A. Landasan Teori
1.
Matematika
Istilah matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein dan mathenem
15
15
16
b. Berpikir Kritis
Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan
masalah,
membuat
keputusan,
atau
memenuhi
rasa
keingintahuan.
Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order
thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan
bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang
diberikan sebelumnya. Sementara, kemampuan berpikir tinggi (higher order
thinking) membuat siswa untuk mengintrepretasikan, menganalisa atau
bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton.
Kemampuan
berpikir
tinggi
(higher
order
thinking)
digunakan
17
18
19
adalah
memahami
makna
masalah
secara
lebih
dalam,
20
fakta-fakta
dan
menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan
Interpretasi
Evaluasi
Penjelasan
Analisa
Berpikir Kritis
Kesimpulan
Pengaturan Diri
21
(dalam
Hasruddin,
2009:50-51),
menyatakan
bahwa
22
usaha seseorang untuk dapat berpikir kritis terhadap suatu masalah dalam
kehidupan. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang
telah dilakukan dalam hidup ini. Berpikir kritis juga berarti usaha untuk
menghindarkan diri dari ide dan tingkah laku yang menjadi kebiasaan.
Tujuan berpikir kritis menurut Maiorana (dalam Scott, 2008:40) adalah
the purpose of critical thinking is to use questioning techniques to achieve
understanding, evaluate view-points, and solve problems. Tujuan berpikir
kritis adalah dengan menggunakan teknik mempertanyakan untuk mencapai
pemahaman, mengevaluasi pandangan-poin, dan memecahkan masalah.
Sedangkan menurut Ennis (dalam Husnidar, dkk, 2014:73) berpikir kritis
adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang
rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan
sesuatu.
Dengan
demikian
berpikir
kritis
mempertimbangkan
dan
yang berpikir
kritis
akan
mengevaluasi
dan
kemudian
23
antara masalah yang didiskusikan dengan masalah atau pengalaman lain yang
relevan (Dwijananti dan Yulianti, 2010:112).
Ennis (dalam Husnidar, 2014:74-75), mengungkapkan aspek berpikir
kritis serta beberapa indikatornya sebagai berikut:
1) Memberi penjelasan dasar (klarifikasi):
a) Memusatkan pada pertanyaan
b) Menganalisis alas an
c) Mengajukan dan menjawab pertanyaan klarifikasi (membedakan dan
mengelompokkan).
2) Membangun keterampilan dasar
a) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
b) Mengamati dan menggunakan laporan hasil observasi
3) Menyimpulkan
a) Dengan penalaran deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
b) Dengan penalaran induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
c) Membuat atau menentukan pertimbangan nilai.
4) Memberi penjelasan lanjut
a) Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi dalam tiga
dimensi (bentuk, strategi, dan isi).
b) Mengidentifikasi asumsi.
5) Mengatur strategi dan taktik
a) Memutuskan tindakan.
b) Berinteraksi dengan orang lain.
Kemudian menurut Carin & Sund (dalam Dwijananti dan Yulianti,
2010:112) kategori berpikir kritis, yaitu:
1) mengklasifikasi; 2) mengasumsi; 3) memprediksi dan hipotesis; 4)
menginterpretasi data, mengiferensi atau membuat kesimpulan; 5)
mengukur; 6) merancang sebuah penyelidikan; 7) mengamati; 8)
membuat grafik; 9) meminimalkan kesalahan percobaan; 10)
mengevaluasi; dan 11) menganalisis.
Selanjutnya Mulyana (dalam Jayadipura, 2014:126), mengemukakan
indikator berpikir kritis sebagai berikut:
1) Kemampuan mengidentifikasi asumsi yang diberikan; 2) Kemampuan
merumuskan pokok-pokok permasalahan; 3) Kemampuan menentukan
akibat dari suatu ketentuan yang diambil; 4) Kemampuan mendeteksi
adanya bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda; 5)
24
mental
untuk
memperoleh
pengetahuan,
pemahaman
dan
2.
Pemecahan Masalah
25
26
pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu
kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai.
Berdasarkan beberapa pengertian pemecahan masalah di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pemecahan masalah sebagai proses, mengandung arti atau
mengacu pada kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya langkahlangkah, strategi dan heuristik yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan
masalah, sehingga siswa dapat menemukan jawaban dan bukan hanya pada
jawaban itu sendiri.
masalah
merupakan
suatu
kegiatan
manusia
yang
27
28
29
30
a.
b.
c.
d.
e.
