Anda di halaman 1dari 10

POSITION PAPER

PERATURAN MENTERI PERTANIAN


TENTANG
PEDOMAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESA
(INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO)
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah panjang penjajahan di bumi Nusantara secara ekonomi hakekatnya
merupakan penguasaan terhadap usaha perkebunan, berhasil mengantarkan
ekonomi penjajah tersebut menjadi tinggal landas. Memperhatikan peran
strategis dimaksud, maka pengembangan perkebunan pasca proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya sebatas kelanjutan dan
peningkatan periode sebelumnya, melainkan terdapat perubahan yang cukup
mendasar, berlandaskan kuatnya hasrat yang berpandangan jauh ke depan dari
para pendahulu untuk menjadikan usaha perkebunan sebagai salah satu sumber
kemakmuran bagi rakyat.
Berkenaan dengan hal tersebut, perkebunan sebagai salah satu sub-sektor
penting dari sektor pertanian, arah pengembangannya menjadi bagian integral
dari pembangunan ekonomi nasional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan mengamanatkan bahwa tujuan pembangunan perkebunan
di Indonesia untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan
penerimaan negara, meningkatkan devisa negara, menyediakan lapangan kerja,
meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Tanaman kelapa sawit sebagai salah satu komoditas andalan sub-sektor
perkebunan, saat ini Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar
dunia dengan luas 7,87 juta hektare (Ditjen Perkebunan, 2009) yang terdiri atas
Perkebunan Rakyat (PR) seluas 3,06 juta hektare, Perkebunan Besar Swasta
seluas 4,18 juta hektare dan Perkebunan Besar Negara seluas 0,63 juta hektare.
Produksi yang dihasilkan sekitar 19,32 juta ton, sekitar 15,53 juta ton untuk
ekspor, sedangkan 3,79 juta ton untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri. Pengembangan kelapa sawit melibatkan 3,94 juta Kepala Keluarga yang
bekerja di on-farm, belum termasuk pekerja yang terlibat di off-farm. Di samping
itu pengembangan perkebunan yang umumnya dilakukan di wilayah bukaan baru
telah memberikan efek ganda (multiplier effect) dan berkembangnya sektor lain.
Pendapatan ekspor produk kelapa sawit US$ 12,4 milyar atau sekitar Rp. 112
Triliun serta penerimaan dari pajak ekspor sekitar Rp. 13,8 Triliun yang tentunya
sangat berarti bagi sumber pembiayaan pembangunan di Indonesia. Sebagai
tanaman tahunan yang berbentuk pohon, kelapa sawit juga mampu memfiksasi
CO2 menjadi O2 yang diperlukan oleh mahluk hidup.

