Anda di halaman 1dari 20

A.

Pendahuluan
Tasawuf sebagai amalan praktis para sufi atau sebuah disiplin ilmu yang
telah mendapat perhatian luas dan dalam dari para ilmuan secara umum dan
peneliti tasawuf secara khusus. Diantara mereka seperti yang dikemukakan oleh
Ibn Taimiyah ada yang melihat tasawuf sebagai suatu yang tanpa kebatilannya.
Tetapi ada juga yang melihat secara objektif, berdasarkan panduan al-Quran dan
Sunnah Rasulullah SAW.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu
agama yang baru seperti hal nya ilmu Ushul al-fiqh, Musthalah al-hadits dan lainlain. Karena eksistensinya sebagai salah satu metode (cara) perbaikan akhlak yang
ajarannya mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW, dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang sangat
urgen bagi perbaikan umat dari berbagai pelanggaran dan kejahatan, maka tidak
heran jika ilmu tasawuf terus berkembang dan menjadi menarik untuk di teliti dan
dipelajari.
Ada yang beranggapan bahwa tasawuf merupakan sebuah ajaran yang ada
dasarnya. Hal itu dapat di benarkan karena jika tasawuf dipandang sebagi sebuah
keyakinan, namun jika tasawuf dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan
sebagaimana hal nya ilmu-ilmu lain mungkin kedudukannya dapat disamakan
seperti hal nya ilmu-ilmu social yang berkembang sekarang. Ilmu tasawuf
memang sangat berbeda dengan ilmu-ilmu yang lainnya, adapun yang
membedakannya adalah dari segi metode dan orang yang mengamalkannya
karena ilmu ini bersifat aplikatif bukan teori belaka.
Tasawuf merupakan ajaran keruhanian yang menekankan kepada kesucian
jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli yang ditempuh melalui
riyadah dan dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi serta
amalan-amalan lainnya.
Dari uraian diatas maka penulis mencoba untuk menguraikan tentang
metode-metode yang akan dilalaui ketika seseorang akan mengamalkan ilmu
tasawuf

atau

sufi,

dan

dalam

mengruaikan

metode

tersebut

penulis

mengungkapkan secara umum yaitu metode yang sering di pakai oleh kaum sufi.

B. Pembahasan
1. Pengertian dan Asal Usul Tasawuf
Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli,
baik dari kalangan sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan,
terhadap kata tasawuf. Namun demikian tidak mungkin mencantumkan
semua definisi dalam makalah ini, karena sebagian definisi memiliki
kesamaan arti dengan definisi yang lain, meskipun menggunakan redaksi
yang berbeda.
Untuk tujuan kejelasan arti kata tasawuf atau shufi, diperlukan
penelusuran terhadap asal-usul penggunaan kata tersebut. Dengan
penelusuran ini, diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas akan
makna kata tasawuf yang sesungguhnya. Setelah itu dilihat pula beberapa
definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli.
Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal-usul penggunaan
kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut dinisbahkan
kepada perkataan ahl al-shuffah, yang artinya; nama yang diberikan kepada
sebagian fakir miskin di kalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam.
Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka
menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW di luar masjid
Madina.1 ahl al-shuffah juga merupakan orang-orang yang ikut pindah
dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta,
berada dalam keadaan miskin dan tidak punya apa-apa. Mereka tinggal
dimasjid Nabi SAW dan tidur diatas bangku batu dengan memakai pelana
sebagai bantal, pelana itulah disebut Suffah. Sifat tidak mementingkan
dunia, Sungguh pun miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat
kaum Sufi.2
Ada yang mengatakan bahwa kata tersbut berasal dari kata Shafa
yang berarti suci. Dengan demikian mereka memiliki cirri khusus dalam
aktifitas dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk
1 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h, 57

