Anda di halaman 1dari 7

1.

Patofisiologi Tumor Otak


Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologic progresif. Gejalagejala timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan pentingnya anamnesis
dalam pemeriksaan penderita. Gangguan neurologic pada tumor otak biasanya dianggap
disebabkan oleh 2 faktor: gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan
intracranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan
infiltrasi atau invasi langsung pada parenkin otak dengan kerusakan jaringan neural.
Tentu saja difungsi terbesar terjadi pada tumor infiltrasi yang tumbuh paling cepat (yaitu
glioblastoma multiforme) (Price & Wilson, 2006).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor

yang bertumbuh menyebabkan

nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan
serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan
neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan
otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkin otak sekitarnya
sehingga memperberat gangguan neurologis fokal ) (Price & Wilson, 2006).
Peningkatan ICP dapat disebabkan oleh beberapa faktor: bertambahnya massa dalam
tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa karena tumor
akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan edema dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami,
tetapi diduga disebabkan oleh selisih osmotic yang menyebabkan penyerapan cairan
tumor. Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan peningkatan volume
intracranial dan ICP. Obstruksi sirkulasi CSF dari ventrikel lateralis ke ruangan
subaraknoid menimbulkan hidrosafalus ) (Price & Wilson, 2006).
Peningkatan ICP akan membahanyakan jiwa bila terjadi cepat akibat salah satu
penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi memerlukan
waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi efektif sehingga tidak berguna bila
tekanan intracranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja
menurunkan volume darah intracranial, volume CSF, kandungan cairan intrasel,
mengurangi sel-sel parenkin. Peningkatan tekanan yang tidak diobati meningkatkan
terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus mediasis

lobus temporalis tergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer
otak. Herniasi menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dalam
menekan syaraf otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum, tergeser ke
bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi medulla
oblongata dan henti nafas terjadi dengan cepat. Perubahan fisiologis lain yang terjadi
akibat peningkatan ICP yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik
(pelebaran tekanan nadi) ) (Price & Wilson, 2006)

2. Sebutkan dan jelaskan tentang Movement Disorders


Movement Disorder merupakan sekelompok penyakit sistem saraf pusat atau
sindrom neurologis yang menyebabkan adanya kelebihan atau kekurangan gerakan yang
tidak dapat terkontrol oleh tubuh. Contoh gangguan gerak adalah penyakit Parkinson,
tremor esensial, ataksia, dan distonia. Gangguan gerak sebagian besar terkait dengan
perubahan patologis di basal ganglia atau koneksi mereka. Basal ganglia adalah
kelompok inti materi abu-abu tergeletak jauh di dalam yang otak belahan otak (inti
berekor, putamen dan globus pallidus), yang diencephalon (subthalamic inti), dan
mesencephalon (substantia nigra). Patologi otak kecil atau jalur yang biasanya
menyebabkan gangguan koordinasi (asynergy, ataksia), salah pikiran jarak (dysmetria),
dan tremor niat. Myoclonus dan banyak bentuk tremor tidak tampaknya terkait terutama
untuk patologi ganglia basal dan sering muncul di tempat lain di sistem saraf pusat,
termasuk korteks serebral (myoclonus refleks kortikal), batang otak (retikuler refleks
mioklonus, hiperekplexia dan gangguan mioklonus ritmis batang otak seperti mioklonus
palatal dan okular mioklonus), dan sumsum tulang belakang (mioklonus segmental ritmis
dan propriospinal nonrhythmic mioklonus). Sebuah bukti yang semakin kuat mendukung
gagasan bahwa beberapa gangguan gerak adalah induksi di perifer (Aminoff, 2005).
a. Penyakit Parkinson
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan
erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh degenerasi
neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta substansia nigra
yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau disebut juga
parkinsonisme idiopatik atau primer. Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom
yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya
refleks postural akibat penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab.
Sindrom ini sering disebut sebagai Sindrom Parkinson (Wirdefeldt 2012).

Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa dugaan,


di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum diketahui),
reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik
yang belum diketahui, terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat. Parkinson
disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu kelompok sel
yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary) (Wirdefeldt
2012).
b. Chorea
Gerakan involuntary yang dapat dijumpai didalam klinik adalah korea
(chorea), balismus, atetosis, dan distonia. Dalam kombinasi keempat gerakan
involuntary itu dapat menjadi simtom suatu penyakit. Bahkan beberapa komponen
gerakannya memperlihatkan kesamaan, dan karena itulah mungkin keempat gerakan
ini memiliki substrat anatomic dan fisiologik yang sama (Wirdefeldt 2012).
Korea adalah istilah untuk gerakan involuntary yang menyerupai gerakan
lengan-lengan seorang penari. Gerakan itu tidak berirama, sifatnya kuat, cepat dan
tersentak-sentak dan arah gerakannya cepat berubah. Gerakan koreatik yang melanda
tangan-lengan yang sedang melakukan gerakan voluntary membuat gerakan voluntary
itu berlebihan dan canggung. Gerakan koreatik ditangan-lengan seringkali disertai
gerakan meringis-ringis pada wajah dan suara mengeram atau suara-suara lain yang
tidak mengandung arti. Kalau timbulnya sekali-sekali maka sifat yang terlukis diatas
tampak dengan jelas, tetapi apabila timbulnya gencar, maka gerakan koreatiknya
menyerupai atetosis. Korea dalam bentuk yang khas ditemukan pada korea
syndenham dan korea gravidarum. Pada korea Huntington ia timbul dengan gencar
sehingga lebih tepat dinamakan koreatetosis Huntington. Korea dapat bangkit juga
secara iatrogenic yakni akibat penggunaan obat-obat anti psikosis (seperti haloperidol,
dan phenothiazine)
Korea dapat melibatkan sesisi tubuh saja, sehinggga disebut hemikorea. Bila
hemikorea bangkit secara keras sehingga seperti membanting-banting diri, maka
istilahnya ialah hemibalisme. Secara pasti telah diketahui bahwa kerusakan di nucleus
substalamikus kontralateral mendasari hemibalisme. Korea bukan merupakan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang bias terjadi pada beberapa penyakit yang
berbeda. Seseorang yang mengalami korea memiliki kelainan pada ganglia basalis di
otak (Wirdefeldt 2012).

