Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tumor ganas (neoplasma) secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Dengan
kata lain, neoplasma merupakan massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya
berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal
meskipun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti (Kumar et
al, 2007). Tumor ganas (kanker) laring merupakan suatu neoplasma yang
ditandai dengan sebuah tumor yang berasal dari epitel struktur laring (Kamus
Saku Mosby, 2008).

2.2. Etiologi dan Faktor Risiko Tumor Ganas Laring


Penyebab utama kanker laring belum sepenuhnya diketahui, namun
diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan merokok, konsumsi alkohol berlebihan,
paparan radiasi serta sekuensi HPV (Human Papiloma virus) pada sebagian kecil
kasus (Kumar dan Maitra, 2007). Menurut Shangina et al (2006) dan Becher et al
(2005) dalam Ramroth (2011), terdapat beberapa etiologi lain terjadinya kanker
laring diantaranya karena terpapar bahan atau substansi berbahaya misalnya asbes,
Polycyclic Aromatic

Hydrocarbons, debu dan larutan berbahaya lainnya.

Menurut Negri E (2009) dalam Ramroth H (2011), terdapat beberapa bukti yang
menunjukkan peningkatan risiko terjadinya kanker laring yaitu jika terdapat
keluarga yang memiliki riwayat menderita kanker kepala dan leher.

Risiko terjadinya tumor ganas laring ini akan meningkat seiring dengan berat dan
banyaknya faktor risiko yang terdapat pada seseorang. Faktor risiko tersebut
diantaranya adalah:
a.

Usia
Kanker laring merupakan kanker yang sering terjadi pada usia pertengahan

dan usia tua dengan puncak insidensi terjadi pada dekade ke enam sampai dekade
ke delapan (Robin et al, 1991 dalam Ratiola, 2000).
Lee, 2003 menyebutkan bahwa insidensi penderita tumor ganas laring
terbanyak pada dekade 70. American Cancer Society (2011), lebih dari setengah
kasus kanker laring terjadi pada usia 65 tahun.
Berdasarkan National Cancer Institutes Surveilance Epidemiology and End
Result Cancer Statistic Review (2012), dari tahun 2005-2009 rata-rata penderita
tumor ganas laring adalah pada usia 65 tahun, tidak ditemukan (0%) pada usia
kurang dari dua puluh tahun. Namun ditemukan 0,4% antara usia 20-34 tahun;
2,7% antara usia 35-44 tahun; 16,3% antara usia 45-54 tahun; 29,8% antara usia
55-64 tahun; 28,6% antara usia 65-74 tahun, 17,3% pada usia 75-84 tahun dan
4,8% pada usia 85 tahun keatas.
b.

Jenis Kelamin
Angka kejadian masih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita

adalah karena masih tingginya kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada
laki-laki (American cancer Society, 2011)
Insidensi tertinggi kanker laring ini lebih banyak terjadi pada laki- laki
dibandingkan dengan wanita yaitu sekitar 5:1 (Lee, 2003). 1 Januari 2008, di
United States diperkirakan jumlah tumor ganas laring 88.941 kasus, yang terdiri
dari 71.273 laki-laki dan 17.668 wanita (National Cancer Institute, 2012).
c.

Ras
Tumor ganas laring lebih sering pada ras African American dan kulit putih

dibandingkan dengan ras asia dan latin (American Cancer Society, 2011). Data
National Cancer Institute (2012), insidensi terjadinya kanker laring berdasarkan
ras yang telah didiagnosis pada 18 area SEER (San Francisco, Connecticut,
Detroit, Hawaii, Iowa, New Mexico, Seattle, Utah, Atlanta, San Jose-Monterey,

Los Angeles, Alaska Native Registry, Rural Georgia, California excluding


SF/SJM/LA, Kentucky, Louisiana, New Jersey and Georgia excluding ATL/RG)
terdapat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Insidensi kanker laring berdasarkan ras.


Incidence Rates by Race
Race/Ethnicity
Male
Female
All Races
6.2 per 100,000 men
1.3 per 100,000 women
White
6.1 per 100,000 men
1.3 per 100,000 women
Black
9.9 per 100,000 men
1.8 per 100,000 women
Asian/Pacific Islander
2.3 per 100,000 men
0.3 per 100,000 women
American Indian/Alaska
4.2 per 100,000 men
Native a
Hispanic b
4.7 per 100,000 men
0.6 per 100,000 women
National Cancer Institutes Surveilance Epidemiology and End Result Cancer
Statistic Review, 2012. Cancer Statistic: Cancer of the Larynx. Available
http://seer.cancer.gov/statfacts/html/laryn.html#incidence-mortality
from:
[Accessed 26 Mei 2012].
d.

Merokok
Sebagian besar (88-89%) penderita tumor ganas laring adalah perokok.

Kebiasaan merokok merupakan hal penting yang dapat meningkatnya risiko


terjadinya tumor ganas laring. Peningkatan itu juga tergantung dari lama dan
intensitas seseorang itu merokok (Ramroth, 2011; Rothman, 1980 dalam Adams,
2005; dan Lee, 2009). La Vecchia (1990) dalam Adams (2005) menyebutkan
bahwa merokok dengan >22 mg tar memiliki insidensi 2 kali lebih tinggi
menderita kanker laring dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau
perokok dengan tar yang rendah. Kandungan yang terdapat dalam rokok
merupakan bahan karsinogenik. Berdasarkan Brunneman dan Hoffman (1992)
dalam World Health Organization International Agency for Research on Cancer
(IARC, 2007) telah menyebutkan bahwa terdapat 28 jenis bahan karsinogen yang
terkandung dalam rokok.

Secara garis besar terdapat tiga jenis nitroso dalam rokok, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1)

Non-volatile TSNA ( Tobacco-Specific N-nitrosamin Acids) yang terdiri atas


4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanon

(NNK)

dan

N2-

nitrosonornicotine (NNN).
2)

N-nitrosamino acids yang terdiri dari N-nitrososarcosine (NSAR), 3


(methylnitrosamino) propionic acids (MNPA) dan 4-(methylnitrosamino)
butyric acids (MNBA).

