Anda di halaman 1dari 55

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR,


DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori
1.

Hakikat Kemampuan Berpikir Kritis Matematika


a.

Matematika
Istilah matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein dan mathenem

yang berarti mempelajari. Perkataan matematika mempunyai asal katanya


mathema yang berarti pengetahuan dan ilmu (knowledge, science). Kata
matheimatike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu
mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir).
Sedangkan menurut istilah, Kesro, dkk (dalam Marwan, 2013)
menyatakan beberapa pendapat ahli yaitu sebagai berikut:
1) James dan James dalam kamus matematikanya mengemukakan
bahwa matematika adalah ilmu tentang bentuk, susunan, besaran,
dan konsep-konsep yang berhubungan lainnya dengan jumlah yang
banyak.
2) Kline mengemukakan bahwa matematika itu bukan pengetahuan
yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi
keberadaannya itu untuk membantu manusia dalam memahami dan
menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
3) Johnson dan Rising menyatakan bahwa matematika adalah pola
berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik;
matematika itu adalah bahasa; matematika adalah pengetahuan
struktur yang terorganisasikan, sifat-sifat atau teori-teori itu dianut
secara deduktif berdasarkan kepada unsur-unsur yang didefinisikan
atau
tidak,

15

aksioma-aksioma, sifat-sifat atau teori-teori yang telah dibuktikan


kebenarannya;
Sedangkan Soedjadi (dalam Suryaningsih, 2013:2), mengungkapkan
beberapa definisi matematika yaitu:
1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir
secara sistematik.
2) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasinya.
3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan
berhubungan dengan bilangan.
4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan
masalah tentang ruang dan bentuk.
5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik.
6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat diketahui bahwa definisi yang
diberikan tergantung dari sudut pandang setiap ahli matematika. ada ahli
matematika yang hanya tertarik pada bilangan sehingga defenisinya hanya
berhubungan dengan bilangan atau yang tertarik dengan logika maka
defenisinya hanya seputar hal itu.
Pendefinisian matematika sampai saat ini belum ada kesepakatan yang
bulat, namun demikian dapat dikenal melalui karakteristiknya. Sedangkan
karakteristik matematika dapat dipahami melalui hakikat matematika.
Hudoyo (dalam Marifah, 2013:2), mengemukakan bahwa hakikat matematika
berkenan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang
diatur menurut urutan yang logis. Jadi matematika berkenaan dengan konsepkonsep yang abstrak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan
pola hubungan yang ada didalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika

15

16

pada hakikatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari


hubungan antar konsep dan strukturnya.

b. Berpikir Kritis
Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan
masalah,

membuat

keputusan,

atau

memenuhi

rasa

keingintahuan.

Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order
thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan
bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang
diberikan sebelumnya. Sementara, kemampuan berpikir tinggi (higher order
thinking) membuat siswa untuk mengintrepretasikan, menganalisa atau
bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton.
Kemampuan

berpikir

tinggi

(higher

order

thinking)

digunakan

apabila seseorang menerima informasi baru dan menyimpannya untuk


kemudian digunakan atau disusun kembali untuk keperluan pemecahan
masalah berdasarkan situasi.
Menurut Sujanto (2012:56), berpikir adalah suatu proses dialektis.
Artinya selama proses berpikir, pikiran mengadakan tanya jawab dengan
pikiran itu sendiri untuk dapat meletakkan hubungan-hubungan antara
pengetahuan dengan tepat. Kemudian Purwanto (2013:43), mengungkapkan
bahwa berpikir adalah satu keaktipan pribadi menusia yang mengakibatkan
penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Lebih lanjut Purwanto (2013:44-

17

46), mengungkapkan beberapa pengertian berpikir dari beberapa ahli


psikologi, diantaranya:
1) Psikologi Asosiasi mengemukakan bahwa berpikir itu tidak lain dari
pada jalannya tanggapan-tanggapan yang dikuasai oleh hukum
asosiasi.
2) Psikologi Behaviorisme berpendapat bahwa berpikir adalah gerakangerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara
seperti halnya kita mengucapkan buah pikiran.
3) Psikologi Gestalt memandang bahwa gestalt yang teratur mempunyai
peranan yang besar dalam pikiran. Psikologi gestalt berpendapat
bahwa proses berpikirpun seperti proses gejala-gejala psikis yang lain
merupakan suatu kebulatan.
Selanjutnya Costa (dalam Kowiyah, 2012:175), menyatakan bahwa
berpikir terdiri atas kegiatan atau proses berikut: (1) menemukan hukum
sebab akibat; (2) pemberian makna terhadap sesuatu yang baru; (3)
mendeteksi keteraturan di antara fenomena; (4) penentuan kualitas bersama
(klasifikasi); dan (5) menemukan ciri khas suatu fenomen. Hal senada tentang
berpikir diungkapkan oleh Solso dalam Kowiyah (2012:175), dimana ia
menyatakan bahwa berpikir adalah proses yang membentuk representasi
mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari
atribut mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran,
penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep kreativitas
dan kecerdasan.
Berdasarkan beberapa definisi berpikir yang telah dibahas sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu proses kognitif dan
tindakan mental dengan menghubung-hubungkan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan
keterampilan yang baru.

18

Istilah berpikir kritis (critical thinking) sering disamakan artinya dengan


berpikir konvergen, berpikir logis (logical thinking) dan reasoning. Ennis,
(dalam Hasruddin, 2009:50), mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah
berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berpikir kritis
dapat dicapai dengan mudah bila seseorang itu memiliki karakteristik sebagai
pemikir kritis.
Menurut Paul (dalam Kowiyah, 2012:176), memberikan definisi bahwa:
Critical thinking is that mode of thinking about any subject, content or
problem in which the thinker improves the quality of his or her thinking
by skillfully taking change of the structures inherent in thingking and
imposing intellectual standards upon them. Berpikir kritis adalah mode
berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si
pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara
terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan
menerapkan standar-standar intelektual padanya.
Selanjutnya Menurut Glaser (dalam Kowiyah, 2012:176), mendifinisikan
bahwa:
Critical thinking as: (1) an attitude of being disposed to consider in a
thoughtful way the problems and subjects that come within the range of
ones experience; (2) knowledge of the methods of logical enquiry and
reasoning; and (3) some skill in applying those methods. Critical
thinking calls for a persistent effort to examine any belief or supposed
form of knowledge in the light of the evidence that supports it and the
further conclusions to which it tends.
Sedangkan menurut Halpern (dalam Scott, 2008:40), characterized
critical thinking as the use of cognitive skills or strategies to increase the
probability of a desirable outcome. Berpikir kritis ditandai sebagai
penggunaan keterampilan kognitif atau strategi untuk meningkatkan
kemungkinan hasil yang diinginkan.

19

Definisi di atas menjelaskan bahwa berpikir kritis sebagai: (1) suatu


sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal
yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan
tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; (3) semacam
suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut; dan (4)
keterampilan kognitif untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang
diinginkan. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap
keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Scriven (dalam Kowiyah, 2012:177), berargumentasi bahwa berpikir
kritis merupakan kompetensi akademis yang mirip dengan membaca dan
menulis dan hampir sama pentingnya. Oleh karena itu, ia mendefinisikan
berpikir kritis sebagai interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif
terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Sedangkan
Santrock (dalam Kowiyah, 2012:177), menyatakan pikiran kritis (critical
thinking)

adalah

memahami

makna

masalah

secara

lebih

dalam,

mempertahankan agar pikiran tetap terbuka terhadap segala pendekatan dan


pandangan yang berbeda, dan berpikir secara reflektif dan bukan hanya
menerima pernyataan-pernyataan dan melaksanakan prosedur-prosedur tanpa
pemahaman dan evaluasi yang signifikan. Definisi ini mengandung makna
bahwa pemikiran kritis sering mengasumsikan pada penalaran kehidupan
sehari-hari untuk menerima pernyataan, hasil penelitian dan melaksanakan
mekanisme pembelajaran.