c. Distonia
Distonia yang dikenal juga sebagai torsi spasme adalah suatu sikap menetap
dari salah satu bentuk gerakan atetotik yang hebat sekali. Gambarannya dapat berupa
hiperekstensi atau hiperfleksi tangan, hiperinversi kaki, hiper-lateroleksi atau hiperretrofleksi kepala, torsi tulang belakang dengan melengkungkan pinggang, sambil
wajah meringis-ringis (Sarnat, 2008).
Distonia adalah kelainan gerakan di mana kontraksi otot yang terus menerus
menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang
abnormal. Gerakan tersebuut tidak disadari dan kadang menimbulkan nyeri, bisa
mengenai satu otot, sekelompok otot (misalnya otot lengan, tungkai dan leher) atau
seluruh tubuh. Pada beberapa penderita, gejala distonia muncul pada masa anak-anak
(5-16 tahun), biasanya mengenai kaki atau tangan. Beberapa penderita lainnya baru
menunjukkan gejala pada akhir masa remaja atau pada awal masa dewasa (Wirdefeldt
2012).
Para ahli yakin bahwa distonia terjadi karena adanya kelainan di beberapa
daerah di otak (ganglia basalis, talamus, korteks serebri), dimana beberapa pesan
untuk memerintahkan kontraksi otot diolah. Diduga terdapat kerusakan pada
kemampuan tubuh untuk mengolah sekumpulan bahan kimia yang disebut
neurotransmiter, yang membantu sel-sel di dalam otak untuk berkomunikasi satu
sama lain.
d. Atetosis
Atetosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti berubah-ubah atau tidak
mantap. Gangguan kinetik ini biasanya disebabkan oleh kerusakan perinatal dan
korpus striatal. Dapat juga disebabkan oleh Kern ikterus atau hiperbilirubinemia.
Gerakan involunter menjadi lambat dengan kecenderungan untuk ekstensi berlebihan
dari ekstremitas bagian perifer. Tampak sebagai kekacauan gerakan dengan tingkat
pergerakan Chorea dan dystonia. Gejala ini melibatkan organ tangan, kaki dan sisi
wajah. Umumnya disertai otak congenital (palsi serebral) (Sarnat, 2008).
Atetosis merupakan keadaan motorik dimana jari-jari tangan dan kaki serta
lidah atau bagian tubuh lain apapun tidak dapat diam sejenak. Gerakan yang
mengubah posisi ini bersifat lambat, melilit dan tidak bertujuan. Pola gerakan
dasarnya ialah gerakan involuntary ekstensipronasi yang berselingan dengan ekstensi
jari-jari tangan dan dengan ibu jari yang berfleksi dan berabduksi di dalam kepalan

tangan. Umumnya gerakan atetotik lebih lamban daripada gerakan koreatik, tetapi
gerakan atetotik yang lebih cepat dan gencar atau gerakan koreati yang kurang cepat
dan tidak menyerupai satu dengan yang lain dikenal sebagai gerakan koreoatetosis.
Bilamana atetosis melanda sesisi tubuh saja disebut hemiatetosis (Wirdefeldt 2012).
e. Mioklonus
Mioklonus adalah gerakan tidak disadari, tiba-tiba, sebentar, jerky, shock-like
akibat kontraksi otot (positif mioklonik) disebabkan gangguan di CNS timbul di
anggota, wajah atau badan (Aminoff,2005).