Minyak sawit mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan


makanan dan non makanan di dunia dan peranan tersebut semakin meningkat
setiap tahunnya. Pada tahun 2005 peran minyak sawit di dunia telah menggeser
peran minyak kedelai. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi minyak sawit
dunia telah meningkat sebesar 13,6%, sedangkan kenaikan konsumsi minyak
nabati lainnya berupa minyak kedelai sebesar 9,3%, dan rape oil sebesar 2,3%.
Produksi minyak nabati pada tahun 2010/2011 diperkirakan sebesar 143.5
M ton, minyak sawit dan palm kernel oil memiliki pangsa pasar paling besar yaitu
38%, lebih besar jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, misalnya soya
oil yang mencapai 29,2% dan rape oil 15,9%. Luas areal perkebunan kelapa
sawit di dunia hanya 5,6% dari total luas daratan di dunia dan luas perkebunan
kedelai sebesar 43,2% dan rapeseed luasnya 13,5%.
Dari gambaran ini dapat terlihat bahwa produktivitas perkebunan kelapa
sawit jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak
nabati lainnya, seperti kedelai, rape seed dan bunga matahari. Produktivitas per
satuan luas kelapa sawit dapat mencapai sekitar 18 s/d 30 ton/hektare yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, misalnya kedelai (2,56
ton/hektare), rape seed (3 ton/hektare). Dengan demikian, penggunaan lahan
untuk tanaman kelapa sawit jauh lebih efisien dibandingkan tanaman penghasil
minyak nabati lainnya.
Manfaat produk kelapa sawit sangat banyak, selain dapat digunakan
sebagai minyak makan, oleokimia dengan berbagai produknya juga sebagai
sumber energi alternatif terbarukan. Limbah kelapa sawit baik berupa limbah
padat maupun limbah cair juga dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, baik
untuk pakan ternak, pupuk maupun sumber energi.
Dengan demikian, pembangunan perkebunan kelapa sawit merupakan
pembangunan yang menganut prinsip zero waste. Di samping itu, dengan pola
tanam yang tepat, pengembangan kelapa sawit dapat didiversifikasikan dengan
pengembangan tanaman lainnya maupun diintegrasikan dengan ternak sapi.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit seperti yang dicapai saat ini,
mengalami berbagai tekanan yang menuntut perhatian kita antara lain gencarnya
tudingan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit berdampak merusak
sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup, perubahan iklim dan
pemanasan global, serta tuntutan pasar global tentang minyak sawit lestari.
Tekanan negatif tersebut, apabila tidak diantisipasi secara cerdas akan terus
mengalami eskalasi, sehingga bisa mengganggu perkembangan perkelapasawitan Indonesia ke depan.
Perkebunan kelapa sawit yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya telah
menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai
dengan berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Penerapan
pembangunan berkelanjutan merupakan sikap dasar bangsa Indonesia yang
tercantum dalam amanat UUD 1945. Pada amandemen ke-empat UUD 1945
tahun 2002 Pasal 33 ditambahkan ayat (4) yang berbunyi: perekonomian

nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip


kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
disebutkan bahwa perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan
berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.
Dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan dan
merespon tuntutan pasar global, pemerintah Indonesia menyiapkan Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm
Oil/ISPO). ISPO merupakan acuan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan
Indonesia yang merupakan rangkuman dari seluruh peraturan perundangan yang
terkait dengan kelapa sawit yang berlaku di Indonesia, sehingga ketentuan ISPO
merupakan ketentuan yang wajib dipatuhi oleh pelaku usaha perkebunan di
Indonesia. Dengan demikian, penerapan ISPO merupakan bukti kepatuhan
pelaku usaha perkebunan dalam melakukan usaha sesuai peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia dan menerapkan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan.
B. Pokok Permasalahan
Pedoman ini diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan
dengan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilaksanakan secara berkelanjutan.
Masalah-masalah tersebut, antara lain:
1. belum seluruh pelaku usaha perkebunan mematuhi dan menerapkan
peraturan perundangan yang berlaku;
2. semakin kuatnya tuntutan pasar global untuk menghasilkan minyak sawit
berkelanjutan; dan
3. semakin kuatnya tuntutan pembangunan yang memperhatikan pelestarian
sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup.
C. Maksud dan Tujuan
1. Penerapan ISPO dimaksudkan untuk mendorong perusahaan perkebunan
kelapa sawit dalam rangka memenuhi kewajibannya sesuai peraturan yang
berlaku, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.
2. Penerapan ISPO memiliki tujuan untuk:
a. meningkatkan kepatuhan pelaku usaha perkebunan dalam menerapkan
peraturan perundangan yang berlaku;
b. melindungi dan mempromosikan minyak sawit berkelanjutan Indonesia
agar dapat diterima pasar internasional; dan
c. mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian sumber daya alam dan
fungsi lingkungan hidup.

