Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri alBantani dan sebagainya.2
Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan
secara jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat
adanya dua kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia
sebut sebagai gerakan tradisional, dan keduagerakan modern yang terdiri dari
gerakan sosial di satu sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama
diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911
dan Muhammadiyah, 1912.3
Secara lebih spesifik, yang disebut Islam tradisional umumnya bertumpu pada
padangan dunia, ideologi keagamaan dan praktek keislaman yang diaktualisasikan
dengan kepenganutan kepada kalam Asyariyah, fikih Syafii, dan tasawuf al-Ghazali.4
Sementara gerakan modern becorak rasional, non-madzhabi, dan menekankan pada
kemurnian ajaran Islam yang berumber pada al-Qur'an dan al-Hadits. Beberapa hal ini
dilihat sebagai terpengaruh dari pemikian purifikasi Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim di
satu sisi dan pemikiran modernisme Muh. Abduh dan Rasyid Ridla di sisi yang lain.
Gambaran pemikiran Islam di Indonesia pada abad ke-20 lebih komprehensip
yang memofuskan pada pemikiran kaum modernis, terutama dari kalangan
Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) serta kelompok yang mewarisi semangat
modernisme pada akhir abad tersebut. Kemunculan gerakan ini didorong oleh keinginan
untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Dan, agar terbebas dari beban tradisi
yang tidak memiliki sumber doktrin yang tegas. Kelompok ini juga dikenal sebagai
gerakan pembaharuan, yaitu upaya memahami doktrin Islam sesuai dengan semangat
zaman.5 Gerakan pembaruan Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan Persis,
telah berupaya merekonstruksi wacana teologi dengan mengusung pemurnian akidah
sebagai tema sentralnya. Kepedulian ini ternyata tidak hanya terbatas pada para tokoh
awal gerakan pemurnian ini, tapi dilanjutkan oleh para pemikir dari kalangan
pembaharu dewasa ini. Generasi mutakhir semacam Dr Amien Rais yang mendapat
gelar akademiknya di Barat dan menjadi pimpinan tertinggi di Muhammadiyah (19951998), dan tokoh-tokoh lain, juga melakukan hal yang sama.
Tradisi dan Modernitas
Dinamika pemikiran Islam di Indonesia satu dasa warsa belakangan ini,
terutama yang berkembang pada intelektual muda sebenarnya juga berakar
dua mainstream besar pemikiran di atas. Isu yang meraka bawa tradisi dan modernitas
(al-turts wa al-hadtsah). Isu ini juga tidak bisa dilepaskan dari gelegar pemikiran yang
berkembang di Arab. Dalam pemikiran Arab kontemporer, kekalahan Arab oleh Israel
tahun 1967 tampaknya sebagai pemicu bagi lahirnya kesadaran baru: bagaimana
2 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, (Bandung:
Rosdakarya, 1999), hal 143
3 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980).
