Anda di halaman 1dari 6

NAMA

NIM

: Dwina Yunita Marsya


: 04011381320051

A. Pendahuluan.
Istilah Narkotika pada dasarnya adalah kata yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu Narkoun yang artinya membuat lumpuh atau mati rasa. Selanjutnya
menurut Merriam-Webster, Narkotika (Narcotic) adalah A Drug (as opium or
morphine) that in moderate doses dulls the senses, relieve pain, and induces profound
sleep but in excessive doses causes stupor, comma or convulsions ( Sebuah obat
(seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indrawi,
mengurangi rasa sakit dan mendorong tidur tetapi dalam dosis berlebihan
menyebabkan pingsan, koma atau kejang).
Sementara menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009, pengertian
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (UU No. 35 Tahun 2009).
Mencermati efek yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika dan jika Narkotika
disalahgunakan yang akhirnya menjadi kecanduan Narkotika, maka akibat negatif
yang pasti ditimbulkannya, antara lain:
Rusaknya susunan syaraf-syaraf pusat,
Rusaknya organ tubuh, seperti hati dan ginjal serta mengecilnya testikel
pada kelamin pria yang berujung pada kemandulan.
Timbulnya penyakit kulit, seperti bintik-bintik merah pada kulit, kudis dan
sebagainya.
Lemahnya fisik, moral dan daya pikir.

Timbul kecenderungan melakukan penyimpangan sosial dalam masyarakat,


seperti berbohong, berkelahi, free seks dan lain sebagainya.
Timbulnya

kegiatan/aktivitas

dis-sosial

seperti

mencuri,

menodong,

merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang guna membeli narkotika yang
jumlah dosisnya semakin tinggi.
Mengenai Penyalahgunaan Narkotika dan Peredarannya, maka di Indonesia
keadaan tersebut sungguhlah memprihatinkan. Hal ini dapat diketahui dari hasil
penelitian Yayasan Kesatuan Peduli Masyarakat (KELIMA) DKI Jakarta yang
menyebutkan pengguna Narkoba di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 5 juta
orang1 dan menurut data yang diperoleh situs www.kabarcelebes.com, untuk
penyalahgunaan dan peredaran Narkotika di daerah propinsi Sulawesi Selatan, maka
daerah Kabupaten Wajo menempati urutan kedua setelah Kota Makassar2.
Regulasi tentang pemberantasan kejahatan narkotika di Indonesia dimulai
sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie) Stbld.
1927 No. 278 Jo No. 536, lalu diganti oleh UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika,
kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997 dan terakhir diganti dengan UU No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain itu, ada berbagai peraturan perundangundangan lainnya yang mendukung dan memperjelas aturan-aturan UU Narkotika
tersebut.
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan
lainnya, maka di sini perlu dikemukakan hal-hal yang signifikan yaitu antara lain :
kualifikasi Penyalah guna, Pecandu, Korban Penyalahgunaan dan Pengedar dalam
kejahatan narkotika sehingga nantinya dapat diketahui kapasitas seseorang yang
dituduh pelaku kejahatan narkotika.
B. Kualifikasi Penyalahguna, Korban Penyalahguna, Pecandu dan Pengedar
gelap (Illegal) Narkotika
Di dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyalahguna adalah orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sedangkan di dalam Pasal 7