BAB II. URGENSI DAN POKOK MATERI


A. Umum
Pemikiran untuk menempatkan norma perlindungan lingkungan hidup agar
lebih kuat di dalam sistem peraturan yang ada, telah dilakukan amandemen keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tahun 2002 dengan penambahan
ayat (4) pada Pasal 33, yang berbunyi: perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan
demikian, segala kebijakan dan tindakan yang ditetapkan oleh semua fungsi
terkait haruslah berlandaskan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
mengamanatkan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2, yakni: Perkebunan
diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan,
keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Kemudian di dalam
Pasal 25 ayat (1) dinyatakan bahwa Setiap pelaku usaha perkebunan wajib
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.
Selanjutnya pada Pasal 28 ayat (2) ditetapkan bahwa Ketentuan tentang
penerapan, pembinaan, dan pengawasan sistem mutu produk olahan hasil
perkebunan serta pedoman industri pengolahan hasil perkebunan ditetapkan
oleh Pemerintah. Kewenangan pemerintah dimaksud juga dipertegas dalam
Pasal 44 ayat (2) yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan ditetapkan oleh Menteri. Selain
hal tersebut, pembangunan perkebunan kelapa sawit juga terkait dengan
peraturan lainnya, antara lain seperti kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup,
ketenagakerjaan, kesehatan, dan sebagainya.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka penyelenggaraan
pembangunan berkelanjutan termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit,
maka penerapannya harus bersifat holistik dengan memperhatikan aspek teknis,
ekonomi, sosial dan lingkungan dalam satu kesatuan sistem yang harus
dilaksanakan secara sinergis oleh seluruh pemangku kepentingan. Berkenaan
dengan hal tersebut, maka perlu adanya suatu pedoman yang menjadi acuan
bersama.

B. Urgensi
Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil /ISPO) sangat
diperlukan dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan di Indonesia dan merespon tuntutan pasar yang transparan
dan dapat ditelusuri, serta akuntabel. Hal yang diperhatikan, tidak hanya
mencakup aspek ekonomi, tetapi juga aspek lainnya, yaitu Sistem Perizinan dan
Manajemen Perkebunan, Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan

Pengolahan Kelapa Sawit, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan, Tanggung


Jawab Terhadap Pekerja, Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas,
Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat, serta Peningkatan Usaha Secara
Berkelanjutan.
C. Sistematika
Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesa (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) disusun dengan
sistematika lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dari batang tubuh
Peraturan Menteri Pertanian dimaksud sebagai berikut:
1. Pengertian Umum
2. Sistem Sertifikasi
3. Sertifikasi Rantai Pasok
4. Penunjukan lembaga sertifikasi
5. Keluhan/Pengaduan
6. Organisasi
7. Petunjuk Auditor
8. Penutup.
D. Materi Muatan
Materi muatan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil/ISPO), antara lain:
1. Pengertian Umum
Pengertian Umum berisikan pengertian atau definisi yang ada dalam batang
tubuh konsep Peraturan Menteri Pertanian dimaksud sebagaimana lazimnya
agar istilah tersebut dapat memberikan kejelasan dan kesatuan pengertian
dalam penafsiran atau supaya adanya persepsi yang sama.
Beberapa istilah yang perlu didefinisikan/dijelaskan, yaitu:
a. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang
sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman
tersebut dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan
serta manajamen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat.

b. Usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau


jasa perkebunan.
c. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan
yang mengelola usaha perkebunan.
d. Tanaman perkebunan adalah jenis komoditi tanaman yang pembinaannya
pada Direktorat Jenderal Perkebunan.
e. Hasil perkebunan adalah semua barang dan jasa yang berasal dari
perkebunan yang terdiri dari produk utama, produk turunan, produk
sampingan, produk ikutan dan produk lainnya.
f. Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil) yang selanjutnya disebut ISPO adalah sistem usaha
di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan
ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku
di Indonesia.
g. Izin Usaha Perkebunan (IUP) adalah izin tertulis dari pejabat yang
berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dan terintegrasi dengan
usaha industri pengolahan hasil perkebunan.
h. Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) adalah izin tertulis dari
pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan
yang melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan.
i.

Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P) adalah izin tertulis dari
pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan
yang melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

j.

Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) adalah surat yang


diberikan oleh pejabat pemberi izin yang berlaku seperti layaknya IUP bagi
perusahaan yang sudah memiliki HGU atau HGU dalam proses sebelum
diterbitkannya
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan.

k. Izin Tetap Usaha Perkebunan (ITUP) adalah izin usaha perkebunan yang
diberikan oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk untuk
memberikan hak kepada pemegangnya untuk melaksanakan usaha
perkebunan secara tetap sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor
786/Kpts/KB.120/10/96 tentang Perizinan Usaha Perkebunan.
l.

