Oleh :
1. NIKO LASTARDA
(1406584076)
2. DIMAS
()
3. RICHARD
()
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa yang telah
meberikan kekuatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dalam waktu
yang telah direncanakan.
Makalah yang berjudul Pencairan Batubara (Coal Liqeufaction) ini disusun sebagai
tugas untuk mata kuliah Energi dan Lingkungan pada program S2 Manajemen Ketenaga
Listrikan dan Energi.
Selama dalam Penyusunan makalah ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari
pihak terkait dengan data-data yang dibutuhkan. Oleh karena itu, penulis ingin meyampaikan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga makalah
ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan penulis. Harapan penulis, makalah ini menjadi lebih
bermamfaat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
iv
BAB. I PENDAHULUAN
1.3. Permasalahan
5
5
7
17
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Chorine Plant
Gambar 3.1.
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
Tabel 4.1.
Identifikasi Resiko
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.
10
Tabel 4.4.
Matrik Resiko
10
Tabel 4.5
11
Tabel 4.6
13
Tabel 4.7
Evaluasi Resiko
16
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah Perkembangan Batubara
Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat
pemanfaatan yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa batubara pertama kali
digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di
timur laut Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang
logam sekitar tahun 1000 SM. Bahkan petunjuk paling awal tentang batubara ternyata berasal
dari filsuf dan ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti
batu. Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga
menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan batu
bara di Eropa, bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari lapisan batu bara
yang tersingkap di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia. Selama Revolusi
Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batubara amat mendesak. Penemuan
revolusional mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan
dalam pertumbuhan penggunaan batu bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan
penggunaan batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait
dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang
seiring dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960
minyak menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa batubara akhirnya tidak berperan sama sekali
sebagai salah satu sumber energi primer.
Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang
berlebihan pada salah satu sumber energi primer, dalam hal ini minyak, akan menyulitkan
upaya pemenuhan pasokan energi yang kontinyu. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di
Timur Tengah yang merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada
fluktuasi harga maupun stabilitas pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan
pamor batubara sebagai alternatif sumber energi primer, disamping faktor - faktor berikut ini:
BAB II
PENCAIRAN BATU BARA
Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah proses mengubah wujud batubara dari
padat menjadi cair. Proses pencairan batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu
metode langsung dan metode tidak langsung. Pada proses tidak langsung batubara
difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan
menghasilkan produk cair, prosesnya melalui gasifikasi dan kondensasi.
Solusi untuk pemanfaatan batubara peringkat rendah dengan nilai kalor < 5100
kg/gr.
Produk minyak yang dihasilkan cukup menjanjikan, dimana 1 ton batubara akan
menghasilkan 6.2 barrel sintetis oil.
Teknologi pencairan batubara lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak
ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun menghasilkan limbah
(debu dan unsur sisa produksi lainnya), masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku
campuran pembuatan aspal
Secara intuitiv aspek yang penting dalam pengolahan batubara menjadi bahan bakar
minyak sintetik adalah: efisiensi proses yang mencakup keseimbangan energi dan masa, nilai
investasi, kemudian apakah prosesnya ramah lingkungan sehubungan dengan emisi gas
buang, karena ini akan mempengaruhi nilai insentiv menyangkut tema tentang lingkungan.
Efisiensi pencairan batubara menjadi BBM sintetik adalah 1-2 barrel/ton batubara.
Jika diasumsikan hanya 10% dari deposit batubara dunia dapat dikonversikan menjadi BBM
sintetik, maka produksi minyak dunia dari batubara maksimal adalah beberapa juta
barrel/hari. Hal ini jelas tidak dapat menjadikan batubara sebagai sumber energi alternativ
bagi seluruh konsumsi minyak dunia. Walaupun faktanya demikian, bukan berarti batubara
tidak bisa menjadi jawaban alternativ energi untuk kebutuhan domestik suatu negara. Faktor
yang menjadi penentu adalah: apakah negara itu mempunyai cadangan yang cukup dan
teknologi yang dibutuhkan untuk meng-konversi-kannya. Jika diversivikasi sumber energi
menjadi strategi energi suatu negara, pastinya batubara menjadi satu potensi yang layak untuk
dikaji menjadi salah satu sumber energi, selain sumber energi terbarukan (angin, solar cell,
geothermal, biomass). Tetapi perlu kita ingat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
mempertimbangkannya tidaklah tanpa batas, karena sementara Negara-Negara lain sudah
melakukan kebijakan-kebijakan konkret domestik maupun luar negeri untuk mengukuhkan
strategi energi untuk kepentingan negaranya.
