat iskemia, TnT dan CK-MB dari sitoplasma dilepas kedalam aliran darah.
Lamanya kira - kira 30 jam terus menerus sampai persediaan TnT sitoplasma habis.
Bila terjadi iskemia yang persisten, maka sel mengalami asidosis intraseluler dan
terjadilah proteolisis yang melepaskan sejumlah besar TnT yang terikat ke dalam
darah. Masa pelepasan TnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan- lahan turun
(2,27,28,40).
1.1.3. SENSITIFITAS DAN SPESIFITAS PEMERIKSAAN TROPONIN T
Wu dkk paa evaluasi klinik multisenter dalam menilai diagnosa infark miokard
akut, melaporkan bahwa sensitifitas troponin T bervariasi menurut lamanya onset
nyeri dada, sebagai tertera pada label 1.
Antman dkk mendapatkan sensitifitas pemeriksaan troponin T meningkat
secara bermakna antara 0- 2 jam dan > 8 jam setelah onset nyeri dada. Hasil
sensitifitas dan spesitifitas pemeriksaan troponin T meningkat secara bermakna
antara 0- 2 jam dan > 8 jam setelah onset nyeri dada, dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Sensitifitas pemeriksaan troponin T bervariasi dibanding CKMB
menurut lamanya onset nyeri dada.
Onset nyeri dada ( Jam)
0 5
6 11
12 23
24 47
48 95
> 96
TnT
55%
97%
100%
100%
100%
100%
CKMB
37%
97%
97%
97%
56%
88%
Tabel 2. Sensitifitas dan spesitifitas peme riksaan troponin T menurut
lamanya onset nyeri dada.
0- 2
55%
37%
TnT
CKMB
>8
100%
97%
Keuntungan
Kekurangan
Mioglobulin
Saat
mulai
dilepas
2 jam
Sangat dini
CKMB
4- 6 jam
Dini
Tidak
waktunya
Tidak
waktunya
Troponin T
3- 4 jam
spesifik,
pendek
spesifik,
pendek
jendela
jendela
angiokopis dan biologis menunjukan adanya perbedaan gejala klinik antara angina
tak stabil dan infard miokard, disebabkan mekanisme patifisiologi yang
mendasarinya yakni ruptur aterosklerosis, dengan derajat trombosis yang berbedabeda dan ada tidaknya embolisasi distal (7,43). Pada definisi yang diperluas,
sindroma koroner akut meliputi
Unsable angina
pembuluh darah semakin mudah menyebabkan sindroma koroner akut, akan tetapi
ternyata pada penelitian dibuktikan bahwa justru pada stenosis yang ringan dan
sedang lebih banyak terjadi sindroma koroner akut dan hal ini diduga oleh karena
pecahnya ateroma tersebut ( ruptur plak)
Plak aterosklerosis yang sudah matang terdiri dari bermacam- macam yaitu :
lipid core atau gumpalan lipid, gumpalan lipid ini terdiri dari sel- sel makrofag yang
mengandung lipid di dalamnya, dan lipoprotein yang terjebak di dalam subendotelial
maupun ruang ekstra sel. Di dalam bungkah lipid tersebut konsistensinya lunak, selselnya jarang ( hiposeluler) dan juga terdapat gumpalan kolesterol ester ( yang
berkonsistensi lunak) dan kristal kolesterol yang berkonsistensi agak keras.
Kemudian gumpalan lipid ini diselimuti oleh suatu kap yang terdiri dari matriks
jaringan ikat. Bila gumpalan lipid tersebut dominan dengan kap tipis, maka ateroma
tersebut disebut sebagai plak yang stabil. Sebaliknya bila gumpalan lipid leih padat
dengan kap yang kuat dan tebal disebut sebagai plak stabil. Maka bila dicermati,
terdapat dua macam plak yaitu yang stabil dan plak yang tidak stabil.
1.2.3. Ruptur Plak
Ruptur plak ditemukan pada 56 %- 95% sindroma koroner akut, Forrester
yang memeriksa dengan angioskopis intraoperatif mendapatkan 95% sindroma
koroner akut ditemukan adanya ruptur plak (49). Tid ak semua plak yang terjadi
pada proses aterogenesis menjadi plak yang tidak stabil, hal tersebut tergantung
dari bentuknya kap dan gumpalan lipid yang ada, dan proses yang mendasarinya,
dan hal ini sangat berhubungan dengan tampilan klinis.
Menurut American Heart Association, tipe plak dihubungkan dengan tampilan
klinis dapat dibagi menjadi 5 tipe yaitu (50) :
1.
Tipe 1 : Penebalan tunika intima, makrofag, isolated foam cell, pada
fase ini tampilan klinisnya asimptomatik.
2.
Tipe 2 : Fatty streak, terdapat akumulasi lipid intra sel dan infiltrasi
makrofag serta otot polos, fase ini juga masih asimptomatik.
3.
Tipe 3 : masih seperti diatas tetapi disertai pula dengan lipid ekstra
sel dan deposisi jaringan ikat, juga masih asimptomatik.
4.
Tipe 4 : Ateroma terdapat gumpalan lipid pada tunika intima, sel
inflamasi mulai infiltrasi diikuti dengan makrofag, sel busa, da sel T,
biasanya tampilan klinis pada fase ini asimptomatik, namun bisa
juga angina stabil.
5.
Tipe 5a : Seperti tipe 4 disertai denganlapisan jaringan fibrous,
tampilan klinis masih seperti tipe 4.
Tipe 5b : Ateroma dengan klasifikasi berat di dalam core atau
lesinya, tampilan klinis apa fase ini adalah anginastabil.
Tipe 5c :Fibrous- ateroma dengan trombus mural dengan komponen
lipid yang minimal, tampilan klinisnya masih seperti 5 b.
6.
Tipe 6 : Complicated lesion , terjadi ruptur plak tipe 4 dan 5 dengan
hemorhagi intra mural dan mulainya proses trombogenesis insitu.
Tampilan klinis dari fase adalah suatu keadaan yang disebut
sindroma koroner akut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas dan ruptur plak (45) :
Faktor Eksternal :
1. Sistemik : Lingkungan internal/faktor farmakologik.
2. Faktor intrinsik dari plak : besarnya plak, lokasi plak, kepadatan lipid dan
ketebalan kap yang menyelimuti plak.
Faktor Internal :
1. Aktifitas sel inflmasi
2. Infeksi
3. Disfungsi endotel
4. Proliferasi sel otot polos
Evaluasi dari plak yang stabil menjadi tidak stabil melalui 5 tahap yaitu : aktifasi
endotel, kemudian LDL masuk ke dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu
produksi sitokin da n protease ( MMP expression), sehingga menyebabkan rupturnya
plak. Lima puluh persen dari timbulnya sindroma koroner akut, biasanya didahului
oleh faktor pencetus seperti : yang berhubungan dengan aktifitas saraf simpatis
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang tiba- tiba, peningkatan
aliran darah koroner, peningkatan kontraktilitas otot jantung, latihan fisik berat,
stress emosional dan lain sebagainya.
1.2.4. TROMBOSIS PLAK
Lebih dari 75% trombus yang ditemukan di sindroma koroner akut, terletak
ditempat dimana plak menglamai ruptur. Bila plak yang tidak stabil mendapat
pencetus, makka kap yang tipis tersebut akan koyak dan kemudian berlangsunglah
proses selanjutnya berupa pembentukan trombus yang dimulai dari fisura atau
robekan kap tadi. Mula- mula terjadi akumulasi trombosit ditempat koyakan,
kemudian ditambah dengan adanya fibrin, membentuk gumpalan dini yang disebut
white clot yang secara langsung berusaha menutupi semua permukaan yang robek
tadi. Kemudian datanglah eritrosit untuk menutupi seluruh white clot.