3)

Volatile N-nitrosamin yang terdiri atas N-nitrosodimethylamine (NMDA),


N-nitrosopyrrolidine

(NPYR),

N-nitrosopiperidine

(NPIP)

dan

N-

nitrosomorpholine (NMOR).
Kandungan lain yang terdapat dalam rokok diantaranya adalah benzene,
arsenik, dan hidrokarbon. Selain dari kandungan rokok tersebut, bahan
karsinogenik juga dihasilkan dari pembakaran rokok (tembakau) oleh para
perokok aktif diantaranya adalah nikotin, karbon monoksida, hydrogen sianida
dan ammonia. Pemaparan bahan-bahan tersebut baik pada perokok aktif maupun
pasif dapat menyebabkan kerusakan dari mukosa laring dimana sel-selnya akan
bermetaplasia dan akan berkembang kearah keganasan. Hal tersebut akan
meningkat jika seseorang juga mengkomsumsi alkohol.
e.

Alkohol
Alkohol bukan merupakan faktor risiko tunggal yang menyebabkan

terjadinya kanker laring, namun kombinasi antara penggunaan rokok dan


konsumsi alkohol serta faktor lain yang memicu terjadinya karsinogenik memiliki
risiko tinggi terjadinya kanker laring (American Cancer Society, 2011). Sebuah
penelitian di Perancis menunjukkan bahwa peningkatan terjadinya tumor ganas
laring dijumpai pada perokok dengan peminum alkohol (anggur) lebih dari 1,5 L
per hari ( Andrew, 1995)

f.

Virus
Berdasarkan Heller dalam Ballenger (1977), virus dapat menyebabkan

terjadinya kanker. Infeksi virus tersebut tidak secara langsung menyebabkan


kanker laring namun menyebabkan kanker secara umum. Pada awalnya virus akan
melekatkan dirinya dalam mekanisme genetik sel yang abnormal dan akan
memodifikasinya menjadi sel yang abnormal. Kemudian virus yang dorman dan
bersembunyi didalam sel akan teraktivasi jika terpapar agen eksternal seperti Xrays sehingga sel akan tumbuh menjadi malignan.
g.

Paparan terhadap substansi (bahan) berbahaya dilingkungan kerja.


Bahan karsinogen yang berhubungan dengan terjadinya kanker laring dapat

berupa asbestos, komponen nikel, dan beberapa minyak mineral, radiasi (Adams,
2005). Penelitian di Italia disebutkan bahwa, Serbuk kaca juga dapat
meningkatkan angka kematian pada penderita kanker laring (Bertazzi, 1980 dalam
Adams, 2005).

2.3. Patofisiologi Tumor Ganas Laring


Tumor atau sering dikenal dengan neoplasma, sesuai definisi Willis dalam
kumar et al (2007), adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya
berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal dan
terus demikian walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah
berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya responsivitas
terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal.
Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang
beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well differentiated)
sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma ganas yang terdiri atas
sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik.

Tidak adanya diferensiasi, atau anaplasia dianggap sebagai tanda utama


keganasan. Neoplasma ganas (kanker) tumbuh dengan cara infiltrasi, invasi,
destruksi dan penetrasi progresif ke jaringan sekitar. Kanker tidak membentuk
kapsul yang jelas. Cara pertumbuhannya yang infiltratif menyebabkan perlu
dilakukannya pengangkatan jaringan normal disekitar secara luas apabila suatu
tumor ganas akan diangkat secara bedah (Kumar et al, 2007).
2.3.1. Dasar Molekular Kanker: Karsinogenesis
Kanker berhubungan dengan dua hal yaitu genetik dan perubahan
epigenetik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memicu aktivasi atau
inaktivasi yang tidak semestinya dari gen spesifik sehingga menyebabkan
transformasi neoplastik (IARC/ International agency for Research on Cancer,
2007). Perkembangan kanker ini dikendalikan karena adanya perubahan dari
struktur dan fungsi genom (IARC, 2007) .
Berdasarkan Kumar et al, 2007, pada awalnya kerusakan genetik nonletal
merupakan hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan genetik ini mungkin
dapat dipengaruhi oleh llingkungan seperti zat kimia, radiasi, virus atau
diwariskan dalam sel germinativum. Terdapat suatu hipotesis genetik pada kanker
bahwa massa tumor terjadi akibat adanya ekspansi klonal satu sel progenitor yang
telah mengalami kerusakan genetik. Sasaran utama kerusakan genetik tersebut
adalah tiga kelas gen regulatorik yang normal yaitu protoonkogen yang
mendorong pertumbuhan, gen penekan kanker (tumor supresor gen) yang
menghambat pertumbuhan (antionkogen), dan gen yang mengatur kematian sel
yang terencana (programmed cell death), atau apoptosis. Selain gen-gen tersebut
terdapat juga gen yang mengatur perbaikan DNA yang rusak, berkaitan dengan
karsinogenesis. Gen yang memperbaiki DNA mempengaruhi proliferasi atau
kelangsungan hidup sel secara tidak langsung dengan mempengaruhi kemampuan
organisme memperbaiki kerusakan nonletal di gen lain, termasuk protoonkogen,
gen penekan tumor dan gen yang mengendalikan apoptosis. Kerusakan pada gen
yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas digenom dan
transformasi neoplastik.

Karsinogenesis memiliki beberapa proses baik pada tingkat fenotipe maupun


genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya
pertumbuhan berlebihan, sifat invasif lokal dan kemampuan metastasis jauh. Sifat
ini diperoleh secara bertahap yang disebut sebagai tumor progression.