2 A. Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Jakarta: Hikmah, 2002), h, 68

pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Mereka selalau memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.3
Selanjutnya, ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari
kata Shaff yang berarti barisan, artinya menggambarkan orang-orang yang
selalu berada dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah SWT dan
dalam melaksanakana kebajikan. Suatu kaum berkata bahwasanya mereka
menamakan shufiyah karena mereka berada pada barisan (shaf) terdepan
disisi Allah Azza wa Jalla dengan ketinggian cita-cita mereka kepada-Nya
dan ketegaran (ketetapan) hati mereka di sisinya.4
Ada yang menisbahkan kata tersebut kepada ash-shufu yang berarti
bulu atau wol kasar. Hal ini Karena para sufi mengkhususkan diri mereka
dengan memakai pakaian yang berasal dari bulu domba. Hanya kain wol
yang dipakai kaum sufi, wol yang kasar dan bukan wol yang halus seperti
sekarang. Memakai wol pada waktu itu adalah simbol kesederhanaan dan
kemiskinan. Kaum sufi sebagai golongan orang yang hidup sederhana dan
dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pakainpakaian yang mewah seperti sutera halus yang pada zaman itu merupakan
pakai yang dipakai oleh kaum bangsawan dan sebagai gantinya memakai
pakaian wol yang kasar.5
Selanjutnya ada sebagian lagi berpendapat bahwa kata tasawuf
berasal dari bahasa yunani yaitu saufi. Kata ini disamakan maknanya
dengan kata hikmah yang berarti kebijak sanaan. Kata Sophosi dalam
bahasa yunani menunjukkan kondisi jiwa yang senantiasa cendrung kepada
kebenaran.6
Dan masih ada pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf
tersebut dengan perkataan-perkataan lain yang dapat dirujuk dalam bukubuku tasawuf. Yang jelas dari segi bahasa atau dari asal-usul penggunaan
kata tersebut dapat dikatakan bahwa kata tasawuf berkonotasi pada
3 Ibid, h. 29
4 Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyiriah, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1995), h, 138
5 Harun Nasution, op.cit, h. 58
6 Muhammad Ghalab, Al-Tashawuf al-Maqarin, (Mesir: Maktabah al-Nadhah, tt.), h, 27

kebajikan,

kesucian

hati

dari

godaan

hawa

nafsu,

memutuskan

ketergantungan dengan kehidupan material yang dapat menggangu


hubungan dengan Tuhan, hidup dalam kezuhudan dan menenggelamkan diri
dalam ibadah sehingga semakin dekat dengan-Nya.
Secara terminologi, tasawuf juga diartikan beragam sebagaimana
didalam mengartikan tasawuf secara bahasa. Hal ini dikarenakan perbedaan
memandang aktifitas-aktifitas para kaum sufi. Berikut ini beberapa
pengertian yang diformulasikan oleh ahli-ahli tasawuf.
Maruf al-karkhi sebagaimana di kutip dalam bukunya H.M Jamil
mengatakan tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada
di tangan mahluk. Definisi ini menggambarkan bahwa tasawuf berupaya
mencari hakikat kebenaran dengan meninggalkan kesenangan duniawi.
Kesenangan duniawi tidak menjadi perhatian dan bahkan dijauhi karena
dapat mengganggu ibadah dan hubungan dengan Allah SWT.7
Abu Bakar Al-Kattani sebagaimana yang dikutip oleh Imam AlGhazli, berkata
Tasawuf adalah budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi
pekerti atasmu berarti ia memberi bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf.
Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena
mereka sesungguhnya telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur)Islam.
Dan orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan
sebagian akhlak, karena mereka telah melakukan suluk denganpetunjuk
(nur) imannya.8
Dari pengertian ini terlihat bahwa tasawuf berkonsentrasi pada
masalah akhlak yang terpuji sebelum memasuki dunia tasawuf.
Muhammad Amin Kurdi dalam bukunya H.M. Jamil bahwa tasawuf
adalah suatu ilmu yang dengan diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifatsifat yang terpuji, cara melakukan suluk dengan perjalanan menuju
7 H.M.Jamil, Cakrawala Tasawuf sejarah pemikiran dan kontekstualitas, (Jakarta: Gaung
Persada Press, cet.2, 2007), h.5
8 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt), juz II, h. 376