20

Berdasarkan beberapa definisi berpikir kritis yang dikemukakan para ahli


di atas dapat diketahui beberapa elemen atau struktur yang melekat padanya.
Dari perspektif filosofis, Watson dan Glaser (dalam Kowiyah, 2012:177),
menyatakan bahwa berpikir kritis sebagai gabungan sikap, pengetahuan dan
kecakapan. Kompetensi dalam berpikir kritis direpresentasikan dengan
kecakapan-kecakapan berpikir kritis tertentu. Kecakapan-kecakapan berpikir
kritis adalah: (1) Inference, yaitu kecakapan untuk membedakan antara
tingkat-tingkat kebenaran dan kepalsuan. Inference merupakan kesimpulan
yang dihasilkan oleh seseorang observasi sesuai fakta tertentu; (2) Pengenalan
asumsiasumsi, yaitu kecakapan untuk mengenal asumsiasumsi. Asumsi
merupakan sesuatu yang dianggap benar; (3) Deduksi, yaitu kecakapan untuk
menentukan kesimpulan-kesimpulan tertentu perlu mengikuti informasi di
dalam pertanyaanpertanyaan yang diberikan; (4) Interpretasi, yaitu kecakapan
menimbang

fakta-fakta

dan

menghasilkan

kesimpulan-kesimpulan

berdasarkan pada data yang diberikan. Interpretasi adalah kecakapan untuk


menilai apakah kesimpulan secara logis berdasarkan informasi yang
diberikan; (5) Evaluasi, yaitu kecakapan membedakan antara argumen yang
kuat dan relevan dan argumen yang lemah atau tidak relevan.
Selain Watson dan Glaser, Facione juga membagi proses berpikir kritis
menjadi enam kecakapan yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inference,
penjelasan dan regulasi diri.
Enam Unsur Kecakapan Berpikir Kritis

Interpretasi
Evaluasi
Penjelasan

Analisa

Berpikir Kritis

Kesimpulan
Pengaturan Diri

21

Gambar 2.1 Unsur Kecakapan Berpikir Kritis (Kowiyah, 2012:177)


Berikut adalah penjelasan skema dari keenam kecakapan berpikir kritis
utama:
(1) Interpretasi, menginterpretasi adalah memahami dan mengekpresikan
makna dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, penilaian prosedur
atau kriteria. Interpretasi mencakup sub kecakapan mengkategorikan,
menyampaikan signifikasi dan mengklarifikasi makna; (2) Analisis,
menganalisis adalah mengidentifikasi hubungan inferensial dan aktual
diantara pertanyaan-pertanyaan, konsepkonsep, deskripsi untuk
mengekpresikan kepercayaan, penilaian dan pengalaman, alasan,
informasi dan opini. Analisis meliputi pengujian data, pendeteksian
argumen, menganalisis argumen sebagai sub kecapakan dari analisis; (3)
Evaluasi, berarti menaksir kredibilitas pernyataanpernyataan atau
representasi yang merupakan laporan atau deskripsi dari persepsi,
pengalaman dan menaksir kekuatan logis dari hubungan inferensial,
deskripsi atau bentuk representasi lainnya. Contoh evaluasi adalah
membandingkan kekuatan dan kelemahan dari interpretasi alternatif; (4)
Inference, berarti mengidentifikasi dan memperoleh unsur yang
diperlukan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal,
membuat dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang
relevan
dan
menyimpulkan
konsekuensi
dari
data;
(5)
Eksplanasi/Penjelasan, berarti mampu menyatakan hasil-hasil dari
penalaran seseorang, menjustifikasi penalaran tersebut dari sisi
konseptual, metodologis dan konstektual; (6) Regulasi Diri, berarti secara
sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur
yang digunakan dalam hasil yang diperoleh, terutama dengan
menerapkan kecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penilaiannya
sendiri (Kowiyah, 2012:178).
Hassoubah

(dalam

Hasruddin,

2009:50-51),

menyatakan

bahwa

kemampuan berpikir kritis dipengaruhi oleh dorongan intrinsik dan ekstrinsik.


Latar belakang kepribadian dan kebudayaan seseorang dapat mempengaruhi

22

usaha seseorang untuk dapat berpikir kritis terhadap suatu masalah dalam
kehidupan. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang
telah dilakukan dalam hidup ini. Berpikir kritis juga berarti usaha untuk
menghindarkan diri dari ide dan tingkah laku yang menjadi kebiasaan.
Tujuan berpikir kritis menurut Maiorana (dalam Scott, 2008:40) adalah
the purpose of critical thinking is to use questioning techniques to achieve
understanding, evaluate view-points, and solve problems. Tujuan berpikir
kritis adalah dengan menggunakan teknik mempertanyakan untuk mencapai
pemahaman, mengevaluasi pandangan-poin, dan memecahkan masalah.
Sedangkan menurut Ennis (dalam Husnidar, dkk, 2014:73) berpikir kritis
adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang
rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan
sesuatu.

Dengan

demikian

berpikir

kritis

mempertimbangkan

dan

mengevaluasi informasi yang pada akhirnya memungkinkan siswa secara


aktif membuat keputusan.
Tyler dalam (Redhana, 2003:13-14) berpendapat bahwa pengalaman atau
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang
keterampilan berpikir kritis siswa.
Orang

yang berpikir

kritis

akan

mengevaluasi

dan

kemudian

menyimpulkan suatu hal berdasarkan fakta untuk membuat keputusan


(Dwijananti dan Yulianti, 2010:112). Menurut Hassoubah salah satu ciri
orang yang berpikir kritis akan selalu mencari dan memaparkan hubungan

23

antara masalah yang didiskusikan dengan masalah atau pengalaman lain yang
relevan (Dwijananti dan Yulianti, 2010:112).
Ennis (dalam Husnidar, 2014:74-75), mengungkapkan aspek berpikir
kritis serta beberapa indikatornya sebagai berikut:
1) Memberi penjelasan dasar (klarifikasi):
a) Memusatkan pada pertanyaan
b) Menganalisis alas an
c) Mengajukan dan menjawab pertanyaan klarifikasi (membedakan dan
mengelompokkan).
2) Membangun keterampilan dasar
a) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
b) Mengamati dan menggunakan laporan hasil observasi
3) Menyimpulkan
a) Dengan penalaran deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
b) Dengan penalaran induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
c) Membuat atau menentukan pertimbangan nilai.
4) Memberi penjelasan lanjut
a) Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi dalam tiga
dimensi (bentuk, strategi, dan isi).
b) Mengidentifikasi asumsi.
5) Mengatur strategi dan taktik
a) Memutuskan tindakan.
b) Berinteraksi dengan orang lain.
Kemudian menurut Carin & Sund (dalam Dwijananti dan Yulianti,
2010:112) kategori berpikir kritis, yaitu:
1) mengklasifikasi; 2) mengasumsi; 3) memprediksi dan hipotesis; 4)
menginterpretasi data, mengiferensi atau membuat kesimpulan; 5)
mengukur; 6) merancang sebuah penyelidikan; 7) mengamati; 8)
membuat grafik; 9) meminimalkan kesalahan percobaan; 10)
mengevaluasi; dan 11) menganalisis.
Selanjutnya Mulyana (dalam Jayadipura, 2014:126), mengemukakan
indikator berpikir kritis sebagai berikut:
1) Kemampuan mengidentifikasi asumsi yang diberikan; 2) Kemampuan
merumuskan pokok-pokok permasalahan; 3) Kemampuan menentukan
akibat dari suatu ketentuan yang diambil; 4) Kemampuan mendeteksi
adanya bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda; 5)

24

Kemampuan mengungkap data/ definisi/teorema dalam menyelesaikan


masalah; 6) Kemampuan mengevaluasi argumen yang relevan dalam
penyelesaian suatu masalah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan berpikir kritis adalah suatu kegiatan atau proses kognitif dan
tindakan

mental

untuk

memperoleh

pengetahuan,

pemahaman

dan

keterampilan agar mampu menemukan jalan keluar dan melakukan keputusan


secara deduktif, induktif dan evaluatif sesuai dengan tahapannya yang
dilakukan dengan berpikir secara mendalam tentang hal-hal yang dapat
dijangkau oleh pengalaman seseorang, pemeriksaan dan melakukan penalaran
yang logis yang diukur melalui kecakapan interpretasi, analisis, pengenalan
asumsi-asumsi, deduksi, evaluasi inference, eksplanasi/penjelasan, dan
regulasi diri.
c.

Kemampuan Berpikir Kritis Matematika

Adapun indikator kemampuan berpikir kritis matematika yang digunakan


dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis matematika mencakup:
(1) memberikan penjelasan sederhana dengan memberikan argumen sendiri;
(2) membuat kesimpulan; (3) mengatur strategi dan taktik, yaitu
mengidentifikasi masalah sehingga menemukan jawaban yang benar dan
logis.