4 Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2003), hal 147
5 Saleh, Fauzan, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX,
(Jakarta: Serambi, 2004)
sebenarnya tradisi kita, bagaimana sebaiknya membaca tradisi kita dan ada apa dengan
modernitas? limadza taakhkharal muslimun wa taqaddama ghairuhum. Kekalahan
tersebut ternyata sangat menentukan sejarah politik dan pemikiran Arab. Sejak saat itu,
isu tradisi dan modernitas (al-turts wa al-hadtsah) menjadi isu tersanter dalam
pemikiran Arab kontemporer.6
Sama dengan yang terjadi pada umat Islam pada umumnya, selama ini di
Indonesia, tradisi selalu dilihat dengan kacamata tradisi sebagaimana yang terjadi pada
kaum tradisional (salafiyah) di satu sisi atau tradisi selalu dilihat dengan kacamata
modernitas sebagaimana yang dilakukan kaum reformis pada sisi yang lain. Makanya
kaum tradisional selalu berada pada posisinya yang tradisional itu. Tradisi intelektualisme yang dikembangkan, model dan corak pendidikan, sampai keberagamaan mereka
tidak pernah terpegaruh oleh hiruk-pikuknya pembaharuan. Ide-ide pembaharuan lebih
dipandang sebagai tantangan yang perlu diwaspadai dari pada untuk diterima. Ini terjadi
pada sebagian besar muslim Indonesia, bahkan juga, yang terjadi pada umat ini. Kondisi
seperti ini tentu menggelisahkan kaum reformis. Mereka melihat ada penyakit yang
menjangkiti umat Islam ini. Maka ada yang mengobati dengan rasionalisasi, purifikasi,
[neo]modernisasi, bahkan sekularisasi. Sampai saat ini, dua abad sudah masa
modernisasi di dunia Arab-Islam, dan satu abad modernisasi (pemikiran) Islam di
Indonesia, nalar tradisi masih tetaplah tradisional, sementara upaya modernisasi,
termasuk dengan para reformisnya tak henti-hentinya menuai kritik, terutama dari
kalangan muda-menengah. Maka, di sinilah barangkali ada benarnya juga sebagian
pengamat yang mengatakan, modernisasi Islam itu sebenarnya tidak berhasil. Atau,
kalau tetap dikatakan berhasil, kenyataannya memang masih bersifat elitis.
Para pengamat dan peneliti pemikiran Islam di Indonesia, baik dari dalam negeri
maupun dari asing umumnya bertitik tolak dari kategori dasar tradisionalis dan
modernis dalam memetakan gerakan pemikiran Islam, meskipun dengan penjelasan
yang bervariasi. Dari dua pemikiran itu kemudian berkembang varian-varian baru. Dari
pemikiran tradisionalis kemudian berkembang menjadi neo-tradisionalis yang mencoba
melakukan pembaruan atas tradisi seperti dilakukan Abdurrahman Wahid, dan posttradisionalis yang melakukan kritisisme atas tradisi, mengadopsi metode pemikiran
modern dengan tetap menggunakan tradisi sebagai basis transformasi. Sementara dari
kelompok modernis lahir neo-modernisme yang diwakili tokoh seperti Nurcholish
Madjid dan Syafii Maarif yang kemudian bermetamorfosis menjadi pemikiran Islam
liberal. Namun pemikiran ini juga memunculkan suatu gerakan Islam yang bercorak
fundamentalis dan neo-fundamentalis.
Neo Tradisionalisme
Dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, pemikiran neo-tradisionalisme
biasanya didentikkan dengan Gus Dur. Sekalipun demikian bukan berarti Gus Dur
hanya Neotra, karena kenyataanya, ia juga inspirator sekaligus pegiat neo-modernisme,
post-tradisionalisme, bahkan Islam liberal.Sebagai pemikiran yang bertolak dari tradisi,
neo-tradsionalisme melihat bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan
lokal, sehingga sangat menghargai multikulturalisme. Neo-tradsionalisme cenderung
6 Mohammed Abed al-Jabiri, al-Turts wa al-Hadtsah, (Bairut: Markaz Dirasah al-Wahdah alArabiyyah, cet. II, 1999),
di kalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta. Gema dari wacana ini terus
meluas terutama setelah LKiS menjadikan postra sebagai landasan ideologisnya
dalam strategis planning pada Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula
yang kemudian menjadi judul buku terjemahan Ahmad Baso atas sejumlah artikel
Muhammad Abed al-Jabiri. Dua aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman
memberi sedikit muatan dengan menerbitkan buku berjudul Post-Tradisionalisme
Islam, Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama,
2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberi nama Postra. Wacana
postra semakin matang ketika Lakpesdam NU melakukan kajian yang agak serius
mengenai tema ini dalam Jurnal Taswirul Afkar No. 9 tahun 2000. Setelah itu, postra
telah benar-benar menjadi wacana publik dan banyak diperbincangkan orang dalam
berbagai diskusi, seminar dan juga liputan media massa.
Beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong gerakan intelektual anak
muda NU yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra. Pertama, faktor
perkembangan politik. Faktor ini menjadi penting karena dinamika sejarah NU, baik
secara struktural maupun kultural banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor
perkembangan politik. Keputusan kembali ke khittah 26 pada 1984 yang sangat
dipengaruhi oleh proyek restrukturisasi politik orde baru ternyata mempunyai makna
signifikan bagi gerakan sosial-intelektual NU (social-intellectual movement) di
lingkungan NU. Perubahan peta politik nasional yang terjadi pada 1998 juga
mempunyai imbas pada komunitas NU. Di satu pihak ada gerakan politik demikian kuat
yang antara lain ditandai dengan berdirinya PKB dan beberapa parpol yang berbasis
massa NU, namun di pihak lain sebagian kecil anak muda, terutama yang menjadi
aktifis LSM, tetap menjaga jarak dengan kekuatan politik sembari tetap melakukan
gerakan sosial-intelektual.
Kedua, munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia Arab turut
mendorong dan memberi inspirasi semangat intelektualisme postra. Bahkan wacana
yang dikembangkan sedikit banyak merupakan tema-tema yang diangkat dan menjadi
perbincangan intelektual di kalangan mereka adalah tema-tema sebagaimana terdapat
dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad
Syahrur, Muhammad Abed al-Jabiri, dan sebagainya.
Post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU dapat dipahami sebagai
gerakan lompat tradisi. Gerakan ini berangkat dari tradisi yang diasah secara terus
menerus, diperbarui dan mendialogkannya dengan modernitas. Dari sini kemudian lahir
loncatan tradisi menuju pada sebuah tradisi baru (new tradition) yang sama sekali
berbeda dengan tradisi sebelumnya. Dari satu sisi memang terjadi kontinuitas, namun di
sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru
ini biasanya diikuti dengan liberalisasi pemikiran yang seringkali berisi gugatan
terhadap tradisinya sendiri (ego, al-na) maupun tradisinya orang lain (the others, alkhar).13
Spirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktifitas intelektual
komunitas postra adalah semangat untuk terus menerus mempertanyakan kemapanan
doktrin dan tradisi, berdasar nilai-nilai etis yang mereka peroleh setelah bergumul
13 Zaini, Rahman,Post-Tradisionalisme Islam: Epistemologi Peloncat Tangga dalam Bulletin
Wacana Postra, edisi Perkenalan, Nopember, 2001, hal. 59.
dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui kajian, penelitian, maupun penerbitan
buku dan jurnal. Berbagai bentuk penafsiran atas teks suci, tradisi, dan ideologi yang
tidak mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan, apalagi menistakan kemanusiaan,
mereka gugat keabsahannya, baik pada tingkat relevansi maupun kemungkinan adanya
manipulasi dan politisasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah, gerakan intelektual
tersebut berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah
upaya untuk menjadikan tradisi (turst) sebagai basis untuk melakukan transformasi.
Dari sinilah komunitas postra bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad
Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai
basis transformasi. Dengan demikian, post-tradisionalisme Islam menjadikan tradisi
sebagai basis epistimologinya, yang ditransformasikan secara meloncat, yakni
pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang
sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.
Melihat dari dinamika semua ini, maka gerakan pemikiran keislaman yang
berkembang di Indonesia dewasa ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari dua arus utama
pemikiran yang telah berkembang lebih dulu: Islam tradisionalis dan Islam modernis.
Perkembangan itu juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan pemikiran di
belahan dunia yang lain, terutama di Timur Tengah dan Arab pada umumnya. Kondisi
sosial-politik di Indonesia dan situasi sosial-politik global turut punya andil dalam
menumbuh-suburkan berbagai pemikiran keislaman dan terutama gerakan keislaman
tersebut.
DARTAR PUSTAKA
Adian Husaiani dan Nuim Hidayat, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani, 2002)
Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1999)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1992).
Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003)
Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1999)
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,
1980).
Majalah Gatra, 1 Desember 2001
Saleh Fauzan, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia
Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004)