(keridhaan) Allah SWT dan meninggalkan (larangan-larangan-Nya) menuju


kepada (perintah-Nya).9 Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa tasawuf
berkutat pada kegiatan-ketiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifatsifat terpuji, cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat
Allah SWT.
Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli-ahli tasawuf
maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk mendefenisikan tasawuf
setidaknya ada tiga sudut padang yang digunakan yaitu; pertama, sudut
padang manusia sebagai mahluk yang terbatas, maka dalam hal ini tasawuf
didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara-cara menjauhkan
pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah
SWT. Kemudian Kedua, sudut pandang manusia sebagai mahluk yang
harus berjuang, tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri
dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan dari sudut pandang yang
Ketiga,

Manusia

didefinisakan

sebagai

sebagai

mahluk

kesadaran

yang
fitrah

bertuhan,
(ke-Tuhanan)

maka

tasawuf

yang

dapat

mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat


menghubungkan manusia dengan Tuhan.10
Maka jelaslah sudah pendefenisian tasawuf baik secara bahasa
maupun istilah namun dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari tentang bagaiman cara mendekatkan diri dengan Allah SWT
dengan sedekat-dekatnya bahkan kalau bisa menyatu dengan-Nya,
merasakan kehadiran-Nya, berdialog dan dengan Nya.
2. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf dalam Al-Quran
Ajaran tasawuf pada dasarnya berkonsentrasi pada kehidupan
rohaniyah, mendekati diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan
kerohanian

seperti

pembersihan

hati,

zikir,

ibadah

lainnya

serta

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas


9 H.M. Jamil, op.cit, h. 7
10 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.180

tersendiri dimana orang-orang yang menekuni-nya tidak manaruh perhatian


yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan
dengannya.
Al-Quran al-Karim adalah kitab yang didalamnya ditemukan
sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal
tersebut diatas, yaitu tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan di
dunia, al-Quran diantaranya menegaskan:
Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali
janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali
janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.
(QS. Fathir: 5).
Kemudian Al-Quran Mengajarkan agar orang-orang yang beriman
senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan diri (Taubat):
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). (At-Tahriim: 8)
Berhubunngan dengan kedekatan Tuhan dengan Manusia, Al-Quran
diantaranya menginformasikan:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka
(jawablah),

bahwasanya

Aku

adalah

dekat.

Aku

mengabulkan

permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka


hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(Q.S: Al-Baqarah: 186)
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya,(Q.S: Qaaf: 16)
3. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf dari Sunnah Rasulullah SAW
Disamping riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW
setiap bulan Ramadhan bertahannus di Gua Hira untuk mencari ketenangan
jiwa dan kebersihan hati serta hakikat kebenaran ditengah-tengah keramaian

hidup, ditemukan sejumlah hadis yang memuat ajaran-ajaran tasawuf,


diantarannya adalah hadis-hadis berikut ini.
Dalam sebuah hadis qudsi dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda:
sesungguhnya Allah berkata:siapakah yang memusuhi wali (hamba
kekasih) Ku, maka aku akan menyatakan perang kepadanya. Seorang hamba
yang mendekatkan diri (kepada-Ku) lebih aku cintai dari pada apa yang aku
wajibkan kepadanya. Ketika aku mencintainya, aku menjadi Pendengarnya
atas apa yang sedang didengarkannya, menjadi penglihatannya atas apa
yang sedang dilihatnya, menjadi tangannya atas apa yang digenggamnya,
dan menjadi pejalannya atas perjalanan yang dilakukannya. Apa bila dia
meminta pada-Ku, Aku akan memberinya; dan apabila dia memohon ampun
kepada-Ku, Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari Muslim).11
Kemudian dalam hadis-hadis lain;
Seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Wahai Nabi
Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi bersabda: Bertakwalah kepada Allah
karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihatlah, karena itu
kehidupan seorang ruhbani muslim, berzikirlah, karena itu adalah nur
(cahaya) bagimu. (Riwayat Bukhari).12
Kemudian di hadis lainnya;
Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau
tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang dikutip diatas sebagian kecil dari
jumlah ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengemukakan hahal kehidupan
ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf. Kehidupan yang didominasi oleh
takut dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan, bersyukur, bersabar
dan redha serta takut, intim dengan Allah SWT. Kehidupan seperti inilah
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri serta para sahabatsahabatnya.
11 H.M. Jamil, Op.cit, hl. 15
12 Moh. Saifulloh Al Aziz.S, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit
Terang, 1998), h. 21

