Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian bahwa kejahatan tersebut memang
benar terjadi. Adanya kaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual dapat
dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) serta KUHAP (Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana) yang memuat
ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam
pengertian kasus kejahatan seksual tersebut.1
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan
persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan: Dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat
penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu
pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang
kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan
menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli
dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang
dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan
dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan
pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.1,2
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta pembuktian
apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat
hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya,
visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro
yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu

yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu
menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik- baiknya.1,2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PERKOSAAN
2.1.1. DEFINISI
Pengertian perkosaan tidak sama untuk setiap negara atau ahli yang
membahasnya. Ada yang mendefinisikan sebagai persetubuhan tanpa seizing
perempuan atau di luar kemauan korban, yang lain menyebut perkosaan
adalah suatu tindakan criminal apabila si pemerkosa memakai kekerasan dan
korban memberi perlawanan sampai saat- saat terakhir. 2
Narayan Reddy ( India) menghubungkan dengan ketentuan hukum yang
berlaku di India menyatakan laki-laki dapat dituduh melakukan perkosaan bila
dilakukan :
1) Diluar kehendak perempuan
2) Tanpa persetujuannya
3) Dengan persetujuan perempuan bila dilakukan dengan ancaman kekerasan
atau kematian terhadap perempuan atau orang yang disayanginya
4) Menipu perempuan dalam keadaan tidak sadar atas apa yang terjadi pada
dirinya seperti dibawah pengaruh obat-obatan.
5) Dengan atau tanpa persetujuan bila perempuan berumur dibawah 16 tahun

Perkosaan aalah istilah hukum bukan istilah medis. Dokter tidak dapat
menggunakan istilah perkosan dalam visum, karena ia tidak dapat menentukan
apakah persetubuhan dilakukan tanpa perstujuan perempuan dilakukan secara
paksa.
Di Indonesia pengertian perkosaan harus disesuaikan dengan ketentuan
hukum yang terdapat dalam KUHP pasal 285, 286 dan 287. Perkosaan adalah
istilah hukum bukan medis. 2

2.1.2. DASAR HUKUM


Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV
KUHP, yaitu bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan;2,3,4,5,6

KUHP pasal 285


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
Yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah dengan kekerasan
memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia. Oleh
karena itu dalam pemeriksaan kasus perkosaan yang diperlukan dari dokter
adalah pembuktian telah terjadi persetubuhan dan adanya tanda-tanda
kekerasan serta jenis kekerasan.

KUHP pasal 286


Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
Dalam pasal ini dikatakan bahwa persetubuhan yang dilakukan pada
perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya juga perbuatan yang
melanggar hukum yang dapat dipidana. Bagian inilah yang diperlukan dari
dokter agar ketentuan hukum ini dapat diterapkan, yaitu adanya bukti medis
yang menyatakan korban disetubuhi dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya. Anamnesa kepada korban dapat dipakai sebagai petunjuk untuk
melakukan pemeriksaan kearah ini. Bila pemeriksaan dilakukan segera setelah
persetubuhan mungkin dokter masih mendapatkan tanda-tanda yang
mendukung keadaan pingsan atau tidak berdaya. Apakah korban sedang atau
baru sadar dari pengaruh obat (hipnotik, narkotik, ekstasi)atau alkohol.
Pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan laboratoriunm (urine, darah
atau bahan yang dimuntahkan korban). Harus diperhatikan apakah korban
tidak berdaya karena perbuatannya sendiri. Misalnya korban memang
kehilangan kontrol dirinya karena mabuk-mabukan atau pengaruh obat. Sebab,
bila itu karena perbuatan terdakwa, maka ia dijerat oleh pasal 89 KUHP.
Bila telah berlangsung lama (jam atau hari) maka sulit dibuktikan.
Begitu pula sulit untuk membuktikan korban tidak sadar waktu disetubuhi,
karena sawan (epilepsy) yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat
menyebabkan korban pingsan atau tidak berdaya.

