Pendahuluan
Tasawuf sebagai amalan praktis para sufi atau sebuah disiplin ilmu yang
telah mendapat perhatian luas dan dalam dari para ilmuan secara umum dan
peneliti tasawuf secara khusus. Diantara mereka seperti yang dikemukakan oleh
Ibn Taimiyah ada yang melihat tasawuf sebagai suatu yang tanpa kebatilannya.
Tetapi ada juga yang melihat secara objektif, berdasarkan panduan al-Quran dan
Sunnah Rasulullah SAW.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu
agama yang baru seperti hal nya ilmu Ushul al-fiqh, Musthalah al-hadits dan lainlain. Karena eksistensinya sebagai salah satu metode (cara) perbaikan akhlak yang
ajarannya mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW, dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang sangat
urgen bagi perbaikan umat dari berbagai pelanggaran dan kejahatan, maka tidak
heran jika ilmu tasawuf terus berkembang dan menjadi menarik untuk di teliti dan
dipelajari.
Ada yang beranggapan bahwa tasawuf merupakan sebuah ajaran yang ada
dasarnya. Hal itu dapat di benarkan karena jika tasawuf dipandang sebagi sebuah
keyakinan, namun jika tasawuf dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan
sebagaimana hal nya ilmu-ilmu lain mungkin kedudukannya dapat disamakan
seperti hal nya ilmu-ilmu social yang berkembang sekarang. Ilmu tasawuf
memang sangat berbeda dengan ilmu-ilmu yang lainnya, adapun yang
membedakannya adalah dari segi metode dan orang yang mengamalkannya
karena ilmu ini bersifat aplikatif bukan teori belaka.
Tasawuf merupakan ajaran keruhanian yang menekankan kepada kesucian
jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli yang ditempuh melalui
riyadah dan dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi serta
amalan-amalan lainnya.
Dari uraian diatas maka penulis mencoba untuk menguraikan tentang
metode-metode yang akan dilalaui ketika seseorang akan mengamalkan ilmu
tasawuf
atau
sufi,
dan
dalam
mengruaikan
metode
tersebut
penulis
mengungkapkan secara umum yaitu metode yang sering di pakai oleh kaum sufi.
B. Pembahasan
1. Pengertian dan Asal Usul Tasawuf
Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli,
baik dari kalangan sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan,
terhadap kata tasawuf. Namun demikian tidak mungkin mencantumkan
semua definisi dalam makalah ini, karena sebagian definisi memiliki
kesamaan arti dengan definisi yang lain, meskipun menggunakan redaksi
yang berbeda.
Untuk tujuan kejelasan arti kata tasawuf atau shufi, diperlukan
penelusuran terhadap asal-usul penggunaan kata tersebut. Dengan
penelusuran ini, diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas akan
makna kata tasawuf yang sesungguhnya. Setelah itu dilihat pula beberapa
definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli.
Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal-usul penggunaan
kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut dinisbahkan
kepada perkataan ahl al-shuffah, yang artinya; nama yang diberikan kepada
sebagian fakir miskin di kalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam.
Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka
menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW di luar masjid
Madina.1 ahl al-shuffah juga merupakan orang-orang yang ikut pindah
dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta,
berada dalam keadaan miskin dan tidak punya apa-apa. Mereka tinggal
dimasjid Nabi SAW dan tidur diatas bangku batu dengan memakai pelana
sebagai bantal, pelana itulah disebut Suffah. Sifat tidak mementingkan
dunia, Sungguh pun miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat
kaum Sufi.2
Ada yang mengatakan bahwa kata tersbut berasal dari kata Shafa
yang berarti suci. Dengan demikian mereka memiliki cirri khusus dalam
aktifitas dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk
1 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h, 57
kebajikan,
kesucian
hati
dari
godaan
hawa
nafsu,
memutuskan
Manusia
didefinisakan
sebagai
sebagai
mahluk
kesadaran
yang
fitrah
bertuhan,
(ke-Tuhanan)
maka
tasawuf
yang
dapat
seperti
pembersihan
hati,
zikir,
ibadah
lainnya
serta
bahwasanya
Aku
adalah
dekat.
Aku
mengabulkan
sebenar-benarnya
dan
tersingkapnya
dinding
(hijab)
yang
Marifat billah, yakni melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas
dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya, tapi tidak
dengan kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia
ataupun yang lain dengan ketuntuan bentuk dan rupa.