Karena itu, setelah mengutip sejumlah ayat yang berhubungan


dengan ajaran-ajaran tasawuf dan menjelaskannya, Muhammad Abdullah
asy-Syarqawi mengatakan: dari penjelasan ayat-ayat tersebut dapat
disimpulkan bahwa awal mula tasawuf Islam dapat ditemukan semangat
ruhaniyah dalam Al-Quran al-Karim, sebagaimana juga ditemukan dalam
sabda Rasulullah s.a.w, baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi Nabi.
Awal mula tasawuf Islam juga dapat ditemukan pada masa sahabat Nabi
s.a.w, beserta para generasi sesudahnya (tabiin).13
Maka para sufi (orang-orang yang menggeluti tasawuf) dalam teoriteori mereka tentang akhlak, kerinduan, kecintaan, marifat, suluk dan
latihan-latihan rohaniyah mereka untuk terealisasinya kehidupan mistis,
pertama-tama sekali mendasarkan pandangan mereka kepada Al-Quran dan
Al-Sunnah.
4. Tujuan Tasawuf
Bagi para sufi, tidak ada tujuan lain dalam bertaqarrub kepada Allah,
kecuali bertujuan hanya untuk mencapai Marifat billah (mengenal Allah)
dengan

sebenar-benarnya

dan

tersingkapnya

dinding

(hijab)

yang

membatasi diri dengan Allah SWT.


Adapun yang dimaksud dengan tujuan tercapainya kesempurnaan
hidup dan marifatullah dalam pandangan tasawuf adalah:
1)

Marifat billah, yakni melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas
dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya, tapi tidak
dengan kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia
ataupun yang lain dengan ketuntuan bentuk dan rupa.
Imam Al-Ghazali pernah menyampaikaan pengalamannya untuk
memperkuat pembicaraannya tentang ruyah dengan katanya sebagai
berikut; Begitu nyata sebagai saya kenal Tuhan itu di dunia ini dengan
marifat hakikat yang sempurna dengan tidak berupa dengan tidak

13 Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme & Akal, terj. Halid Alkaf, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2003), h. 29

berupa gambar dan khayal, dengan tidak ada demikian kelak di


akhirat.14
Jadi dari pernyataan tersebut tentang marifat billah maka dapat
dikatakan bahwa makrifat billah merupakan suatu pemberian Tuhan
pada hati yang bersih dan dapaat menghilangkan tabir yang memisahkan
antara mahluk dengan khaliq, dan makrifat billah tetap bisa dicapai
apabila hati bersih dan terhindar dari segala kotoran perbuatan maksiat.
2) Insan Kamil, yakni tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan,
manusia mengenal dirinya sendiri, kaberadaannya dan memiliki sifatsifat utama. Dalam memandang Insan kamil ini para sufi mempunyai
pandangan yang berbeda, namun secara umum pencapai Insan kamil di
dalam bertasawuf adalah Wihdatul wujud. Tidak ada lagi sifat
kemanusiaan di dalam diri manusia, namun yang ada adalah Allah
SWT.15
Jadi bisa diambil pengertin yang sederhana bahwa insan kamil adalah
manusia yang berjiwa sempurna yang dekat dengan Allah SWT, ia
sudah dianggap cakap untuk menerima perihal merasakan kehadiran
Allah SWT.
5. Maqamat-Maqamat Dalam Tasawuf.
Maqamat diartikan sebagai stasiun-stasiun yang dilalui oleh para sufi
dalam melaksanakan perjalanan panjang bermujahadah kepada Allah SWT.
Setiap stasiun yang dilalui oleh para sufi berbeda tingkatannya, namun
secara umum ada pun stasiun-stasiun tersebut secara ringkas dijelaskan
adalah sebagai berikut;
1) Maqam taubat
Taubat adalah memohon ampun, tidak mengulangi kembali dosa-dosa.
Langkah pertama adalah tobat dari dosa besar dan kecil. Taubat yang
sebenarnya dalam dunia tasawuf adalah melupakan segala hal kecuali
kepada Allah. Mencintai Allah dan orang yang mencintai Allah
14 Moh. Saifulloh aziz.s. op.cit, h, 41
15 Harun Nasution, op.cit, h, 27