KUHP pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil misalnya memukul dengan tangan senjata, menendang.
Pingsan artinya korban tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Tidak
berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga
ia tidak dapat memberikan perlawanan (baik tenaga atau pengaruh obat, bahan
berbahaya) atau bila korban diikat. Bila dalam pemeriksaan dokter dapat
menjelaskan keadan ini, maka para penegak hukum mendapat pegangan dalam
menerapkan ketentuan hukum dalam pasal 286 KUHP

KUHP pasal 287


(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal
291 dan pasal 294.

Bantuan yang diharapkan dari dokter dalam pasal ini adalah mengenai
umur korban. Bila perempuan tidak mempunyai akte kelahiran , mempunyai
KTP atau ijazah dan bukti lain yang diperlukan menunjukan umurnya belum
15 tahun, maka diperlukan bantuan dokter untuk menentukan umurnya secara
medis. Demikian pula penentuan untuk umur 12 tahun. Dalam ketentuan
hukum ini jelas disebut bila umur belum 15 tahun tetapi sudah lebih dari 12
tahun maka penuntutan baru dilakukan bila perempuan dan keluarganya
mengadu kepada menyidik (delik aduan). Tetapi bila umur perempuan belum
12 tahun maka tidak diperlukan pengaduan.

2.1.3. PEMERIKSAAN KASUS PERKOSAAN

Dalam penanganan korban (hidup) perkosaan, dokter memiliki peran


ganda yaitu sebagai pemeriksa yang membuat visum et repertum (VeR) serta
tenaga medis yang mengobati dan merawat korban. 1
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai pemeriksaan
terhadap korban yaitu:
1. Harus ada surat permintaan Visum et Repertum dari penyidik dan
keterangan mengenai kejadiannya. Surat permintaan visum et repertum
adalah perintah tertulis dimulainya pemeriksaan perkosaan terhadap
korban.
2. Harus ada persetujuan secara tertulis dari korban atau orang tua / wali
korban yang menyatakan tidak keberatan diperiksa oleh seorang dokter.
Persetujuan juga harus disertai dengan edukasi yang cukup terutama pada
sang korban agar pemeriksaan berjalan dengan lancar. Profesor Tedeschi
pada bukunya Forensic Medicine menyatakan bahwa banyak korban
terutama yang di bawah umur untuk menandatangani sendiri persetujuan
tertulis tidak kooperatif dalam pemeriksaan sehingga dapat menimbulkan
cedera. Profesor Tedeschi menambahkan bahwa untuk pemeriksaan yang
membuat pasien merasa kesakitan seyogyanya pemeriksaan dilakukan
dibawah anesthesi.
3. Harus ada seorang perawat wanita atau polisi wanita yang mendampingi
dokter selama melaksanakan pemeriksaan. Pendamping dokter sangat
diperlukan untuk menenagkan pasien dalam pemeriksaan. Ini terutama jika
dokter yang memeriksa adalah seorang lelaki.

Pemeriksaan secara medis pada korban perkosaan sebaiknya dilakukan


secara cepat dan tertutup pada tempat pemeriksaan terpisah. Segera tangani
korban dengan keadaan kritis dan lakukan pemeriksaan forensik setelah
keadaan stabil. Korban sebisanya tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan,
atau minum sampai pemeriksaan selesai. Keluarga, teman, perawat, atau
petugas dapat menemani bila perlu. Yang penting, korban tidak ditinggalkan
sendirian, tetapi ditemani orang yang juga berperan sebagai saksi dalam

pemeriksaan. Yakinkan korban tentang keamanannya dan jelaskan prosedur


pemeriksaan yang akan dilakukan. 1,2,3
1. Korban
A. Anamnesis :

Umur

Status perkawinan

Haid : siklus dan hari pertama haid terakhir

Penyakit kelamin dan kandungan

Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain

Riwayat persetubuhan sebelumnya, waktu persetubuhan terakhir dan


penggunaan kondom

Waktu kejadian

Tempat kejadian

Ada tidaknya perlawanan korban

Ada tidaknya penetrasi

Ada tidaknya ejakulasi

Tanyakan kepada pasien :

Telah mandi, membersihkan diri, mengganti pakaian, atau minum


obat-obatan sejak kejadian tersebut.

Apakah korban pingsan dan tanyakan penyebabnya . hal ini untuk


membedakan apakah korban pingsan karena ketakutan atau dibuat
pingsan dengan obat tidur atau obat bius.