2.1
mengembangkan
suatu
teknologi
pencairan
batubara
bituminous
dengan
menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct
hydrogenation to liquefy bituminous coal.Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak
berkualitas baik, bahkan setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti:
sub-bituminous coal dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi
oleh kandungan air. Peneliti Jepang kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk
menjawab tantangan ini agar kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan
mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan
dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah
proses pencairan batubara dengan nama Brown Coal Liquefaction Technology (BCL).
2.2
coal liquefaction (tidak langsung) dan direct coal liquefaction (langsung). Berikut adalah
macam-macam proses pencairan (likuifikasi) Batubara secara khusus.
2.2.1
Fisher Tropsch
Proses Fisher Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut
senyawa hidrokarbon sintetik/ sintetik oil. Sintetik oil banyak digunakan sebagai bahan bakar
mesin industri/transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).
(2n+1)H2 + nCO CnH(2n+2) + nH2O
2.2.2
Bergius Proses
Bergius Process merupakan pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan
Direct Coal Liquefaction-DCL. DCL adalah proses hydro- craacking dengan bantuan
5
katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur
batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawasenyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi
70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair.
2.2.3
berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah
lingkungan.Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang
berkualitas rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi
minyak yang dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan
dengan proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-laden, campuran nitrogenladen, dan lain lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar
bermutu tinggi, kerosin, dan bahan bakar lainnya. Kemudian sisa dari proses tersebut (debu
dan unsur sisa produksi lainnya) dikeluarkan.
Produk liquid oil yang dihasilkan harus mencapai lebih dari 50%
Proses pengoperasian harus berjalan dengan kontinuitas lebih daripada 1500 jam.
Tahapan proses deashing harus mencapai kadar ash (abu) < 500 ppm.
2.2.4
DCL,dikembangkan cukup banyak oleh negara Jerman dalam menyediakan bahan bakar
pesawat terbang. Proses ini dikenal dengan Bergius Process, baru mengalami perkembangan
lanjutan setelah perang dunia kedua.DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan
katalisator.
Prinsip dasar dari DCL adalah meng-introduksi-an gas hydrogen kedalam struktur
batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawasenyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi
70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair. Pada tahun 1994 proses DCL kembali
dikembangkan sebagai komplementasi dari proses ICL terbesar setelah dikomersialisasikan
oleh Sasol Corp.Tahun 2004 kerjasama pengembangan teknologi upgrade (antara China
Shenhua Coal Liquefaction Co. Ltd. dengan West Virginia University) untuk komersialisasi
DCL rampung, untuk kemudian pembangunan pabrik DCL kapasitas dunia di Inner Mongolia.
Dalam Phase pertama pabrik ini akan dihasilkan lebih dari 800.000 ton bahan bakar cair
pertahunnya.
Berikut adalah kapasitas produksi Shenhua DCL Plant, Inner Mongolia :
Tabel 2.1 produksi Shenhua DCL Plant
Phase I
Plant Cost Estimate
Coal Input estimate
Yield of oil products
Estimate production cost
591.900
174.500
70.500
8.300
845.300
(MT/a)
(MT/a)
(MT/a)
(MT/a)
(MT/a)
Dari table di atas dapat dilihat bahwa perkiraan harga produksi tiap-tiap produk BBM
sintetik adalah sebesar USD 24 per barrel, jauh lebih rendah dibandingkan harga minyak
mentah dunia saat ini yang berkisar di atas USD 60/barrel. Dengan beberapa data penunjang
saja, maka break event point-nya sudah dapat dihitung.Yang menjadikan proses DCL sangat
bervariasi adalah beberapa faktor dibawah:
Pencapaian dari sebuah proses DCL sangat tergantung daripada jenis feedstock /
(spesifikasi batubara) yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang bisa
optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
8
Indonesia,
pengembangan
batubara
cair
mulai
direspon
setelah
pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2/ 2006 tentang batubara yang dicairkan. Saat ini
Indonesia memiliki cadangan sekitar 60 milyar ton batubara yang terdapat di seluruh
Indonesia. Dari sekian banyak itu hampir 85% adalah batubara muda (lignit) atau dengan kata
lain batubara dengan kualitas rendah karena 30% berisi kandungan air disamping itu juga
9
mengandung kalori rendah dengan nilai jual murah. Sedang batubara yang berkualitas atau
dikenal dengan Black Coal sebagian besar untuk di ekspor.
Batubara muda yang juga dikenal dengan nama brown coal akan dikembangkan
sebagai alternative pengganti minyak bumi. Pemerintah Jepang serta para pengusaha Jepang
yang tertarik dengan brown coal ini tengah bekerjasama dengan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mewujudkan impian tersebut. Rencananya BPPT
akan berupaya bernegoisiasi dengan Pemerintah Jepang untuk pembangunan pabrik BCL
(Brown Coal Liquefaction) sehingga tercipta gasoline dan solar dari batubara. Biaya yang
diperlukan untuk pabrik BCL ini mencapai 5,8 Milyar dolar Amerika. Hal ini karena para ahli
maupun teknologinya belum kita miliki.
