Anda di halaman 1dari 15

1

Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari


Sejumlah Daerah di Indonesia
Eko Prasojo & Teguh Kurniawan
Departemen Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: prasojo1@ui.edu, teguh1@ui.edu

Abstract
One of the biggest difficulties to speed up the solution of the state and nation problem in Indonesia is
caused by the insignificance of the political commitment and competence to carry out bureaucracy reform.
Moreover the bureaucracy is still not regarded as the key factor to the development of the nation. Strong
political leadership is the most important factor to the success of bureaucracy reform. The awareness
towards the importance of bureaucracy reform must come from the president and politician, not from the
bureaucrat itself. In practice of the local government in Indonesia, bureaucracy reform is really determined
by the head of district/regency. Areas that succeeded with the bureaucracy reform have normally
mayor/regent with the strong political commitment, adequate knowledge and competence towards
bureaucracy reform, as well as the experience that were owned. Basically this kind of bureaucracy reform
covered structural reform, procedural reform, human resources reform and relations reform between the
government and the community.
Keywords: Bureaucracy reform, political commitment, head of district/regency (mayor/regent), structural
reform, procedural reform, human resources reform

1. Pendahuluan
Reformasi birokrasi (administrasi negara) dan good governance merupakan dua konsep
utama bagi perbaikan kondisi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Kedua konsep ini merupakan konsep yang saling terkait satu sama lainnya dan
bukanlah merupakan konsep yang relatif baru. Namun demikian, sampai saat ini dan
bahkan sampai tahun-tahun mendatang kedua konsep tersebut akan sangat berperan
dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan
langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui
reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga mampu menjadi tulang punggung dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya, keberhasilan pelaksanaan daripada
reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good governance. Karena
reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance.
Belajar dari berbagai kasus yang ada di dunia Internasional, maka keberhasilan dari
reformasi birokrasi akan sangat tergantung dari adanya komitmen dan national
leadership. Tanpa adanya komitmen dan national leadership akan menyebabkan
gagalnya pelaksanaaan reformasi birokrasi seperti yang terjadi di Indonesia. Terlepas dari
ketiadaan komitmen dan national leadership yang memadai terhadap pelaksanaan
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

2
reformasi birokrasi di tingkat nasional, ternyata sejak digulirkannya era baru otonomi
daerah di Indonesia telah muncul pemimpin di sejumlah daerah seperti Kabupaten
Jembrana dan Kabupaten Sragen yang memiliki komitmen dan leadership untuk
melaksanakan reformasi birokrasi di daerahnya masing-masing. Reformasi birokrasi yang
dilakukan oleh sejumlah daerah ini telah terbukti mampu memberi dampak yang sangat
signifikan dalam pelaksanaan pembangunan di daerahnya.
Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini berupaya untuk membahas masalah reformasi
dan good governance di Indonesia yang ada di sejumlah daerah yang telah berhasil
tersebut. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan perspektif
mengenai reformasi birokrasi dan good governance serta keberhasilan penerapan
reformasi birokrasi dalam rangka mencapai good governance yang ada di sejumlah
daerah di Indonesia.
2. Reformasi birokrasi dan good governance: perspektif teori
Reformasi birokrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi ke negara
maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan prioritas dalam
pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative
development) sekaligus menjadi instrumen penting pembangunan (development
administration). Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut pada umumnya
dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi
kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, dan (2) menata
kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia
(pegawai negeri) serta relasi antara negara dan masyarakat.
Reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya untuk melakukan modernisasi
administrasi pemerintahan. Belajar dari pengalaman beberapa negara, maka kunci dari
keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara.
Sebagai contoh misalnya Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi
peran administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan pada
saat itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property
registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan
social purification movement (Hwang, 2004). Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo
tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregulasi dan simplifikasi
prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi
administrasi. Semua usaha Korea Selatan untuk merevitalisasi administrasi negara
tidaklah sia-sia, karena hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya administrasi negara yang
profesional, bersih dan berwibawa.
Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam kaitan dengan reformasi
birokrasi adalah: (1) modernisasi manajemen kepegawaian, (2) restrukturisasi,
downsizing dan rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi (3) rekayasa proses
administrasi pemerintahan; (3) anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang

Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

3
partisipatif, (4) serta hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan dan pemerintahan.
Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi
sangat relevan utamanya dalam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai.
Sistem birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan publik menghadapi masalah
yang sangat fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang
sekarang diterapkan adalah peninggalan pemerintah kolonial yang juga memiliki dasardasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada
masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil
warga negara (lihat Thoha, 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang
dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat,
bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah
untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan
regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk
memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam
memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya
pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery
culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk
menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture).
Dalam kultur yang demikian, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang umum,
sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan seringkali terabaikan.
Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan dan fungsi administrasi
negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di
Indonesia tidak memiliki visi, kehilangan ruh dan berjalan sangat sporadis. Sampai
sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi
birokrasi karena tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. Semua bentuk reformasi
yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi.
Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan,
tetapi juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen
pembangunan.
Modernisasi dan reformasi birokrasi dapat meliputi aspek eksternal dan internal. Dalam
aspek eksternal, reformasi dan modernisasi birokrasi diletakkan pada penciptaan kontrak
baru antara birokrasi dan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat
dan tanggung jawab pelayanan publik. Dalam aspek internal, reformasi dan modernisasi
birokrasi di Indonesia dapat diletakkan pada tiga titik tekan yaitu: debirokratisasi struktur
internal birokrasi, modernisasi proses internal birokrasi, dan peningkatan kemampuan
aparat birokrasi.
Reformasi birokrasi bukanlah sekadar perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Lebih
dari itu reformasi birokrasi harus meliputi perubahan sistem politik dan hukum secara
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

4
menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta
perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta partai politik. Harus terdapat
kejelasan batas antara pejabat karir dan pejabat politik baik birokrasi pusat maupun
daerah. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi pejabat politik dalam birokrasi.
Sebagaimana diterapkan di negara-negara maju, maka pejabat politik hanya
dimungkinkan jika dipilih secara langsung rakyat atau mendapatkan persetujuan dari
pejabat yang dipilih oleh rakyat. Profesionalitas dan netralitas birokrasi karena itu harus
merupakan sasaran utama reformasi birokrasi. Hal terpenting dalam reformasi birokrasi
adalah komitmen dan national leadership. Tanpa komitmen baik dari eksekutif, legislatif
dan yudikatif, reformasi birokrasi hanyalah blueprint yang berada dalam ruang vakuum.
Good governance
Konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya
memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sektor publik dan sektor privat
menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari
negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan
pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga
memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik
(Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan
jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi
keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004).
Terminologi governance menjadi lebih mengemuka dengan adanya studi yang
dilaksanakan oleh Bank Dunia pada tahun 1989. Dalam studi ini, terminologi governance
didefinisikan sebagai "the exercise of political power to manage an nation's affair"
(World Bank, 1989). Sejak publikasi Bank Dunia tersebut, terminologi governance
menjadi populer dan dijadikan sebagai kriteria dalam bantuan pembangunan kepada
negara-negara berkembang. Berbeda dengan terminologi government yang hanya
meliputi bentuk instutitional-formal negara dan birokrasi, maka istilah governance juga
meliputi proses dinamis manajemen pemerintahan, hubungan antar institusi dan
organisasi di dalam pemerintah, serta hubungan antara pemerintah dengan sektor publik,
masyarakat sipil dan inisiatif swasta. Terminologi governance dengan demikian
merupakan tradisi, institusi dan proses determinasi penyelenggaraan kekuasaan negara
yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta berdasarkan kepada
kepentingan publik.
Beranjak dari terminologi dan definisi governance, Bank Dunia menuliskan good
governance sebagai berikut:
"good governance is central to creating and sustaining an environment which
fosters strong and equitable development (...). They establish the rules
that make markets work efficiently and, more problematically, they correct for
market failure (...) This in turn requires systems of accountability, adequate
and reliable information, and efficiency in resource management and the
delivery management."

Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

5
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsepsi good governance meliputi
pemerintah (atau negara) yang berdasarkan kepada hukum (rules), transparansi,
akuntabilitas, reliabilitas informasi, serta efisiensi dalam manajemen pemerintahan.
Disamping itu, konsepsi good governance saat ini mengalami perluasan isi, sehingga
meliputi juga aspek berfungsinya pasar dan sektor swasta serta partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan bantuan
pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNDP mengembangkan lebih lanjut
kriteria good governance dan meliputi: "participation, rule of law, transparency,
responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability,
strategic vision" (Hill, 2000). Dari berbagai literatur mengenai good governance yang
dikembangkan oleh berbagai institusi intemasional, kriteria good governance saat ini
dapat disimpulkan sebagai pemerintahan yang berbasis kepada:
"constitutional legitimacy, democratic elections, respect for human rights,
rule of the law, political openness, predictability and stability of laws, tolerance,
equity, public participation, public expenditures directed to public purposes,
judicial independence, transparency, absence of corruption, active independent
media, freedom of information, administrative competence, administrative
neutrality and accountability to public interests on issues of public
concern"
Pengertian good governance di atas sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler (2003)
yang mengatakan bahwa good governance mengusung sejumlah isu seperti: keterlibatan
stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan lainnya);
etika dan perilaku jujur; akuntabilitas; serta keberlanjutan.
Hubungan material reformasi birokrasi dan good governance
Upaya pencipataan good Governance sangatlah dipengaruhi oleh adanya komitmen dan
national leadership. Komitmen dan national leadership ini merupakan faktor kunci
keberhasilan good governance. Ambil saja misalnya reformasi birokrasi sebagai bagian
dari upaya penciptaan good governance di Jerman pada tahun 1867 (Prasojo, 2003a).
Adalah Otto von Bismarck yang memiliki peran sangat besar dalam proses pembaharuan
birokrasi Jerman yang masih dirasakan sampai saat ini. Komitmen dan national
leadership Bismarck ini bahkan melahirkan pemikir-pemikir Birokrasi dunia. Sebut saja
misalnya Max Weber, Otto von Meyer, dan Freiherr-vom-Stein. Weber dengan karyanya
yang monumental Birokrasi, Meyer dengan Akte Administrasi (Verwaltungsakt), dan
vom Stein dengan otonomi komunal (kommunale Selbstverwaltung). Kelahiran dan
reformasi birokrasi tidak mungkin berhasil tanpa komitmen dan national leadership.
Ada dua arah yang harus dituju oleh komitmen dan national leadership dalam penciptaan
good governance di Indonesia. Pertama, komitmen untuk melakukan modernisasi
birokrasi, dan kedua, komitmen untuk menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran
birokratis mulai dari mal-administrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua komitmen
ini harus diberikan tidak saja oleh Pemerintah, dan terutama Presiden sebagai Kepala
Negara, tetapi juga oleh Lembaga-lembaga tinggi lainnya.

Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

6
Penciptaan good governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas,
responsivitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara (Prasojo,
2003a). Dan inti dari upaya penciptaan good governance terletak pada reformasi
birokrasi. Tidak adanya akuntabilitas dalam birokrasi di Indonesia merupakan faktor
pendorong untuk melakukan reformasi birokrasi di Indonesia. Ketiadaan akuntabilitas ini
menyebabkan penggunaan birokrasi sebagai mesin kekuasaan pemerintah. Akuntabilitas
dalam birokrasi dimaksudkan, bahwa setiap aktivitas dan penggunaan dana yang
dilakukan oleh pemerintah untuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Otonomi daerah: pendorong good governance
Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah
organisasi modern, baik dalam organisasi publik maupun dalam organisasi non publik.
Dalam sebuah sistem negara (baik dalam negara federal maupun negara kesatuan), kedua
konsepsi ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah (atau negara bagian). Karena itu, tidak kita temukan sebuah negara
yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya dengan desentralisasi. Meningkatnya
kompleksitas kehidupan masyarakat dalam ruang globalisasi tidak menyurutkan peran
negara pusat sebagai motor dan moderator antara negara nasional dan negara
internasional. Peran negara pusat tersebut, tercakup dalam konsepsi sentralisasi.
Sebaliknya, menguatnya identitas masyarakat lokal (lokalisasi) menuntut ruang gerak
pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus
kebutuhannya sendiri. Tuntutan inilah yang melahirkan program desentralisasi.
Globalisasi dan lokalisasi (disebut juga dengan glokalisasi) adalah dua kekuatan dalam
masyarakat yang bergerak dalam arah berlawanan tetapi saling mempengaruhi. Refleksi
keduanya terkandung dalam sentralisasi dan desentralisasi. Meskipun sentralisasi dan
desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu ada dalam sistem negara, terdapat
beberapa kewenangan dan urusan yang tabu untuk didesentralisasikan. Kewenangan
tersebut lazimnya berkaitan dengan keutuhan kedaulatan negara serta kesatuan hukum
dan ekonomi nasional. Diantara kewenangan tersebut antara lain; kewenangan luar negeri,
kewenangan pertahanan dan keamanan dan kewenangan peradilan. Sebaliknya, terdapat
beberapa kewenangan, yang karena tuntutan efisiensi, efektivitas dan kedekatan
partisipasi masyarakat, diselenggarakan oleh pemerintah daerah (atau negara bagian).
Pada awalnya, konsepsi desentralisasi politik (dikenal juga sebagai devolusi) dapat
dipahami sebagai pendelegasian kewenangan dan tugas-tugas pemerintahan kepada unitunit pemerintahan di daerah yang memiliki independensi terhadap pemerintah pusat.
Kontrol pemerintah pusat lazimnya bersifat tidak langsung dan bertindak hanya sebagai
supervisor (Rondinelli, Nellis, Cheema, 1983). Desentralisasi politik menurut definisi
tersebut memiliki lima karakter: pertama, unit desentralisasi harus memiliki otonomi dan
independensi, kedua unit desentralisasi memiliki batas-batas territorial yang ditentukan
secara legal formal, ketiga memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan, keempat memiliki organ dan struktur organisasi untuk
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, dan kelima unit desentralisasi merupakan
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

