nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan
serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan
neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan
otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkin otak sekitarnya
sehingga memperberat gangguan neurologis fokal ) (Price & Wilson, 2006).
Peningkatan ICP dapat disebabkan oleh beberapa faktor: bertambahnya massa dalam
tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa karena tumor
akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan edema dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami,
tetapi diduga disebabkan oleh selisih osmotic yang menyebabkan penyerapan cairan
tumor. Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan peningkatan volume
intracranial dan ICP. Obstruksi sirkulasi CSF dari ventrikel lateralis ke ruangan
subaraknoid menimbulkan hidrosafalus ) (Price & Wilson, 2006).
Peningkatan ICP akan membahanyakan jiwa bila terjadi cepat akibat salah satu
penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi memerlukan
waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi efektif sehingga tidak berguna bila
tekanan intracranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja
menurunkan volume darah intracranial, volume CSF, kandungan cairan intrasel,
mengurangi sel-sel parenkin. Peningkatan tekanan yang tidak diobati meningkatkan
terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus mediasis
lobus temporalis tergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer
otak. Herniasi menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dalam
menekan syaraf otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum, tergeser ke
bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi medulla
oblongata dan henti nafas terjadi dengan cepat. Perubahan fisiologis lain yang terjadi
akibat peningkatan ICP yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik
(pelebaran tekanan nadi) ) (Price & Wilson, 2006)
c. Distonia
Distonia yang dikenal juga sebagai torsi spasme adalah suatu sikap menetap
dari salah satu bentuk gerakan atetotik yang hebat sekali. Gambarannya dapat berupa
hiperekstensi atau hiperfleksi tangan, hiperinversi kaki, hiper-lateroleksi atau hiperretrofleksi kepala, torsi tulang belakang dengan melengkungkan pinggang, sambil
wajah meringis-ringis (Sarnat, 2008).
Distonia adalah kelainan gerakan di mana kontraksi otot yang terus menerus
menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang
abnormal. Gerakan tersebuut tidak disadari dan kadang menimbulkan nyeri, bisa
mengenai satu otot, sekelompok otot (misalnya otot lengan, tungkai dan leher) atau
seluruh tubuh. Pada beberapa penderita, gejala distonia muncul pada masa anak-anak
(5-16 tahun), biasanya mengenai kaki atau tangan. Beberapa penderita lainnya baru
menunjukkan gejala pada akhir masa remaja atau pada awal masa dewasa (Wirdefeldt
2012).
Para ahli yakin bahwa distonia terjadi karena adanya kelainan di beberapa
daerah di otak (ganglia basalis, talamus, korteks serebri), dimana beberapa pesan
untuk memerintahkan kontraksi otot diolah. Diduga terdapat kerusakan pada
kemampuan tubuh untuk mengolah sekumpulan bahan kimia yang disebut
neurotransmiter, yang membantu sel-sel di dalam otak untuk berkomunikasi satu
sama lain.
d. Atetosis
Atetosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti berubah-ubah atau tidak
mantap. Gangguan kinetik ini biasanya disebabkan oleh kerusakan perinatal dan
korpus striatal. Dapat juga disebabkan oleh Kern ikterus atau hiperbilirubinemia.
Gerakan involunter menjadi lambat dengan kecenderungan untuk ekstensi berlebihan
dari ekstremitas bagian perifer. Tampak sebagai kekacauan gerakan dengan tingkat
pergerakan Chorea dan dystonia. Gejala ini melibatkan organ tangan, kaki dan sisi
wajah. Umumnya disertai otak congenital (palsi serebral) (Sarnat, 2008).
Atetosis merupakan keadaan motorik dimana jari-jari tangan dan kaki serta
lidah atau bagian tubuh lain apapun tidak dapat diam sejenak. Gerakan yang
mengubah posisi ini bersifat lambat, melilit dan tidak bertujuan. Pola gerakan
dasarnya ialah gerakan involuntary ekstensipronasi yang berselingan dengan ekstensi
jari-jari tangan dan dengan ibu jari yang berfleksi dan berabduksi di dalam kepalan
tangan. Umumnya gerakan atetotik lebih lamban daripada gerakan koreatik, tetapi
gerakan atetotik yang lebih cepat dan gencar atau gerakan koreati yang kurang cepat
dan tidak menyerupai satu dengan yang lain dikenal sebagai gerakan koreoatetosis.