senantiasa akan mengadakan hubungan dan kontempalasi tentang


Allah.
2) Zuhud
Untuk memantapkan taubat, calon sufi haruslah zuhud, yaitu
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Dalam sejarah, zuhud ada
dikalangan umat Islam sebelum tasawuf, sebagai reaksi pada abad I
dan II hijriah terhadap kehidupan mewah yang melanda masyarakat,
terutamadari kalangan keluarga kerajaan dan kaum bangsawan.
Sebagaian Umat Islam, membandingan kehidupan saat itu dengan
kehidupan Rasul yang sederhana dan bersahaja. Mereka ingin
menghayati dan mempertahankan kesederhanaan seperti Rasul dan
para sahabatnya, kemudian mereka mengasingkan diri dari tengahtengah kehidupan masyarakat.
Ajaran zuhud itu sendiri sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai
meninggalkan dunia secara mutlak, tetapi merupakan sikap jiwa yang
tidak meletakkan kehidupan dunia sebagai tujuan. Dunia dipandang
sebagai alat untuk merealisasi tujuan yang hakiki, yaitu taqarrub
kepada Allah.
3) Wara
Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya ada unsur
subhat (keraguan) tentang kehalalannya. Dalam dunia tasawuf ketika
seseorang telah mencapai wara, maka tangannya tak dapat diulurkan
untuk mengambil suatu yang di dalamnya ada unsur subhat.
4) Kefakiran
Kefakiran dalam istilah sufi adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada dirinya. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
menjalankan kewajiban, bahkan tidak meminta kendatipun tak ada
pada diri kita. Kalau di beri diterima, tidak meinta, tidak menolak.

10

5) Sabar
Sabar dalam menjalan perintah Allah dan menjauhi laranganlarangannya, menerima segala musibah, cobaan dan ujian yang
ditimpakan kepadanya seraya menunggu pertolongan dari Allah SWT.
6) Tawakal
Tawakal adalah menyerahkan kepada qadha dan putusan Allah. Sikap
tawakal kaum sufi adalah menerima pemberian dengan rasa syukur.
Kalau tidak dapat apa-apa, bersikap sabar dan meyerah kepada qadha
dan qadarnya Allah. Sikap ini ditampilkan kaum sufi dengan tidak
memikirkan hari esok, tetapi cukup dengan apa yang ada untuk hari
ini.
7) Ridha (kerelaan)
Ridha adalah tidak menentang qadha dan qadarnya Allah, melainkan
menerima dengan senang hati, sehingga seorang sufi akan merasa
senangbaik ketika menerima nikmat maupun ketika menerima
malapetaka. Kerelaan ditampilkan dalam bentuk penerimaan terhadap
apa yang terjadi, mereka tidak meminta dimasukkan ke dalam syurga
tapi juga tidak minta dijauhkan dari neraka.
8) Mahabbah
Di maqamat ridha, kaum sufi telah dekat dengan Tuhan dan rasa cinta
yang menggelora kepada Tuhan, membawanya pada cinta ilahiyah.
Cinta pada Allah ditampilkan dalam bentuk kepatutan tanpa pamrih,
penyerahan diri total dan pengosongan hati dari segala sesuatu kecuali
Allah. Hati yang mahabbah, dipenuhi dengan cinta, sehingga tidak ada
tempat untuk benci kepada apa dan siapapun. Ia mencintai Tuhan dan
segenap mahluk-Nya. Para sufi dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya, sehingga para sufi telah sampai pada maqamat marifat.
9) Marifat
Marifat artinya mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan, tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ia ingin
lebih dekat lagi bersatu dengan Tuhan, menurut ahli tasawuf marifat