Didalam komponen plak, gumpalan lipid memiliki efek trombogenisitas yang
paling kuat, hal ini disebabkan oleh karena pengaruh adanya faktor jaringan, dimana
faktor jaringan ini mengaktifkan faktor IX dab X bersama membentuk trombin.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi respons trombogenesis ditempat kap yang
terkoyak tadi adalah :
1. Substrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat tersebut.
2. Iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis ; semakin tajam lengkungan
kap stenosis dan semakin iregular, maka semakin mudah terjadi proses
trombogenesis tersebut.
3. Keseimbangan
trombotik- trombotik
faktor
trombogenik
misalnya
hiperagregabilitas, hiperkoagulabilitas dan menurunnya fibrinolisis meningkatkan
resiko terjadinya trombus pada sindroma koroner akut .
2.2.5. STRATIFIKASI RESIKO
Penentuan penyakit jantung koroner ditentukan dari gambaran klinis, EKG,
riwayat penyakit, kadar troponin serta faktor resiko terjadinya arterosklerosis.
Perubahan EKG merupakan pelengkap dari riwayat penyakit dan gejala klinis dan
masih menjadi suatu proses stratifikasi penting dari sindroma koroner akut .
Bila memungkinkan perekaman EKG dilakukan saat nyeri dada timbul.
Gambaran EKG yang normal yang normal pada saat episode nyeri dada merupakan
dasar kuat untuk menyatakan gejala yang tidak spesifik oleh sebab kardiak,
sememtara perubahan dinamis dari segmen ST dan gelombang T yang inversi
sangat mendukung diagnosa angina tak stabil atau non Q wave infark miokard.
Gelombang T yang inversi dan isolated relatif ringan dan prognosenya baik dibanding
dengan perubahan segmen ST. saat ini dapat dinyatakan bahwa EKG inisial tidak
hanya memprediksikan perjalanan jangka pendek tetapi depresi segmen ST juga
menunjukan menandai kelompok resiko tinggi pada waktu yang lama (55).
Konsentrasi serum troponin T dan I merupakan indikator peningkatan resiko baik
secara independen maupun merupakan pendukung dari perubahan EKG. Tanpa
memperdulikan perubahan EKG penderita dengan perubahan serum troponin
mempunyai resiko lebih tinggi dibanding dengan yang normal. Disadari bahwa
terdapat perbedaan waktu selama 2 -4 jam setelah muncul gejala baru dapat
dideteksi perubahan serum troponin dan mencapai puncaknya pada 12- 14 jam
kemudian. Peningkatan troponin ini merupakan indikator untuk komplikasi jangka
pendek dan jangka panjang. Selanjutnya dengan dasar informasi diatas penetapan
diagnosis angina yang stabil dapat dilakukan stratifikasi penderita dalam tiga
kelompok yaitu kelompok resiko rendah, sedang dan tinggi ( tabel 4).
Stratifikasi resiko ini merupakan proses yang berkesimbungan selama perawatan
penderita pada fase akut termasuk evaluasi riwayat penyakit sekarang, penyakit
terdahulu dan gambaran EKG. Pemeriksaan serum kardiak secara diagnostik sangat
diperlukan dans sesuai dengan guidelines 1994 merekomendasikan bahwa baik
kadar CK dan CK- MB diperiksa paa waktu dan setiap 6 sampai 8 jam dan seterusnya
paa 24 jam. guidelines 1994 belum merekomendasikan pemeriksaan troponin secara
rutin untuk deteksi kerusakan miokard. Sejak itu berbagai studi telah menunjukan
bahwa peningkatan kaar troponin T dan I berhubungan dengan dampak buruk dari
penderita sindroma koroner akut .
2.2.6. ANGINA PEKTORIS TAK STABIL (APTS)
APTS merupakan manifestasi akut dari penyakit arteri koroner yang spektrum
kliniknya terletak antara angina stabil dan infark miokard akut ( IMA).
Pusat statistik kesehatan AS tahun 1998 melaporkan bahwa lebih dari 1 jura pasien
APTS dirawat di rumah sakit setiap tahunnya, 6- 8% di antara mengalami infark
miokard non fatal atau meninggal dalam satu tahun pertama setelah didiagnosis.
APTS umumnya disebabkan oleh distrupsi plak aterosklerotik yang kemudian diikuti
oleh agregasi trombosit, pembentukan trombus dan penurunan aliran darah koroner
(60).
Spektrum klinik dari APTS sangat heterogen, oleh karena itu Braunwald
mengelompokan APTS berdasarkan beratnya manifestasi klinis, keadaan klinis saat
masuk APTS dan ada atau tidaknya tanda- tanda episode iskemik ( tabel 5).
Diagnosis
ditegakan
berdasarkan
ge jala
klinis,
pemeriksaan
klinis
dan
elektrokardiografi saat masuk rumah sakit serta pengukuran petanda biokimiawi.
Tabel 4. Stratifikasi sindroma koroner akut .
Kelompok Resiko
Gambaran penderita
Tinggi
Nyeri dada yang berkepanjangan (>20menit)
Edema paru yang berhubungan dengan iskemia
Angina at rest dengan perubahan ST segmen >1 mm
Angina dengan mitral insuff yang baru atau memburuk
Angina dengan S3 atau ronki baru atau memburuk
Angina dengan hipotensi
Peningkatan kadar troponin T atau I
Sedang
Rest angina yg lama (>20 menit) dengan kecendrungan
PJK yang sedang maupun berat.
Resting angina (>20 menit atau berkurang dengan
nitrogliserin sublingual ).
Nocturnal angina
Angina dengan perubahan gelombang T
Onset baru dari angina CCSC II atau IV dalam waktu 2
minggu terakhir dengan kecendrungan PJK.
Q patologis atau depresi segmen ST <1 mm pada multiple
lead ( anterior, inferior, lateral).
Usia > 65 tahun
Rendah
BERATNYA PENYAKIT
Kelas I : Onset baru, berat atau adanya akselerasi angina
Angina dengan durasi kurang dari 2 bulan, berat atau terjadi 3 kali atau
Lebih dalam 1 hari, angina yg secara nyata lebih sering dan dipressipitasi
Oleh aktifitas ringan. Tidak ada nyeri saat istirahat dalam 2 bulan terakhir.
Kelas II : Angina saat istirahat, Sub akut. Pasien dengan episode angina saat istirahat
1 kali atau lebih dalam 1 bulan yang lalu, tetapi bukan dalam 24 jam
terakhir.
Kelas III : Angina saat istirahat, Akut. Episode angina 1 kali atau lebih dalam 48 jam
terakhir.
KEADAAN KLINIS
Kelas A : APTS sekunder. Kelas B : APTS Primer. Kelas C : APTS paska infark
( 2 minggi setelah infark).
2.2.7. PERANAN PEMERIKSAAN TROMPONIN T (TnT) PADA APTS
2.2.7.1.
Nilai diagnostik pemeriksaan TnT pada APTS
TnT adalah protein pengatur kontraktil jantung dan secara normal kadarnya
tidak terdeteksi dalam sirkulasi darah. TnT baru terdeteksi jika terjadi kerusakan sel
miokard, sehingga merupakan petanda kerusakan miokard yang sensitif dan spesifik.