3. Patofisiologi dan management Mixed Migraine


4. Jelaskan tentang DMP
Distrofi muskular Duchenne adalah suatu penyakit otot herediter yang
disebabkan oleh mutasi genetik pada gen dystropin yang diturunkan secara x-linked
resesif mengakibatkan kemerosotan dan hilangnya kekuatan otot secara progresif.
Distrofia muskulorum progresiva merupakan penyakit miopati primer yang didasarkan
adanya kelainan genetik, bersifat progresif, terjadi degenerasi serabut otot non-inflamasi
dan ditempat itu digantikan dengan jaringan ikat dan lemak. Penyakit ini ditemukan oleh
Guilaumme-Benjamin Duchenne de Boulogne pada tahun 1868. Penderita menunjukkan
kelainan berupa kelumpuhan otot secara simetris dan terdapat otot yang membesar pada
daerah betis (pseudohipertrofi). Kelainan ini tidak melibatkan sistem saraf pusat maupun
tepi. Pada stadium yang lebih lanjut dapat menyebabkan kegagalan kardiorespirasi dan
berakhir dengan kematian (Kliegman et al, 2007) .
Gen untuk distrofi muskular Duchenne terletak pada lengan pendek (Xp)
kromosom X tepatnya pada Xp21, meliputi 86 exon yang membuat hanya 0,6% dari
seluruh gen tersebut, sisanya terdiri dari intron. Gen ini 10 kali lebih besar dari tiap-tiap
gen lain yang dikarakterkan saat ini dan terdiri dari 2 juta pasangan dasar, produknya
dinamakan dystropin. Dystropin merupakan protein dengan jumlah sedikit yang
membentuk 0,002% dari total protein otot. Dystropin adalah protein sitoskeletal dengan
globular amino seperti tangkai terpusat dan globular carboxy. Dystropin terletak pada
permukaan dalam sarcolemma, berkumpul sebagai homotetramer yang dihubungkan
dengan aktin pada amino terminus dan dengan glikoprotein pada carboxy
terminus.Dystropin berperan dalam memberikan kekuatan otot dan kestabilan membran
otot. Mutasi gen yang terjadi pada distrofi muskular Duchenne adalah delesi dan

duplikasi. Fenotip distrofi mulekular Duchenne tidak selalu berhubungan dengan ukuran
delesi pada gen dystropin, tetapi sangat berpengaruh pada sintesis dystropin. Delesi
merusak codon triplet sehingga merubah konsep pembacaan, terjadipenghentian
prematur codon dan sintesis dystropin terhenti dan mengalami degradasi, menghasilkan
molekul protein kecil, terpotong tanpa Carboxy terminal (Escolar, 2006).
Dystropin merupakan bagian dari kompleks protein sarkolemma dan glikoprotein. Kompleks dystropinglikoprotein dapat menghasilkan stabilitas sarkolemma,
dimana kompleks ini dikenal sebagai dystropin-associated protein (DAP) dan proteinassociated glycoprotein (DAG). Bagian yang terpenting lainnya pada kompleks ini
adalah dystroglycan, suatu glikoprotein yang berikatan dengan matriks ekstraseluler
merosin. Jika terjadi defisiensi salah satu bagian kompleks tersebut akan menyebabkan
terjadinya abnormalitas pada komponen lainnya. Kehilangan dystropin bersifat paralel
dengan kehilangan DAP dan penghancuran kompleks dystroglycan. Perubahan ini
menyebabkan sarkolemma menjadi lemah dan dan mudah hancur saat otot berkontraksi.
Kehilangan dystropin juga menyebabkan kehilangan dystroglycan dan sarcoglycan,
sehingga membuat sarcolemma semakin rapuh. Proses ini berlangsung secara terus
menerus sepanjang hidup penderita.
Selain itu, akibat kerapuhan membran otot memungkinkan kebocoran
komponen sitoplasmik seperti creatine kinase dan peningkatan masuknya Ca2+ yang
mengawali sejumlah aspek patologis dari peristiwa yang menyebabkan nekrosis dan
fibrosis otot. Kekurangan dystropin juga mengakibatkan gangguan pada transmisi
tekanan normal dan tekanan lebih besar ditempatkan pada miofibrillar dan protein
membran yang menyebabkan kerusakan otot selama kontraksi (Kliegman, 2007).
5. Pemeriksaan pada kasus HNP

DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Myophatic Disorder. Dalam: Foltin J, Fernando N,
editor. Clinical Neurolgy. Edisi ke-6. New York: McGrawHill; 186-89.
Drislane FW, Benatar M, Chang BS, dkk. Disorder of neuromuscular junction and skeletal
muscle. Dalam: Blueprints Neurology. Edisi ke- 2. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins, 2006;166-72.
Escolar DM, Leshner RT. 2006. Muscular Dystrophies. Dalam:Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM. Neurology Prinsiples & Practice. Edisi ke- 4. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 1969-85.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. 2007. Muscular dystrophies. In:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. Philadelphia, Pa:Saunders Elsevier:chap 608
Ropper AH, Brown RH. 2005. The Muscular dystrophies. Dalam: Adams and Victors
Principles of Neurology. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 1213-15.
Sarnat HB. Neuromuscular Disorder. Dalam:Behrman RE,Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
Textbook of Pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders, 2007; 2540-44.
Santens P, Boon P, Roost V.D, Caemaert J. 2003. The Pathophysiology of motor symptoms in
Parkinsons Disease. Department of Neurology and Neurosurgery Ghent University
Hospital. Belgia; 129-34
Wirdefeldt K et al. 2012. Epidemiology and etiology of Parkinsons disease: a review of the
evidence. Department of Medical Epidemiology and Biostatistics, Karolinska Institutet.
Sweden.

Anda mungkin juga menyukai