Imam Al-Ghazali pernah menyampaikaan pengalamannya untuk
memperkuat pembicaraannya tentang ruyah dengan katanya sebagai
berikut; Begitu nyata sebagai saya kenal Tuhan itu di dunia ini dengan
marifat hakikat yang sempurna dengan tidak berupa dengan tidak
13 Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme & Akal, terj. Halid Alkaf, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2003), h. 29
10
5) Sabar
Sabar dalam menjalan perintah Allah dan menjauhi laranganlarangannya, menerima segala musibah, cobaan dan ujian yang
ditimpakan kepadanya seraya menunggu pertolongan dari Allah SWT.
6) Tawakal
Tawakal adalah menyerahkan kepada qadha dan putusan Allah. Sikap
tawakal kaum sufi adalah menerima pemberian dengan rasa syukur.
Kalau tidak dapat apa-apa, bersikap sabar dan meyerah kepada qadha
dan qadarnya Allah. Sikap ini ditampilkan kaum sufi dengan tidak
memikirkan hari esok, tetapi cukup dengan apa yang ada untuk hari
ini.
7) Ridha (kerelaan)
Ridha adalah tidak menentang qadha dan qadarnya Allah, melainkan
menerima dengan senang hati, sehingga seorang sufi akan merasa
senangbaik ketika menerima nikmat maupun ketika menerima
malapetaka. Kerelaan ditampilkan dalam bentuk penerimaan terhadap
apa yang terjadi, mereka tidak meminta dimasukkan ke dalam syurga
tapi juga tidak minta dijauhkan dari neraka.
8) Mahabbah
Di maqamat ridha, kaum sufi telah dekat dengan Tuhan dan rasa cinta
yang menggelora kepada Tuhan, membawanya pada cinta ilahiyah.
Cinta pada Allah ditampilkan dalam bentuk kepatutan tanpa pamrih,
penyerahan diri total dan pengosongan hati dari segala sesuatu kecuali
Allah. Hati yang mahabbah, dipenuhi dengan cinta, sehingga tidak ada
tempat untuk benci kepada apa dan siapapun. Ia mencintai Tuhan dan
segenap mahluk-Nya. Para sufi dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya, sehingga para sufi telah sampai pada maqamat marifat.
9) Marifat
Marifat artinya mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan, tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ia ingin
lebih dekat lagi bersatu dengan Tuhan, menurut ahli tasawuf marifat
11
dapat diperoleh sufi melalui alat yang disebut sir, dalam hubungannya
dengan Tuhan, manusia memiliki 3 alat, yaitu qalb untuk mengetehui
sifat-sifat Tuhan, ruh untuk mencapai Tuhan dan sir untuk melihat
Tuhan.
10) Al-Fana wal Baqa
Pada maqam marifat, seorang sufi telah dekat sekali dengan Tuhan,
tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ingin dekat lagi dan bersatu
dengan Tuhan. Sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan
terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih
belum menghancurkan dirinya (masih sadar akan dirinya), ia tidak
akan dapat bersatu dengan Tuhannya. Pengahncuran ini disebut fana,
penghancuran dalam istilah sufi selalu di iringi dengan baqa. Fana
yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya
perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau
sufi telah merasakn fana an-nafs, yaitu jika wujud jasmaniahnya tidak
ada lagi (dalam artian tidak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal
adalah wujud ruhaninya dan ketika itu ia dapat bersatu dengan
Tuhannya.
11) Al-ittihad
Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggalah kesadaran
tentang Tuhan, ia pun sampai ketingkat ittihad, yaitu suatu tingkatan
dimana seorang sufu merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu
tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainya dengan katakata: Wahai Aku, muncullah ungkapan sufi yang terasa ganjil yaitu;
Aku adalah Engkau, Engkau Adalah Aku, melalui diri-Nya aku
berkata; Hai Aku.
Disinilah sufi telah mencapai tujuan akhirnya, sampai kepada
tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan. Para ahli syariat Islam,
menyatakan bahwa ajaran seperti ini telah keluar dari Islam. Untuk
12
13
2. Membersihakan diri dari dosa lahir yaitu; mulut yang berdusta dan
ghibah, mata yang biasa melihat yang haram, telinga yang biasa
mendengar cerita bohong, hidung yang biasa menimbulkan rasa
benci, tangan yang bisa rusak, kaki yang biasa berjalan berbuat
maksiat, kemaluan yang biasa bersyahwat atau berzina (termasuk
perut yang biasa di isi dengan barang haram)
3. Mensucikan dari dosa batin.
Adapun yang menjadi dasar bahwa para sufi bertakhalli adalah
firman Allah SWT ;
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ( As Syams: 910)18.