Pemeriksaan TnT dapat membantu menegakkan diagnosa Angina Pektoris Tak Stabil
(62,64). Rottbauer W dkk (64) meneliti infark kecil akut atau kerusakan miokard
minor, dan didapatkan hasil bahwa penderita angina pektoris tak stabil 30%
menunjukan kenaikan kadar TnT walaupun tidak terjadi IMA ( pemeriksaan enzim
jantung dan EKG tidak menyokong) Seino Yoshihiko dkk (66) pada penelitiannya
tentang kerusakan miokard minor pada 22 penderita angina pektoris tak stabil kelas
III yang diukur setiap 2- 12 jam selama 2- 4 hari sejak dirawat di ICCU menyimpulkan
bahwa TnT merupakan petanda yang paling sensitif untuk mengindentifikasikan
kerusakan sel jantung dibandingkan dengan CK, CKMB, mioglobulin dan myosin
chain light 1. bakker AJ (67) mendapatkan 37% penderita angina pektoris tak stabil
mengalami kenaikan kadar TnT. Efthymiadis A dkk 968) mendapatkan kadar CKMB,
SGOT.LDH, dan TnT selalu normal
2.2.7.2. Nilai Prognostik Pemeriksaan Troponin T Pada APTS
Peningkatan kadar TnT merupakan faktor prediksi yang kuat meningkatnya
mortalitas (24). Gokhan, Gok dan Kaptanoglu (69) mendapatkan 34% penderita
angina akut saat istirahat mengalamai kenaikan kadar TnT dan setengahnya
berkembang menjadi IMA. Sedangkan pada 50% penderita IMA tersebut meninggal
dalam perawatan. Sementara penderita angina akut saat istirahat dengan kadar TnT
yang tidak terukur hanya 4,1% yang berkembang menjadi IMA. Hamm CW dkk (63)
melaporkan penelitian terhadap 109 orang penderita angina pektoris yang stabil
yang dilihat kadar CK, CKMB, dan troponin T setiap 8 jam selama 2 hari setelah
10
dirawat, troponin T dapat terdeteksi rata- rata pada kadar 0,78 ng/ml pada 39%
penderita angina akut saat istirahat. Hanya 3 dari penderita tersebut mengalami
peningkatan CK-MB. Dari 33 penderita yang troponin T meninggi, 30% mengalami
infark miokard. Sebaliknya hanya 1 dari 51 penderita angina saat istirahat dengan
troponin T negatif yang berkembang menjadi IMA.
Penilaian resiko pada saat awal sangant diperlukan pada penderita dengan penyakit
koroner tak stabil, misalnya APTS. Beberapa penelitian dengan jumlah sampel yang
sedikit telah menunjukan bahwa penderita APTS dengan peningkatan kadar TnT
mempunyai prognosis jangka pendek maupun jangka panjangyang buruk. Bertil
Lindahl dkk dalam kelompok studi FRISC meneliti 976 penderita APTS dan
menemukan adannya peningkatan resiko serangan jantung jika terjadi peningkatan
nilai troponin T pada 24 jam pertama. Jika kadar troponin T kurang dari 0,06 ng/ml
mempunyai resiko rendah (4,3%) ; 0,06- 0,18 ng/ml mempunyai resiko sedang
(10,5%) dan jika lebih dari 0,18 ng/ml mempunyai resiko tinggi untuk menadi IMA
atau kematian penyakit jantung. Penelitian ini menunjukan bahwa nilai troponin T
maksimal pada 24 jam pertama dapat disajikan sebagai petunjuk prognostik bebas
dan penting.
Stubbs dkk juga mendapatkan hasil yang sama, dari 460 penderita nyeri dada dan
diikuti selama rata- rata 3 tahun, 183 penderita terbukti APTS. Sebanyak 34%
penderita APTS tersebut mempunyai troponin T positif, dan secara bermakna
kematian jantung dan IMA berbeda dari yang troponin T nya negatif.
2.2.8. INFARK MIOKARD AKUT
2.2.8.1.
Morfologi aterosklerosis koroner
Aterosklerosis adalah suatu bentuk aterosklerosis yang terutama mengenai
lapisan intima dan umumnya terjadi pada arteri muskuler ukuran besar dan sedang
serta merupakan kelainan yang mendasari penyakit jantung iskemik. Kerusakan
vaskuler dan pembentukan trombus merupakan kunci dari proses dan progresifitas
aterosklerosis serta patogenesis sindrom koroner akut. Kerusakan vaskuler dimaksud
di klarifikasikan atas 3 tipe, yaitu Tipe 1 bila terjadi gangguan fungsi sel endotel
tetapi tanpa terjadi perubahan substansi morfologi, tipe 2 terjadi kerusakan endotel
dan intima dengan lamina interna elastik yang masih utuh dan tipe 3 kerusakan
endotel dengan intima & media (45).
2.2.8.1.1. Lesi dini
Adanya perubahan ultrastruktur yang terjadi pada aterosklerosis spontan,
khususnya lesi dini telah dilaporkan oleh Stary. Pada penelitian otopsi dari artei
koroner dan aorta pada orang- orang usia muda telah ditemukan adanya evolusi
secara mikroskopis dari aterosklerosis. Hal ini akibat adanya kerusakan vaskuler tipe
1 berupa kerusakan sel endotel yang diakibatkan gangguan aliran darah atau faktor
lainnya sehingga makrofag atau sel busa ditemukan dalam intima, yang me rupakan
tanda dini penumpukan lipid ( Stary I). oleh Stary lesi ini di klarifikasikan atas :
Stary I bila ditemukan adanya makrofag ataus sel busa dalam intima, Stary II bila
ditemukan juga sel- sel otot polos yang mengandung lipid dan tersebarnya lipid
ektraseluler, Stary III tampak adanya inti lipid ekstra seluler yang multipel
sedangkan Stary IV bila adanya ateroma (50)
2.2.8.1.2. Progresi aterosklerosis
Lesi dini aterosklerosis lebih cepat mengalami progresi pada mereka
dengan berbagai faktor resiko koroner. Pada beberapa plak dapat terjadi progresi
secara lambat, tetapi ada juga yang cepat.adanya fisura minor yang terjadi pada
lapisan lemak atau plak ateroma akan diikuti dengan pembentukan trombus da
11
terjadinya fibrosis. Selanjutnya bila terjadi fisura plak yang dalam atau ulseri maka
dapat terjadi oklusi trombus dan timbul sindrom koroner akut
2.2.9. Patofisiologi iskemi dann infark miokard
IMA adalah kematian otot jantung akibat suplai oksigen yang tidak mencukupi
(tidak adekuat) dalam waktu yang cukup lama . Pada umumnya terjadi oklusi
trombosis pada arteri koroner mengalami plak ateromatoes. Trombosis merupakan
faktor utama terjadinya iskemi akut baik pada angina pektoris tak stabil maupun
IMA.
IMA merupakan keadaan berat yang terjadi akibat oklusi mendadak pembuluh
koroner atau pun cabangnya yang mengalami skerosis. Oklusi tersebut biasanya
disebabkan oleh adanya perubahan pada plak ateroma yang menyebabkan
tertutupnya lumen arteri koronaria secara mendadak (70,71).
Keberhasilan terapi trombolitik sangat me ndukung anggapan tersebut, walaupun
dikatakan bahwa trombosit bukan satu- satunya faktor yang berperan dalam
terjadinya IMA ( 29). Dilaporkan bahwa hampir 90% penderita IMA transmural (510%) sulit dibuktikan adanya trombus sebagai penyebabnya dan pada keadaan ini
spasme arteri koroner terlibat di dalamnya (71). Patofisiologi IMA nontransmural (
subendokardial) belum banyak diketahui, atau adanya trombosis pada arteri koroner
kecil yang telah mengalami aterosklerosis berat. Selain itu dapat pula diakibatkan
adanya spasme koroner. Patogenesis terjadinya trombosis melibatkan banyak faktor,
antara lain vasoplasme akibat hilangnya endothelium dependent dilator mechanism
pada aterosklerosis.
Demikian pula menurunnya sintesis faktor-faktor endoterial yang beraksi sebagai
antikoagulan seperti tisue plasmibogen activator dan prostasiklin paa aterosklerosis,
juga ikut berperan dalam terbentuknya trombosis. Juga berbagai penelitian klinik
telah memperlihatkan adanya hubungan antara lipoprotein dan trombosis. Terjadinya
oklusi koroner selama 20 menit akan diikuti dengan terjadinya nekrosis miokard (
Infark Miokard).
Adanya nekrosis miosit akan menyebabkan kehilangan intergitas membran
sel dan makromolekul intraselluler akan berdifusi ke dalam jaringan interstitial
miokard dan selanjutnya akan masuk ke dalam mikrovakskuler dan limfatik kardiak.