B. Pemeriksaan fisik1,4,5,6

Pemeriksaan pakaian :
Robekan lama / baru / memanjang / melintang
Kancing putus
Bercak darah, sperma, lumpur dll.
Pakaian dalam rapih atau tidak
Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence

Pemeriksaan tubuh :
Umum :
1. Rambut atau wajah rapi atau kusut.

2. Emosi tenang atau gelisah


3. Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah
4. Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan,
paha
5. Trace evidence yang menempel pada tubuh
6. Perkembangan seks sekunder
7. Tinggi dan berat badan
8. Pemeriksaan rutin lainnya
Genitalia :
1. Eritema

(kemerahan)

vestibulum

atau

jaringan

sekitar

anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan)


2. Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
3. Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi,
infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan)
4. Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
5. Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
6. Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
7. Kongesti

vena

atau pooling

vena (juga

ditemuka

pada

konstipasi)
8. Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain,
seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing
atau trauma yang aksidental).
9. Pemeriksaan selaput dara.

Tabel 1. Jenis Hymen Berdasarkan bentuk


Bentuk Hymen

Keterangan

Bentuk Hymen

Keterangan

Hymen anular dimana

Hymen cribriform

lubang hymen berbentuk

yang

cincin.

Ketika

hymen

dikarakteristikkan

mulai

robek

(akibat

oleh

hubungan seksual atau


aktivitas
lubang

lain),

maka

tersebut

tidak

jarang,

beberapa

lubang kecil.

berbentuk cincin lagi.


Hymen crescentic atau

Hymen denticular

lunar berbentuk bulan

yang

jarang,

sabit.

berbentuk

seperti

satu set gigi yang


mengelilingi lubang
vagina.
Hymen seorang wanita

Hymen

yang pernah melakukan

yang

hubungan seksual atau

berbentuk

masturbasi beberapa kali

mengelilingi lubang

fimbria
jarang,
ireguler,

vagina.
Hymen seorang wanita

Hymen

yang

yang terlihat seperti

hanya

melakukan
seksual

pernah
aktivitas

sedikit

labialis

bibir vulva.

atau

pernah kemasukan benda.

Vulva

dari

wanita

yang

seorang

melahirkan.

Hymen

pernah

mikroperforatus

Hymen

dengan

lubang

secara

lengkap

hilang

sempit pada hymen

atau

hampir

hilang

sehingga

seluruhnya.
Satu

dari

memerlukan operasi
2000

perempuan

anak

dilahirkan

dengan

hymen

imperforate.

Hymen
bifenestratus

atau

bersepta yang jarang


sekali oleh karena
ada jembatan yang
menyeberangi
lubang vagina.

Hymen

yang

jarang,

hymen subsepta, mirip


dengan hymen bersepta,
hanya

septa

menyeberangi

tidak
seluruh

lubang vagina.

Pemeriksaan Ekstra-Genital
1. Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat
pada tubuh
2. Deskripsi luka
3. Pemeriksa rongga mulut pada kasus oral sex
4. Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma
5. Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari
tubuh pelaku

2. Pelaku

Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan
persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel

10

vagina pada glans penis. Pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan


adanya penyakit kelamin.

Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah,
dan sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam
pembuktian sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai
karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang
dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Jika fasilitas
pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian
atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan.

2.1.4. BANTUAN YANG DIHARAPKAN DARI DOKTER DALAM KASUS


PERKOSAAN
Menurut Idries, terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan dan
dievaluasi pada korban kejahatan seksual, yaitu3

Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan

Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan

Memperkirakan umur

Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin.

Menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya

1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki
masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan
dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar
dengan ketegangannya, sampai seberapa jauh zakar masuk, keadaan
selaput dara serta posisi persetubuhan mempengaruhi hasil pemeriksaan.3
Selanjutnya pemeriksaan dalam di intrioitus vagina. Hal pertama
yang dilihat adalah hymen. Pada hymen yang baru saja ruptur sering
terjadi apa yang disebut cauruncale hymenales. Sisa hymen setelah