Pada

tingkat molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang
pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA.
Perubahan genetik tersebut melibatkan terjadinya angiogenesis, invasi dan
metastasis. Sel kanker juga akan melewatkan proses penuaan normal yang
membatasi pembelahan sel. Tiap gen kanker memiliki fungsi spesifik, yang
disregulasinya ikut berperan dalam asal muasal atau perkembangan keganasan.
Gen yang terkait dengan kanker perlu dipertimbangkan dalam konteks enam
perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang menentukan fenotipe ganas,
diantaranya:
a.

Self-sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan.


Gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker adalah

onkogen. Gen ini berasal dari mutasi protoonkogen dan ditandai dengan
kemampuan mendorong pertumbuhan sel walaupun tidak terdapat sinyal
pendorong pertumbuhan yang normal. Produk gen ini disebut onkoprotein. Pada
keadaan fisiologik, proliferasi sel awalnya terjadi karena terikatnya suatu faktor
pertumbuhan ke reseptor spesifiknya di membran sel. Aktivasi reseptor
pertumbuhan secara transien dan terbatas, yang kemudian mengaktifkan beberapa
protein transduksi sinyal di lembar dalam plasma. Transmisi sinyal ditransduksi
melintasi sitosol menuju inti sel melalui perantara kedua. Induks i dan aktivasi
faktor regulatorik inti sel yang memicu transkrip DNA. Selanjutnya sel masuk
kedalam dan mengikuti siklus sel yang akkhirnya menyebabkan sel membelah.
Dengan latar belakang ini, kita dapat mengidentifikasi berbagai strategi yang
digunakan sel kanker

untuk

pertumbuhan (Kumar et al, 2007).

memperoleh self-sufficiency dalam sinyal

b.

Insensitivitas Terhadap Sinyal yang Menghambat Pertumbuhan.


Salah satu gen yang paling sering mengalami mutasi adalah gen penekan

tumor TP53 (dahulu p53). TP53 ini dapat menimbulkan efek antiproliferatif,
tetapi yang tidak kalah penting gen ini juga dapat mengendalikan apoptosis.
Secara mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai suatu monitor sentral untuk stres,
mengarahkan sel untuk memberikan tanggapan yang sesuai, baik berupa
penghentian siklus sel maupun apoptosis.
Berbagai stres yang dapat memicu jalur respon TP53, termasuk anoksia,
ekspresi onkogen yang tidak sesuai (misalnya MYC) dan kerusakan pada integritas
DNA. Dengan mengendalikan respon kerusakan DNA, TP53 berperan penting
dalam mempertahankan integritas genom.
Apabila terjadi kerusakan TP53 secara homozigot, maka kerusakan DNA
tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi disel yang membelah sehingga
sel akan masuk jalan satu-satunya menuju transformasi keganasan (Kumar et al,
2007).
c.

Menghindar dari Apoptosis


Pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu sel dipengaruhi oleh gen yang

mendorong dan menghambat apoptosis. Rangkaian kejadian yang menyebabkan


apoptosis yaitu melalui reseptor kematian CD95 dan kerusakan DNA. Saat
berikatan dengan ligannya, CD95L, CD95 mengalami trimerisasi, dan domain
kematian sitoplasmanya menarik protein adaptor intrasel FADD. Protein ini
merekrut prokaspase (prokaspase) 8 untuk membentuk kompleks sinya
penginduksi kematian. Kaspase 8 mengaktifkan kaspase di hilir sepersi kaspase 3,
suatu kaspase eksekutor tipikan yang memecah DNA dan substrat lain yang
menyebabkan kematian. Jalur lain dipicu oleh kerusakan DNA akibat paparan
radiasi, bahan kimia dan stres . Mitokondria berperan penting dijalur ini dengan
membebaskan sitokrom c. Pembebasan sitokrom c ini diperkirakan merupakan
kejadian kunci dalam apoptosis, dan hal ini dikendalikan oleh gen famili BCL2.
Dengan kata lain bahwa peran BCL2 dapat melindungi sel tumor dari apoptosis
(Kumar et al, 2007).

d.

Kemampuan Replikasi Tanpa Batas


Secara normal, sel manusia memiliki kapasitas replikasi 60 sampai 70 kali

dan setelah itu sel akan kehilangan kemampuan membelah diri dan masuk masa
nonreplikatif. Hal ini terjadi karena pemendekan progresif telomer di ujung
kromosom. Namun pada sel tumor akan menciptakan cara untuk menghindar dari
proses penuaan yaitu dengan mengaktifkan enzim telomerase sehingga telomer
tetap panjang. Hal inilah yang menyebabkan replikasi sel tanpa batas (Kumar et al,
2007).
e.

Terjadinya Angiogenesis Berkelanjutan


Angiogenesis merupakan aspek biologik yang sangat penting pada

keganasan. Angiogenesis tidak hanya untuk kelangsungan pertumbuhan tumor,


tetapi juga untuk bermetastasis.
Faktor angiogenetik terkait tumor (tumor associated angiogenic factor)
mungkin dihasilkan oleh sel tumor atau mungkin berasal dari sel radang (misal,
makrofag). Terdapat dua faktor angiogenik terkait tumor yang palling penting
yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF, faktor pertumbuhan endotel
vaskular) dan basic fibroblast growth factor. Paradigma menyatakan bahwa
pertumbuhan tumor dikendalikan oleh keseimbangan antara faktor angiogenik
dengan faktor yang menghambat angiogenesis (antiangiogenesis). Faktor
antiangiogenesis tersebut diantaranya trombospondin-1 yang diinduksi oleh
adanya gen TP53 wild-type, angiostatin, endostatin dan vaskulostatin. Mutasi gen
TP53 wild-type ini menyebabkan penurunan kadar trombospondin-1 sehingga
keseimbangan condong ke faktor angiogenik (Kumar et al, 2007).
g.

Kemampuan Melakukan Invasi dan Metastasis.