11

dapat diperoleh sufi melalui alat yang disebut sir, dalam hubungannya
dengan Tuhan, manusia memiliki 3 alat, yaitu qalb untuk mengetehui
sifat-sifat Tuhan, ruh untuk mencapai Tuhan dan sir untuk melihat
Tuhan.
10) Al-Fana wal Baqa
Pada maqam marifat, seorang sufi telah dekat sekali dengan Tuhan,
tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ingin dekat lagi dan bersatu
dengan Tuhan. Sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan
terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih
belum menghancurkan dirinya (masih sadar akan dirinya), ia tidak
akan dapat bersatu dengan Tuhannya. Pengahncuran ini disebut fana,
penghancuran dalam istilah sufi selalu di iringi dengan baqa. Fana
yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya
perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau
sufi telah merasakn fana an-nafs, yaitu jika wujud jasmaniahnya tidak
ada lagi (dalam artian tidak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal
adalah wujud ruhaninya dan ketika itu ia dapat bersatu dengan
Tuhannya.
11) Al-ittihad
Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggalah kesadaran
tentang Tuhan, ia pun sampai ketingkat ittihad, yaitu suatu tingkatan
dimana seorang sufu merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu
tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainya dengan katakata: Wahai Aku, muncullah ungkapan sufi yang terasa ganjil yaitu;
Aku adalah Engkau, Engkau Adalah Aku, melalui diri-Nya aku
berkata; Hai Aku.
Disinilah sufi telah mencapai tujuan akhirnya, sampai kepada
tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan. Para ahli syariat Islam,
menyatakan bahwa ajaran seperti ini telah keluar dari Islam. Untuk

12

mencapai maqamat-maqamat di atas tidaklah mudah, perlu riyadhah


(latihan terus menerus).
6. Riyadlah Dan Tingkatan Yang Ditempuh Dalam Tasawuf
Dalam ilmu tasawuf sebagai usaha menyingkap tabir (hijab) yang
membatasi diri dengan Tuhan, oleh para ahli sufi telah disusun suatu sistem
yang dapat dipergunakan untuk riyadlah nafsi,16 dalam rangka mencapai
tujuan musyahadatillah.17 Sistem ini merupakan dasar didikan dalam
riyadlah bagi para sufi pada tahap awal yang tersusun dalam tiga tingkatan
yaitu dinamakan dengan takhalli, tahalli dan tajalli.
Adapun ketiga istilah tersebut dijelaskan secara singkat dibawah ini;
1) Takhalli
Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran hati,
maksiat lahir dan maksiat batin. Adun maksiat lahir yaitu segala
perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang akibatnya
merusak diri sendiri atau orang lain sehingga membawa korban harta,
benda, fikiran dan perasaan. Jadi maksiat lahir menimbulkan kejahatankejahatan yang merugikan seseorang atau diri sendiri bahkan merugikan
masyarakat. Ada pun perbuatan tersebut seperti, mencuri, korupsi,
menganiaya dan sebagainya. Sedangkan maksiat batin adalah
dorongan hawa nafsu untuk berbuat kejahatan, tidak bermoral dan
ingkar terhadap Allah SWT.
Kedua maacam maksiat tersebut selalu membelenggu manusia dan
cendrung membuat manusia ingkar kepada Tuhannya. Para sufi
berusaha dengan sungguh-sungguh dalam meninggalkan/membersihkan
diri dari kotoran tersebut. Menurut para sufi untuk membuka hijab yang
membatasi manusia dengan Allah SWT yang kotor terhadap kehidupan
manusia ada 3 macam yaitu;
1. Mensucikan diri dari najis dan hadas
16 Riyadlah nafsi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh kaum sufi dengan sungguhsungguh dalam mensucikan hati
17 Musyahadatillah adalah terbukanya hijab antara mahluk dengan khaliq sehingga dapat
menyaksikan Allah Swt.