Penilaian usaha perkebunan adalah penilaian terhadap unit usaha


perkebunan yang dilakukan dengan pendekatan sistem dan usaha
agribisnis yang memadukan keterkaitan berbagai subsistem dimulai dari
penyediaan sarana produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran hasil,
serta jasa penunjang lainnya.

m. Auditor adalah seseorang yang memiliki kompetensi khusus dengan


kualifikasi sesuai dengan ISO 19011:2002 (Guidelines for Quality and/or
Environment Management System Auditing) dengan penyesuaian khusus
untuk sertifikasi ISPO.

n. Lembaga sertifikasi adalah lembaga independen yang diakreditasi oleh


Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan mendapatkan pengakuan dari
Komisi ISPO.
o. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang
perkebunan.
p. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perkebunan.
2. Sistem Sertifikasi
Setiap perusahaan yang melakukan usaha perkebunan di Indonesia wajib
memiliki izin usaha baik berupa IUP, IUP-B dan/atau IUP-P, ITUP, dan SPUP.
Bagi Perusahaan yang telah mempunyai IUP, IUP-B ataupun IUP-P baik pada
tahap pembangunan maupun tahap operasional secara rutin akan dilakukan
penilaian dan pembinaan usaha perkebunan.
Penilaian
usaha
perkebunan
dimaksudkan
untuk
menjaga
kesinambungan dan kelangsungan usaha perkebunan serta memantau
sejauh mana penerima izin telah melakukan dan mematuhi kewajibannya.
Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh provinsi/kabupaten setiap 3 (tiga)
tahun sekali sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
07/Permentan/OT.140/2/2009
tentang
Pedoman
Penilaian
Usaha
Perkebunan.
Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh petugas penilai yang
merupakan Pegawai Negeri Sipil Dinas yang membidangi Perkebunan yang
telah dilatih dan mendapat sertifikat sebagai Penilai Usaha Perkebunan oleh
Lembaga Pelatihan Perkebunan (LPP) Yogyakarta. Petugas penilai usaha
perkebunan bertanggung jawab secara teknis dan yuridis terhadap hasil
penilaiannya. Aspek yang dinilai meliputi legalitas, manajemen, kebun,
pengolahan hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, dan pelaporan. Hasil
penilaian tersebut berupa penetapan kelas kebun, yaitu Kelas I (baik sekali),
Kelas II (baik), Kelas III (sedang), Kelas IV (kurang) dan Kelas V (kurang
sekali). Untuk kebun Kelas I, Kelas II, dan Kelas III mengajukan permohonan
sertifikat ISPO. Sedangkan bagi kebun yang tergolong Kelas IV akan
diberikan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 4 (empat)
bulan dan kebun Kelas V akan diberikan peringatan sebanyak 1 (satu) kali
dengan selang waktu 6 (enam) bulan. Bila dalam jangka waktu peringatan
tersebut perusahaan perkebunan bersangkutan belum dapat melaksanakan
saran tindak lanjut, izin usaha perkebunannya akan dicabut.
Persyaratan untuk mendapatkan Sertifikat ISPO didasarkan pada Prinsip
dan Kriteria yang meliputi Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan,
Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit,
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan, Tanggung Jawab Terhadap
Pekerja, Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas, Pemberdayaan Kegiatan
Ekonomi Masyarakat, serta Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.
Ketentuan tersebut merupakan serangkaian standar yang dipersyaratkan
untuk pengelolaan usaha budidaya dan usaha industri pengolahan hasil