Pada awalnya invasi terjadi karena peregangan dari sel tumor. Peregangan

ini dapat terjadi oleh karena mutasi inaktivasi gen E-kaderin. Secara fisiologis gen
E-kaderin bekerja sebagai lem antarsel agarsel tetap menyatu. Proses selanjutnya
adalah degradasi lokal membran basal dan jaringan interstitium. Invasi ini
mendorong sel tumor berjalan menembus membran basal yang telah rusak dan
matriks yang telah lisis (Kumar et al, 2007).

2.4. Gejala Klinis Tumor Ganas Laring


Tanda dan gejala klinis yang dialami penderita tumor ganas laring
diantaranya suara serak, disfagia, hemoptisis, adanya massa di leher, nyeri
tenggorok, nyeri telinga, gangguan saluran nafas dan aspirasi (Concus et al, 2008).
Gejala klinis kanker laring ini bermacam-macam sesuai dengan sruktur laring
yang terkena (Johnson, 2012).
2.4.1. Suara Serak
Sebagian besar penderita kanker laring datang ke rumah sakit atau dokter
spesialis THT dengan mengeluhkan suara serak atau perubahan suara (Lee, 2003).
Serak disebabkan oleh gangguan fungsi fonasi laring.
Pada tumor ganas laring, pita suara tidak berfungsi dengan baik disebabkan
oleh ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glottik,
terserangnya otot-otot vokalis, sendi, ligamen krikotiroid dan kadang menyerang
saraf. Serak menyebabkan kualitas suara mennjadi kasar, menganggu, sumbang
dan nadanya rendah dari biasa ( Hermani dan Abdurrachman, 2007).
Timbulnya suara serak tergantung dari letak tumor pada laring. Apabila
tumor timbul pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap.
Tumor yang tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika ventrikularis
atau dibatas bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan
timbul kemudian. Namun tumor yang tumbuh pada daerah supraglottis dan
subglottis, serak akan timbul kemudian atau bahkan tidak timbul (Hermani dan
Abdurrachman, 2007).

2.4.2. Obstruksi Saluran Nafas


Obstruksi saluran nafas oleh karena massa tumor dapat menyebabkan
dispnea dan stridor. Keluhan ini dapat timbul pada setiap lokasi laring yang
terlibat, baik tumor supraglottis, glottis dan subglottis (Lee, 2003 dan Hermani &
Abdurrachman, 2007).

2.4.3. Disfagia dan Odinofagia


Disfagia dan odinofagia sering terjadi pada karsinoma supraglottis atau
tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring (Lee, 2003 dan Hermani
& Abdurrachman, 2007).

2.4.4. Batuk dan Hemoptisis


Batuk jarang ditemukan pada pada tumor ganas glottis, biasanya timbul
dengan tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir kedalam laring.
Hemoptisis sering terjadi pada tumor glottis dan supraglottis (Hermani dan
Abdurrachman, 2007).

2.4.5. Nyeri Tenggorok


Keluhan nyeri tenggorokan yang persisten berhubungan dengan lokasi
tumor pada daerah faring misalnya pada sinus piriform, ariepiglottis dan bagian
dasar lidah. Keluhan ini juga dihubungkan dengan lesi epiglottis (Concus, 2008).
Nyeri tenggorok ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang
tajam (Hermani dan Abdurrachman, 2007).

2.4.6. Benjolan dileher


Benjolan di leher tumor ganas laring berhubungan dengan pembesaran
kelenjar getah bening leher. Hal ini menunjukkan adanya metastasis tumor pada
stadium lanjut (Hermani dan abdurrachman, 2007; dan Lee, 2003).

2.4.7. Gejala Lain


Gejala lain dapat berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk,
hemoptisis, dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke luar
laring atau metastasis jauh ( Hermani dan abdurrachman, 2007).

2.4. Lokasi Terjadinya Kanker Laring.


Sobin (1997) dalam Lee (2003), laring dibagi menjadi 3 bagian yaitu
supraglottis, glottis dan subglottis. Masing-masing bagian laring memiliki
subbagian yang telah ditentukan oleh UICC (Union International Centre le
Cancer). Subbagian tersebut adalah sebagai berikut:
2.5.1. Supraglottis
a. Suprahyoid epiglottis (tip, lingual anterior, laryngeal surface)
b. Aryepiglottis fold, laryngeal aspect
c. Arytenoid
d. Infrahyoid epiglottis
e. Ventricular bands (false cords)
Tumor supraglottis ini terbatas mulai dari tepi atas epiglottis sampai batas
atas glottis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring (Hermani dan
Abdurrachman, 2007).
2.5.2. Glottis
a. Vocal cords
b. Anterior commisure
c. Posterior commisure
Tumor glottis mengenai pita suara asli. Batas inferior glottis adalah 10 mm
dibawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otat intrinsik
pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh sebab itu, tumor glottis
dapat mengenai satu atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglottis sejauh 10
mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atai prosesus vokalis
kartilagi aritenoid (Hermani dan Abdurrachman, 2007).

2.5.3. Subglottis
Tumor subglottis tumbuh lebih dari 10 mm dibawah tepi bebas pita suara
asli sampai batas inferior krikoid. Tumor yang menyeberangi ventrikel dan
mengenai pita suara asli dan pita suara palsu ataupun meluas ke subglottis lebih
dari 10 mm merupakan tumor ganas transglottis (Hermani dan Abdurrachman,
2007).

2.6.

Diagnosis Tumor Ganas Laring

2.6.1. Anamnesis
Anamnesis mengenai perjalanan penyakit dan faktor-faktor yang diduga
sebagai penyebab terjadinya tumor ganas laring seperti merokok, konsumsi
alkohol serta faktor lain seperti usia, jenis kelamin dan riwayat pekerjaan (Lee,
2003 dalam Sofyan, 2011).