UU No. 35 Tahun 2009 disyaratkan bahwa Narkotika hanya digunakan untuk


kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, selanjutnya di dalam Pasal 8 UU tersebut lebih membatasi penggunaan
narkotika golongan I yang hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia
laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga bila seseorang yang menggunakan
Narkotika melanggar aturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan 8 UU No. 35
Tahun 2009, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat
melawan hukum.
Lalu bagaimana dengan seorang pecandu Narkotika ? apakah ia mempunyai
hak dan perbuatannya tidak melawan hukum jika menggunakan narkotika?
jawabannya tentu saja perbuatannya jelas tetap melawan hukum dan tidak mempunyai
hak untuk menggunakan Narkotika, karena terhadap seorang pecandu dapat
dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 55 jo
Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Secara esensial penyalahguna dan pecandu Narkotika adalah sama-sama
memakai atau menyalahgunakan Narkotika, hanya saja bagi pecandu narkotika
mempunyai karakteristik tersendiri yakni adanya ketergantungan pada Narkotika, baik
secara fisik maupun psikis3. Sehingga bagi pecandu Narkotika hanya dikenakan
tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam
jangka waktu maksimal sama dengan jangka waktu maksimal pidana penjara
sebagaimana tercantum pada Pasal 127 huruf a UU No. 35 Tahun 2009.
Sebagai tolok ukur tindakan yang dapat dikenakan bagi seorang pecandu
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 55 jo Pasal
103 UU No. 35 Tahun 2009 adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2010, yang menyebutkan seorang pecandu dapat
ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi dengan kriteria :
1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap tangan.

2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1. Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
2. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir;
3. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.
5. Kelompok Ganja seberat 5 gram.
6. Daun Koka seberat 5 gram.
7. Meskalin seberat 5 gram.
8. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
9. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram.
10. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
11. Kelompok Fentanil seberat 1 gram.
12. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.
13. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.
14. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.
15. Kelompok Kodein seberat 72 gram.
16. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
c. Surat Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang dikeluarkan
berdasarkan permintaan penyidik.
d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/ psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh
hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut di atas dapat juga digunakan untuk
tolok ukur bagi seorang penyalahguna karena secara logika, antara pecandu dengan
penyalahguna adalah sama-sama mengkonsumsi narkotika hanya saja pecandu harus
terbukti memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap narkotika. Sehingga dengan
SEMA tersebut dijadikan tolok ukur, maka seorang penyalahguna hanya dapat
dikenakan pidana pada Pasal 127 Ayat (1) bukan dikenakan pidana pada Pasal 111
atau Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 walaupun antara Penyalahguna dengan pelaku

yang diancam pidana pada Pasal 111 atau 112 tersebut sama-sama memiliki,
menyimpan, menguasai Narkotika.
Selanjutnya yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika,
menurut penjelasan Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009, adalah seseorang yang tidak
sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau
diancam untuk menggunakan Narkotika. Dengan demikian seorang korban
penyalahgunaan narkotika harus terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan
dikarenakan adanya keadaan yang memaksa ia mau tidak mau menggunakan
Narkotika atau ketidaktahuan yang bersangkutan kalau yang digunakannya adalah
narkotika.
Kemudian mengenai klasifikasi pengedar gelap atau illegal, maka ini
berkaitan dengan pengertian istilah Peredaran gelap di dalam Pasal 1 angka 6 UU
No.35 Tahun 2009 yaitu setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 35 UU No.
35 Tahun 2009, Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan,
bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahwa yang dimaksud dengan tanpa hak dan melawan hukum disini, adalah
kegiatan peredaran tersebut dilakukan tanpa adanya dokumen sah. Karena syarat
adanya dokumen yang sah diatur secara imperatif dalam Pasal 38 UU No. 35 Tahun
2009 dan berdasarkan Penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan wajib
dilengkapi dengan dokumen yang sah adalah bahwa setiap peredaran Narkotika
termasuk pemindahan Narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir, wajib
disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek. Dokumen tersebut berupa
Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep
dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Narkotika bersangkutan.

C. Penutup
Dari uraian tersebut di atas, maka sebagai penutup dari tulisan ini yaitu bahwa
antara penyalahguna, pecandu, korban penyalahguna dan pengedar gelap / illegal
dalam kejahatan narkotika sebagaimana dimaksud pada UU No. 35 Tahun 2009 yang
kemudian diperjelas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
(SEMA RI) No. 4 Tahun 2010, terdapat suatu perbedaan yang jelas, sehingga di
dalam penanganan kasus kejahatan narkotika, para penegak hukum dapat memilah
atau mengkualifikasi kapasitas si pelaku kejahatan Narkotika tersebut apakah ia
seorang penyalahguna atau pecandu atau korban penyalahguna ataukah seorang
pengedar.

Anda mungkin juga menyukai