11

coitus akan berwarna merah, berdarah, bengkak dan tertarik ke arah cincin
hymenal, bentukan inilah yang disebut cauruncale hymenales. Pada
keadaan dimana coitus berjalan lebih dari satu dan teratur maka tanda ini
akan hilang. Sekali hymen rusak maka tidak akan bisa kembali lagi.
Bentuk dari hymen bermacam-macam.
Tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan
bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan pada
hymen hanya merupakan pertanda adanya sesuatu benda (penis atau benda
lain), yang masuk ke dalam vagina.3
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang
vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat
tidak mengandung sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah
enzim asam fosfatase, kholin dan spermin. Ketiganya bila dibandingkan
dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga
komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase
masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang normalnya
juga terdapat dalam vagina, kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan
dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar prostat.2,3
Dengan demikian, apabila pada kejahatan seksual yang disertai
dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan
sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik
tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya
dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak
terjadi persetubuhan. Maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri
wanita yang diperiksa itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang
mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan,
dan kedua, persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.3
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka
perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus pula ditentukan. Hal ini
menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses
penyidikan. Sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam

12

waktu 4-5 jam setelah persetubuhan. Sperma masih dapat ditemukan tidak
bergerak sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan pada korban yang
hidup. Sedangkan pada orang yang mati sperma masih dapat ditemukan
dalam vagina paling lama sampai 7-8 hari setelah persetubuhan. Perkiraan
saat

terjadinya

persetubuhan juga dapat

ditentukan dari proses

penyembuhan selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan


akan dicapai dalam waktu 7-10 hari setelah persetubuhan.1,2,3

2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan


Beberapa lokasi luka yang sering ditemukan untuk pembuktian adanya
kekerasan yaitu pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu,
pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital,
dan biasanya berbentuk luka-luka lecet bekas kuku, gigitan serta luka
memar.1,2,3
Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan, tidak selamanya
kekerasan tersebut meninggalkan jejak atau bekas berbentuk luka. Oleh
karena itu tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa tidak terjadi
kekerasan, sehingga penting bagi dokter untuk berhati-hati mengggunakan
kalimat tanda-tanda kekerasan dalam VeR yang dibuat. Oleh karena
tindakan pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan maka
diperlukan pemeriksaan toksikologi pada korban untuk menentukan ada
tidaknya obat atau racun yang kiranya dapat membuat wanita menjadi
pingsan. 3,5

3. Memperkirakan umur
Tujuan pemeriksaan untuk memperkirakan umur korban salah satunya
mengacu pada pasal 287 KUHP bahwa barang siapa yang bersetubuh
dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Tindak
pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undangundang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi

13

sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari
yang bersangkutan (delik aduan). 1,2,3
Selain itu, pentingnya memperkirakan umur korban juga didasarkan
pada pasal 81 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, bahwa: 4
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian

kebohongan,

atau

membujuk

anak

melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pada kasus dimana umur korban belum jelas, maka memperkirakan umur
merupakan pekerjaan yang paling sulit, karena tidak ada satu metodepun yang
dapat memastikan umur seseorang dengan tepat. Dengan teknologi kedokteran
yang canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja. 1,2,3
Berkaitan dengan umur ada beberapa patokan yang perlu dipahami, yaitu
mengenai kedewasaan, belum cukup umur dan belum mampu untuk dikawini.
Dewasa dalam pengertian hukum adalah di atas 21 tahun atau belum 21
tahun tetapi sudah atau pernah kawin. Perempuan yang belum cukup umur
adalah perempuan dibawah 15 tahun. Perempuan yang belum mampu untuk
dikawini adalah perempuan yang tidak akan menjadi hamil walaupun
disetubuhi karena belum terjadi ovulasi. Ovulasi yang tidak dibuahi akan
menyebabkan datangnya haid pada perempuan. Tetapi pedoman belum haid
tidak selamanya identic dengan belum ovulasi , karena pada infantile uterus
atau hymen tertutup ( aseptate hymen ) hal ini dapat terjadi. Ini bisa dipastikan
dengan observasi ketat di rumah sakit selama 8 minggu atau dengan
pemeriksaan vaginal smear.