2) Tahalli
Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati
dengan taat lahir dan batin. Sifat-sifat terpuji yang harus mengisi jiwa
adalah adil, belas kasihan, beramal shaleh, berani, berbaik sangka,
berbudi pekerti luhur, berjiwa kuat, bersikap, berlaku benar, berbuat baik,
bertindak baik, berjiwa bijaksana, dapat dipercaya, ikhlas, mahabbah,
manis muka, menepati janji, menjauhi maksiat, menghormati tamau,
menyambung tali silaturahmi, menyimpan rahasia, mencegah kejahatan,
merendah diri dihadapan Allah dan dengan siapa saja, pemaaf,
penyantun, penolong dalam kebaikan, penunjuk jalan yang benar, sabar,
tidak pemarah, suka berzikir, zuhud dan masih banyak lagi yang lain.
Adapun yang menjadi dasar dalam bertahalli adalalah firman Allah
SWT;
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( QS. An-Nahl: 90)
18 Op.cit, h.50
14
bagi
manusia,
dan
Allah
Maha
15
qudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu dia melihat Tuhan, maka tiada
fiil lagi sang hamba. Gerak dan diam serta isbat adalah bagi Allah
semata-mata.
Hal ini sesuai dengan fiman Allah;
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu. ( Q.S. Ash Shaffat: 96)
b. Tajalli Asma
Tajalli asma adalah fananya seorang hamba daripada dirinya dan
bebasnya daripada genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya
ikatannya daripada dirinya/tubuh kasarnya, ketika itu dia fana.20
kedalam baqanya21 Allah karena telah sucinya ia dari sifat-sifat
kebaharuan.
Lebih jelasnya, tajalli asma ini dikemukakan oleh Syeikh Daud bin
Abdullah al fathani yang dikutif oleh mastafa zuhri, bahwa tajalli
asma adalah pembukaan bagi si salik setengah dari asma Allah maka
jadi hilanglah si salik itu di bawah pancaran cahaya isim (nama) itu
kira-kira jadilah apabila diseru oleh Haq dengan nama itu niscaya
disahutnya.22
c. Tajalli sifat
Tajalli sifat adalah pembukaan salah satu sifat-Nya pada hati si salik,
terjadinya kemudian dari pada fana sifat. Apabila seorang salik
mengalami tajalli sifat ini maka dia akan merasakan semua yang
maujud bersuara seperti binatang, kayu, batu dan lain sebagainya.
d. Tajalli Zaat
Tajalli zaat adalah sesungguhnya zat Tuhan itu menyatu kepada sang
salik. Artinya pada diri manusia terjadi penyatuan dan tiada zat yang
ada kecuali zat Allah.
20 Fana artinya hilang atau hancurnya kesadaran atau perasaan tentang adanya tubuh
kasar manusia
21 Mastafa Zuhri, Kunci Memahami Tasauf,(Jakarta: PT Bina Ilmu, 1998), h, 56
22 Dalam ilmu tasawuf dikatakan syariat itu merupakan peraturan, tariqat itu merupakan
pelaksanaan sedangkan hakikat merupakan keadaan dan marifat merupakan tujuan terakhir.
16
23 Sedangkan baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi antara fana dan baqa adalah kembar
dua
17
DAFTAR PUSTAKA
Abu Dinata. 2000. Akhlak Tasawuf, PT. Grapindo Raja Persada, Jakarta
Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din, Maktabah usaha keluarga, Semarang
A. Rivai Usman. 2003. Tasauf Salafi, Hikmah, Jakarta
Al-Qusyairi. 1995. Al-Risalah al-Qusayairiyah fi ilmi al-Tashawuf, Maktabah.
Mesir
Harun Nasution. 1999. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang.
Jakarta
H.M.
pemikiran
dan
18
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
ii
A. Pendahuluan .......................................................................................
B. Pembahasan.........................................................................................
4. Tujuan Tasawuf..................................................................................
13
C. KESIMPULAN......................................................................................
17
18
ii
19
Dosen Pembimbing
Dr. H. Nasharuddin Yusuf, M.Ag.
Oleh
Hendra Fadli
11211104697
20