Saat ini BPPT sudah mengadakan penelitian untuk BCL ini di daerah Sumatera
Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Diketahui bahwa 30.000 ton batubara
dapat menghasilkan sekitar 130.000 barel minyak per hari. Sebagai contoh pekerjaan Jepang
di Australia dan Jepang sendiri yang telah berhasil membuat master plan BCL ini. PT.
Tambang Batubara Bukit Asam rencananya akan membangun kilang batubara tercairkan di
Sumatera Selatan dengan investasi sebesar US$5.2 billion. South Africas Sasol Limited,
produsen
minyak
sintetis terbesar
di
dunia
telah
mulai
melakukan
negosiasi
pembangunan kilang batubara yang dicairkan senilai US$ 10 billion dengan PT Pertamina dan
PT. Tambang Batubara Bukit Asam.
Pada awal tahun 2010 telah ditandatangani MOU antara Pemerintah Indonesia
dengan Sasol (salah satu raksasa pemain CTL (coal to liquid) di dunia yang berasal dari
Afrika Selatan) untuk memulai kajian kelayakan pembangunan kilang. Diperkirakan kilang
tersebut mempunyai kapasitas produksi sebesar 1,1 juta barrels setara bahan bakar minyak
perhari. Bila semuanya berjalan sesuai rencana maka konstruksi kilang akan selesai pada
akhir tahun 2014 dan mulai produksi tahun 2015. Terdapat empat lokasi yang potensial
untuk pembangunan kilang batubara yang dicairkan meliputi Musi Banyuasin di Sumatera
Selatan yang memiliki cadangan sebesar 2,9 milyar ton dan Berau Kalimantan Timur dengan
cadangan sebesar 3 milyar ton Untuk suplai Batubara, Sasol akan mendapatkannya dari
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA). Sementara itu, untuk bertindak sebagai
pembeli (off taker) adalah PT Pertamina (Persero).
10
BAB III
DAMPAK LINGKUNGAN
Penyebaran skala besar pabrik batubara cair dapat menyebabkan peningkatan yang
signifikan dari penambangan batubara. Penambangan batubara akan memberikan dampak
negatif yang berbahaya. Penambangan ini dapat menyebabkan limbah yang beracun dan
bersifat asam serta akan mengkontaminasi air tanah. Selain dapat meningkatkan efek
berbahaya terhadap lingkungan, peningkatan produksi batubara juga dapat menimbulkan
dampak negatif pada orang-orang yang tinggal dan bekerja di sekitar daerah penambangan.
Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam jumlah yang besar. Proses ini
juga dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat dikonversi menjadi 2 barel
bensin. Proses konversi yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan energi
dalam jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair menghasilkan hampir dua kali
lipat emisi penyebab global warming dibandingkan dengan bensin biasa. Walaupun karbon
yang terlepas selama produksi ditangkap dan disimpan, batubara cair tetap akan melepaskan
4 hingga 8 persen polusi global warming lebih banyak dibandingkan dengan bensin biasa.
11
ahli
menyatakan
bahwa
penggunaan
batubara
cair
termasuk
kategori
bersih karena bebas sulfur, namun saat batubara diubah menjadi bahan bakar transportasi,
dua aliran karbon dioksida terbentuk: satu dari pabrik produksi batubara cair dan satu dari
pipa pembuangan kendaraan yang membakar bahan bakar tersebut. Emisi dari pabrik
produsen batubara cair lebih besar daripada pabrik produsen dan pemurnian minyak mentah
untuk memproduksi bensin, diesel, dan bahan bakar transportasi lainnya.
Selain
berdampak negatif pada global warming, batubara cair juga memiliki dampak negatif lain
terhadap lingkungan. Lebih dari 4 gallon air dibutuhkan untuk setiap gallon bahan bakar yang
diproduksi. Hal ini akan mengancam persediaan air yang terbatas. Dampak-dampak di atas
menjelaskan bahwa penggunaan batubara sebagai bahan bakar alternatif berbahaya bagi
lingkungan dan tidak sejalan dengan pencarian solusi masalah global warming. Beberapa
pihak menilai dibandingkan dengan menggunakan batubara cair sebagai bahan bakar
alternatif, lebih baik berinvestasi untuk industri energi yang lebih ramah lingkungan dan
membantu kita menyelesaikan permasalahan global warming.
12
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
13
[1] http://rakhman.net/2013/07/chlorination-plant.html.
[2] http://www.manajemenenergi.org/2013/09/02-utility-organization.html
[3] Kajian Enjinering PLTGU Blok 2 UP Muara Karang, 2014
[4] Cepat dan Praktis Analisis Investasi, Toto Prihadi, PPM Manajemen, 2010
14
LAMPIRAN
17