Perubahan morfologi akan terjadi dalam 12 jam pertama setelah infark miokard
berupa inflamasi dan infiltrasi seluler, kemudian setelah 24 jam daerah infark akan
nampak pucat atau kekuningan dengan batas yang jelas, yang pada pemeriksaan
histologik ditemukan adanya infiltrasi lekosit .
2.2.10.
APLIKASI KLINIK PEMERIKSAAN TROPONIN T PADA IMA
Langkah pertama dalam diagnosis IMA adalah anamnesis dan pemeriksaan
fisik, selanjutnya dikomfirmasikan dengan pemeriksaan EKG dan serum CK isoenzim.
Tapi pemeriksaan serum CK isoenzim ini dapat digunakan untuk diagnosis IMA jika
tanpa disertai kerusakan otot skelet. Temuan EKG pada penderita dengan dugaan
IMA sering tidaknya membantu, namun elekrokardiogram yang tidak spesifik dapat
ditemukan palig sedikit pada 8% dari seluruh IMA dan indeterminate pada 12%
penderita, terutama karena adanya kelainan left bundle branch block (LBBB) atau
gelombang ST-T non spesifik. Untuk mendiagnosis suatu IMA dapat dilakaukan
pemeriksaan enzim jantung sitolitik. Keuntungan dari pemakaian protein jantung
miofibril sebagai cardio spesific isoform, konsentrasinya intraseluler yang tinggi dan
pelepasannya secara kontinyu dari miokard yang mengalami infark (5,30,38,72,73).
Hamm dkk (23) pertama kali membandingkan nilai troponin T (+) ( cut off
0,2 ng/ml) dengan CKMB paa pasien sindrom koroner akut dan mengikutinya adanya
serangan jantung seperti kematian, IMA atau perlunya segera revaskulerisasi dan
12
menyimpulkan tro ponin T (+) merupakan petanda yang sensitif untuk miokard infark
dari pada CKMB. Troponin adalah merupakan kompleks tropomiosin yaitu kelompok
protein pada otot jantung, kompleks tersebut diperlukan dalam prosesaktivasi
filamen tipis otot jantung yang terjadi selama kontraksi otot, sehingg dapat
dibedakan dengan otot rangka jika dibanding dengan CKMB, dengan pemeriksaan ini
TnT ini diagnostik menjadi lebih efektif pada rusaknya otot jantung minimal yang
irreversible.
Pada IMA, TnT dalam serum mulai meningka t dalam 1 sampai 10 jam
( median 4 jam) setelah serangan IMA dan pada beberapa penderita yang tidak
diperiksa pada permulaan infark (5,24,74) Bekker dkk (67) mendapat sensitifitas
troponin T adalah 74% sedangkan spesifitasnya 84% pada 6 jam sesudah nyeri dada
pada IMA. Lee dkk (24) mendapatkan sensitifitas troponin T 87% dan spesifitas 84%
sesudah 8 jam dari gejala nyeri dada. Katus dkk (5) mendapatkan spesifitas dan
sensitifitasnya 89% pada pasien IMA dengan bersamaan ( superimposed) kerusakan
otot rang ka dibanding dengan CKMB hanya 63%.
Perkembangan terakhir init tampaknya lebih ideal dalam mengatasi kekurang
tepatan diagnosa infark yang tradisional.
Studi FRISC melakukan penelitian pada penderita dengan gejala yang spesifik
untuk IMA dan hasil pemeriksaan cTnT (+) dalam 24 jam, mereka menyimpulkan
dengan troponin T (+) merupakan prediktor bebas untuk resiko kematian jangka
pendek dan serangan jantung meningkat.
Hamm dkk meneliti pada 315 penderita sindrom koroner akut dengan
troponin T (+) pada 22% pasien dan jumlah kematian dalam 30 hari pada troponin T
(+) mencapai 22%. Studi TRIM pada 516 penderita sindrom koroner akut dengan
troponin T (+) pada 48% pasien, jumlah kematian dalam 30 hari mencapai 11%.
Studi FRISC I pada 823 pasein sindrom koroner akut dengan troponin T (+) pada
66% penderita, jumlah kematian dalam 5 bulan mencapai 16,7%. Demikian juga
oleh Ottani dkk pada 74 penderita sindrome koroner akut dengan troponin T (+)
pada 24 % penderita, jumlah kematian selama follow up 30 hari mencapai 17% dari
troponin T (+) .
2.2.10.1. NILAI PROGNOSTIK PEMERIKSAAN TROPONIN T PADA IMA
Pada IMA pola troponin T muncul dalam darah bergantung pada lamanya
sumbatan vaskuler dan kadar troponin dalam darah bergantung pada jumlah
kerusakan yang terjadi. Kadar troponin T awal pada waktu pertama kali diperiksa
mempunyai nilai prognostik pada penderita IMA (5). Stubbs dkk (75) mengikuti 240
penderita IMA selama rata- rata 3 tahun dan mendapatkan kesimpulan bahwa kadar
troponin T 0,2 ng/ml atau lebih mempunyai resiko untuk IMA berulang atau bahkan
kematian lebih tinggi. Ohman dkk (15) meneliti 855 penderita IMA yang datang
kurang dari 12 jam sejak nyeri dada, dan mendapatkan hasil bahwa troponin T
merupakan variabel kematian kurang dari 30 hari yang terkuat dan diikuti oleh EKG
serta CK- MB. Wu dkk (35) secara meta- analisis mendapatkan bahwa konsentrasi
troponin T yang abnormal berkaitan dengan peningkatan resiko prognosis yang
buruk dibanding dengan jika kadarnya normal. Troponin T merupakan petanda faktor
resiko bebas yang kuat pada penderita IMA.
13
BAB III
PENELITIAN SENDIRI
14
Newby dkk (42) melakukan penilaian pada penderita sindrom koroner akut
dengan membandingkan nilai TnT (+) dan TnT (- ) saat dirawat dan menilai kematian
dini (30 hari) dan kemudian kematian timbul belakangan (31- 365 hari). Hasil
penelitiannya dengan 260 penderita TnT (+) saat dirawat, jumlah kematian dalam
30 hari yaitu 10,4 % dan kematian pada 31-365 hari 4,1% . pada penderita TnT (- )
angka kematiannya 0%. Hasil ini menyimpulkan jumlah kematian berbeda antara
nilai TnT (+) dengan TnT (- ) saat dirawat yang terjadi selama 30 hari, nilai cTnT
juga dapat mengenali kelompok pasien resiko tinggi untuk kematian yang timbul
belakangan.
Dari uraian diatas penulis berketepatan hati ingin meneliti pada penderita
sindrom koroner akut dengan mengukur troponin T dan hubungannnya dengan
perjalanan klinis selama dirawat di rumah sakit. Dengan demikian mungkin kita akan
melakukan tindakan yang lebih bai pada awal pengobatan penderita sindroma
koroner akut yang mempunyai resiko tinggi untuk kematian dan kita lebih hati- hati
pada penderita sindrom koroner akut dengan nilai troponin T meninggi.
3.2. Tujuan Penelitian :
Menilai hubungan antara kadar troponin T dengan beratnya gambaran klinis
penderita sindroma koroner akut.
3.3. Perumusan Masalah :
Apakah terdapat hubungan kadar troponin T pada penderita sindroma
koroner akut dengan beratnya gambaran klinis penderita selama dirawat di rumah
sakit?
3.4. Manfaat Penelitian :
Dengan mengukur kadar troponin T kita dapat meramalkan beratnya
gambaran klinis penderita sindroma koroner akut.
3.5. Hipotesa :
Terdapat hubungan antara kadar troponin T dengan beratnya gambaran klinis
penderita sindroma koroner akut.
3.6. Bahan dan cara :
3.6.1.