7
bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem suatu negara, sehingga secara
fungsional dan struktural harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Berbeda dengan desentralisasi administrasi (dikenal sebagai dekonsentrasi), dimana unit
desentralisasi hanya memiliki kewenangan untuk mengurus (authority to manage), dan
secara struktural merupakan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, maka dalam
konsepsi desentralisasi politik unit-unit desentralisasi memiliki kewenangan mengatur
dan mengurus (authority to regulate and to manage) sekaligus memanfaatkan sumber
daya (manusia dan alam) untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang
didelegasikan kepadanya.
Desentralisasi politik dengan demikian, merupakan proses politik dalam perubahan dan
pembangunan suatu bangsa dan dijadikan sebagai instrumen politik untuk memperkuat
participatory
democracy
(Pitschas,
2001).
Tujuan-tujuan
yang
akan
dicapai dalam desentralisasi politik itu sendiri sangatlah luas. Hal ini meliputi antara lain
konsolidasi dan dukungan proses demokratisasi, impuls dan motor kompetisi dan
percepatan pembangunan ekonomi, pengurangan arus urbanisasi, pemenuhan kepuasaan
sosial, kultural dan religius, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta kedekatan
antara birokrasi dan masyarakat. Struktur negara sentralistis-hierarkis, sebagaimana yang
dapat dilihat di sebagian besar negara-negara berkembang dan negara-negara
transformasi seringkali tidak sejalan dengan proses dinamis perubahan masyarakat,
birokrasi dan negara. Struktur negara sentralistis hierarkis semacam ini tidak memiliki
fleksibilitas dan kemampuan adaptasi situatif sebagai prasayarat perubahan masyarakat.
Perubahan dari negara berstruktur sentralistis-hierarkis menjadi negara terdesentralisasi
secara politis, harus berbasis kepada asumsi, bahwa negara tidak hanya menjadi aktor dan
subyek pembangunan, tetapi juga secara bersamaan menjadi obyek pembangunan dan
reformasi. Atas landasan tersebut, desentralisasi politik dimaksudkan untuk mengurangi
dan atau menghapus defisit struktur sentralistis-birokratis yang selama ini diterapkan oleh
negara-negara berkembang. Desentralisasi politik dengan demikian, tidak hanya
menjadi mode penyelenggaraan negara" dalam kaitannya dengan bantuan
pembangunan intemasional, tetapi juga memberikan kerangka dasar dan arahan kepada
pemerintah pusat untuk melakukan reformasi dan modernisasi.
Secara global, desentralisasi merupakan sebuah isu yang berkembang baik secara teoritik
dan praktek dalam ranah administrasi publik. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait
dengan bantuan-bantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat
proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah sejak lama bersamaan dengan
mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian,
pada saat ini isu tersebut semakin kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia.
Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu
yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang vacuum.
Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980). Bahkan sejak kita merdeka,
berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

8
terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi
terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein,
1995). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki
ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah
kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan,
bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo,
2005). Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut
sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi lainnya,
pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya
perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan
ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak
hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22
tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.
Desentralisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan
bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi publik berperan penting untuk ikut
menentukan konstruksi hubungan pusat dan daerah di Indonesia, juga ikut membangun
kapasitas pemerintahan daerah. Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan
akan berlanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung
substansi yang sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan
efektif, juga untuk meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.
Penyelenggaraan desentralisasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian
digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 diharapkan dapat memberikan sejumlah efek
positif terhadap fungsi pelayanan birokrasi di Daerah dengan sejumlah alasan: pertama,
melalui desentralisasi jalur birokrasi Pusat ke Daerah menjadi lebih singkat; kedua,
proses debirokratisasi negara melalui desentralisasi akan memperkuat basis participatory
democracy; ketiga, debirokratisasi negara akan meningkatkan kompetisi antar Daerah;
keempat, melalui kompetisi akan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab birokrasi
dalam pelayanan publik untuk mempercepat proses pembangunan di daerah; serta kelima,
desentralisasi akan menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good
governance yaitu Pemerintahan Daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas,
participatory democracy dan rule of law (Prasojo, 2003b). Dengan kata lain,
implementasi elemen-elemen dari good governance tersebut dapat dilakukan dengan
efektif jika unit-unit Desentralisasi menjadi motor dan katalisator pembangunan dan
perubahan di Daerah. Dengan demikian, desentralisasi politik dan dukungan Administrasi
Publik lokal menjadi salah satu instrumen penting dalam pengimplementasian good
governance. Hanya saja kondisi ini hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik dapat
dipahami sebagai instrumen demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak hanya
sekedar sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain itu, upaya
mewujudkan good governance tidak bisa dilepaskan dari usaha mereformasi birokrasi
(Prasojo, 2003b). Dalam artian bagaimana mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk
dapat mendukung impelementasi dari prinsip-prinsip good governance tersebut.
Karenanya, pembaruan birokrasi daerah tidak dapat dihindarkan dan merupakan
keharusan.
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