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien secara
keseluruhan. Pemeriksaan ini meliputi penilaian saluran nafas jika pasien
mengeluhkan sesak nafas, melihat kondisi pasien apakah tampak sakit berat, serta
menilai status nutrisi yang terlihat dari penurunan berat badan.
Selain itu juga untuk menilai status fisik untuk tindakan biopsi, pembedahan,
radioterapi dan kemoterapi (Concus et al, 2008; Lee, 2003 dan Sofyan, 2011).
Pada saat kanker laring telah dicurigai maka pemeriksaan kepala dan leher
lengkap juga harus dilakukan, khususnya pada laring dan leher. Kualiatas suara
juga perlu diperhatikan. Suara nafas bisa menunjukkan adanya paralisis pita suara
dan suara yang meredam adanya lesi di supraglottis (Concus et al, 2008).
a.

Pemeriksaan Laring
Pemeriksaan laring dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan

menggunakan indirect laryngoscopy (kaca laring) atau secara langsung dengan


direct laryngoscopy (Ballenger, 1977 dan Hermani & abdurrachman, 2007).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat batas yang irregular, warna, karakteristik
dan mobilitas pita suara. Lesi pada kanker laring akan tampak seperi kembang kol,
lunak, ulseratif atau terdapat perubahan warna mukosa (Concus et al, 2008).

Dalam Sofyan (2011), dengan pemeriksaan laringoskopi langsung kita dapat


membedakan massa tumor laring berdasarkan gambarannya yaitu sebagai berikut:
i) Tumor supraglottis akan tampak tepi tumor yang meninggi dan banyak bagian
sentral yang ulseratif atau kemerahan dan sering kali meluas.
ii)

Tumor glottis akan tampak lebih proliferatif daripada ulseratif. Gambaran


khas lesi menyerupai kembang kol dan berwarna keputihan.

iii)

Tumor subglottis akan tampak lebih difus dan memiliki ulkus yang
superfisial dengan tepi yang lebih tinggi.

b.

Pemeriksan Leher
Pemeriksaan leher dilakukan dengan palpasi, hal ini untuk menentukan

apakah terdapat pembesaran kelenjar limfa dan metastasis tumor ke ekstra laring
(Concus et al, 2008 dan Probst et al, 2006). Palpasi dilakukan dengan sistematis
dimulai dari submental berlanjut kearah angulus mandibula, sepanjang muskulus
sternokleimastoid, klavikula dan diteruskan sepanjang saraf assesorius. Pada saat
pemeriksaan perlu diperhatikan mengenai lokasi, ukuran, batas, dan mobilitas
tumor.

2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang


a.

Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan biopsi pada lesi laring dengan

laringoskop langsung. Hal ini perlu dilakukan untuk menilai keganasan (Concus
et al, 2008 dan Ballenger, 1977) dan membedakannya dengan lesi jinak atau lesi
lain misalnya oleh karena infeksi bakteri, virus dan jamur (Sofyan, 2011 dan
Adams, 2005). Selain itu pemeriksaan biopsi ini juga dapat mengidentifikasi tipe
tumor dan diferensiasinya (Sofyan, 2011). Biopsi dilakukan diruang operasi dan
pasien diberikan anestesi umum serta diberi neuromuskular paralisis sebelum
dilakukan operasi.

b.

Pencitraan Toraks
Metastasis kanker laring pada awalnya adalah pada nodus servikal regional

setelah itu akan bermetastasis ke paru. Oleh karena itu, pasien dengan kanker
kepala dan leher harus dilakukan foto toraks rutin sekali atau dua kali dalam
setahun untuk evaluasi dan skrining metastasis tumor. Jika terdapat abnormalitas
yang signifikan maka computed tomography (CT) scan dada harus dilakukan
untuk konfirmasi lesi. Bronkoskopi dengan evaluasi apusan bronkial atau biopsi
transbronkial harus dilakukan jika dicurigai adanya lesi (Concus et al, 2008 dan
Adams, 2005).

2.6.4. Studi Pencitraan


Pencitraan radiologis secara umum dilakukan pada kanker laring stadium
lanjut untuk menentukan stadium dan rencana terapi. CT scan atau MRI
bermanfaat dalam mengidentifikasi invasi preepiglottis dan paraglottis, erosi pada
kartilago laring dan metastasis servikal. Kedua modalitas pencitraan ini sangat
berguna untuk menilai karakteristik kelainan oleh kanker laring. MRI lebih
sensitif untuk menilai abnormalitas jaringan lunak sedangkan CT scan lebih baik
untuk menilai defek tulang ataupun kartilago (Concus et al, 2008).
Pencitraan lain yang digunakan untuk menegakkan diagnosis kanker laring
adalah positron emmision tomography (PET) scan. Pencitraan ini digunakan untuk
mengidentifikasi metastasis yang tersembunyi, membedakan keganasan yang
rekuren dari radionekrosis atau sekuele pengobatan yang telah direncanakan.
Selain itu, PET scan juga digunakan untuk mengidentifikasi lokasi kanker primer
yang tidak diketahui. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa PET scan mampu
mendeteksi kanker laring superfisial yang pada pencitraan CT scan tidak dapat
terdeteksi (Concus et al, 2008).

2.7. Gambaran Histopatologi Penderita Tumor Ganas Laring


2.7.1. Karsinoma Sel Skuamosa
Lebih dari 90%

penderita tumor ganas laring memiliki gambaran

histopatologi karsinoma sel skuamosa dan berhubungan dengan penggunaan


rokok dan konsumsi alkohol berlebihan. Secara histologi karsinogenesis
menunjukkan perubahan dari fenotipe normal menjadi hiperplasia, displasia,
karsinoma in-situ, karsinoma invasif. Karsinoma sel skuamosa invasif dapat
berdifferensiasi dengan baik, sedang dan buruk. Varian karsinoma sel skuamosa
terdiri dari verrucous carcinoma, spindle carcinoma, basaloid squamous cell
carcinoma dan adenosquamous carcinoma (Concus et al, 2008). verrucous
carcinoma memiliki insidensi 1-2 % dari seeluruh kasus keganasan pada laring
(Lee, 2003).