kelapa sawit dengan ukuran pasti dan tidak mentoleransi kesalahan. Prinsip
dan Kriteria tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Persyaratan ISPO.
Unit usaha perkebunan kelapa sawit yang disertifikasi, yakni usaha
budidaya (kebun) kelapa sawit dan usaha industri pengolahan hasil/Pabrik
Kelapa Sawit (PKS), termasuk pemasok bahan baku.
Apabila PKS mendapat pasokan dari kebun di luar unit usaha (kebun
plasma/masyarakat) yang berada dalam satu manajemen, maka Tandan
Buah Segar (TBS) yang dihasilkan harus memenuhi prinsip dan kriteria ISPO.
3. Sertifikasi Rantai Pasok
Sertifikasi Rantai Pasok (SRP) merupakan sistem sertifikasi yang mampu
telusur sepanjang rantai pasok.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah mendapat Sertifikat
ISPO dapat meningkatkan statusnya untuk mendapatkan sertifikat rantai
pasok.
4. Penunjukan lembaga sertifikasi
Sertifikasi ISPO dilakukan oleh pihak ketiga yang independent atau
lembaga sertifikasi yang memenuhi persyaratan akreditasi dan disetujui oleh
Komisi ISPO. Sedangkan individu tidak dapat menjadi lembaga sertifikasi
ISPO.
Auditor yang melaksanakan penilaian merupakan auditor dari lembaga
sertifikasi yang telah diakreditasi oleh KAN dan diakui oleh Komisi ISPO.
Sedangkan lembaga sertifikasi asing yang diakreditasi oleh badan
akreditasi di negara yang mempunyai kerjasama dengan KAN dan mendapat
pengakuan dari Komisi ISPO dapat melakukan penilaian untuk penerbitan
sertifikasi ISPO.
Lembaga sertifikasi asing yang beroperasi di Indonesia harus tunduk
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
5. Keluhan/Pengaduan
Perusahaan perkebunan yang dinilai dapat menyampaikan pengaduan
secara tertulis kepada Komisi ISPO dilengkapi dengan bukti terkait proses
sertifikasi. Apabila terdapat keluhan dari lembaga sertifikasi, maka Badan
Akreditasi harus dapat menyelesaikannya dan melaporkannya kepada Komisi
ISPO.

6. Organisasi
Organisasi ISPO terdiri dari Komisi ISPO yang dibantu oleh Sekretariat
dan Tim Penilai. Sekretariat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
Koordinator Administrasi, Koordinator Teknis/Penelusuran, Koordinator
Advokasi/Promosi, dan Koordinator Penyelesaian Sengketa.
Komisi ISPO mempunyai tugas memfasilitasi pelaku usaha perkebunan
untuk membangun perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan.
Kedudukan Komisi ISPO berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri. Komisi ISPO dipimpin oleh seorang Ketua yang dirangkap oleh
Direktur Jenderal Perkebunan.
7. Petunjuk Auditor
Petunjuk Auditor mencakup ketentuan umum, kualifikasi minimum
auditor, panduan audit secara umum, dan ketentuan penilaian khusus
berdasarkan persyaratan ISPO. Auditor dari lembaga sertifikasi tidak diizinkan
melakukan kegiatan apapun yang mempengaruhi kemandiriannya.
Sedangkan kualifikasi minimum auditor memiliki pendidikan diploma atau
setara yang memiliki keterampilan teknis, dan kualifikasi yang berkaitan
dengan proses sertifikasi. Panduan audit secara umum menggunakan ISO
19011-2002 atau SNI 19-19011-2005.

8. Penutup
Berisi tanggal penetapan, pemberlakuan dan pengundangan konsep
Peraturan Menteri Pertanian dimaksud, serta pejabat berwenang yang
mengesahkannya.

BAB III. PENUTUP


Demikian position paper ini disusun untuk dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan dalam permohonan persetujuan penyusunan Peraturan Menteri
Pertanian tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil /ISPO), dan sebagai bahan acuan atau bahan
dasar dalam memberikan pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis bagi
perumusan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Pertanian dimaksud.
Konsep Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) apabila telah
disahkan menjadi Peraturan Menteri Pertanian akan dijadikan sebagai landasan
operasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia.

Jakarta,
MENTERI PERTANIAN,

SUSWONO

10

Anda mungkin juga menyukai