Perbaikan dan pembaruan birokrasi pemerintah daerah ini harus diarahkan pada tiga
kepentingan: pertama untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada
masyarakat sebagai pembayar pajak. Kedua mempertanggungjawabkan penerimaan
maupun penggunaan sumber-sumber keuangan publik, dan ketiga untuk meningkatkan
efisiensi dan effektivitas internal instansi pemerintah dan terutama untuk menjadikan
anggaran publik sebagai salah satu basis pengambilan keputusan (management control).
Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai basis penciptaan
local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa masalah.
Ketidakmampuan Daerah secara personal dan finansial dapat menjadi hambatan
keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses transformasi dari sistem
yang sentralistis-hirarkhis menjadi desentralistis-partisipatif tidak memiliki kejelasan
peraturan pelaksanaan di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hukum harus menjadi dasar
proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance. (Prasojo, 2003)
Faktor lainnya yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi menurut Rondinelli
(1983) adalah: (1) kuatnya dukungan politik dan administratif dari Pemerintah Pusat; (2)
pengaruh perilaku, tingkah laku dan budaya; (3) faktor-faktor organisasi; (4) sumberdaya
keuangan, manusia, dan fisik yang cukup dan memadai.
Meskipun demikian, dalam kebanyakan praktek di negara-negara berkembang,
desentralisasi politik ditempatkan lebih sebagai instrumen efisiensi dan efektivitas dalam
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, katimbang sebagai instrumen peningkatan
demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, secara prinsipial
desentralisasi politik dipahami sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan
publik. Pemahaman dan praktek semacam ini tidaklah mengherankan, karena konsepsi
good governance oleh Bank dunia memang bersifat teknis dan bukan politis. Atas dasar
asumsi itu, tidak sukar untuk dipahami bahwa diskusi mengenai desentralisasi lebih erat
berkaitan dengan modernisasi administrasi dan negara melalui paradigma baru New
Public Management (Reinermann, 1993). Sejalan dengan perkembangan pemahaman
demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, konsepsi awal good
governance yang notebene berkiblat kepada sistem anglosaxon (rule of law) tidak lagi
memenuhi tuntutan tersebut. Atas dasar itulah, negara-negara Eropa Kontinental
mengembangkan perspektif baru good governance yang lebih menekankan pada aspek
demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Prasojo, 2003a).
4. Kasus reformasi di sejumlah daerah (Kabupaten Jembrana dan Kabupaten
Sragen)
Kabupaten Jembrana
Dalam konteks reformasi birokrasi dan good governance, terdapat sejumlah program
inovasi di Kabupaten Jembrana yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya di
Indonesia. Sejumlah program tersebut dibagi empat kelompok bidang yakni bidang
pendidikan; perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan; pertanian; serta perizinan
dan struktur pemerintahan.
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

10

Dalam bidang pendidikan, terdapat lima program yaitu: pembebasan biaya sekolah SD
SMU Negeri dan program beasiswa untuk siswa SD SMU Swasta;
pembangunan/perbaikan gedung sekolah dengan pola block grant dan regrouping
sekolah; pemberian beasiswa kepada guru untuk melanjutkan pendidikan; peningkatan
kesejahteraan guru melalui penambahan insentif tambahan; serta penyelenggaraan
sekolah kajian untuk mencetak anak didik yang memiliki disiplin tinggi, budi pekerti,
keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta mempunyai wawasan global.
Dalam hal pembangunan/perbaikan gedung sekolah negeri baik berupa ruang kelas baru
atau ruang penunjang lainnya, maka pola yang dipilih untuk dilaksanakan adalah melalui
pola block grant bukan proyek seperti yang selama ini biasa dilakukan di daerah-daerah
lainnya. Pola ini dilakukan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat melalui
komite sekolah yang ada, sehingga pembangunan sarana dan prasarana pendidikan
tersebut diharapkan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Melalui pola ini,
Pemerintah Kabupaten hanya memfasilitasi dan memberikan bantuan berupa dana atau
material untuk bangunan yang akan direhab/buat. Pemilihan pola block grant dilakukan
selain untuk memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat juga bertujuan untuk
melakukan efisiensi dan pemanfaatan dana yang lebih optimal dengan sasaran akhir yang
lebih maksimal. Dengan pola ini diharapkan dapat dilaksanakan rehab/perbaikan gedung
SD, SMP, maupun SMU dengan menggunakan biaya dari APBD dan DAK yang minimal
namun dengan hasil yang lebih optimal.
Dalam bidang perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan, terdapat sembilan program
yaitu: dana bergulir; pemberian alat kerja kepada kelompok masyarakat; pelatihan dan
penempatan kerja di kapal pesiar; pelatihan dan pemagangan kerja di Jepang; info bursa
tenaga kerja di Dinas Kependudukan, pembebasan biaya pembuatan KTP dan Akte
Kelahiran; undian berhadiah KTP; serta asuransi kematian bagi pemegang KTP.
Dalam bidang pertanian, terdapat tiga program yaitu: program inovasi dalam pemberian
dana talangan kepada KUD untuk membeli gabah petani, pemberian dana talangan
kepada petani cengkeh, dan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk areal pertanian.
Dana talangan pemberian gabah petani dilakukan dalam rangka mengatasi kesulitan
petani terkait dengan murahnya harga gabah pada waktu musim panen raya. Program ini
dilakukan dengan pola kemitraan antara Pemerintah Kabupaten, KUD dan Kelian Subak.
Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan dana kepada KUD yang kekurangan dana
ntuk membeli gabah petani melalui Kelian Subak. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten
membeli beras dari KUD untuk memenuhi kebutuhan beras PNS. Selain untuk untuk
menanggulangi anjloknya harga gabah petani pada musim panen puncak, program ini
juga bertujuan agar KUD sebagai lembaga pemasaran (tata niaga) beras/gabah dapat
menampung gabah petani, dan menciptakan rasa agar masyarakat Jembrana lebih
mencintai dan memanfaatkan produksi petani lokal. Sejumlah manfaat yang dirasakan
dari keberadaan program ini antara lain adalah harga gabah petani yang tidak lagi anjlok
meskipun pada saat musim panen puncak, KUD dapat lebih berperan sebagai lembaga
pemasaran hasil pertanian utamanya gabah/beras karena mendapat bantuan dana dari
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