13

2. Membersihakan diri dari dosa lahir yaitu; mulut yang berdusta dan
ghibah, mata yang biasa melihat yang haram, telinga yang biasa
mendengar cerita bohong, hidung yang biasa menimbulkan rasa
benci, tangan yang bisa rusak, kaki yang biasa berjalan berbuat
maksiat, kemaluan yang biasa bersyahwat atau berzina (termasuk
perut yang biasa di isi dengan barang haram)
3. Mensucikan dari dosa batin.
Adapun yang menjadi dasar bahwa para sufi bertakhalli adalah
firman Allah SWT ;
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ( As Syams: 910)18.
2) Tahalli
Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati
dengan taat lahir dan batin. Sifat-sifat terpuji yang harus mengisi jiwa
adalah adil, belas kasihan, beramal shaleh, berani, berbaik sangka,
berbudi pekerti luhur, berjiwa kuat, bersikap, berlaku benar, berbuat baik,
bertindak baik, berjiwa bijaksana, dapat dipercaya, ikhlas, mahabbah,
manis muka, menepati janji, menjauhi maksiat, menghormati tamau,
menyambung tali silaturahmi, menyimpan rahasia, mencegah kejahatan,
merendah diri dihadapan Allah dan dengan siapa saja, pemaaf,
penyantun, penolong dalam kebaikan, penunjuk jalan yang benar, sabar,
tidak pemarah, suka berzikir, zuhud dan masih banyak lagi yang lain.
Adapun yang menjadi dasar dalam bertahalli adalalah firman Allah
SWT;
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( QS. An-Nahl: 90)

18 Op.cit, h.50

14

Manusia yang telah mengosongkan hatinya (setelah dibersihkan dari


sifat-sifat tercela) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, segala
perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang
ikhlas. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan dan bantuaan
menurut kemampuannya. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya
diikhlaskan untuk mencari keridhoan Allah semat-mata. Karena itulah
manusia seperti ini dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Allah
senantiasa memberikan rahmad dan perlindungan kepadanya.
3. Tajalli
Tajalli adalah merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai
kenyataan Tuhan. Jadi inti dari tajalli ini adalah lenyapnya/hilangnya
hijab dari sifat-sifat kebasyiraan, jelasnya Nur yang selama ini ghaib,
fananya/lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.
Dasar dari tajalli adalah
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya
ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing
kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan

bagi

manusia,

dan

Allah

Maha

mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An Nur : 35).19 Tajalli terbagi 4


tingkatan sebagaimana didalam kitab Insan kamil sebagaimana di kutif
oleh Masfuk zuhri yaitu;
a. Tajalli Afal, yaini hilangnya/kenyapnya fiil dari seorang hamba dan
yang ada fiil Allah semata-mata. Dalam Afal-Nya di ibaratkan
dimana penglihatan seorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku
19 Moh. Saifulloh Azis, Op.cit, h. 96

15

qudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu dia melihat Tuhan, maka tiada
fiil lagi sang hamba. Gerak dan diam serta isbat adalah bagi Allah
semata-mata.
Hal ini sesuai dengan fiman Allah;
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu. ( Q.S. Ash Shaffat: 96)
b. Tajalli Asma
Tajalli asma adalah fananya seorang hamba daripada dirinya dan
bebasnya daripada genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya
ikatannya daripada dirinya/tubuh kasarnya, ketika itu dia fana.20
kedalam baqanya21 Allah karena telah sucinya ia dari sifat-sifat
kebaharuan.
Lebih jelasnya, tajalli asma ini dikemukakan oleh Syeikh Daud bin
Abdullah al fathani yang dikutif oleh mastafa zuhri, bahwa tajalli
asma adalah pembukaan bagi si salik setengah dari asma Allah maka
jadi hilanglah si salik itu di bawah pancaran cahaya isim (nama) itu
kira-kira jadilah apabila diseru oleh Haq dengan nama itu niscaya
disahutnya.22
c. Tajalli sifat
Tajalli sifat adalah pembukaan salah satu sifat-Nya pada hati si salik,
terjadinya kemudian dari pada fana sifat. Apabila seorang salik
mengalami tajalli sifat ini maka dia akan merasakan semua yang
maujud bersuara seperti binatang, kayu, batu dan lain sebagainya.
d. Tajalli Zaat
Tajalli zaat adalah sesungguhnya zat Tuhan itu menyatu kepada sang
salik. Artinya pada diri manusia terjadi penyatuan dan tiada zat yang
ada kecuali zat Allah.
20 Fana artinya hilang atau hancurnya kesadaran atau perasaan tentang adanya tubuh
kasar manusia
21 Mastafa Zuhri, Kunci Memahami Tasauf,(Jakarta: PT Bina Ilmu, 1998), h, 56
22 Dalam ilmu tasawuf dikatakan syariat itu merupakan peraturan, tariqat itu merupakan
pelaksanaan sedangkan hakikat merupakan keadaan dan marifat merupakan tujuan terakhir.