2.

Hakikat Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika


a.

Pemecahan Masalah

25

Pemecahan masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah


atau proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam
menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi
melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Bisa juga dikatakan bahwa
pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan.
Masalah timbul karena adanya suatu kesenjangan antara apa yang diharapkan
dengan kenyataan, antara apa yang dimiliki dengan apa yang dibutuhkan,
antara apa yang telah diketahui yang berhubungan dengan masalah tertentu
dengan apa yang ingin diketahui. Kesenjangan itu perlu segera diatasi. Proses
mengenai bagaimana mengatasi kesenjangan ini disebut sebagai proses
memecahkan masalah.
Suherman, dkk (2003:92) mengemukakan bahwa:
Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang
untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang
harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu jika suatu
masalah diberikan kepada seorang siswa, dan siswa tersebut dapat
mengetahui langsung jawaban dengan benar terhadap persoalan yang
diberikan, maka persoalan tersebut bukan dikatakan suatu masalah.
Beberapa ahli mendefinisikan pemecahan masalah dengan cara berbedabeda. Dahar (dalam Alawiyah, 2014:183), mengatakan bahwa pemecahan
masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menerapkan konsep-konsep
dan aturan yang diperoleh sebelumnya. Lebih lanjut Ruseffendi (dalam
Hidayat, 2014:59), mengatakan masalah adalah suatu persoalan yang belum
pernah dialami orang tersebut dan orang tersebut memiliki kemampuan untuk
menyelesaikannya, terlepas apakah ia dapat mengerjakannya dengan benar
atau tidak, sedangkan Polya (dalam Alawiyah, 2014:183), mengartikan

26

pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu
kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai.
Berdasarkan beberapa pengertian pemecahan masalah di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pemecahan masalah sebagai proses, mengandung arti atau
mengacu pada kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya langkahlangkah, strategi dan heuristik yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan
masalah, sehingga siswa dapat menemukan jawaban dan bukan hanya pada
jawaban itu sendiri.

b. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika


Pemecahan

masalah

merupakan

suatu

kegiatan

manusia

yang

menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh


sebelumnya dan tidak sebagai suatu keterampilan generik. Masalah
merupakan sesuatu yang tidak terlepas dari diri manusia, sehingga
kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan yang
dituju dalam pembelajaran matematika. Laster (dalam Sugiman, dkk,
2009:179) menyatakan bahwa Problem solving is the heart of mathematics
yang artinya jantungnya matematika adalah pemecahan masalah. Selanjutnya
NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) menegaskan bahwa
kemampuan pemecahan masalah adalah salah satu aspek penting dalam
menjadikan manusia menjadi literat dalam matematika (Sugiman, dkk,
2009:179). Dari pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pemecahan masalah
merupakan hal yang penting dalam pembelajaran matematika.

27

Istilah pemecahan masalah ditemui dalam berbagai profesi dan dalam


disiplin ilmu yang berbeda serta mempunyai banyak arti. Hudoyo dan
Sutawidjaya (dalam Komariah, 2007:55), menyatakan bahwa pemecahan
masalah dapat diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk
matematika itu sendiri maupun aplikasi matematika dalam kehidupan seharihari dan llmu pengetahuan yang lain secara kreatif untuk menyelesaikan
masalahmasalah yang belum diketahui penyelesaiannya ataupun masalahmasalah yang belum dikenal. Lebih lanjut menurut Wardhani (dalam
Suryantono, 2013:63) mengatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
adalah suatu proses kemampuan individu dalam menerapkan pengetahuan
yang telah diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru yang belum dikenal.
Selanjutnya Soedjadi (dalam Prihastuti, dkk, 2013:2) mengatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah adalah suatu keterampilan pada peserta
didik agar mampu menggunakan kegiatan matematis untuk memecahkan
masalah dalam matematika, masalah dalam ilmu lain, dan dalam masalah
kehidupan sehari-hari.
Branca (dalam Komariah, 2007:55), mengemukakan bahwa kegiatankegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah dalam matematika
diataranya menyelesaikan soal cerita dalam buku teks, menyelesaikan soalsoal tidak rutin atau memecahkan masalah teka-teki, penerapan matematika
pada masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata, menciptakan dan
menguji konjektur.

28

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu dari kemampuan


yang harus dimiliki oleh siswa sebagai bagian dari hasil belajar matematika.
Jonasen (dalam Purnomo dan Mawarsari, 2014:25), menegaskan bahwa
seharusnya fokus utama dalam pembelajaran adalah belajar menyelesaikan
masalah. Hal ini juga dijelaskan oleh Branca (dalam Purnomo dan Mawarsari,
2014:25), bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah tujuan utama
dalam pembelajaran matematika, oleh karena itu kemampuan memecahkan
masalah hendaknya diberikan, dilatihkan, dan dibiasakan kepada peserta
didik sedini mungkin.
Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pertanyaan yang
harus dijawab atau direspon. Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan
menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika
pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat
dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui sebelumnya.
Dalam memecahkan masalah, setiap individu memerlukan waktu yang
berbeda. Hal ini disebabkan oleh motivasi dan strategi yang digunakan dalam
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Siswono (dalam Suci dan
Rosyidi, 2012:2) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah, yaitu:
1) Pengalaman awal.
Pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal
aplikasi. Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika
dapat menghambat kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
2) Latar belakang matematika.
Kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berbedabeda tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah.

29

3) Keinginan dan motivasi.


Dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan
keyakinan saya BISA maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang
menarik, menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan
masalah.
4) Struktur Masalah.
Struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan masalah),
seperti format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat kesulitan
soal), konteks (latar belakang cerita atau tema), bahasa soal, maupun pola
masalah satu dengan masalah yang lain dapat mengganggu kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah.
Siswono (dalam Suci dan Rosyidi, 2012:2) juga menyebutkan bahwa
dalam memecahkan masalah perlu keterampilan-keterampilan yang harus
dimiliki, yaitu: (1) keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran); (2)
keterampilan aplikatif untuk menghadapi situasi yang umum (sering terjadi);
(3) keterampilan berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa
(unfamiliar).
Tujuan pemecahan masalah diberikan kepada siswa menurut Ruseffendi
(2006:341) adalah:
(1) dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi, menumbuhkan
sifat kreativitas; (2) di samping memiliki pengetahuan dan keterampilan
(berhitung, dan lain-lain), disyaratkan adanya kemampuan untuk terampil
membaca dan membuat pernyataan yang benar; (3) dapat menimbulkan
jawaban yang asli, baru, khas, dan beraneka ragam, dan dapat menambah
pengetahuan baru; (4) dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan
yang sudah diperolehnya; (5) mengajak siswa untuk memiliki prosedur
pemecahan masalah, mampu membuat analisis dan sintesis, dan dituntut
untuk membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya; (6) Merupakan
kegiatan yang penting bagi siswa yang melibatkan bukan saja satu bidang
studi tetapi (bila diperlukan) banyak bidang studi, malahan dapat melibatkan
pelajaran lain di luar pelajaran sekolah; merangsang siswa untuk
menggunakan segala kemampuannya. Ini bagi siswa untuk menghadapi
kehidupannya kini dan dikemudian hari.
Menurut Gagne dalam Ruseffendi (2006: 169), dalam pemecahan
masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan, yaitu:

30

a.

Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas.

b.

Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional (dapat dipecahkan).

c.

Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang


diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah itu.

d.

Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya


(pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain), hasilnya mungkin
lebih dari satu.

e.