2.7.2. Salivary Gland Cancers


Keganasan ini dapat muncul dari kelenjar saliva minor pada mukosa laring.
Karsinoma kistik adenoid dan karsinoma mukoepidermoid paling sering terjadi.
Laki-laki dan perempuan memiliki rasio yang sama untuk terjadinya karsinoma
kistik adenoid laring. Pembedahan dapat dipilih sebagai terapi untuk dua jenis
karsinoma ini, serta terapi adjuvan radiasi seperti pada keganasan kelenjar saliva
mayor (Concus et al, 2008).

2.7.3. Sarkoma
Keganasan yang berasal dari pertumbuhan sel mesenkim ini sangat jarang
terlihat.

Sarkoma

yang

paling

sering

terjadi

adalah

kondrosarkoma.

Kondrosarkoma laring ini muncul paling sering dari kartilago krikoid dan massa
submukosa glottis posterior. Diagnosis keduanya sangat sulit.
Kondrosarkoma memiliki sifat yang non-agresif sehingga terapinya dapat
dilakukan pembedahan parsial laring. Radiasi secara umum tidak efektif untuk
kondrosarkoma (Concus et al, 2008).

2.7.4. Neoplasma lain


Tumor lain yang dapat terjadi pada laring diantaranya adalah tumor
neuroendokrin seperti tumor karsinoid, limfoma dan metastasis dari tumor primer
lain. Tumor ganas tiroid dapat menginvasi laring dengan atau tanpa paralisis pita
suara (Concus et al, 2008).

2.8. Stadium Tumor Ganas Laring


Berdasarkan UICC (Union International Centre le Cancer) atau AJCC
(American Joint Committe on Cancer) 1995, dalam Lee (2003) dan Probst et al
(2006) klasifikasi tumor ganas laring adalah sebagai berikut:

Tumor Primer (T)


Supraglottis:
Tis : Karsinoma insitu
T1

: Tumor terbatas pada satu sisi supraglottis dengan gerakan (mobilitas)


pita suara masih normal.

T2

: Tumor menginvasi mukosa lebih dari satu sisi supraglottis tanpa ada
fiksasi dari laring.

T3

: Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara dan/ atau telah
menginvasi area postcricotiroid, jaringan pre-epiglottis dan bagian
dasar lidah.

T4

: Tumor telah menginvasi tulang rawan tiroid dan/ atau meluas


kedalam jaringan lunak leher, tiroid dan/ atau esofagus.

Glottis
Tis : Karsinoma insitu
T1

: Tumor terbatas pada pita suara (bisa melibatkan komisura anterior


ataupun posterior), mobilitas pita suara normal.

T1a : Tumor terbatas pada satu pita suara.


T1b : Tumor melibatkan kedua pita suara.
T2

: Tumor meluas sampai ke supraglottis dan/ atau subglottis dan/ atau


dengan gangguan mobilitas pita suara.

T3

: Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara.

T4

: Tumor menginvasi tulang rawan tiroid dan/ atau meluas ke jaringan


lain selain laring: trakea, jaringan lunak leher, tiroid, faring.

Subglottis
Tis : Karsinoma insitu
T1

: Tumor terbatas pada subglotis.

T2

: Tumor meluas ke pita suara dengan mobilitas normal atau terdapat


gangguan.

T3

: Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara.

T4

: Tumor menginvasi krikoid atau tulang rawan tiroid dan/ atau meluas
ke jaringan lain selain laring: trakea, jaringan lunak leher, tiroid,
esofagus.

Penjalaran ke Kelenjar Limfa (N)


Nx

: Kelenjar limfa regional tidak teraba.

N0

: Tidak ada metastasis regional/ secara klinis tidak teraba.

N1

: Metastasis pada satu kelenjar limfa ipsilateral dengan ukuran


diameter 3 cm atau kurang.

N2a : Metastasis pada satu kelenjar limfa ipsilateral dengan ukuran


diameter lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6 cm.
N2b : Metastasis pada multipel kelenjar limfa ipsilateral dengan diameter
tidak lebih dari 6 cm.
N2c : Metastasis bilateral atau kontralateral kelenjar limfe dengan ukuran
diameter tidak lebih dari 6 cm.
N3

: Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm.

Metastasis Jauh (M)


Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0 : Tidak ada metastasis.
M1 : Terdapat metastasis jauh.

Stadium
Stadium 0

: Tis

N0

M0

Stadium I

: T1

N0

M0

Stadium II

: T2

N0

M0

Stadium III

: T1, T2

N1

M0

T3

N0, N1

M0

: T4

N0, N1

M0

T mana saja

N2

M0

Stadium IVB

: T mana saja

N3

M0

Stadium IVC

: T mana saja

N mana saja

M1

Stadium IVA

2.9. Pengobatan Tumor Ganas Laring


Manajemen pasien kanker laring perlu mempertimbangkan usia pasien,
kondisi umum, keputusan pribadi pasien, fasilitas institusi yang melakukan terapi,
lokasi dan stadium tumor. Sehingga keputusan manajemen kanker laring
melibatkan penilaian multidisiplin (Lee, 2003 dan Concus et al, 2008).
Pengobatan tumor ganas laring dapat berupa operasi, terapi radiasi atau
keduanya (Dolowitz, 1964), dapat juga dengan kemoterapi atau obat-obat
sitostatistika (Hermani dan abdurrachman, 2007).
Sebagai patokan dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium
2 dan 3 dilakukan operasi sedangkan stadium 4 dilakukan operasi dengan
rekonstruksi, bila masih memungkinkan dapat dikirim untuk mendapatkan radiasi
(Hermani dan Abdurrachman, 2007).
Pengobatan dengan operasi tergantung pada lokasi lesi primer dan stadium kanker.
a.