14

Perkiraan

umur

dapat

diketahui

dengan

melakukan

serangkaian

pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder,


pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak
serta pemeriksaan yang memerlukan berbagai sarana serta keahlian seperti
pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau tulang dengan menggunakan
rontgen. 1,3,5
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan

payudara

dan

pertumbuhan

rambut

kemaluan

perlu

dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2)


sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3
akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah
korban sudah pernah menstruasi bila umur korban tidak diketahui. 1,3
Selain itu perkiraan umur pada korban kejahatan seksual adalah dengan
memperhatikan ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini termasuk perubahan
pada genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut seksual yang pertama
tumbuh hampir selalu di daerah pubis.2,3,6
Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging
merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan
rambut pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada
perempuan. SMR stadium 1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan
prapubertal, sedangkan stadium 2-5 menunjukkan pubertas progress. SMR
stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna. Pematangan seksual
berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan berat badan dan
komposisi tubuh, dan perubahan hormonal.

4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin


Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin diperlukan untuk
menentukan pasal mana yang paling tepat dikenakan bagi si pelaku. Sebab,
bila korban dikawin disaat ia belum memenuhi syarat secara hukum dan
undang-undang yang berlaku, maka si pelaku harus dipidana. Terlebih lagi
apabila korban masih di bawah umur, maka pelaku dapat dikenakan sanksi
sesuai pasal dalam KUHP maupun Undang-Undang nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak.1,2,3

15

Penentuan pantas tidaknya seseorang untuk dikawin sangat tergantung dari


banyak hal, salah satunya dari segi mana seseorang tersebut ingin dilihat,
apakah dari segi biologis, sosial atau sebagai manusia seutuhnya serta
berdasarkan undang-undang yang berlaku.1
Secara biologis jika persetubuhan dilakukan untuk mendapatkan
keturunan, pengertian pantas tidaknya buat kawin tergantung dari apakah
korban telah siap untuk dibuahi yang dimanifestasikan dengan sudah pernah
mengalami menstruasi atau belum. Bila dilihat dari segi perundang-undangan,
yaitu undang-undang perkawinan pada Bab II (Syarat-syarat perkawinan) pada
pasal 7 ayat (1) berbunyi: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dengan
demikian terbentur lagi pada masalah penentuan umur korban.4

Gambar 1.Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perubahan rambut


pubis pada perempuan.

Tabel 2. Sexual Maturating Rate (SMR) pada perempuan


Tahap
SMR
1
2
3

Rambut Pubis

Payudara

Pre-remaja

Pre-remaja

Jarang, kurang berpigmen, lurus, Payudara dan papilla menonjol seperti


tepi medial labia

bukit kecil, diameter areola bertambah

Lebih gelap, mulai keriting, makin Payudara dan areola membesar, tidak

16

lebat

ada pemisahan kontur

Kasar, keriting, lebat, tetapi kurang Areola dan papilla membentuk bukit
4

lebat dibandingkan dengan orang kecil sekunder


dewasa
Segitiga

peminim

dewasa, Matur,

putting

menonjol,

areola

menyebar ke permukaan medial merupakan bagian dari kontur payudara


paha

keseluruhan

Gambar 2. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perkembangan


payudara pada perempuan
5. Menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
Dari anamnesis dokter dapat menentukan apakah perkosaan dilakukan
pada korban dalam keadaan sadar ataupun pingsan. Dari pemeriksaan tubuh

17

korban dapat ditentukan apakah korban diperkosa dalam keadaan tidak


berdaya.

2.1.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium cairan vagina 2,3,5,6
Sebelum

dilakukan

pengambilan sampel.

pemeriksaan

laboratorium

Sampel didapat

perlu

dilakukan

dari cairan vagina untuk

pemeriksaan air mani dan sekret uretra untuk pemeriksaan penyakit


kelamin. Cairan vagina disedot dengan pipet Pasteur, atau diambil dengan
ose. Pada anak-anak, atau jika selaput dara utuh sebaiknya pengambilan
bahan dibatasi sampai vestibulum.

a. Penentuan spermatozoa

Tanpa pewarnaan
Setetes cairan vagina diletakkan di atas kaca benda dan diperiksa
dengan pembesaran 500x dengan kondensor diturunkan. Perhatikan
apakah spermatozoa bergerak.Dapat diambil sebagai patokan bahwa
spermatozoa masih bergerak kira-kira 4 jam postkoital.