Memeriksa kembali (mengecek) apakah hasil yang diperoleh itu benar,


atau mungkin memilih alternatif pemecahan yang terbaik.
Kemudian Polya (dalam Sugandi, 2014:27), menyatakan bahwa dalam

matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan


(problem to find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove).
Adapun kegiatan dalam pemecahan masalah adalah:
(1) Memahami masalah (understanding the problem), hal ini meliputi: (a).
apa yang diketahui? (b). apa yang ditanyakan? (c). apakah kondisi
permasalahan yang diberikan cukup atau tidak cukup lengkap untuk
mencari apa yang ditanyakan?
(2) Membuat rencana pemecahan/merencanakan penyelesaian (devising a
plan), hal ini meliputi: (a). teori apa yang dapat digunakan dalam
masalah ini? (b). apakah harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan
soal tadi atau menyatakan dalam bentuk lain?
(3) Melakukan perhitungan (carrying out the plan), hal ini meliputi: (a).
pelaksanaan penyelesaian dengan cara memeriksa setiap langkah apakah
sudah benar atau belum? (b). melakukan pembuktian bahwa langkah
yang dipilih sudah benar.
(4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back), pada bagian ini
lebih ditekankan bagaimana cara memeriksa jawaban yang telah didapat.
Selanjutnya Menurut Saiful (dalam Marlina, 2013:44), dengan langkah
Polya siswa akan terbiasa untuk mengerjakan soal-soal yang tidak hanya
mengandalkan ingatan yang baik saja, tetapi siswa diharapkan dapat

31

mengaitkannya dengan situasi nyata yang pernah dialaminya atau yang


pernah dipikirkannya. Siswa juga dapat memiliki sifat yang dapat menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian dan minat mempelajari serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Sedangkan menurut Sukayasa (dalam Marlina, 2013:44), fase-fase
pemecahan masalah menurut Polya lebih populer digunakan dalam
memecahkan masalah matematika dibandingkan yang lainnya. Mungkin hal
ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) fase-fase dalam proses
pemecahan masalah yang dikemukan Polya cukup sederhana; (2) aktivitasaktivitas pada setiap fase yang dikemukakan Polya cukup jelas dan; (3) fasefase pemecahan masalah menurut Polya telah lazim digunakan dalam
memecahkan masalah matematika.
Pemecahan masalah matematika harus menjadi bagian integral dari
proses pengajaran matematika yang dijalankan. Menurut Wahyudin (dalam
Isrokatun, 2010:5), ada 10 strategi problem solving yang dapat dijadikan
dasar pendekatan mengajar, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Bekerja mundur
Menemukan suatu pola
Mengambil suatu sudut pandangan yang berbeda
Memecahkan suatu masalah yang beranalogi dengan masalah yang
sedang dihadapi tetapi lebih sederhana
5. Mempertimbangkan kasus-kasus ekstrim
6. Membuat gambar (representasi visual)
7. Menduga dan menguji berdasarkan akal
8. Memperhitungkan semua kemungkinan (daftar/pencantuman yang
menyeluruh)
9. Mengorganisasikan data
10. Penalaran logis

32

Dari berbagai indikator pemecahan masalah sebagaimana diuraikan di


atas, penulis menyimpulkan bahwa terdapat empat indikator penting dalam
penelitian ini untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik
adalah sebagai berikut:
a. Memahami masalah
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
c) Apa yang tidak diketahui atau apa yang ditanyakan?
d) Data apa yang diberikan?
e) Bagaimana kondisi soal? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam
bentuk persamaan atau hubungan lainnya? Apakah kondisi yang
ditanyakan cukup untuk mencari yang ditanyakan? Apakah kondisi itu
tidak cukup atau kondisi itu berlebihan atau kondisi itu saling
bertentangan?
f)

Buatlah gambar dan tulislah notasi yang sesuai?

b. Merencanakan penyelesaian
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
1) Pernahkah ada soal ini sebelumnya? Adakah soal yang sama atau
serupa dalam bentuk lain?
2) Tahukah soal yang mirip dengan soal ini? Teori mana yang dapat
digunakan dalam masalah ini?
3) Perhatikan yang ditanyakan! Coba pikirkan soal yang pernah
diketahui dengan pertanyaan yang sama atau serupa?

33

4) Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman yang lama digunakan
dalam masalah sekarang? Dapatkah hasil atau metode yang lalu
digunakan? Apakah harus dicari unsur lain agar memanfaatkan soal
semula?

Dapatkah anda menyatakannya dalam bentuk

lain?

Kembalikan ke definisi!
5) Andaikan soal baru belum dapat diselesaikan, coba pikirkan soal
serupa dan selesaikan?
c. Menyelesaikan rencana penyelesaian (melakukan perhitungan)
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
1) Laksanakan rencana pemecahan, dan periksalah tiap langkahnya?
2) Apakah semua langkah sudah benar?
3) Dapatkah anda membuktikan bahwa langkah tersebut sudah benar?
d. Memeriksa kembali.
1) Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh?
2) Dapatkah diperiksa sanggahannya?
3) Dapatkah dicari hasil itu dengan cara lain?
4) Dapatkah anda mencari hasilnya dengan cara yang berbeda?
5) Dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah lain?
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seorang

siswa

dalam

mengatasi

kesulitan

yang

ditemui

dengan

menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh


sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik, agar diperoleh

34

jalan

untuk

mencapai

suatu

tujuan

yang

diinginkan.

Kemampuan

memecahkan masalah ini dapat dikembangkan jika siswa diberikan masalahmasalah yang tidak rutin. Melalui penggunaan masalah-masalah yang tidak
rutin, para siswa tidak hanya terfokus pada bagaimana menyelesaikan
masalah dengan berbagai strategi yang ada, tetapi juga menyadari kekuatan
dan kegunaan matematika di dunia sekitar mereka dan berlatih melakukan
penyelidikan dan penerapan berbagai konsep matematika yang telah mereka
pelajari. Karena siswa menerima pengetahuan baru dalam berbagai situasi
pemecahan masalah, maka guru mempunyai peran yang sangat penting dalam
menekankan pemecahan masalah di kelas.
Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah yang diukur
melalui kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam setiap
permasalahan, aspek memahami masalah diukur melalui menuliskan unsur
yang diketahui dan unsur yang ditanya, aspek merencanakan pemecahan
diukur melalui menuliskan teori atau metode yang dapat digunakan dalam
masalah ini, aspek melakukan perhitungan diukur melalui melaksanakan
rencana pemecahan sesuai dengan teori atau metode yang dipilih, aspek
memeriksa kembali diukur melalui memeriksa kebenaran hasil yang
diperoleh.

3.

Hakikat Pendekatan Saintifik (Scientific Learning)


Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang

dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep,
hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi

35

atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan


hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data,
menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang
ditemukan. Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan
pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak
bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran
yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari
tahu dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.
Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan
proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan,
dan menyimpulkan. Dalam melaksanakan proses-proses tersebut, bantuan guru
diperlukan. Akan tetapi bantuan guru tersebut harus semakin berkurang dengan
semakin bertambah dewasanya siswa atau semakin tingginya kelas siswa.
Menurut Rudolf dalam Atsnan & Gazali (2013:2) Pendekatan saintifik
pertama kali diperkenalkan ke ilmu pendidikan Amerika pada akhir abad ke-19,
sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang mengarah pada
fakta-fakta ilmiah. Metode saintifik ini memiliki karakteristik doing science.
Metode ini memudahkan guru atau pengembang kurikulum untuk memperbaiki
proses pembelajaran, yaitu dengan memecah proses ke dalam langkah-langkah
atau tahapan-tahapan secara terperinci yang memuat instruksi untuk siswa
melaksanakan kegiatan pembelajaran (Varelas dan Ford, 2008:31). Hal inilah
yang menjadi dasar dari pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia.

36

Pendekatan saintifik atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah


merupakan pendekatan dalam kurikulum 2013. Dalam pelaksanaannya, ada yang
menjadikan saintifik sebagai pendekatan ataupun metode. Namun karakteristik
dari pendekatan saintifik tidak berbeda dengan metode saintifik (scientific
method). Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran
mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut
memiliki lintasan perolehan (proses psikologi) yang berbeda. Sikap diperoleh
melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan
mengamalkan. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Keterampilan diperoleh
melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan
mencipta. Karakteristik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut
serta mempengaruhi karakteristik standar proses (Permendikbud No.65 Tahun
2013). Pendekatan saintifik dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi
mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata

Networking
(Membentuk
Jaringan)

Eksperimreting
(Mencoba)

Associating
(Menalar)

Questioning
(Menanya)

Observing
(Mengamati)

pelajaran.