11
Pemerintah Kabupaten berupa uang muka pembayaran beras bagi PNS, serta Pemerintah
Kabupaten sendiri dapat memenuhi kebutuhan beras bagi PNS dilingkungannya dengan
harga sesuai kesepakatan.
Dalam bidang perizinan dan struktur pemerintahan terdapat enam program, yaitu:
pelayanan izin satu atap, perubahan struktur organisasi Pemerintah Kabupaten sesuai
dengan PP 8/2003; absensi pegawai Pemerintah Kabupaten dengan menggunakan
handkey; pembentukan tim owner estimate (OE) dalam pengadaan barang dan jasa;
pemberian insentif tahunan bagi pegawai Pemerintah Kabupaten; dan pembatasan
penggunaan kendaraan dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana.
Tim Owner Estimate (OE) adalah sebuah tim yang dibentuk oleh Bupati untuk menilai
nilai sebenarnya dari suatu proyek pengadaan barang dan jasa. Dengan adanya tim OE ini
dapat dilakukan efisiensi penggunaan dana dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang
dan jasa tanpa mengurangi spesifikasi dan volume dari proyek pengadaan barang dan jasa
tersebut. Penggunaan tim OE ini juga didukung oleh kebijakan Bupati untuk
mensentralisasikan proyek pengadaan barang dan jasa melalui 1 (satu) pintu di tingkat
Kabupaten, dan adanya nilai standar yang sama dalam belanja barang yang dilakukan
oleh unit-unit di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Standar harga tersebut
dibuat melalui sebuah survei harga pada sejumlah tempat/toko dan senantiasa
diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Kabupaten Sragen
Seperti halnya di Kabupaten Jembrana, di Kabupaten Sragen terdapat sejumlah program
inovasi di Kabupaten Sragen yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya di
Indonesia. Sejumlah program tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar program yakni
program reformasi birokrasi sebagai wujud pembenahan aspek-aspek internal
kelembagaan pemerintahan daerah, program re-engineering pelayanan publik dengan
penataan pelayanan prima dalam fasilitasi dan pemberian dukungan terhadap upaya
masyarakat membangun diri sendiri, serta program pemberdayaan masyarakat & PNS
dengan paket-paket program yang mendorong masyarakat dan PNS menjadi maju dengan
kapasitas yang mereka miliki.
Dalam bidang reformasi birokrasi, program yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten Sragen terbagi dalam berbagai aspek yakni aspek struktur pemerintahan,
aspek budaya SDM pemerintahan, aspek e-government serta aspek pengelolaan anggaran
daerah. Pada aspek struktur pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan
berbagai program seperti: restrukturisasi satuan kerja perangkat daerah yang miskin
struktur tapi kaya fungsi dan sesuai dengan kebutuhan daerah; pembentukan lembaga
adhoc seperti marketing unit dan engineering services yang tidak masuk struktur tetapi
mengemban fungsi yang justru menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan
lainnya secara lebih optimal; serta pengembangan fungsi satuan kerja sebagai sebuah
korporasi yang mengusung fungsi sosial. Dalam hal ini satuan kerja diupayakan
menjalankan berbagai fungsi sebagai pusat pendapatan (revenue center), pusat produksi
(production center) dan pusat pelatihan (training center).

Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

12
Fungsi pemerintah sebagai pusat pendapatan dimanifestasikan dengan mengupayakan
segala program yang dapat mendatangkan penghasilan tambahan yang sah bagi
Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai suatu lembaga pemerintahan sekaligus bagi
pegawai yang beraktivitas di dalamnya. Dijalankannya fungsi pemda sebagai revenue
center bukan hanya menutupi kekurangan pemasukan atau PAD melainkan juga
membalik citra negatif pemda sebagai sumber pengeluaran (cost-center). Sementara itu,
fungsi sebagai pusat produksi dan pusat pelatihan dilaksanakan melalui sinergi dengan
agenda pemberdayaan masyarakat yang banyak diemban satuan kerja lain, misalnya
Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) melalui pembentukan production &
training center seperti Sragen Javaniture.
Pada aspek budaya SDM pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan
berbagai program seperti: komunikasi intensif dalam rangka internalisasi nilai-nilai
pelayanan publik dalam pengelolaan roda pemerintahan sehingga memiliki citra positif di
masyarakat; pemberlakuan sistem handkey dalam absensi pegawai; pendirian klinik
terapi holistik dalam mewujudkan kesejahteraan lahiriah-batiniah pegawai;
pengembangan assessment center guna menciptakan mekanisme penilaian pegawai yang
lebih akurat dan terukur; serta membuka peluang wirasusaha bagi PNS dalam rangka
turut meningkatkan kesejahteraan pegawai.
Pada aspek e-government, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai
program seperti: pembangunan jaringan pemerintahan secara online dengan perangkat
wireless; pengoperasian teleconference sampai ke tingkat desa/kelurahan dalam rangka
memperlancar hubungan komunikasi di lingkungan pemerintah kabupaten; pembangunan
data kependudukan sipil secara elektronik dengan menggunakan single identity number;
serta dengan mengembangkan mekanisme pemilihan kepala desa secara elektronik.
Pada aspek pengelolaan anggaran daerah, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan
program efisiensi anggaran. Hal ini diterapkan dengan penekanan belanja dinas-dinas
yang diarahkan pada sasaran yang jelas dan bisa dioptimalkan. Sejumlah kegiatan dan
belanja lainnya yang sebelumnya membutuhkan anggaran dalam jumlah tertentu bisa
diturunkan tanpa mengurangi kualitas pencapaian tujuan kegiatan tersebut.
Dalam bidang pelayanan prima, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai
program seperti: pelayanan dengan konsep small management dengan melimpahkan
sebagian kewenangan dan fungsi pemerintahan kabupaten ke kecamatan dan
desa/kelurahan; mengembangkan wisata pelayanan publik; serta membebaskan biaya
pembuatan akte kelahiran dan pengurusan Surat Ijin Usaha bagi pengusaha pemula.
Dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan PNS, program yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten Sragen terdiri dari program penyehatan lingkungan seperti
pengeloaan sampah terpadu serta sejumlah program dalam bidang pertanian. Program
dalam bidang pertanian ini diantaranya meliputi program revitalisasi pertanian organik;
peningkatan teknologi pertanian; pengembangan homebase pengelolaan padi;
pengembangan simbiosis antara petani dengan PNS penyuluh pertanian; diversifikasi
usaha pekerjaan petani; peternakan kandang komunal; pengembangan kluster peternakan
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

13
ikan; persiapan alih profesi petani penggarap; serta pengembangan area wisata terpadu di
kawasan waduk Kedung Ombo.
5. Penutup: faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi di
daerah dan upaya kedepannya
Belajar dari pengalaman yang ada di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Sragen,
terdapat sejumlah faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi di
daerah-daerah tersebut.
Pertama, political will dan komitmen dari Kepala Daerah sebagai pimpinan tertinggi
birokrasi di daerah untuk melaksanakan program. Dimulai dengan membangun kesamaan
visi, misi dan tujuan dengan aparat birokrasi, kepercayaan dan keterlibatan birokrasi
dalam pelaksanaan program sangat menentukan. Artinya kemauan dan komitmen politik
dari Bupati saja tidak cukup tanpa dukungan dan motivasi aparat birokrasi untuk
melaksanakan program tersebut. Apalagi jika terdapat sejumlah orang dalam internal
birokrasi yang kontraproduktif terhadap gagasan dan pelaksanaan program.
Kedua, kemampuan Kepala Daerah beserta aparat untuk melibatkan organisasi lokal
seperti lembaga dan tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan prioritas juga dalam pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi program. Dengan keterlibatan semua pihak dalam program,
akan meningkatan dukungan politik, motivasi dan penerimaan masyarakat terhadap
program. Struktur sosial dan budaya lokal yang akomodatif, merupakan faktor penguat
keberhasilan program.
Ketiga, adanya program efisiensi pembangunan di semua sektor serta upaya
mengubah paradigma dan budaya birokrasi. Pelaksanaan program pada awalnya akan
merupakan cost center karena membutuhkan anggaran yang relatif besar. Untuk itu,
diperlukan efisiensi terhadap semua sektor guna memenuhi kebutuhan pembiayaan ini.
Disamping komitmen terhadap efisiensi, perlu dibuat grand strategy seperti mekanisme
kontrol harga dalam pembelanjaan barang dan pembelanjaan yang seminimal mungkin
(prinsip kewirausahaan dalam pemerintahan). Hal lainnya yang harus dilakukan adalah
terkait dengan paradigma dan budaya aparat birokrasi yang harus diubah sehingga dapat
mendukung secara optimal keberadaan inovasi program. Keberhasilan program salah
satunya ditentukan oleh dukungan paradigma dan budaya aparat birokrasi dalam
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Upaya mengubah paradigma dan
budaya aparat birokrasi ini juga menjadi hal yang signifikan mengingat tantangan yang
semakin besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah di era era governance saat ini. Di
era ini, aparat pemerintah daerah harus mampu berinteraksi secara memadai dengan
berbagai stakeholder dan mengubah pola interaksinya sebagai mitra daripada sebagai
penguasa.
Keempat, pemilihan prioritas program. Keberhasilan dari program juga ditentukan
oleh keberpihakan program-program tersebut terhadap kebutuhan masyarakat. Karenanya,
dalam pengembangan suatu program perlu diperhatikan sejauhmana program tersebut
Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