Dengan pewarnaan
Buat sediaan apus dari cairan vagina pada kaca benda, keringkan di
udara, fiksasi dengan api, warnai dengan Malachite-green 1% dalam
air, tunggu 10- 15 menit, cuci dengan air, warnai dengan eosinyellowish 1% dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan
dan diperikasa di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah
bagian basis kepala sperma berwarna ungu, bagian hidung berwarna
merah muda.

b. Penentuan cairan mani

Reaksi asam fosfatase


Cairan mani menunjukkan aktitifitas enzim fosfatase yang tinggi, ratarata 2500 unit K.A., sedangkan dalam sekret vagina, setelah 8 hari
abstinensia seksualis, ditemukan 0-6 unit. Sebagai reagen digunakan
brentamin fast blue b yang dilarutkan di dalam larutan buffer yang

18

telah ditambah sodium a-naphtyl fosfat. Enzim asam fosfatase


menghidrolisis a-naphty fosfat; a-naphtol yang telah dibebaskan
bereaksi dengan brentamine di atas kertas saring, disemprot dengan
reagen, ditentukan dalam berapa detik warna violet timbul (reaction
time). Davis dan Wilson menyatakan bahwa bila waktu reaksi kurang
dari 30 detik dapat dianggap indikasi baik dan adanya cairan mani, jika
kurang dari 65 detik dapat dianggap sebagai indikasi cukup, tetapi
masih perlu dikuatkan dengan pemeriksaan elektroforetik. Waktu
reaksi yang lebih dari 65 detik belum dapat menyingkirkan sepenuhnya
adanya cairan mani, karena pernah ditemukan waktu reaksi yang lebih
dari 65 detik, tetapi spermatozoa ditemukan.

Tes Florence
Cairan vagina ditetesi larutan yodium. Kristal yang terbentuk diamati
di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan tampak kristal-kristal
kholin-peryodida tampak berbentuk jarum-jarum yang berwarna
coklat.

Tes Berberio
Cairan vagina ditetesi larutan asam pikrat, kemudian kristal yang
terbentuk diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah
terbentuknya kristal-kristal spermin pikrat berbentuk rhombik atau
jarum kompas yang berwarna kuning kehijauan.

Elektroimmunodifusi
Digunakan serum anti air mani manusia. Selain spesifik terhadap
antigen manusia, serum ini juga mengandung zat anti terhadap enzim
fosfatase. Apabila serum ini direaksikan dengan air mani akan
terbentuk enzim antibodi kompleks yang ternyata masih memiliki sifat
enzimatik dan dapat dinyatakan dengan reagen asam phospatase.
Sebagai medium digunakan plat agar yang mengandung serum anti
dalam konsentrasi kecil.

Elektroforetik

19

Digunakan plat akrilamide, dikembangkan dalam suatu larutan buffer


pH 3 dan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Asam fosfatese seminal
bergerak sejauh 4 cm dan asam fosfatase vaginal sejauh 3 cm.

c. Pemeriksaan air mani yang terdapat pada pakaian


1. Visual
Tampak sebagai bercak yang berbatas jelas dan lebih gelap dari
sekitarnya. Bercak yang sudah agak tua berwarna sedikit kekuningkuningan. Pada bahan sutera atau nilon batasnya sering tidak jelas,
tetapi selalu lebih gelap dari sekitarnya.
2. Sinar ultraviolet
Menunjukkan flouresensi putih. Apa yang menyebabkan hal ini tidak
diketahui. Cara ini kurang memuaskan. Bercak air mani pada sutera
buatan, nilon, biasanya tidak memberikan flourosensi. Bahan makanan,
urine, sekret vagina juga sering menimbulkan flourosensi.

3.

Taktil
Diraba dengan jari-jari tangan terasa kaku seperti cairan kanji yang
tidak menyerap. Bila diraba permukaan bercak terasa kasar.

4. Penapisan dengan reagen asam fosfatase


Selembar kertas saring yang dibasahi dengan aqua destilata dilekatkan
di atas pakaian atau sprei yang diperiksa. Setelah 5-10 menit kertas
saring diangkat, didiamkan sampai hampir kering dan disemprot
dengan reagen. jika terbentuk bercak violet, kertas saring diletakkan
kembali di atas bahan sesuai dengan letaknya semula. Dengan
demikian letak bercak mani pada bahan dapat dilokasi.