37

Gambar 2.1 Pendekatan Ilmiah dalam Pembelajaran (Atsnan & Gazali, 2013:2)
Untuk memperkuat pendekatan saintifik diperlukan adanya penalaran dan
sikap kritis siswa dalam rangka pencarian (penemuan). Agar dapat disebut ilmiah,
metode pencarian (method of discovery/inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti
dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip
penalaran yang spesifik. Karena itu metode ilmiah umumnya memuat rangkaian
kegiatan koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian
memformulasi dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang dibicarakan dengan
metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat
objektif, dan (4) adanya analisa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan kita
akan mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang
percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat
prasangka, dan selalu optimis (Kemendikbud, 2013:141).
Selanjutnya secara sederhana pendekatan ilmiah merupakan suatu cara atau
mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan
pada suatu metode ilmiah. Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau
nilai-nilai non ilmiah. Pendekatan non ilmiah dimaksud meliputi semata-mata
berdasarkan intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal
berpikir kritis (Kemendikbud, 2013:142). Perubahan proses pembelajaran (dari
siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis
output menjadi berbasis proses dan output). Penilaian proses pembelajaran
menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai

38

kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh (Permendikbud No.65 Tahun
2013).
Scientific Mathematic merupakan proyek Eropa yang melibatkkan kerjasama
interdisiplinary antara matematika dan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk
mengembangkan pembelajaran ke arah belajar yang komprehensif dan
multidimensional mengenai isi dan konsep matematika. Ide dasarnya adalah untuk
mendorong pembelajaran matematika dalam konteks ilmiah dan kegiatan siswa
(Beckmann et. al, 2009:9). Kemudian disebutkan bahwa pendekatan ini
mengaitkan antara matematika dengan ilmu pengetahuan, sehingga siswa akan
mempelajari matematika dengan cara yang menarik. Belajar dengan berkegiatan
akan berkontribusi terhadap pemahaman intuitif matematika siswa. Dengan kata
lain, belajar matematika yang baik adalah mengalami atau berkegiatan.
Pada pembelajaran matematika, langkah-langkah pendekatan saintifik ini
terdiri dari pengumpulan data dari percobaan, pengembangan dan peyelidikan
suatu model matematika dalam bentuk representasi yang berbeda, dan refleksi
(Beckmann et. al, 2009:9). Pendekatan saintifik pada kurikulum 2013 yang
diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut
menjadi

lima,

yaitu:

mengamati,

menanya,

menalar,

mencoba,

dan

mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013).


Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah menyebutkan bahwa untuk memperkuat pendekatan ilmiah
(scientific), tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan tematik (dalam
suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/

39

penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta


didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok
maka

sangat

disarankan

menggunakan

pendekatan

pembelajaran

yang

menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning).


Ada beberapa model pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan pada
pendekatan saintifik dalam kurikukulum 2013, diantaranya Pembelajaran Berbasis
Proyek (Project Based Learning), Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning),
dan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-based learning). Berdasarkan
pembahasan di atas dan karakteristik pembelajaran matematika, maka peneliti
menetapkan fokus penelitian ini pada dua model pembelajaran yaitu: discovery
learning dan problem-based learning.

a.

Model Discovery Learning


Salah satu model intruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model

dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan. Dasar dari teori
Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
saat belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar dengan menemukan discovery
learning. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan sendirinya memberikan hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang benar-benar bermakna. Bruner menyarankan agar siswa
hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep dan prisnsipprinsip agar memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang

40

menginginkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri (Dahar,


2011:74).
Model Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai
proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran
dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana
pendapat Bruner, bahwa: Discovery Learning can be defined as the learning that
takes place when the student is not presented with subject matter in the final form,
but rather is required to organize it him self (Kemendikbud, 2013:1).
Menurut Budiningsih (2005:43), model discovery learning adalah memahami
konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada
suatu kesimpulan. Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam
penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan
discovery itu sendiri menurut Sund dalam Roestiyah (2008:22), adalah the mental
process of assimilatig conceps and principles in the mind (proses mental dimana
siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip). Yang dimaksudkan
dengan proses mental tersebut antara lain: mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjejelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan, dan sebagainya.
Menurut Suyono dan Hariyanto (2012:88) bahwa dalam implikasinya pada
proses

pembelajaran,

siswa

mengorganisasikan

bahan

pelajaran

yang

dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan

41

berpikir anak. Siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa
belajar melalui aktif dengan kosep-konsep dan prinsip-prinsip (Baharudin dan
Wahyuni, 2008:129).
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara
induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Lawan dari pendekatan ini
disebut belajar ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini
siswa diberi informasi umum untuk diminta menjelaskan informasi tersebut
melalui contoh-contoh khusus dan konkret (Thobrani dan Arif, 2011:99).
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya model discovery learning merupakan
pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan
terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang
nampak dalam discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori,
atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori
dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi
(similaritas and difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadiankejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima
unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua
unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif
maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4)

42

Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan


bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda
yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori
meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap
siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa
pada

tahap

eksplorasi.

Lingkungan

ini

dinamakan

discovery

learning

environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi,


penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan
yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan
pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif
siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan
siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap
yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan
symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,

43

sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objekobjek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan
(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya
(Kemendikbud, 2013:3).
Dalam mengaplikasikan model discovery learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2011:145). Kondisi seperti
ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi
student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya
guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut
siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang
bermanfaat bagi dirinya. Dalam model discovery learning bahan ajar tidak
disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun

informasi,

mengintegrasikan,
kesimpulan.

membandingkan,

mereorganisasikan

bahan

mengkategorikan,
serta

membuat

menganalisis,
kesimpulan-

44

Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka


sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam
bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi
model discovery learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatankesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih,
2005:41).
Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery sebagai metode mengajar
ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru
hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak
berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah
masalah disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya
dikurangi direktifnya melainkan siswa diberi responsibilitas yang lebih besar
untuk belajar sendiri.
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model discovery learning
di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum sebagai berikut:
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu

45

guru dapat memulai kegiatan proses pembelajaran dengan mengajukan


pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulas pada tahap ini
berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam
hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya
yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan
siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian
seorang guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada
siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulas langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agendaagenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan
yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau
hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan

yang

diajukan.

Memberikan

kesempatan

siswa

untuk

mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi,


merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3) Data Collection (Pengumpulan Data)

46

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para


siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada
tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidaknya hipotesis. Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca
literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji
coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar
secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan
permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa
menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah
data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara,
observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan,
wawancara,

observasi,

dan

sebagainya,

semuanya

diolah,

diacak,

diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu


serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/kategorisasi yang
berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi
tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif
jawaban/penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (Pembuktian)

47

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk


membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Sehingga setelah mencapai tujuan tersebut atau berdasarkan hasil pengolahan
dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah
dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah
terbukti atau tidak (Djamarah, 2002:22).
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalitation/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak
didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah,
2002:22). Yang perlu diperhatikan siswa setelah menarik kesimpulan adalah
proses generalisasi menekankan pentingnya penguasaan pelajar atas makna
dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman
seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari
pengalaman-pengalaman itu (Slameto, 2003:119). Yaitu dengan menangkap

48

ciri-ciri atau sifat sifat umum yang terdapat dalam sejumlah hal yang khusus
(Djamarah, 2002:191).
Penggunaan model discovery ini adalah guru berusaha meningkatkan
aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar (Roestiyah, 2008:20). Maka metode
ini memiliki kelebihan sebagai berikut :
1) Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan,
memperbanyak kesiapan serta penguasaan keterampilan dalam proses
kognitif/pengenalan siswa;
2) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual
sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut;
3) Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa;
4) Mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk berkembang dan
maju sesuai dengan kemampuan masing-masing;
5) Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki
motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat;
6) Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada
diri sendiri dengan proses penemuan sendiri;
7) Strategi itu berpusat pada siswa, tidak pada guru.Guru hanya sebagai
teman belajar saja, membantu bila diperlukan (Roestiyah, 2008:20).
Walau demikian, masih ada pula kelemahan yang perlu diperhatikan ialah:
1) Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar
ini.Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan
sekitarnya dengan baik;
2) Bila kelas terlalu besar penguunaan teknik ini akan kurang berhasil;
3) Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan
pengajaran tradisional mungkin akan sempat kecewa bila diganti dengan
teknik ini;
4) Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini trelalu
mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan
perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa;
5) Tidak memberikan kesempatan berpikir secara kreatif (Roestiyah,
2008:21).
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa model discovery
learning adalah suatu model pembelajaran untuk mengembangkan cara belajar
siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang

49

diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan
siswa. Dengan belajar penemuan, siswa juga bisa belajar berfikir analisis dan
mencoba memecahkan sendiri masalah yang dihadapi. Kebiasaan ini akan
ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Model Problem-based Learning


