Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya)
dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC
dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia
adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan
bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi
TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologi s bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentukbentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang
hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini
akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak
ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber
produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang
mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan
beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat
tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang
lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya infeksi TBC.
Gejala sistemik/umum
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
Perasaan tidak enak (malaise ), lemah.
Gejala khusus
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan
penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5
tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan
30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
Penegakan Diagnosis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis adalah:
Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
(failure to thrive) dengan adekuat.
Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas, setelah disingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut). Dapat juga
disertai keringat malam.
Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak sakit, di leher, ketiak dan lipatan paha.
Gejala gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), nyeri dada ketika bernafas atau batuk.
Apabila bakteri TB menyebar ke organ-organ tubuh yang lain, gejala yang ditimbulkan akan
berbeda-beda. Misalnya;
. Uji Bakteriologi
Uji bakteriologi yang umum dilakukan adalah melalui pemeriksaan sampel dahak (tes
dahak atau sputum test). Bila ditemukan adanya bakteri TB di dalam 2 sampel dari 3
sampel dahak seseorang, berarti orang tersebut dikatakan positif mengidap TBC paru
aktif. Pendambilan sampel dilakukan secara SPS, maksudnya Sewaktu kunjungan
pertama, esok Paginya, dan Sewaktu kunjungan berikut (kedua). Selain diperiksa melalui
mikroskop, sampel dahak juga dapat diperiksa dengan cara dibiakkan dalam medium
tertentu (tes kultur dahak). Tetapi tes ini memakan waktu yang lama, sementara tes
dahak yang biasa hanya memakan waktu beberapa jam saja untuk mendapatkan hasilnya.
Namun tes dahak sangat sulit dilakukan pada anak-anak, karena mereka cenderung
menelan dahaknya. Kalaupun ingin melakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada
anak, caranya dengan menggunakan bilasan lambung anak. Tetapi cara ini dinilai
menyakitkan bagi anak, sehingga tidak digunakan untuk deteksi dini. Bagi anak yang
sudah mampu mengeluarkan dahaknya, maka tes dahak menjadi satu keharusan.
6. Tes Darah
Biasanya, parameter yang diuji pada pemeriksaan darah adalah LED (laju endap darah)
dan kadar limfosit. Tetapi keduanya ini nilai diagnostiknya bahkan lebih rendah daripada
foto rontgen, sehingga hanya dapat digunakan sebagai data pendukung. Nilai LED dan
limfosit yang tinggi (di atas kadar normal) hanya menunjukkan terjadinya infeksi di
dalam tubuh. Akan tetapi, semua jenis infeksi juga dapat meningkatkan nilai LED dan
limfosit dalam darah.
Pengobatan TBC
Bila anak positif sakit TBC, maka harus diobati sampai benar-benar sembuh. Kombinasi
obat anti TBC (OAT) untuk anak adalah Isoniasid (INH), Rifampisin, dan Pirazinamid.
Ketiga obat tersebut diberikan selama 2 bulan pertama, lalu setelah itu, yaitu mulai bukan
ketiga sampai keenam (4 bulan berikutnya) hanya diberikan kombinasi INH dan
Rifampisin. Untuk bisa sembuh, anak (dan orang dewasa) penderita TB harus
mengkonsumsi OAT secara teratur, setiap hari, dan dalam jangka waktu lama. Bakteri
TB ini mati secara sangat perlahan. Butuh waktu minimal 6 bulan untuk membunuh
semua bakteri Tb dalam tubuh. Setelah mengkonsumsi OAT selama 2 minggu, anak
mungkin akan merasa lebih baik dan tampak sehat. Tetapi ia tetap harus mengonsumsi
OAT sampai selesai masa pengobatannya, karena pada saat itu belum semua bakteri TB
mati.
Pada anak, lamanya pengobatan TB ini tergantung dari jenis TB yang diderita. Untuk TB
paru-paru (pulmonary TB), lama pengobatan cukup 6 bulan saja. Alasannya, kuman TB
yang hidup dalam tubuh anak penderita TB aktif, jumlahnya jauh lebih sedikit daripada
kuman yang ada dalam orang dewasa penderita TB aktif. Kenapa bisa begitu? Ini adalah
berkat perlindungan dari imunisasi BCG. Sisa kuman yang masih ada setelah terapi
pengobatan selesai, sudah tidak dapat berkembang biak lagi sehingga tidak berbahaya.
Namun, untuk jenis TB yang lebih berat, yakni meningeal TB dan miliary TB, lamanya
pengobatan setidaknya 9 bulan.