5.

Pencairan spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa yang terbesar terdapat di bagian sentral dari
bercak. Dari bagian itu diambil sebagian kecil, dipulas dengan
pewarnaan Baeechi. Bahan dipulas selama 2 menit, dicuci di dalam
HCl 1%, dihidrasi dalam alkohol 70%, 80%, dan 95-100%, dan

20

dijernihkan

dengan

xilol.

Kemudian

dikeringkan

dengan

meletakkannya di atas kertas saring. Dengan jarum preparir atau jarum


suntik diambil sehelai atau dua benang, diletakkan di atas kaca
mikroskopik dan diurai sampai menjadi serabut-serabut. Ditutup
dengan balsem Kanada dan diperiksa dengan pembesaran 500x.
Pemeriksaan Toksikologi
Tujuan pemeriksaan toksikologi untuk mengetahui apakah korban sebelum
terjadi perkosaan telah diberi obat-obatan yang dapat menurunkan
kesadaran. Pada pemeriksaan ini diperlukan darah dan urine dari korban.
Bahan pemeriksaan : darah dan urine
Metode :
-

TLC

Mikrodiffusi, dsbnya.
Hasil yang diharapkan : adanya obat yang dapat menurunkan atau

menghilangkan kesadaran

2.2. PENYIMPANGAN SEKSUAL


Ada banyak penyimpangan seksual, seperti homoseksual, sodomi, lesbian,
sadism, masokisme, ekshibisionisme, pedofili, gerontofili, zoopfili dan lain-lain yang
tidak perlu dibicarakan disini, sebab lebih banyak aspek gangguan jiwa ketimbang
forensic. Yang mungkin sering dilakukan sekarang yaitu oral seks atau sodomi.
Pemeriksaan tidak serumit korban perkosaan, relative lebih mudah. Sisa-sisa sperma
mungkin sudah didapati dalam mulut korban, karena selalu dibersihkan oleh air
ludah, tetapi luka dan hematom di dalam rongga mulut bisa didapati.
Pada hubungan seks memalui anus bisa meninggalkan sperma dan perlukaan
serta rasa nyeri. Untuk ini perlu dilakukan anak swab untuk dikirim ke laboratorium
mencari sel sperma atau test adanya cairan mani.

21

BAB 3
KESIMPULAN
Perkosaan aalah istilah hukum bukan istilah medis. Dokter tidak dapat menggunakan
istilah perkosan dalam visum, karena ia tidak dapat menentukan apakah persetubuhan
dilakukan tanpa perstujuan perempuan dilakukan secara paksa.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undangundang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV KUHP, yaitu bab tentang
kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pasal 285, pasal 286, pasal 89 dan pasal 287.
Terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan dan dievaluasi pada korban
kejahatan seksual, yaitu menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, menentukan adanya
tanda-tanda kekerasan, memperkirakan umur, menentukan pantas tidaknya korban buat
kawin.dan menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Pemeriksaan dilakukan terhadap korban dan pelaku perkosaan. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan berupa pemeriksaan fisi ( umum dan khusus) dan pemeriksaan penunjang.
Peran dokter dalam tindak pidana perkosaan adalah membantu membuktikan adanya
tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan kemudian membuatnya dalam sebuah
laporan tertulis yaitu Visum et Repertum yang diserahkan kepada pihak berwenang sebagai
pemohon untuk dilakukannya Visum et Repertum. Selain itu dokter juga harus melakukan
penanganan akibat perkosaan yang terjadi pada korban baik yang berupa trauma fisik maupun
psikis.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.. Edisi pertama, cetakan kedua.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal:
147 158.
2. Amir, Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua, cetakan kedua.
Medan: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan. Hal: 142-158.
3. Munim, Abdul.2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan.Jakarta: Sagung Seto. Hal 113-132
4. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi ketiga, cetakan kedua.
Jakarta: Media Aesculaplus. Hal 173-174
5. Munim, Abdul. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta :
Binarupa Aksara. Hal 216-240
6. Munim , Abdul. 2009 Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi
Hukum. Jakarta : Sagung Seto. Hal 35-47

23

Anda mungkin juga menyukai