Problem-Based Learning merupakan pembelajaran berdasarkan masalah,
telah dikenal sejak zaman Jonh Dewey. Dewey mendeskripsikan pandangan
tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar
dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan penuntasan masalah
kehidupan nyata (Arends, 2008:46).
Menurut Piaget bahwa paedagogik yang baik itu harus melibatkan
penyodoran berbagai situasi dimana anak bisa bereksprimen, yang dalam artinya,
yang paling luas-menguji cobakan berbagai hal untuk melihat apa yang terjadi,
memanipulasi benda, memanipulasi simbol-simbol, melontarkan pertanyaan dan
mencari jawabannya sendiri, merekonsiliasikan apa yang ditemukannya pada
suatu waktu dengan apa yang ditemukannya pada waktu yang lain,
membandingkan temuannya dengan temuaan anak-anak lain (Arends, 2008:47).
Suryadi dalam Fachrurazi (2011) menyatakan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah merupakan suatu strategi yang dimulai dengan menghadapkan
siswa pada masalah nyata dan masalah yang disimulasikan. Pada saat siswa
menghadapi masalah tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal demikian dapat
dipandang

dari

berbagai

perspektif

serta

pengintegrasian informasi dari berbagai ilmu.

menyelesaikannya

dibutuhkan

50

Hal senada diungkapkan oleh Arends (2008:56) bahwa pembelajaran berbasis


masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan
masalah yang autentik dengan maksud menyusun pengetahuan mereka sendiri,
mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi,
mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Selanjutnya Ibrahim, dkk (2005:3) menyatakan bahwa Problem-based
learning adalah pembelajaran yang menyajikan kepada suatu situasi masalah yang
autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka
melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Apa yang terungkap diatas memberikan dasar tentang salah satu model
pembelajaran yang sangat urgen dan unggul untuk diterapkan agar tujuan dari
suatu pembelajaran tercapai dengan maksimal. Howard Barrows dan Kelson
(Amir, 2009:21) mengungkapkan bahwa problem-based learning (PBL) adalah
kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalahmasalah yang menuntut mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang penting,
membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi
belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses
pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan
masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan
kehidupan sehari-hari.
Menurut Arends dalam Trianto (2007:68), pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran dimana siswa mengerjakan
permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka

51

sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi,


mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri.
Problem-based learning tidak dirancang untuk membantu guru memberikan
informasi sebanyak-banyak kepada peserta didik. Tan dalam Amir (2009:4)
mengungkapkan bahwa pengetahuan kita akan pendidik dan peserta didik
berpartisipasi harus di ubah. Pendidik yang tadinya dianggap orang yang paling
berotoritas atas pengetahuan tertentu kini harus dipertanyakan. Dengan
perkembangan internet misalnya pengetahuan dapat diperoleh dengan relatif
mudah. Pendidik bukan lagi orang yang satu-satunya memiliki sumber
pengetahuan karena dahulu buku teks asli hanya dimiliki oleh seorang pendidik.
Problem-based learning dengan pengharapan peserta didik belajar di
lingkungan kecil atau kelompok kecil akan membantu perkembangan masyarakat
belajar. Bekerja dalam kelompok juga membantu mengembangkan karakteristik
esensial yang dibutuhkan untuk sukses setelah siswa tamat belajar seperti dalam
berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi secara tertulis dan keterampilan
membangun tim kerja.
Dari berbagai model pembelajaran yang mulai dikembangkan itu memiliki
masing-masing karakteristik. Para pengembang pembelajaran problem-based
learning (Krajcik, Blumenfeld, Marx, Soloway, Slavin Maden, Dolan, Wasik,
Cognition dan Teknology Group at Vanderbit) telah mendeskripsikan karakteristik
sebagai berikut (Arends, 2008:42):
1) Pengajuan pertanyaan atau masalah.

52

Pembelajaran problem-based learning mengorganisasi pembelajaran


dengan diseputar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial
penting dan secara pribadi bermakna bagi peserta didik. Pengajuan situasi
kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan
memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2) Berfokus pada interdisipliner.
Meskipun problem-based learning dipusatkan pada subjek tertentu atau
mata pelajaran tertentu, akan tetapi masalah yang dipilihkan benar-benar
nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak
mata pelajaran.
3) Investigasi autentik
Problem-based learning mengharuskan siswa untuk melakukan investigasi
autentik atau peyelidikan autentik untuk menemukan solusi riil. Mereka
harus menganalisis, mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis
dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
melaksanakan eksprimen (bila memungkinkan) membuat inferensi dan
menarik kesimpulan.
4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Problem-based learning menuntut siswa untuk menghasilkan produk
tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat, debat bohong
bohongan, dan dapat juga dalam bentuk laporan, model fisik, video,

53

maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian di demonstrasikan


kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari
dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau
makalah.
5) Kolaborasi
Problem-based learning dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama
lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok-kelompok
kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara
berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan kesempatan
untuk

melakukan

penyelidikan

dan

dialog

bersama

dan

untuk

mengembangkan berbagai keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.


Jadi problem-based learning tidak dirancang untuk membantu guru
menyampaikan informasi dengan jumlah besar kepada peserta didik, akan tetapi
problem-based

learning

dirancang

terutama

untuk

membantu

siswa

mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah dan


keterampilan intelektualnya, mempelajari peran-peran orang dewasa dengan
mengalaminya melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan, dan
menjadi peserta didik yang mandiri dan otonom. Ilustrasi karakteristik yang
dijalani pada proses pembelajaran dapat dilihat pada gambar berikut ini:

54

Gambar 2.2 Alur Proses Problem-Based Learning (Dhevita Nur, 2013)


Keterampilan berpikir yang dibangun pada pelaksanaan problem-based
learning tentu berimplikasi dari apa yang menjadi karakternya.
Konsep tentang problem-based learning adalah sangat jelas, tidak rumit dan
mudah untuk menangkap ide-ide dasar yang terkait dengan model ini. Namun
bagaimanapun juga pelaksanaan model itu secara efektif lebih sulit. Penerapan
model pembelajaran ini membutuhkan banyak latihan dan mengharuskan untuk
mengambil keputusan-keputusan khusus pada saat fase perencanaan, interaksi dan
fase setelah pembelajarannya.
Beberapa

prinsip

pembelajaran

sama

dengan

prinsip

yang

telah

dideskripsikan untuk presentasi, pengajaran langsung dan cooperative learning,


tetapi sebagian lainnya unik bagi problem-based learning. Penekanan diberikan

55

pada ciri unik model tersebut dalam proses pelaksanaannya adalah Arends dalam
Suprijono (2012:46), (Ibrahim dan Nur, 2005:24-29):
1) Melaksanakan Perecanaan
Pada tingkat yang paling mendasar, problem-based learning dicirikan
mengenai peserta didik bekerja dalam berpasangan atau kelompok kecil
untuk melakukan penyelidikan masalah-masalah kehidupan nyata yang
belum teridentifikasi dengan baik. Karena tipe pembelajaran ini sangat
tinggi

kualitas

interaktifnya,

beberapa

ahli

berpendapat

bahwa

perencanaan yang terinci tidak dibutuhkan dan bahkan tidak mungkin.


Penyederhanaan ini tidak benar. Perencanaan untuk pembelajaran
problem-based learning seperti halnya dengan pelajaran interaktif yang
lain, pendekatan yang berpusat pada peserta didik, membutuhkan upaya
perencanaan sama banyaknya atau bahkan lebih. Perencanaan guru itulah
yang memudahkan pelaksanaan berbagai fase pembelajaran problembased learning dan pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan.
a) Penetapan tujuan
Penetapan tujuan pembelajaran khusus untuk pembelajaran problembased learning merupakan salah satu di antata tiga pertimbangan
penting perencanaan. Sebelumnya problem-based learning dirancang
untuk

membantu

mencapai

tujuan-tujuan

yaitu meningkatkan

keterampilan intelektual dan investigasi, memahami peran orang


dewasa, dan membantu peserta didik untuk menjadi mandiri. Akan

56

tetapi kemungkinan yang lebih besar adalah guru hanya akan


menekankan pada satu atau dua tujuan pembelajaran tertentu.
b) Merancang situasi masalah
Problem-based learning didasarkan pada anggapan dasar bahwa
situasi bermasalah yang penuh teka teki dan masalah yang tidak
terdefinisikan secara ketat akan merangsang rasa ingin tahu peserta
didik hingga membuat mereka tertarik untuk menyelidiki.
Menurut Sanjaya (2010:216) bahan pembelajaran atau masalah yang
ditawarkan adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan
kondisi yang diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan
apa yang di harapkan. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari
adanya keresahan, keluhan, kerisauan dan kecemasan. Oleh karena itu
kriteria pemilihan bahan pelajaran atau masalah adalah :
(1) Masalah yang mengandung isu-isu, konflik (compflict issue) yang
bisa bersumber dari berita, rekaman video dan yang lainya.
(2) Yang dipilih adalah bahan yang bersifat familier dengan peserta
didik, shingga setiap peserta didik dapat mengikutinya dengan
semangat.
(3) Yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan
kepentingan
manfaatnya.