Pengobatan Kanker Laring Stadium Awal


Kanker laring stadium awal (stadium I dan II) dapat diterapi dengan

pembedahan atau radiasi sebagai terapi single modaliti. Pada stadium ini kanker
masih memberikan respon baik terhadap radiasi, reseksi laser transoral atau
operasi laring parsial. Angka kesembuhan primer diperkirakan sekitar 80-85% dan
jika ditambahkan pengobatan lini kedua angka kesembuhan >90% (Concus et al,
2008 dan Lee, 2003).
Terapi radiasi diberikan pada penderita kanker laring glottis dan supraglottis
stadium awal. Terapi ini dilakukan lebih dari 5 sampai 8 minggu. Dengan terapi
radiasi tentu saja akan menurunkan angka kesakitan akibat operasi dan kualitas
suara yang lebih baik setelah terapi meskipun suara tidak akan kembali seutuhnya
seperti semula. Terapi radiasi ini dapat menyebabkan terjadinya kondronekrosis,
edem laring dan kadang- kadang akan menginduksi tumor yang baru (Lee, 2003).

Reseksi laser transoral menggunakan cairan mikrolaringoskop dimana tumor


direseksi dari dari laring dibawah kontrol frozen section (Lee, 2003). Operasi
laring parsial merupakan modalitas primer untuk kanker laring stadium awal
untuk beberapa tahun dengan hasil yang memuaskan, namun operasi ini memiliki
angka kegagalan yang masih tinggi tergantung dari kondisi pasien dan keahlian
dokter yang menangani (Lee, 2003).
b.

Pengobatan kanker laring stadium lanjut.


Kanker laring stadium lanjut ( stadium III dan IV) dapat diterapi dengan

dual-modality yaitu terapi pembedahan dan radiasi.

2.9.1. Terapi Bedah Tumor Ganas Laring


a.

Bedah Mikrolaring
Pembuangan jaringan kanker melalui endoskopi kanker laring dapat dipilih

dengan aman dan efektif dengan penggunaan mikroskop bedah dan instrumen
pembedahan mikrolaringeal.
Laser karbondioksida digunakan dengan laringoskop langsung dan
mikroskop sebagai petunjuk sekaligus digunakan sebagai alat pembedahan. Pada
umumnya pembedahan ini dilakukan untuk lesi supraglottis (Concus et al, 2008).
b.

Hemilaringektomi
Pembedahan ini dapat dilakukan jika (1) tumor subglottis tidak lebih dari 1

cm dibawah pita suara asli, (2) pita suara yang terlibat masih mobil, (3)
Keterlibatan unilateral atau

keterlibatan komisura anterior dan kontralateral

anterior pita suara asli dapat diterapi dengan hemilaringektomi vertikal secara luas,
(4) tumor belum menginvasi kartilago, dan (5) tidak ada keterlibatan jaringan
lunak ekstralaring (Concus et al, 2008).

c.

Laringektomi Supraglottis
Pembedahan ini dilakukan untuk membuang jaringan tumor di daerah

supraglottis atau bagian atas laring. Pembedahan ini dapat dipertimbangkan jika
(1) tumor dengan stadium T1, T2, atau T3 dengan hanya melibatkan preepiglottis,
(2) pita suara masi mobil, (3) kartilago tidak terlibat, (4) komisura anterior tidak
terlibat, (5) pasiem memiliki status pulmonologi yang baik, (6) bagian dasar lidah
tidak terlibat, (7) sinus piriform pre-apex tidak terlibat, dan (8) FEV 1
diprediksikan lebih dari 50% (Concus et al, 2008).
d.

Suprakrikoid Laringektomi
Pembedahan ini masih terbilang baru dan merupakan pengembangan dari

prosedur pembedahan laringektomi supraglottis. Terapi ini dilakukan jika tumor


di lokasi glottis anterior, komisura, atau keterlibatan ruang pre-epiglottis yang
lebih luas (Concus et al, 2008).
e.

Near-Total Laryngectomy
Terapi pembedahan ini merupakan laringektomi parsial yang lebih luas

dimana hanya satu aritenoid yang diselamatkan dan kanal transesofageal


dikonstruksi untuk fungsi bicara.
Pembedahan ini di indikasikan untuk pasien dengan lesi T3 dan T4 tanpa
keterlibatan satu aritenoid, atau dengan tumor tranglottis unilateral dengan fiksasi
pita suara (Concus et al, 2008).
f.

Laringektomi Total
Pembedahan ini di lakukan untuk membuang seluruh jaringan laring yang

terkena, terdiri atas tiroid dan kartilago tiroid, mungkin juga beberapa cincin
trakea bagian atas dan tulang hyoid. Indikasi laringektomi total adalah (1) lesi T3
dan T4 tidak dapat dilakuka parsial laringektomi atau terapi penyelatan organ
dengan kemoterapi, (2) keterlibatan tiroid dan kartilago tiroid secara luas, (3)
terdapat invasi langsung pada jaringan lunak dileher, dan (4) keterlibatan bagian
dasar lidah sampai papila sirkumvalata (Concus et al, 2008).

2.9.2. Terapi Non-Bedah Tumor Ganas Laring


a.

Terapi Fotodinamik
Terapi ini menggunakan photosensitizing agent yang diberikan secara

intravena. Kemudian sinar laser digunakan untuk mengaktifkan photosensitizing


agent dan menginduksi destruksi jaringan tumor. Terapi ini efektif untuk
pengobatan tumor ganas laring stadium awal. Efek samping terapi fotodinamik ini
adalah pasien menjadi sangat sensitif terhdap cahaya, hal ini akan menetap hingga
beberapa minggu setelah pemberian photosensitizing agent. Oleh sebab itu, pasien
harus memakai baju pelindung untuk menghindari sinar matahari selama terapi
(Concus et al, 2008).
b.