Desain penelitian
Penelitian bersifat deskriptif analitik terhadap seluruh penderita yang memenuhi
kriteria untuk sindroma koroner akut .
3.6.2.
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dimulai bulan Januari 2002 s/d Mei 2002
Tempat penelitian : RSUP. H. Adam Malik / RS Pirngadi Medan dan beberapa RS
Swasta di kota Medan.
3.6.3.
Subjek penelitian :
Penderita sindroma koroner akut ( Angina Pektoris Tak Stabil, Infark non Q dan
Infark Q) yang dirawat di ICU rumah sakit tersebut diatas.
Kriteria inkusi :
Seluruh penderita sindroma koroner akut yakni :
IMA berdasarkan kriteria WHO yaitu nyeri dada, EKG yang spesifik dan
peningkatan enzim jantung.
APTS berdasarkan kriteria Braunwald klas II B yaitu angina saat istirahat, akut
dan angina 1 kali atau lebih dalam 48 jam terakhir.
-
15
Kriteria ekslusi :
Penderita infark lama.
Tak bersedia diikut sertakan dalam penelitian.
Prosedur penelitian :
Dilakukan anamnese mengenai keluhan nyeri dada dan permulaan dan lama
timbulnya nyeri dada dan anamnese lain yang ditujukan untuk mengetahui faktor
resiko, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan EKG dan laboratorium
enzim jantung ( CKMB dan troponin T ) . Seluruh penderita diawasi sejak dari unit
gawat darurat hingga ICU/ICCU dan keruang rawat biasa. Pemantauan meliputi klinis
dan obat - obatan yang digunakan selama dirawat di ICU/ICCU, komplikasi, EKG, cut
off point nilai troponin T, CK- MB, faktor resiko.
Analisa EKG :
Seluruh penderita segera dilakukan pemeriksaan EKG ( 12 sandapan),
kemudian dianalisa perubahan EK berupa : ST segmen elevasi, ST segmen depresi
atau gelombang T inversi. ST segmen elevasi dan ST depresi jika 0,1 mv didaerah
limb lead, atau 0,2 mv didaerah precordial lead.
Pemeriksaan enzim jantung dan troponin T :
Sampel darah vena diambil segera mungkin setelah pasien masuk ( umumnya
di UGD) untuk memeriksa CKMB dan troponin T. Reagen troponin T yang digunakan
adalah produksi Boehringer Mannheim.
Untuk pemeriksaan troponin T menggunakan immunometric one- step sandwich (
ELISA/1 step sanwich assay ) dengan tehnik Steptavidin, kit yang memproduksi oleh
Boehringer Mannheim. Uji ini dilakukan dengan Microprocessor controlled
photometer ( ES 22, Boehringer Mannheim) dan menggunakan tabung-tabung
berlapis Streptavidin sebagai fase solid dan 2 monoklonal anti human cardiac
troponin T antibodies. Troponin T meninggi jika >0,1 ng/ml, negatif jika <0,1
ng/ml.
CKMB diukur dengan cara imunoinhibitor assay ( CKMB NAC, Boehringer
Mannheim) , nilai normal < 10 IU/L, meninggi jika 2 kali normal.
Perkiraan besar sampel
Jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian adalah 28
Jumlah sampel ditentukan dengan rumus :
Prevalensi TnT (+) pada penderita sindroma koroner akut 80%
z 2 P O (1,96) x0,8x0,2
=
= 27,31
d2
(0,15)2
2
Besar sampel :
n=
16
3.7.1.
Distribusi penderita menurut jenis kelamin
Dari 35 penderita yang ikut dalam penelitian ini terdiri dari 28 orang laki- laki
(80,0%) dan dari 7 orang wanita (20,0%). Tidak ada perbedaan bermakna antara
pemeriksaan kadar troponin T dengan jenis kelamin pad apenderita sindroma
koroner akut (p>0,05) (Tabel 6).
Tabel 6. Hubungan pemeriksaan troponin T dengan
Nilai TnT
Jenis kelamin
<0,1 ng/ml
n
%
Laki-laki
3
6,6
Wanita
2
5,7
Jumlah
5
14,3
Uji Fisher Exact = 0,256
jenis kelamin.
>o,1 ng /ml
n
%
25
71,4
5
14,3
30
85,7
Jumlah
n
28
7
35
%
80,0
20,0
100,0
3.7.2.
Distribusi penderita menurut umur.
Umur penderita antara 39 s/d 85 tahun dengan nilai rata- rata 61,89 11,35
tahun, yang paling muda umur 39 tahun, dan paling tua umur 85 tahun. Kelompok
umur yang terbanyak diatas 60 tahun yaitu 19 penderita (54,3%), disusul 51- 60
tahun yaitu 10 penderita (28,6%) dan dibawah 50 tahun sebanyak 6 penderita
(17,1%). Dari kelompok umur dihubungkan dengan pemeriksaan kadar troponin T,
tidak dengan berbeda bermakna (p>0,05) secara statistik ( Tabel 7).
Tabel 7. Hubungan pemeriksaan troponin T dengan
Nilai TnT
Umur
<0,1 ng/ml
n
%
<50
2
5,7
51-60
0
0,0
>61
3
8,6
Jumlah
5
14,3
Person Chi Square = 3,480
umur.
>o,1 ng /ml
n
%
4
11,4
10
28,6
16
45,7
30
85,7
df=2
Jumlah
n
%
6
17,1
10
28,6
19
54,3
35
100,0
p =0,176
3.7.3.
Onset nyeri dada
Dari onset nyeri dada rata- rata 13,97 13,26 ( mean SD ) yang terbanyak
dibawah 6 jam yaitu 13 penderita (37,1%), disusul pada 6 s/d 12 jam sebanyak 12
penderita (34,3%), dan lebih 12 jam yaitu 10 penderita (28,6%). Tidak ada
perbedaan yang bermakna (p>0,05) berdasarkan pemeriksaan troponin T
dihubungkan dengan onset nyeri dada pada penderita SKA ( Tabel 8).
Tabel 8 . Hubungan pemeriksaan troponin T dengan onset nyeri dada.
Nilai TnT
Onset nyeri dada
Jumlah
<0,1 ng/ml
>o,1 ng /ml
( jam)
N
%
n
%
n
%
>6
2
5,7
11
31,4
3
37,1
6- 12
3
8,6
9
25,7
12
34,3
>12
0
0,0
10
28,6
10
28,6
Jumlah
5
14,3
30
85,7
35
100,0
Person Chi Square = 2,804
df=2 p =0,246
17
3.7.4.
Gambaran EKG
Gambaran EKG waktu penderita masuk terdiri dari ST elevasi saja 19 (53,3%),
ST elevasi disertai gelombang Q yaitu 8 (22,8%), ST depresi 6 (17,1%), T inversi 5
(14,3%), ST depresi dan gelombang T inversi 5 (14,3%) . Dijumpai hubungan
statistik yang bermakna (p<0,05) antara pemeriksaan troponin T dengan gambaran
EKG pada penderita sin droma koroner akut ( Tabel 9).
Tabel 9. Hubungan antara EKG dengan nilai troponin T
Nilai TnT
Gambaran EKG
<0,1 ng/ml
>o,1 ng /ml
n
%
n
%
ST elevasi
0
0,0
19
54,3
ST depresi
1
2,9
5
14,3
T inversi
2
5,7
3
8,6
ST depresi + T inversi
2
5,7
3
8,6
Jumlah
5
14,3
30
85,7
Person Chi Square = 3,480
df=2
Jumlah
n
%
19
54,3
6
17,1
5
14,3
5
14,3
35
100,0
p =0,176
3.7.5.
Faktor resiko
Faktor resiko terbanyak yaitu hipertensi ditemukan pada 29 (83%), merokok
15 (43%), obesitas 14(40%), DM 11 (31%) penderita, 4 (11,4%) penderita
mempunyai resiko, 13 (37,3%) penderita mempunyai 2 faktor resiko, 17 (48,5%)
penderita mempunyai 3 faktor resiko, 1 (2,9%) penderita mempunyai 4 faktor
resiko. Tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara faktor resiko dengan
nilai troponin T (Tabel 10).