orang

banyak

(universal),

sehingga

terasa

57

(4) Yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau


kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan
kurikulum yang berlaku.
(5) Yang dipilih sesuai dengan minat peserta didik sehingga setiap
peserta didik merasa perlu untuk mempelajarinya.
c) Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Problem-based learning mendorong peserta didik untuk bekerja
dengan berbagai bahan dan alat, beberapa di antaranya dilakukan di
dalam kelas, yang lainnya di perpustakaan atau laboratorium
komputer, sementara yang lainnya berada di luar sekolah. Untuk
pekerjaan yang berada di luar sekolah mendatangkan masalah khusus
bagi guru. Oleh karena itu tugas mengorganisasikan sumber daya dan
merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan peserta didik, haruslah
menjadi tugas perencanaan yang utama bagi guru.
2) Melaksanakan Pembelajaran
Pada pelaksanaan problem-based learning ada lima fase dan prilaku yang
dibutuhkan dari guru untuk dilalui yakni :
a) Memberikan orientasi masalah kepada siswa
Guru harus menjelaskan proses-proses dan prosedur-prosedur model
itu secara terperinci, hal yang perlu dielaborasi antara lain:
(1) Tujuan utama pembelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah
besar informasi baru tetapi menginvestigasi berbagai permasalah
penting dan menjadi pelajar yang mandiri. Untuk peserta didik

58

yang lebih muda, konsep ini dapat dijelaskan sebagai pelajaran


bagi mereka untuk dapat menemukan sendiri makna berbagai
hal.
(2) Permasalah atau pertanyaan yang diinvestigasi tidak memiliki
jawaban yang mutlak benar dan sebagian besar permasalahan
kompleks memiliki banyak solusi yang kadang-kadang saling
bertentangan.
(3) Selama fase investigasi pelajaran, peserta didik akan didorong
untuk melontarkan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan
memberikan bantuan, tetapi siswa mestinya berusaha bekerja
secara mandiri atau dengan teman-temannya.
(4) Selama fase analisis dan penjelasan pelajaran, siswa akan di
dorong untuk mengekspresikan ide-idenya secara terbuka dan
bebas. Tidak ada ide yang ditertawakan oleh guru maupun teman
sekelas.

Semua

siswa

akan

diberi

kesempatan

untuk

berkonstribusi dalam investigasi dan mengekspresikan ide-idenya.


b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada

model

pembelajaran

berdasarkan

masalah

dibutuhkan

pengembangan keterampilan kerjasama diantara siswa dan saling


membantu untuk menyelidiki masalah secara bersamaan. Berkenaan
dengan hal tersebut peserta didik memerlukan bantuan guru untuk
merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan.

59

c) Membantu penyelidikan individu dan kelompok


Hal yang dilakukan guru adalah membantu penyelidikan peserta didik
secara individu maupun kelompok dengan jalan yaitu:
(1) Pengumpulan data dan eksperimentasi, guru membantu peserta
didik untuk pengumpulan informasi dari berbagai sumber, peseta
didik diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang
suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk
memecahkan masalah tersebut. Peserta didik diajarkan untuk
menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode
yang sesuai untuk masalah yang dihadapinya, peserta didik juga
perlu diajarkan apa dan bagaimana etika penyelidikan yang benar.
(2) Guru mendorong pertukaran ide secara bebas dan penerimaan
sepenuhnya gagasan-gagasan tersebut merupakan hal yang sangat
penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka, selama tahap
penyelidikan, guru seharusnya menyediakan bantuan yang
dibutuhkan tanpa mengganggu aktifitas peserta didik.
(3) Mengembangkan dan menyajikan artifak dan pameran. Artifak
lebih dari sekedar laporan tertulis, artifak meliputi berbagai karya
seperti videotape yang menunjukkan situasi masalah dan
pemecahan yang diusulkan. Setelah artifak dikembangkan, maka
guru seringkali mengorganisasikan pameran untuk memamerkan
dan mempublikasikan hasil karya tersebut.

60

d) Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah


Tahap akhir problem-based learning meliputi aktivitas yang
dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisa dan mengevaluasi
proses berpikir mereka sendiri dan di samping itu juga keterampilan
penyelidikan dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan.
Selama tahap ini, guru meminta peserta didik untuk melakukan
rekonstruksi pemikiran dan aktivitas mereka selama tahap-tahap
pelajaran yang dilewatinya. Kapan mereka pertama kali memperoleh
pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka merasa
yakin dalam pemecahan masalah? Mengapa mereka dapat menerima
beberapa penjelasan lebih dahulu daripada yang lainnya? Mengapa
mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi
pemecahan

final

mereka?

Apakah

mereka

telah

mengubah

pemikirannya tentang situasi masalah itu ketika penyelidikan


berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan
melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Di bawah ini
adalah bagaimana prosedur pelaksanaan problem-based learning.

Gambar 2.3 Prosedur Pelaksanaan PBL (Graham, 2013)

61

Perilaku yang dilakukan guru dan peserta didik Problem-based learning


berhubungan dengan masing-masing fase dirangkum dalam tabel berikut ini
(Dhevita Nur, 2013):
Tabel 2.1 Sintaks Problem-Based Learning
Fase

Perilaku Guru

Fase 1: Orientasi siswa kepada masalah

Fase 2: Mengorganisasi

siswa

untuk

belajar

Fase 3: Membimbing

penyelidikan

individu maupun kelompok

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan


hasil karya

Fase 5: Menganalisa dan mengevaluasi


proses pemecahan masalah

1. Guru
menjelaskan
tujuan
pembelajaran
2. Guru menjelaskan logistik yang
dibutuhkan
3. Memotivasi siswa terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah
yang dipilih
4. Guru
membantu
siswa
mendefinisikan
dan
mengorganisasikan
tugas
belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
5. Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai,
melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan
masalah
6. Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model dan
membantu
mereka
untuk
berbagi tugas dengan temannya
7. Guru membantu siswa untuk
melakukan
refleksi
atau
evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang
mereka gunakan

Pelaksanaan fase tersebut diatas dapat dilihat pada prosedur pelaksanaan


pembelajaran problem-based learning pada gambar dibawah ini:

62

Individu /
Sub
Kelompok

Problem

Kelompok

Individu /
Sub
Kelompok

Penyerahan
Paper Kelompok
Laporan
Individu
Presentasi

Individu /
Sub
Kelompok
Pertemuan I:
Fase 1 - 3

Mengklasifikasi masalah
Merumuskan masalah
Menganalisis masalah
Menata gagasan secara sistematis
Menentukan tujuan pembelajaran

Pertemuan II:
Fase 4 - 5

Proses
pelaksanaan
tugas

Presentasi dan diskusi


Penilaian

Gambar 2.4 Fase PBL dalam Pertemuan Pembelajaran


Berdasarkan pembahasan di atas dapat dipahami bahwa problem-based
learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran
yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik
untuk belajar, dengan membangun cara berpikir kritis dan terampil dalam
pemecahan masalah, serta mengkostruksi pengetahuan dan konsep yang esensial
dari materi pelajaran. Jadi problem-based learning memiliki gagasan bahwa
pembelajaran dapat efektif dan dicapai jika kegiatan pembelajaran dipusatkan
pada tugas-tugas atau permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasikan
dalam suatu konteks.