31
Bekerja mundur
Menemukan suatu pola
Mengambil suatu sudut pandangan yang berbeda
Memecahkan suatu masalah yang beranalogi dengan masalah yang
sedang dihadapi tetapi lebih sederhana
5. Mempertimbangkan kasus-kasus ekstrim
6. Membuat gambar (representasi visual)
7. Menduga dan menguji berdasarkan akal
8. Memperhitungkan semua kemungkinan (daftar/pencantuman yang
menyeluruh)
9. Mengorganisasikan data
10. Penalaran logis
32
b. Merencanakan penyelesaian
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
1) Pernahkah ada soal ini sebelumnya? Adakah soal yang sama atau
serupa dalam bentuk lain?
2) Tahukah soal yang mirip dengan soal ini? Teori mana yang dapat
digunakan dalam masalah ini?
3) Perhatikan yang ditanyakan! Coba pikirkan soal yang pernah
diketahui dengan pertanyaan yang sama atau serupa?
33
4) Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman yang lama digunakan
dalam masalah sekarang? Dapatkah hasil atau metode yang lalu
digunakan? Apakah harus dicari unsur lain agar memanfaatkan soal
semula?
lain?
Kembalikan ke definisi!
5) Andaikan soal baru belum dapat diselesaikan, coba pikirkan soal
serupa dan selesaikan?
c. Menyelesaikan rencana penyelesaian (melakukan perhitungan)
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
1) Laksanakan rencana pemecahan, dan periksalah tiap langkahnya?
2) Apakah semua langkah sudah benar?
3) Dapatkah anda membuktikan bahwa langkah tersebut sudah benar?
d. Memeriksa kembali.
1) Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh?
2) Dapatkah diperiksa sanggahannya?
3) Dapatkah dicari hasil itu dengan cara lain?
4) Dapatkah anda mencari hasilnya dengan cara yang berbeda?
5) Dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah lain?
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seorang
siswa
dalam
mengatasi
kesulitan
yang
ditemui
dengan
34
jalan
untuk
mencapai
suatu
tujuan
yang
diinginkan.
Kemampuan
memecahkan masalah ini dapat dikembangkan jika siswa diberikan masalahmasalah yang tidak rutin. Melalui penggunaan masalah-masalah yang tidak
rutin, para siswa tidak hanya terfokus pada bagaimana menyelesaikan
masalah dengan berbagai strategi yang ada, tetapi juga menyadari kekuatan
dan kegunaan matematika di dunia sekitar mereka dan berlatih melakukan
penyelidikan dan penerapan berbagai konsep matematika yang telah mereka
pelajari. Karena siswa menerima pengetahuan baru dalam berbagai situasi
pemecahan masalah, maka guru mempunyai peran yang sangat penting dalam
menekankan pemecahan masalah di kelas.
Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah yang diukur
melalui kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam setiap
permasalahan, aspek memahami masalah diukur melalui menuliskan unsur
yang diketahui dan unsur yang ditanya, aspek merencanakan pemecahan
diukur melalui menuliskan teori atau metode yang dapat digunakan dalam
masalah ini, aspek melakukan perhitungan diukur melalui melaksanakan
rencana pemecahan sesuai dengan teori atau metode yang dipilih, aspek
memeriksa kembali diukur melalui memeriksa kebenaran hasil yang
diperoleh.
3.
dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep,
hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi
35
36
Networking
(Membentuk
Jaringan)
Eksperimreting
(Mencoba)
Associating
(Menalar)
Questioning
(Menanya)
Observing
(Mengamati)
pelajaran.
37
Gambar 2.1 Pendekatan Ilmiah dalam Pembelajaran (Atsnan & Gazali, 2013:2)
Untuk memperkuat pendekatan saintifik diperlukan adanya penalaran dan
sikap kritis siswa dalam rangka pencarian (penemuan). Agar dapat disebut ilmiah,
metode pencarian (method of discovery/inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti
dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip
penalaran yang spesifik. Karena itu metode ilmiah umumnya memuat rangkaian
kegiatan koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian
memformulasi dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang dibicarakan dengan
metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat
objektif, dan (4) adanya analisa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan kita
akan mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang
percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat
prasangka, dan selalu optimis (Kemendikbud, 2013:141).