Tabel 10. Hubungan pemeriksaan TnT dengan faktor resiko.
Nilai TnT (ng / ml)
Faktor Resiko
<0,1
>0,1
n
%
n
%
Hipertensi
1
2,9
1
2,9
Merokok
1
2,9
1
2,9
DM, Hipertensi
0
0,0
3
8,6
DM, Hiperkolesterol
0
0,0
1
2,9
Hipertensi, Merokok
0
0,0
2
5,7
Hipertensi, Obesitas
1
2,9
2
5,7
Hipertensi, Hiperkolesterol
0
0,0
3
8,6
Merokok, Obesitas
0
0,0
1
2,9
DM, Hipertensi, Merokok
1
2,9
2
5,7
Hipertensi, Merokok, Obesitas
0
0,0
4
11,4
DM ,Hipertensi, Hiperkolesterol
1
2,9
3
8,6
Hiperkolesterol, Merokok, Obesitas
0
0,0
2
5,7
Hipertensi, Hiperkolesterol, Obesitas
0
0,0
4
11,4
Hipertensi, Hiperkolesterol, Merokok,
0
0,0
1
2,9
Obesitas
Jumlah
5
14,3
30
85,7
Pearson Chi Square = 9,819
df=13 p=0,709
Jumlah
n
2
2
3
1
2
3
3
1
3
4
4
2
4
1
%
5,7
5,7
8,6
2,9
5,7
8,6
8,6
2,9
8,6
11,4
11,4
5,7
11,4
2,9
35
100,0
3.7.6.
Lokasi Infark
Dari 35 penderita, gambaran EKG dapat menunjukan lokasi infark yakni :
Inferior
: 3 penderita (8,6%)
Anterior septal
: 6 penderita
(17,1%)
18
Antero inferior
: 2 penderita (5,7%)
Antero septal lateral : 9 (25,7%)
Inferior septal lateral : 1 ( 2,9%)
Inferior septal lateral : 1 ( 2,9%)
(p>0,05) antara lokasi infark dengan nilai
Jumlah
n
3
2
6
1
1
9
2
1
10
35
%
8,6
5,7
17,1
2,9
2,9
25,7
5,7
2,9
28,6
100,0
3.7.7.
Komplikasi
Berdasarkan tabel 12, dari 35 penderita sindroma koroner akut, 30 (85,7%)
penderita mempunyai nilai troponin T yang meninggi, dijumpai 23 (76,7%)
mengalami komplikasi dari troponin T yang meninggi. Komplikasi penderita adalah
syok 19 ( 54,3%), meninggal 6(17,1%), ventrikel takikardi 5 (14,3%), edema paru 3
(9,6%), bradiaritmia, AV blok dan ventrtikel ekstra sistol masing- masing 2 (5,7%).
Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara nilai
troponin T>0,1 ng/ml dengan komplikasi penderitasindroma koroner akut.
Tabel 12. Hubungan nilai troponin T dengan komplikasi
Nila i TnT (ng / ml)
Komplikasi
<0,1
>0,1
n
%
n
%
Syok
0
0,0
5
14,3
Edema Paru
0
0,0
1
2,9
Bradiaritmia
1
2,9
1
2,9
Ventrikel ekstra sistol
0
0,0
2
5,7
Syok, AV Blok
0
0,0
2
5,7
Syok, meninggal
0
8,6
5
14,3
Syok, edema paru
0
0,0
2
5,7
Tidak ada komplikasi
3
8,6
7
20,0
Ventrikel takikardia
0
0,0
1
2,9
Ventrikel takikardia, syok ,meninggal
0
0,0
1
2,9
Syok, Ventrikel takikardi
1
2,9
3
8,6
Jumlah
5
14,3
30
85,7
Pearson Chi Square = 11,317
df=8 p=0,184
Jumlah
n
5
1
2
2
2
5
2
10
1
1
4
35
%
14,3
2,9
5,7
5,7
5,7
14,3
5,7
28,6
2,9
2,9
11,4
100,0
19
3.7.8.
Sindroma koroner akut dengan nilai Troponin T
Dijumpai hubungan yang bermakna (p<0,05) antara nilai troponin T>0,1 ng/ml
dengan terjadinya kerusakan otot jantung pada penderita sindroma koroner akut (
Tabel 13).
(Tabel 13). Hubungan pemeriksaan tropoinin T dengan sindroma Kororner Akut
Nilai TnT (ng / ml)
Jumlah
Sindroma Koroner Akut
<0,1
>0,1
n
%
n
%
n
%
Angina Pektoris Tak Stabil
5
14,3
11
31,4
16
45,7
Infark Miokard Akut (Q/non Q)
0
0,0
19
54,3
19
54,3
Jumlah
5
14,3
30
85,7
35
100,0
Fishers Exact Test = 0,013
Dari tabel 13 diatas sensitifitas dan spesifitas diagnostik sindroma koroner akut
berdasarkan pemeriksaan nilai troponin T, masing- masing 100% dan 100%.
Berdasarkan pemeriksaan nilai CKMB yang bermakna (CKMB >2 kali normal)
dengan diagnostik sindroma koroner akut ada hubungan yang bermakna (p<0,05)
dengan terjadinya kerusakan otot jantung ( Tabel 14).
Tabel 14. Hubungan antara jenis sindroma koroner akut dengan nilai CKMB
Nilai TnT (ng / ml)
Jumlah
Sindroma koroner akut
<0,1
>0,1
n
%
n
%
n
%
Angina
13
37,1
3
8,6
16
45,7
Infark Miokard akut (Q/non Q)
6
17,1
13
37,1
19
54,3
Jumlah
19
54,3
16
45,7
35
100,0
Fishers Exact Test =0,006
Dari tabel diatas, sensitifitas dan spesifitas diagnostik sindrome koroner akut
berdasarkan pemeriksaan CKMB masing- masing 68,4% dan 81,3%.
Berdasarkan uji korelasi Spearman antara troponin T yang meninggi dengan nilai
CKMB didapatkan r = 0,209 dan p = 0,228. sehingga berdasarkan penelitian ini tidak
ada korelasi antara pemeriksaan CKMB dengan troponin T yang meninggi pada
penderita sindroma koroner akut.
BAB IV
PEMBAHASAN
Di Amerika Serikat kematian akibat penyakit jantung banyak dijumpai pada
kelompok umur 35- 65 tahun ( kelompok umur produktif). Pada penelitian ini,
kelompok umur terbanyak diatas 60 tahun, sedangkan ayng meninggal juga
dijumpai diatas umur 60 tahun.
Dari data dasar penelitian ini pada variabel umur, jenis kelamin, faktor resiko,
lokasi infark tidak dijumpai perbedaan bermakna secara statistik dengan nilai
troponin T >0,1 ng/ml. namun berdasarkan penelitian TIMI II, disebutkan bahwa lesi
infark anterior pada gambaran EKG mempunyai prognosa jelek. Dari penelitian ini
berdasarkan lokasi lesi infark dari 6 penderita yang meninggal dengan troponin
T>0,1 ng/ml yaitu pada daerah anterior 5 (14,2%) dan 1 ( 2,9%) lokasinya di
interior.
20
Demikian juga terhadap onset nyeri dada pada penelitian ini rata-rata 13,97
13,26, secara uji statistik tidak berbeda bermakna, namun berrdasarkan sensitifitas
dan spesifitas diagnostik berdasarkan troponin T>0,1 ng/ml didapatkan masingmasing 100%. Zimmerman dkk (39) dengan pemeriksaan TnT >0,1 ng/ml
mendapatkan sensitifitas dan spesifitas penderita miokard infark dengan onset nyeri
dada 14 jam adalah 84,9 % dan 96,1%.