16

Pada tahapan ini si salik memang benar-benar hilang dari ke


insanannya, yang ada hanya Allah SWT. Tiada ada yang ada dialam
ini kecuali Allah. Inilah yang diaungkapkan oleh si salik sehingga
mengungkapkan; Aku adalah Engkau, Engkau Adalah Aku, melalui
diri-Nya aku berkata; Hai Aku.
Urain tentang riyadlah setidaknya dapat memberikan gambaran
tentang suatu perjalan yang dilakukan oleh seorang sufi dalam mencapai
tingkat menyadari akan kehadiran Allah dalam didalam diri manusia.
Dalam usaha pencapaian tersebut terdapat syariat, tariqat, hakikat dan
marifat.23 Untuk syariat berada pada tahapan takhalli sedangkan tariqat
dan hakikat berada pada tahalli dan marifat berada dalam tajalli.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana/cara mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Tujuan dari tasawuf adalah untuk mencapai marifat kepada Allah SWT
dengan latihan-latihan ruhaniyah dengan metode-metode yang diambil dari
Rasulullah Saw.
Ada beberapa maqamat-maqamat yang dilalui oleh seseorang akan
bermujahadah kepada Allah SWT dan setiap sufi mempunyai perbedaan dalam
melaluinya.
Ada pun Riyadlah kepada Allah melalui 3 tahapan yaitu takhalli, tahalli
dan tajalli.
Syariat, tariqat, hakikat dan marifat adalah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dalam menjalankan ilmu tasawuf karena ke empat hal tersebut
merupakan bagian dari proses tanjakan-tanjakan rohaniyah dalam usaha
mengamalkan ilmu Tasawuf.

23 Sedangkan baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi antara fana dan baqa adalah kembar
dua

17

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dinata. 2000. Akhlak Tasawuf, PT. Grapindo Raja Persada, Jakarta
Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din, Maktabah usaha keluarga, Semarang
A. Rivai Usman. 2003. Tasauf Salafi, Hikmah, Jakarta
Al-Qusyairi. 1995. Al-Risalah al-Qusayairiyah fi ilmi al-Tashawuf, Maktabah.
Mesir
Harun Nasution. 1999. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang.
Jakarta
H.M.

Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf sejarah,


Kontekstualitasnya, Gaung Persada Press. Jakarta

pemikiran

dan

Muhammad Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang.


Surabaya
Muhammad Effendi Saad. 2003. Rahasia Perjalanan Menuju Allah, Sinar Surya.
Kalimantan Barat
Mustafa Zuhri. 1998. Kunci Memahami Tasawuf, PT. Bina Ilmu. Jakarta
Muhammad Ghalab, Al-Tasawuf al-Muqarin, Maktabah. Mesir
Muhammad Abdullah Asy Syarqawi. 2003. Sufisme dan Akal,terjemahan Halid
AlKaf. Pustaka Hidayah. Bandung

18

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................

ii

A. Pendahuluan .......................................................................................

B. Pembahasan.........................................................................................

1. Pengertian dan Asal Usul Tasawuf....................................................

2. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf dalam Al-Quran.................................

3. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf dari Sunnah Rasulullah SAW.............

4. Tujuan Tasawuf..................................................................................

5. Maqamat-Maqamat Dalam Tasawuf.................................................

6. Riyadlah Dan Tingkatan Yang Ditempuh Dalam Tasawuf.............

13

C. KESIMPULAN......................................................................................

17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

18

ii
19

PENGERTIAN, TUJUAN DAN PERKEMBANGAN TAREKAT


DAN HUBUNGANNYA DENGAN TASAWUF

Dosen Pembimbing
Dr. H. Nasharuddin Yusuf, M.Ag.

Oleh
Hendra Fadli
11211104697

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014

20

Anda mungkin juga menyukai