Selanjutnya secara sederhana pendekatan ilmiah merupakan suatu cara atau
mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan
pada suatu metode ilmiah. Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau
nilai-nilai non ilmiah. Pendekatan non ilmiah dimaksud meliputi semata-mata
berdasarkan intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal
berpikir kritis (Kemendikbud, 2013:142). Perubahan proses pembelajaran (dari
siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis
output menjadi berbasis proses dan output). Penilaian proses pembelajaran
menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai
38
kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh (Permendikbud No.65 Tahun
2013).
Scientific Mathematic merupakan proyek Eropa yang melibatkkan kerjasama
interdisiplinary antara matematika dan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk
mengembangkan pembelajaran ke arah belajar yang komprehensif dan
multidimensional mengenai isi dan konsep matematika. Ide dasarnya adalah untuk
mendorong pembelajaran matematika dalam konteks ilmiah dan kegiatan siswa
(Beckmann et. al, 2009:9). Kemudian disebutkan bahwa pendekatan ini
mengaitkan antara matematika dengan ilmu pengetahuan, sehingga siswa akan
mempelajari matematika dengan cara yang menarik. Belajar dengan berkegiatan
akan berkontribusi terhadap pemahaman intuitif matematika siswa. Dengan kata
lain, belajar matematika yang baik adalah mengalami atau berkegiatan.
Pada pembelajaran matematika, langkah-langkah pendekatan saintifik ini
terdiri dari pengumpulan data dari percobaan, pengembangan dan peyelidikan
suatu model matematika dalam bentuk representasi yang berbeda, dan refleksi
(Beckmann et. al, 2009:9). Pendekatan saintifik pada kurikulum 2013 yang
diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut
menjadi
lima,
yaitu:
mengamati,
menanya,
menalar,
mencoba,
dan
39
sangat
disarankan
menggunakan
pendekatan
pembelajaran
yang
a.
dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan. Dasar dari teori
Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
saat belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar dengan menemukan discovery
learning. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan sendirinya memberikan hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang benar-benar bermakna. Bruner menyarankan agar siswa
hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep dan prisnsipprinsip agar memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang
40
pembelajaran,
siswa
mengorganisasikan
bahan
pelajaran
yang
dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan
41
berpikir anak. Siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa
belajar melalui aktif dengan kosep-konsep dan prinsip-prinsip (Baharudin dan
Wahyuni, 2008:129).
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara
induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Lawan dari pendekatan ini
disebut belajar ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini
siswa diberi informasi umum untuk diminta menjelaskan informasi tersebut
melalui contoh-contoh khusus dan konkret (Thobrani dan Arif, 2011:99).
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya model discovery learning merupakan
pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan
terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang
nampak dalam discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori,
atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori
dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi
(similaritas and difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadiankejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima
unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua
unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif
maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4)
42
tahap
eksplorasi.
Lingkungan
ini
dinamakan
discovery
learning
43
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objekobjek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan
(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya
(Kemendikbud, 2013:3).
Dalam mengaplikasikan model discovery learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2011:145). Kondisi seperti
ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi
student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya
guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut
siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang
bermanfaat bagi dirinya. Dalam model discovery learning bahan ajar tidak
disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun
informasi,
mengintegrasikan,
kesimpulan.
membandingkan,
mereorganisasikan
bahan
mengkategorikan,
serta
membuat
menganalisis,
kesimpulan-
44
45
yang
diajukan.
Memberikan
kesempatan
siswa
untuk
46
observasi,
dan
sebagainya,
semuanya
diolah,
diacak,
47
48
ciri-ciri atau sifat sifat umum yang terdapat dalam sejumlah hal yang khusus
(Djamarah, 2002:191).
Penggunaan model discovery ini adalah guru berusaha meningkatkan
aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar (Roestiyah, 2008:20). Maka metode
ini memiliki kelebihan sebagai berikut :
1) Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan,
memperbanyak kesiapan serta penguasaan keterampilan dalam proses
kognitif/pengenalan siswa;
2) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual
sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut;
3) Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa;
4) Mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk berkembang dan
maju sesuai dengan kemampuan masing-masing;
5) Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki
motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat;
6) Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada
diri sendiri dengan proses penemuan sendiri;
7) Strategi itu berpusat pada siswa, tidak pada guru.Guru hanya sebagai
teman belajar saja, membantu bila diperlukan (Roestiyah, 2008:20).
Walau demikian, masih ada pula kelemahan yang perlu diperhatikan ialah:
1) Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar
ini.Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan
sekitarnya dengan baik;
2) Bila kelas terlalu besar penguunaan teknik ini akan kurang berhasil;
3) Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan
pengajaran tradisional mungkin akan sempat kecewa bila diganti dengan
teknik ini;
4) Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini trelalu
mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan
perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa;
5) Tidak memberikan kesempatan berpikir secara kreatif (Roestiyah,
2008:21).