63

B. Kerangka Berpikir
1.

Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Terhadap Kemampuan


Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah Matematika
Kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah merupakan

bagian dari prestasi belajar matematika yang diharapkan dimiliki oleh setiap siswa
sebagai implikasi dari proses pembelajaran matematika yang telah dilaksanakan.
Untuk mencapai prestasi belajar tersebut, maka ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan diantaranya adalah pendekatan pembelajaran yang diterapkan oleh
guru lebih spesifik lagi pada model pembelajaran yang digunakan pada setiap
proses pembelajaran.
Pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan
potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki
oleh seorang guru. Ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran akan
berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar siswa.
Kurikulum 2013 menitik beratkan pada penerapan pendekatan saintifik
(scientific learning) yang berbasis pada model pembelajaran konstruktivistik,
seperti Discovery Learning, Problem-Based Learning, dan Project-Based
Learning melalui proses mengamati, menanya, menalar, mencoba, membangun
jejaring, dan mengkomunikasikan berbagai informasi terkait pemecahan masalah
real world, analisis data, dan menarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini diterapkan teori pembelajaran yang menganut paham
konstruktivistik yaitu model pembelajaran discovery learning dan problem-based
learning dengan pendekatan scientific learning. Dampak langsung dari penerapan
pembelajaran ini adalah memampukan siswa mengonstruksi konsep dan prinsip

64

matematika melalui penyelesaian masalah dan terbiasa menyelesaikan masalah


nyata di lingkungan siswa. Pemahaman siswa terhadap objek-objek matematika
dibangun berdasarkan pengalaman budaya dan pengalaman belajar yang dimiliki
sebelumnya. Kebermaknaan pembelajaran yang melahirkan pemahaman, dan
pemahaman mendasari kemampuan siswa mentransfer pengetahuannya dalam
menyelesaikan masalah, berpikir kritis dan kreatif.
Kemampuan menyelesaikan masalah tidak rutin menyadarkan siswa akan
kebergunaan matematika. Kebergunaan akan menimbulkan motivasi belajar
secara internal dari dalam diri siswa dan rasa memiliki terhadap matematika akan
muncul sebab matematika yang dipahami adalah hasil rekonstruksi pemikirannya
sendiri.
Selain dampak diatas, siswa terbiasa menganalisis secara logis dan kritis
memberikan pendapat atas apa saja yang dipelajari menggunakan pengalaman
belajar yang dimiliki sebelumnya. Penerimaan individu atas perbedaan-perbedaan
yang terjadi (perbedaan pola pikir, pemahaman, daya lihat dan kemampuan), serta
berkembangnya kemampuan berkolaborasi antar siswa. Retensi pengetahuan
matematika yang dimiliki siswa dapat bertahan lebih lama sebab siswa terlibat
aktif di dalam proses penemuannya.
Penerapan pendekatan scientific learning dapat membangun kemampuan
matematika siswa, kemampuan disini adalah kemampuan berpikir untuk
menemukan

dan

mengembangkan

pengetahuannya

dalam

menghubung-

hubungkan fakta dan ide untuk mencapai kesimpulan dan pemecahan masalah.

65

Berdasarkan seluruh uraian tersebut, dapat diduga bahwa ada pengaruh


penerapan pendekatan scientific learning terhadap kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah matematika siswa.

2.

Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Terhadap Kemampuan


Berpikir Kritis Matematika
Pembelajaran kurikulum 2013 adalah pembelajaran kompetensi dengan

memperkuat proses pembelajaran dan penilaian autentik untuk mencapai


kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penguatan proses pembelajaran
dilakukan melalui pendekatan saintifik, yaitu pembelajaran yang mendorong
siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya, mencoba/mengumpulkan data,
mengasosiasi/menalar, dan mengomunikasikan.
Berpikir kritis melibatkan tujuan, goal-directed berpikir dalam proses
pembuatan keputusan berdasarkan bukti dan bukan menebak dalam proses
pemecahan masalah ilmiah. Ini melibatkan penalaran logis, kemampuan untuk
fakta terpisah dari pendapat, memeriksa hal-hal sebelum mereka menerima dan
mengajukan pertanyan diri sendiri sepanjang waktu. Salah satu proses penalaran
formal yang menggabungkan pemikiran kritis adalah metode ilmiah (scientific)
dengan melibatkan kegiatan mengidentifikasi masalah yang harus diselidiki,
mengumpulkan data, merumuskan hipotesis, pengujian hipotesis melalui
eksperimen, mengevaluasi hipotesis, dan tiba di tujuan akhir, yang merupakan
peneriman atau penolakan hipotesis.
Penguatan proses pembelajaran matematika melalui pendekatan saintifik,
mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya, mengeksplorasi/

66

mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasikan atau mempresentasikan. Dan


sebagai Instrumen Pembelajaran Matematika harus merefleksikan kompetensi
sikap ilmiah, berfikir ilmiah, dan keterampilan kerja ilmiah. Kegiatan menanya
dilakukan sebagai salah satu proses membangun pengetahuan siswa dalam bentuk
konsep, prinsip, prosedur, hukum dan teori, hingga berpikir metakognitif.
Tujuannnya agar siswa memiliki kemapuan berpikir tingkat tinggi (critical
thingking skill) secara kritis, logis, dan sistematis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga adanya pengaruh pendekatan
scientific learning terhadap kemampuan berpikir kritis matematika siswa. Karena
dalam prinsip pendekatan saintifik bertujuan untuk membangun kemampuan
berpikir dan bersikap ilmiah. Hasil kegiatan pembelajaran dengan pendekatan
saintifik memungkinkan siswa berpikir kritis tingkat tinggi (higher order thinking
skills) hingga berpikir metakognitif.

3.

Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Terhadap Kemampuan


Pemecahan Masalah Matematika
Peranan matematika yang sangat besar dalam peningkatan kualitas sumber

daya manusia, haruslah didukung dengan suatu proses pembelajaran matematika


yang memberikan kesempatan pada siswa untuk dapat melihat dan mengalami
sendiri kegunaan matematika dalam proses pemecahan masalah pada kehidupan
nyata. Melalui pembelajaran matematika yang mengkaitkan konsep matematika
dengan konsep lain serta mengkaitkan matematika dengan suatu permasalahan
dalam kehidupan nyata, maka siswa akan semakin sadar betapa pentingnya belajar
matematika.

67

Melalui pembelajaran yang proses belajar mengajarnya diawali dengan


menghadapkan siswa dalam masalah serta mengkaitkan area-area pengetahuan
yang berbeda, maka akan mengarahkan kepada kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Dengan kata lain bila kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa baik, maka siswa akan cenderung tidak mengalami kesulitan
dalam mempelajari matematika selanjutnya, ataupun mempelajari pelajaran
lainnya. Jadi, dalam proses kegiatan belajar mengajar perlu adanya pendekatan
pembelajaran yang penekanannya mengarah kepada kemampuan pemecahan
masalah matematika.
Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkahlangkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah.
Pembelajaran saintifik tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir,
namum proses pembelajaran dipandang sangat penting. Oleh karena itu
pembelajaran saintifik menekankan pada keterampilan proses. Pendekatanl
pembelajaran berbasis peningkatan keterampilan proses sains adalah pendekatan
pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan proses sains ke dalam sistem
penyajian materi secara terpadu. Pendekatan ini menekankan pada proses
pencarian pengetahuan dari pada transfer pengetahuan, peserta didik dipandang
sebagai subjek belajar yang perlu dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran, guru hanyalah seorang fasilitator yang membimbing dan
mengkoordinasikan kegiatan belajar. Dalam pendekatan ini peserta didik diajak
untuk melakukan proses pencarian pengetahuan dan pemecahan masalah
berkenaan dengan materi pelajaran melalui berbagai aktivitas proses sains

68

sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan (scientist) dalam melakukan


penyelidikan ilmiah, dengan demikian peserta didik diarahkan untuk menemukan
sendiri berbagai fakta, membangun konsep, dan nilai-nilai baru yang diperlukan
untuk kehidupannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga adanya pengaruh pendekatan
scientific learning terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Karena dalam prinsip pendekatan saintifik melalui keterampilan proses siswa
diajak untuk memecahkan masalah secara terstruktur sesuai dengan proses
pemecahan masalah, yaitu melakukan pengamatan terhadap masalah yang
diberikan sehingga dengan pengamatan itu siswa memahami masalah, membuat
perencanaan penyelesaian, menyelesaikan rencana penyelesaian masalah, dan
yang terakhir melakukan review terhadap hasil pemecahan masalah yang
diperoleh.

C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1.

Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik (scientific learning)


terhadap kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matemastis
siswa secara multivariat.

2.

Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik (scientific learning)


terhadap kemampuan berpikir kritis matemastis siswa.

3.

Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik (scientific learning)


terhadap kemampuan pemecahan masalah matemastis siswa.

Anda mungkin juga menyukai