Bilamana atetosis melanda sesisi tubuh saja disebut hemiatetosis (Wirdefeldt 2012).
e. Mioklonus
Mioklonus adalah gerakan tidak disadari, tiba-tiba, sebentar, jerky, shock-like
akibat kontraksi otot (positif mioklonik) disebabkan gangguan di CNS timbul di
anggota, wajah atau badan (Aminoff,2005).
duplikasi. Fenotip distrofi mulekular Duchenne tidak selalu berhubungan dengan ukuran
delesi pada gen dystropin, tetapi sangat berpengaruh pada sintesis dystropin. Delesi
merusak codon triplet sehingga merubah konsep pembacaan, terjadipenghentian
prematur codon dan sintesis dystropin terhenti dan mengalami degradasi, menghasilkan
molekul protein kecil, terpotong tanpa Carboxy terminal (Escolar, 2006).
Dystropin merupakan bagian dari kompleks protein sarkolemma dan glikoprotein. Kompleks dystropinglikoprotein dapat menghasilkan stabilitas sarkolemma,
dimana kompleks ini dikenal sebagai dystropin-associated protein (DAP) dan proteinassociated glycoprotein (DAG). Bagian yang terpenting lainnya pada kompleks ini
adalah dystroglycan, suatu glikoprotein yang berikatan dengan matriks ekstraseluler
merosin. Jika terjadi defisiensi salah satu bagian kompleks tersebut akan menyebabkan
terjadinya abnormalitas pada komponen lainnya. Kehilangan dystropin bersifat paralel
dengan kehilangan DAP dan penghancuran kompleks dystroglycan. Perubahan ini
menyebabkan sarkolemma menjadi lemah dan dan mudah hancur saat otot berkontraksi.
Kehilangan dystropin juga menyebabkan kehilangan dystroglycan dan sarcoglycan,
sehingga membuat sarcolemma semakin rapuh. Proses ini berlangsung secara terus
menerus sepanjang hidup penderita.
Selain itu, akibat kerapuhan membran otot memungkinkan kebocoran
komponen sitoplasmik seperti creatine kinase dan peningkatan masuknya Ca2+ yang
mengawali sejumlah aspek patologis dari peristiwa yang menyebabkan nekrosis dan
fibrosis otot. Kekurangan dystropin juga mengakibatkan gangguan pada transmisi
tekanan normal dan tekanan lebih besar ditempatkan pada miofibrillar dan protein
membran yang menyebabkan kerusakan otot selama kontraksi (Kliegman, 2007).
5. Pemeriksaan pada kasus HNP
DAFTAR PUSTAKA
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Myophatic Disorder. Dalam: Foltin J, Fernando N,
editor. Clinical Neurolgy. Edisi ke-6. New York: McGrawHill; 186-89.
Drislane FW, Benatar M, Chang BS, dkk. Disorder of neuromuscular junction and skeletal
muscle. Dalam: Blueprints Neurology. Edisi ke- 2. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins, 2006;166-72.
Escolar DM, Leshner RT. 2006. Muscular Dystrophies. Dalam:Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM. Neurology Prinsiples & Practice. Edisi ke- 4. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 1969-85.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. 2007. Muscular dystrophies. In:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. Philadelphia, Pa:Saunders Elsevier:chap 608
Ropper AH, Brown RH. 2005. The Muscular dystrophies. Dalam: Adams and Victors
Principles of Neurology. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 1213-15.
Sarnat HB. Neuromuscular Disorder. Dalam:Behrman RE,Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
Textbook of Pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders, 2007; 2540-44.
Santens P, Boon P, Roost V.D, Caemaert J. 2003. The Pathophysiology of motor symptoms in
Parkinsons Disease. Department of Neurology and Neurosurgery Ghent University
Hospital. Belgia; 129-34
Wirdefeldt K et al. 2012. Epidemiology and etiology of Parkinsons disease: a review of the
evidence. Department of Medical Epidemiology and Biostatistics, Karolinska Institutet.
Sweden.