Dari gambaran EKG didapatkan, 19 (54,3%) penderita dengan ST elevasi
didapatkan seluruhnya pemeriksaan troponin T>0,1 ng/ml, sedangkan 6 penderita
dengan ST depresi, terdiri dari 5 (14,3%) penderita dengan troponin T>0,1 ng/ml, 1
(2,9%) penderita TnT <0,1 ng/ml. inversi gelombang T dijumpai pada 5 penderita
(14,3%) terdiri dari 3 (8,6%) penderita dengan TnT >0,1 ng/ml, 2 (5,7%) penderita
dengan TnT <0,1 ng/ml. Gabungan ST depresi dan inversi gelombang T juga
ditemukan pada 5 penderita, terdiri dari 3 (14,3%) penderita dengan TnT>0,1
ng/ml, 2 (5,7%) penderita dengan TnT <0,1 ng/ml. secara uji statistik ada hubungan
antara pemeriksaan nilai troponin T >0,1 ng/ml dengan perubahan EKG.
Demikian juga dilaporkan oleh Katus dkk sirkulasi troponin T>0,1 ng/ml
berhubungan bermakna terhadap adanya perubahan gambaran EKG yaitu adanya
gelombang ST reversible atau gelombang T (p<0,005). Namun pada penelitian ini
selama masa rawatan semua penderita yang secara EKG dijumpai ST elevasi (
diagnosa IMA) dengan nilai troponin T>0,1 ng/ml, tidak ditemukan komplikasi
kematian, hal ini mungkin karena cepatnya pengobatan dan perhatian yang serius
selama masa rawatan dan lokasi lesi, derajat besarnya penyumbatan dan a da
tidaknya sirkulasi kolateral.
Sedangkan perubahan EKG ST depresi dan inversi gelombang T (non ST
segment elevasi) dan pemeriksaan TnT >0,1 ng/ml, ditemukan komplikasi yang fatal
(kematian) 6 (17,1%) penderita. Hal ini juga disebutkan pada penelitian GUSTO II b
paa penderita dengan perubahan EKG ST depresi dan T inversi, serta ST elevasi
bersamaan dengan ST depresi mempunyai prognosa yang jelek (53,79)
Dari 35 penderita sindroma koroner akut penelitian ini, dijumpai 30 (85,7%)
nilai troponin T>0,1 ng/ml, dan dari troponin T>0,1 ng/ml didapatkan 23 (76,7%)
mengalami komplikasi. Komplikasi terbanyak dengan troponin T > 0,1 ng/ml, pada
penelitian ini selama dirawat adalah syok yaitu pada 19 (76%) penderita, disusul
dengan kematian pada 6 (17,1%) penderit dimana nilai troponin T yang meninggal
semua >2 ng/ml, sedangkan penderita dengan TnT <0,1 ng/ml tidak ada mengalami
komplikasi yang fatal. Hanya 12 dari 30 penderita nilai troponin T>0,1 ng/ml yang
dapat dilakukan ekokardiografi, dijumpai 9 penderita nilai ejeksi fraksi <40%.
Goldman dkk (78) dari 351 penderita APTS didapatkan 36% dengan troponin T>0,1
ng/ml, kemudian 30 hari setelah keluardari rumah sakit, ternyata penderita dengan
troponin T>0,1 ng/ml tersebut didapatkan insiden kardiak ( kematian, IMA) lebih
tinggi dibanding dengan troponin T<0,1 ng/ml (6,4% vs 0,4%, p <0,01). Dan hasil
angiografi dengan troponin T>0,1 ng/ml tersebut didapatkan 69% yang diperlukan
untuk tindakkan revaskularisasi (PTCA / Stenting atau CABG). Disebutkan bahwa
angina pektoris tak stabil (APTS) adalah fase kritis dari penyakit jantung koroner dan
akan meningkat resiko terjadinya IMA dan kematian, terutama 72 jam setelah
timbulnya gejala. Dari penelitian post mortem penderita APTS ditemukan adanya
erosi atau ruptur fibrous kap dari plak aterosklerosis pada kejadian awal. Pemaparan
plak yang berisi kolagen dan komponen lain dari dinding pembuluh darah aka
membentuk trombus intra koroner. Ohman dkk dari penelitian dengan skala yang
lebih besar yaitu 801 penderita SKA didapatkan troponin T meninggi 33% dan
setelah 30 hari keluar dari rumah sakit, kematian dijumpai pada 16% dari troponin T
yang meninggi. CAPTURE trials juga dari 890 penderita SKA (24% troponin T
meninggi), kematian setelah 1 bulan ditemukan sebanyak 15% dari troponin T (+).
Lusher dkk meneliti pada 516 penderita SKA (48% troponin T meninggi), kematian
21
setelah 1 bulan keluar dari rumah sakit 11% dari troponin T (+) . Newby dkk (42)
mendapatkan komplikasi kematian dengan troponin T (+) dan troponin Y(- ) setelah
30 hari keluar dari rumah sakit yaitu 4,1 % vs 1,3%.
Pada beberapa penelitian yang lain mengenai jumlah kematian dan serangan
ulangan yang timbul dalam 45 hari sampai dengan 6 bulan, lebih tinggi dijumpai
pada penderita troponin T(+) dibanding troponin T(- )
Hamm CW dkk menemukan bahwa insiden infark miokard dan kematian
berbeda secara bermakna antara kelompok troponin T(+) dan troponin T (- ) . telah
dibuktikan bahwa penderita APTS yang mempunyai kadar troponin T meninggi lebih
mungkin terjadi IMA atau meninggal selama perawatan rumah sakit. Demikian juga
pada penelitian ini didapatkan kematian yang lebih tinggi pada kelompok APTS
dibanding IMA selama masa perawatan dengan troponin T (+). Sehingga
pemeriksaan ini dapat mendeteksi penderita APTS yang mempunyai prognosa jelek.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seino dkk menemukan uji troponin T (+)
pada 64% (14 dari 22) penderita APTS. Dari 14 penderita troponin T (+), 8 (57,15)
penderita insiden kardiak, dimana 6 penderita mengalami kematian.
Katus pada penelitiannya mendapatkan bahwa nilai troponin T (+) pada APTS
antara 0,55 3,1 ug/dl berhubungan dengan stenosis koroner >75% pada
penderita. Rentang yang lebar ini sesuai dengan adanya perbedaan derajat
kerusakan sel miokard akibat iskemi yang terjadi pada APTS yang menimbulkan
deintegrasi sel. Makin tinggi kadar troponin T yang beredar dalam darah,
,menunjukan makin banyak sel yang nekrosis (mikro infark)
Sehingga pemeriksaan troponin T memudahkan pada klinisi untuk mengambil
keputusan apakah penderita SKA segera dilakukan pemeriksaan diagnosa dengan
angiografi koroner untuk menentukan tindakan angioplasti atau bedah pintas
koroner segera untuk menyelamatkan miokard dari kerusakan yang lebih luas.
Dari 35 penderita SKA, didapatkan troponin T.0,1 ng/ml pada 30 (85,7%), dan
troponin T<0,1 ng/ml pada 5 (14,3%) . sehingga dari tabel 13, sensitifitas dan
spesifitas diagnostik SKA berdasarkan troponin T (+) dengan onset nyeri dada
13,9713,26 adalah 100% dan 100%. Sedangkan berdasarkan CKMB (+) adalah
68,4% dan 81,3 ( Tabel 14). Namun berdasarkan uji statistik kedua pemeriksaan ini
tidak berbeda bermakna (p>0,05) untuk menguji diagnostik SKA.
Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak ada korelasi antara pemeriksaan
CKMB dengan troponin T yang meninggi (p>0,05) pada penderita sindroma koroner
akut, sehingga pemeriksaan troponin T lebih baik dari pada CKMB dalam menilai
kerusakan mikro infark otot jantung pada penderita sindroma koroner akut.