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa model discovery
learning adalah suatu model pembelajaran untuk mengembangkan cara belajar
siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang
49
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan
siswa. Dengan belajar penemuan, siswa juga bisa belajar berfikir analisis dan
mencoba memecahkan sendiri masalah yang dihadapi. Kebiasaan ini akan
ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
dari
berbagai
perspektif
serta
menyelesaikannya
dibutuhkan
50
51
52
53
melakukan
penyelidikan
dan
dialog
bersama
dan
untuk
learning
dirancang
terutama
untuk
membantu
siswa
54
prinsip
pembelajaran
sama
dengan
prinsip
yang
telah
55
pada ciri unik model tersebut dalam proses pelaksanaannya adalah Arends dalam
Suprijono (2012:46), (Ibrahim dan Nur, 2005:24-29):
1) Melaksanakan Perecanaan
Pada tingkat yang paling mendasar, problem-based learning dicirikan
mengenai peserta didik bekerja dalam berpasangan atau kelompok kecil
untuk melakukan penyelidikan masalah-masalah kehidupan nyata yang
belum teridentifikasi dengan baik. Karena tipe pembelajaran ini sangat
tinggi
kualitas
interaktifnya,
beberapa
ahli
berpendapat
bahwa
membantu
mencapai
tujuan-tujuan
yaitu meningkatkan
56
orang
banyak
(universal),
sehingga
terasa
57
58
Semua
siswa
akan
diberi
kesempatan
untuk
model
pembelajaran
berdasarkan
masalah
dibutuhkan
59
60
final
mereka?
Apakah
mereka
telah
mengubah
61
Perilaku Guru
Fase 2: Mengorganisasi
siswa
untuk
belajar
Fase 3: Membimbing
penyelidikan
1. Guru
menjelaskan
tujuan
pembelajaran
2. Guru menjelaskan logistik yang
dibutuhkan
3. Memotivasi siswa terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah
yang dipilih
4. Guru
membantu
siswa
mendefinisikan
dan
mengorganisasikan
tugas
belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
5. Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai,
melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan
masalah
6. Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model dan
membantu
mereka
untuk
berbagi tugas dengan temannya
7. Guru membantu siswa untuk
melakukan
refleksi
atau
evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang
mereka gunakan
62
Individu /
Sub
Kelompok
Problem
Kelompok
Individu /
Sub
Kelompok
Penyerahan
Paper Kelompok
Laporan
Individu
Presentasi
Individu /
Sub
Kelompok
Pertemuan I:
Fase 1 - 3
Mengklasifikasi masalah
Merumuskan masalah
Menganalisis masalah
Menata gagasan secara sistematis
Menentukan tujuan pembelajaran
Pertemuan II:
Fase 4 - 5
Proses
pelaksanaan
tugas
63
B. Kerangka Berpikir
1.
bagian dari prestasi belajar matematika yang diharapkan dimiliki oleh setiap siswa
sebagai implikasi dari proses pembelajaran matematika yang telah dilaksanakan.
Untuk mencapai prestasi belajar tersebut, maka ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan diantaranya adalah pendekatan pembelajaran yang diterapkan oleh
guru lebih spesifik lagi pada model pembelajaran yang digunakan pada setiap
proses pembelajaran.
Pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan
potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki
oleh seorang guru. Ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran akan
berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar siswa.
Kurikulum 2013 menitik beratkan pada penerapan pendekatan saintifik
(scientific learning) yang berbasis pada model pembelajaran konstruktivistik,
seperti Discovery Learning, Problem-Based Learning, dan Project-Based
Learning melalui proses mengamati, menanya, menalar, mencoba, membangun
jejaring, dan mengkomunikasikan berbagai informasi terkait pemecahan masalah
real world, analisis data, dan menarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini diterapkan teori pembelajaran yang menganut paham
konstruktivistik yaitu model pembelajaran discovery learning dan problem-based
learning dengan pendekatan scientific learning. Dampak langsung dari penerapan
pembelajaran ini adalah memampukan siswa mengonstruksi konsep dan prinsip
64
dan
mengembangkan
pengetahuannya
dalam
menghubung-
hubungkan fakta dan ide untuk mencapai kesimpulan dan pemecahan masalah.
65
2.
66
3.
67
68
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1.
2.
3.