14
sangat dekat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan
keterkaitan dan sinergitas antara satu program dengan program lainnya.
Dari sejumlah faktor tersebut, maka peranan kepemimpinan merupakan faktor yang
sangat menentukan. Karenanya yang perlu dilakukan untuk dapat mendorong reformasi
birokrasi dan good governance di daerah lainnya adalah bagaimana kita dapat turut
memastikan terpilihnya figur-figur yang memiliki komitmen dan kepemimpinan terhadap
reformasi birokrasi untuk dapat menjadi Kepala Daerah. Karenanya momentum
pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat menjadi batu pijakan utama guna
mewujudkan kondisi itu. Selain itu, partisipasi secara aktif dari masyarakat serta
keberadaan aturan perundang-undangan yang memadai terkait reformasi birokrasi dan
good governance yang akan menjadi payung dalam proses pelaksanaan reformasi
birokrasi dan good governance tersebut..
Referensi
Bovaird, Tony and Elke Loffler (Eds.), 2003, Public Management and Governance, New
York: Routledge
Ewalt, Jop Ann G, 2001, Theories of Governance and New Public Management: Links
to Understanding Welfare Policy Implementation, paper prepared for presentation
at the Annual Conference of the American Society for Public Administration
Hill, Herman, 2000, Good Governance, in Herman Hill and Helmut Klages, Good
Governance und Qualitatsmanagement - Europaische und internationale
Entwicklungen, Speyer
Hoessein, Bhenyamin, 1995, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke
Demokrasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Depok: Universitas Indonesia
Hwang, Yunwon, 2004, Reform: Concepts, Theories, and Issues in Korea, paper
presented in International Seminar: Indonesia: Challenges in the 21st Century Civil
Society, Administrative Culture and Governance Issues, Jakarta
Kurniawan, Teguh, 2007a, Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari Perilaku
Model Klasik dan NPM ke Good Governance, Jurnal Ilmu Administrasi Negara
(JIANA), Volume 7, No. 1
Kurniawan, Teguh, 2007b, Mewujudkan Good Governance di Era Otonomi Daerah:
Perspektif UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, makalah,
dipresentasikan dalam 1st Accounting Conference, FE UI Depok
Mackie, J.A.C. (editor), 1980, Integrating and Centrifugal Factors in Indonesian Politic
since 1945: The Making of Nation, Canberra: ANU
Pitschas, Rainer, 2001, Dezentralisierung und Good Governance - Zivilgesellschaftliche
Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat in Walter Thomi, Markus
Steinich and Winfried Polte (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem:
Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, BadenBaden
Prasojo, Eko, 2003a, Politische Dezentralisierung in Indonesia: Die Foderalismusdebatte
in Politik- und Rechtsvergleich, Frankfurt:

Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

15
Prasojo, Eko, 2003b, Agenda Politik dan Pemerintahan Daerah di Indonesia:
Desentralisasi Politik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance, Bisnis &
Birokrasi, Volume XI, No. 1
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam
Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan
Administrasi Daerah dan Kota DIA FISIP UI
Prasojo, Eko, 2005, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004
dan Good Governance, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin, 2007, Reformasi dan Inovasi
Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Jakarta: Yappika dan Depok: Departemen
Ilmu Administrasi FISIP UI
Reinermann, Heinrich, 1993, Ein Neues Paradigma fur die offentliche Verwaltung?,
Speyerer Hefte, Speyer
Rondinelli, Dennis A, John R Nellis and G Shabbir Cheema, 1983, Decentralization in
Developing Countries: A Review of Recent Experience, World Bank Staff Working
Papers Number 581, Washington
Stoker, Gerry, 2004, New Localism, Participation and Networked Community
Governance
Thoha, Miftah, 2003, Reformasi Birokrasi Pemerintah, makalah, disampaikan dalam
Seminar
World Bank, 1989, Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth, A LongTerm Perspection Study, Washington

Tulisan ini dipresentasikan dalam the 5 th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia,
Banjarmasin. 22-25 Juli 2008

Anda mungkin juga menyukai