Berdasarkan stratifikasi resiko, dari 35 penderita sindroma koroner akut ini, 30
diantaranya masuk kelompok resiko tinggi, dan diantaranya menglamai kematian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. pada penderita sindroma koroner akut dengan troponin T > 0,1 ng/ml dijumpai
komplikasi yang lebih berat.
2. Seluruh penderita sindroma koroner akut yang meninggal dijumpai nilai troponin
T>0,1 ng/ml.
3. Pemeriksaan troponin T lebih baik dari pada CKMB dalam menilai kerusakan
mikro infark otot jantung penderita sindroma koroner akut.
22
5.2. SARAN
1. Pada setiap penderita sindroma koroner akut harus diperiksa nilai troponin T agar
dokter dapat menstratifikasikan penderita selama dirawat sehingga dapat
mencegah mortalitas yang akan timbul.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih luas mengenai tindakan selanjutnya pada
penderita sindroma koroner akut dengan troponin T>0,1 ng/ml untuk menilai
apakah diperlukan tindakan revaskularisasi ( PTCA/Stenting atau CABG).
Kepustakaan
Abe S, Arima S, Yamashita T et al. Early Assesstment of Reperfusion Theraphy Using
Cardiac Troponin T.J Am Coll Cardiol 1994;23:1382- 9
Anonym. Troponin T : Suatu Tonggak Baru Dalam Diagnosis Dini Iskemik Miokard.
Dalam Boeringer Mannheim. Tahun ?;2- 50.
Antman EM, Braunwald E. Acute Myocardial Infarction. In : Braunwald E (ed). Heart
Disease A Text Book of Cardiovasculer Medicine 5th ed, WB Saunders
Company, Philadelphia 1997:1184- 288.
Antman EM, Fox KM. Guideline for Diagnosis and management of Unstable Angina
and Non Q Wave Myocardial Infarction : Proposed Revision. Am Heart J
2000; 139:461- 75.
Antman EM, Grudzien C, Ohmann EM et al. Value of Series Troponin T for Early and
Late Risk Stratification in Patients with Acute Coronary Sindromes.
Circulation 1998;98:1853-59.
Antman EM, Sacks DB, Rifai N, et al Time to Positivity of Rapid Bedside Assay for
Cardiac-Specific troponin T predicts Prognosis in Acute Coronary Syndromes
: A Thrombolysis in Myocardial Infarction ( TIMI) 11 A substudy. J AM Coll
Cardiol 1998;31:326- 30.
Aroney C. Management of the acute coronary syndromes. Aust Prescr 2001;24 :568.
Bakker Aj, Koelemay JW, Gorgels JPM et al. Troponin T and myocardial at admission
value of early diagnosis of acute myocardial infarction. Eur Heart J.
1994,15:45-53.
Bardoff MM, Freitag H, Scheffold T, Remmpis A, Kubler W, Katus AH. Development
and Characterization of a Rapid Assay for Bedside Determinations of
Cardiac Troponin T. Circulation 1995;92:2869- 75.
Bardoff MM, Hallermayer K, Schroder et al. Improved troponin T ELISA specific for
cardiac troponin T isoform : assay development and analytical and
validation Clinical Chemistry 1997;43:458- 66.
Bardoff MM, Rauscher T, Kampman M et al. Quantitative bedside assay for cardiac
troponin T : a complementary methode to centralized laboratory testing.
Clinical Chemistry 1999;45;7:1002- 8
Baum H, Braun S, Gerhardt W et al. Multicenter evaluation of a second generation
assay for cardiac troponin T. Clinical Chemistry 1997;43;10 :1877- 84.
Boersma E, Pieper KS, Chang WC et al. Predictors of outcome in patients with acute
coronary syndromes without persistent ST- segment elevation. Circulation
2000;101:2557- 67.
Braunwald E, Antman ME, Beasley JW et al. ACC/AHA guidline for the management
of patient with unstable angina and non ST segment elevation miocard
infark.
Executive
summary
and
recommendation.
Circulation
2000;102:1193- 1209.
23
Budiarso LR, Sarimawan. Survey kesehatan rumah tangga tahun 1992 : Pola
kematian, Jakarta Badan Lit Bang Kes. Departement Kesehatan RI
1992:46.
Christenson RH, Azzazy HME. Biohemical markers of the Acute Coronary Syndromes.
Clinical Chemistry 1998; 44 : 8 : 1855 64.
Christenson RH, Duh SH, Newby K et al. Cardiac Troponin T and I : Relative Value in
Short- Term Risk Stratification of Patient with Acute Coronary Syndromes.
Clin Chem 1998;44:3:494-501.
Doctors Guide. Test in identifying patient at risk of dying from heart attact. URL
:http://www.pslgroup.com/dg/D6B6.html
Editorial review. Troponin T and Myocardial Damage. Lancet 1991;338:23- 4.
Efthymiadis A, Lefkos N, Liastis I et al. The Diagnosis value of determination of
troponin T in the diagnosis of unstable angina. Acta Cardiol
1994;44(5):419-24.
Ellis AK. Serum Protein Measurement and The Diagnosis of Myocardial Infarction,
Editorial Comment. Circulation 1991;33:1107- 9.
Falk E, Shah PK, Fuster V. Coronary plaque distrtuption. Circulation 1995;92:657- 71.
Forrester JS. Role of Plaque rupture in acute coronary syndromes. The AM J of
Cardiol 2000;86 (8 Supp 2) :15- 23.
Fuster V, Badimon L, Badimon JJ et al. The Pathogenesis of Coronary Artery Disease
and The Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med 1992;326(5) :310-8.
Fuster V, Fayad ZA, Badimon JJ et al. Acute coronary syndromes : biology. Lancet
1999;353 (Supp):5- 9.
Fustur V, Badimon L, Badimon JJ et al. The Pathogenesis of Coronary Artery Disease
and The Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med 1992;326(4) :242-50.
Gersh BJ, Braunwald E, Rutherford JO. Chronic Coronary Artery Disease. In :
Braunwald E (eds). Heart disease a text book of cardiovasculer Medicine 5th
ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1997:1290- 349
Gersh BJ, Braunwald E, Rutherford JO. Chronic Coronary Artery Disease. In :
Braunwald E (ed) Heart Disease A Text Book of Cardiovascular Medicine 5th
ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1997:1290- 349.
Gokhan CV, Gok H, Kaptanoglu B. The prognostic value of troponin T in unstable
angina. Int.J Cardiol 1996;53:3:237- 44.
Goldman BU, Heeschen C, Hamm CW. Cardiovascular risk and therapeutic benefit of
coronary interventions for patients with unstaable angina according to the
troponin T status. Eur Heart J. 2000;21(14):1117-9
Goldman BU, Newby LK, Ohman EM. Cardiac Marker for Decision Making in Acute
Ischemic Syndrome. ACC Current Journal Review 2000;9:43- 5.
Hamm CW , Goldman UB, Heeschen C et al. Emergency Room Triage of Parient with
Acute Chest Pain by Means of Rapid Testing for Cardiac Troponin T or I. N
Engl J Med. 1997;337:1648- 53.
Hamm CW, Ravkilde J, Jorgensen P et al. The Prognostic Value of Serum Troponin T
in Unstable Angina. N Engl J Med 1992;327:146- 50.
Heeschen C, Hamm CW, Simoons ML. Angiographic finding in patient with refractory
unstable angina according to troponin T status. Circulation, 199;104:150914.
Hetland Q, Dickstein K. Cardiac troponin I and T in patient with suspected acute
coronary Syndrome : a comparative study in routine setting. Clinical
Chemistry 1998;44:7:1430- 6.
Hoffman F. Cardiac marker update. 24 Januari 2000. Roche Diagnostics.
Holmvang L, Luscher MS, Clemmensen P et al. Very Early Risk Stratification Using
Combined ECG and Biochemical Assessment in Patient with Unstable
Coronary Artery Disease (TRIM Study). Circulation 1998;98:2004- 9.
24
25
26