Terapi Radiasi
Radiasi diberikan sebagai terapi primer untuk kanker laring atau terapi

tambahan setelah pembedahan. Terapi ini sering dilakukan dengan tekhnik


penyinaran eksternal dengan dosis 6000-7000 cGy yang diberikan pada lokasi
primer tumor. Terapi radiasi pos-operatif dilakukan pada kanker dengan stadium
lanjut, penyebaran tumor ke ekstrkapsular dalam nodus limfa, penyebaran ke
perineural atau angiolimfatik, keterlibatan nodus secara multipel ditingkan leher
(terutama level IV dan V, atau mediastinuum). Efek samping terapi radiasi dalam
jangka pendek akan berakhir sampai 6 minggu setelah terapi.
Efek samping tersebut diantaranya adalah terjadinya mukositis, odinofagia,
disfagia, eritema, dan edema. Efek jangka

panjang diantaranya xerostomia,

fibrosis dan edema. Kadang-kadang efek samping dapat berupa hipotiroidisme,


kondroradionekrosis dan osteoradionekrosis (Concus et al, 2008).

c.

Kemoterapi
Cisplatin dan 5-fluorouracil merupakan dua agen yang paling efektif untuk

pengobatan kanker laring. Kemoterapi dapat digunakan sebagai neoadjuvan secara


simultan dengan radiasi dan juga sebagai adjuvan. Penelitian dengan neoadjuvan
dan kemoterapi intra arterial secara simultan menunjukkan respon lokal tumor
yang bagus pada kasus tertentu, namun juga dapat menyebabkan lokal toksisitas.
Kemoterapi juga dapat digunakan sebagai terapi paliatif pada tumor ganas laring
stadium lanjut. Kemoterapi ini bukanlah terapi lini pertama atau terapi standar
untuk kanker laring stadium awal ( stadium I dan II) (Concus et al, 2008).

3.0. Komplikasi Tumor Ganas Laring


Komplikasi kanker laring menggambarkan modalitas terapi yang digunakan.
Adapun komplikasi tersebut diantaranya (Concus et al, 2008):
a. Gangguan vokal
b. Gangguan menelan
c. Kehilangan penciuman dan perasa
d. Timbulnya fistula
e. Gangguan saluran nafas
f. Kerusakan saraf cranial
g. Kerusakan vaskular
h. Fibrosis jaringan

3.1

i.

Hipotiriodisme

j.

Komplikasi lain seperti hematom dan infeksi.

Pencegahan Tumor Ganas Laring


Tahun 1991, peserta International Works on Perspectives on Secondary

Prevention of Laryngeal Cancer menyebutkan bahwa berhenti merokok dan


mengurangi konsumsi alkohol serta menghindari bahan-bahan karsinogenik dapat
menurunkan terjadinya kanker laring (Adams, 2005).

Anda mungkin juga menyukai

  • Refer at
    Refer at
    Dokumen27 halaman
    Refer at
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen5 halaman
    Presentation 1
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Spiro Metri 1
    Spiro Metri 1
    Dokumen5 halaman
    Spiro Metri 1
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Diskusi mp3
    Diskusi mp3
    Dokumen4 halaman
    Diskusi mp3
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen25 halaman
    Refer at
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Kasus RA (Edit)
    Kasus RA (Edit)
    Dokumen11 halaman
    Kasus RA (Edit)
    amaliakha
    Belum ada peringkat
  • Ca Colorectal
    Ca Colorectal
    Dokumen42 halaman
    Ca Colorectal
    Indah Puspita Sari Pane
    Belum ada peringkat
  • Cover Makalah Anes
    Cover Makalah Anes
    Dokumen1 halaman
    Cover Makalah Anes
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Kolelitiasis
    Kolelitiasis
    Dokumen34 halaman
    Kolelitiasis
    Aulia Dwi Zhukmana
    100% (4)
  • Status Ujian Ortho
    Status Ujian Ortho
    Dokumen8 halaman
    Status Ujian Ortho
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen20 halaman
    Refer at
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Benign Hiperplasia Prostat
    Benign Hiperplasia Prostat
    Dokumen4 halaman
    Benign Hiperplasia Prostat
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Bruce
    Bruce
    Dokumen38 halaman
    Bruce
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Sirosis Hepatis
    Sirosis Hepatis
    Dokumen20 halaman
    Sirosis Hepatis
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Referat Zae
    Referat Zae
    Dokumen20 halaman
    Referat Zae
    ahmadrashwanaziz
    Belum ada peringkat
  • Bahaya Tenaga Nuklir
    Bahaya Tenaga Nuklir
    Dokumen9 halaman
    Bahaya Tenaga Nuklir
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Pter
    Pter
    Dokumen2 halaman
    Pter
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Bagi Yg Mau Nambahin
    Bagi Yg Mau Nambahin
    Dokumen1 halaman
    Bagi Yg Mau Nambahin
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • PLTN
    PLTN
    Dokumen4 halaman
    PLTN
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • HIPOKALEMIA
    HIPOKALEMIA
    Dokumen7 halaman
    HIPOKALEMIA
    donchadoc
    Belum ada peringkat
  • HIPOKALEMIA
    HIPOKALEMIA
    Dokumen7 halaman
    HIPOKALEMIA
    donchadoc
    Belum ada peringkat
  • PTERYGIUM
    PTERYGIUM
    Dokumen1 halaman
    PTERYGIUM
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Case M Fadli Amir 03010191
    Case M Fadli Amir 03010191
    Dokumen24 halaman
    Case M Fadli Amir 03010191
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Audisi Model
    Audisi Model
    Dokumen1 halaman
    Audisi Model
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Referat Osteoporosis
    Referat Osteoporosis
    Dokumen18 halaman
    Referat Osteoporosis
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Nur
    Presentasi Nur
    Dokumen48 halaman
    Presentasi Nur
    sarah_ringo1093
    Belum ada peringkat
  • LAPORANKASUS
    LAPORANKASUS
    Dokumen51 halaman
    LAPORANKASUS
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Case Atikasjah Riza
    Case Atikasjah Riza
    Dokumen36 halaman
    Case Atikasjah Riza
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Pada Orang Normal
    Pada Orang Normal
    Dokumen2 halaman
    Pada Orang Normal
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen4 halaman
    Presentation 1
    Ocisa Zakiah
    Belum ada peringkat