Bagaimana bila anak melewatkan dosis OAT-nya? Menurut dr. Davide dari WHO
Indonesia pada seminar PESAT 5 (4 Maret 2006), apabila anak penderita TBC aktif
melewatkan dosis OAT sampai maksimal 7 dosis (berarti 1 minggu), ia tidak perlu
mengulang dari awal lagi, cukup meneruskan saja sisa masa terapinya. Karena jumlah
kuman TB dalam tubuh anak jauh lebih sedikit daripada yang ada dalam tubuh orang
dewasa, sehingga resistensi kuman juga menjadi jauh lebih rendah. Tetapi bila lewat
lebih dari 1 minggu dan atau hal itu terjadi berulangkali, orangtua harus segera
berkonsultasi dengan petugas kesehatan (dokter) yang berwenang.
What is TBC?
Tuberculosis yang disingkat TBC atau TB - adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan
Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian/organ lain dalam tubuh, dan TB
jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf
pusat, akan menyebabkan meningeal TB. Bila (kuman TB) menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut miliary TB
atau extrapulmonary TB.
Kuman TB berbentuk batang dan memiliki sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, sehingga sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri TB
akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yang lembab, gelap,
dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam. Dalam tubuh, kuman
ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.
Bagaimana TB Menular?
Bakteri TB menyebar bila orang dewasa penderita TB aktif yang tidak tertangani dengan baik
(baca: memperoleh pengobatan), bersin atau batuk sehingga mengeluarkan sputum droplet
(percikan dahak) yang mengandung kuman TB. Bila kuman terhirup oleh orang dewasa lain,
anak atau bayi yang sehat, menyebabkan mereka terinfeksi M. tuberculosis. Secara umum,
hanya TBC paru-paru (pulmonary TB) yang menular. Namun orang yang tertular tidak selalu
akan sakit TBC paru-paru juga, tergantung bagian tubuh (organ) mana yang diserang oleh bakteri
TB. Selain dari droplet dahak penderita TBC aktif, kuman TB juga dapat masuk ke tubuh
manusia dari susu sapi murni yang tidak diolah (dimasak) dengan sempurna.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu. Penularan
penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yang cukup lama dan intensif dengan sumber
penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yang kesehatan fisiknya baik, memerlukan
kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat
terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yang diperlukan dari mula
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TB, lalu menjadi sakit TB. Menurut TB/HIV Clinical
Manual hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi, berlanjut menjadi penderita TB (TB aktif).
Kelompok yang paling rawan terinfeksi bakteri TB adalah bayi dan anak usia kurang dari 1
tahun. Setelah itu, tingkat kerawanannya menurun. Bahkan pada kisaran usia 5-9 tahun, anakanak memiliki tingkat resiko terinfeksi yang paling rendah. Usia 10 tahun ke atas, tingkat
kerawanan infeksi itu kemudian akan meningkat kembali, meskipun tidak setinggi kelompok
usia 0-1 tahun.
Anak-anak yang sakit TBC tidak dapat menularkan kuman TB ke anak lain atau ke orang
dewasa. Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup. Kalaupun ada sekresi dahak,
konsentrasi atau jumlah bakteri dalam droplet cenderung sedikit. Jadi kalau ada anak yang
terinfeksi TBC, sudah pasti sumber penularnya adalah orang dewasa yang dekat dengannya.
Orang dewasa penderita TB aktif yang telah menjalani pengobatan selama 2 minggu juga sudah
aman. Dalam arti, ia sudah tidak menularkan kuman TB lagi. Meski demikian, yang
bersangkutan tetap harus meneruskan terapi obatnya hingga selesai, untuk menghindari MDR
(multi-drugs resistant) TB atau kuman TB yang resisten terhadap obat anti TB.
2. Gejala
Tuberculosis pada anak-anak seringkali tidak menimbulkan gejala khusus. Gejala utama TB
pada orang dewasa adalah batuk berdahak yang terus menerus selama 3 minggu atau lebih.
Sayangnya, pada anak-anak, umumnya batuk lama bukan gejala utama TB. Batuk lama, juga
bisa manifestasi dari alergi.
Menurut Pedoman Nasional Tuberkulosis (2002), gejala umum TB pada anak-anak adalah
sebagai berikut :
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik
dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
(failure to thrive) dengan adekuat.
Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas, setelah disingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut). Dapat juga
disertai keringat malam.
Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak sakit, di leher, ketiak dan lipatan paha.
Gejala gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), nyeri dada ketika bernafas atau batuk.
Apabila bakteri TB menyebar ke organ-organ tubuh yang lain, gejala yang ditimbulkan akan
berbeda-beda. Misalnya;
Kaku kuduk, muntah-muntah, dan kehilangan kesadaran pada TBC otak & saraf
(meningitis TB)
Gibbus, pembengkakan tulang pinggul, lutut, kaki dan tangan, pada TBC tulang & sendi
Namun harus dicermati pula bahwa gejala-gejala di atas bukan monopoli TBC, karena banyak
juga jenis penyakit lain yang menimbulkan gejala serupa. Meski begitu, bila anak mengalami
gejala-gejala seperti tersebut di atas, sah-sah saja bila orangtua curiga. Tetapi kecurigaan ini
harus dimanisfestasikan secara rasional, dengan cara memastikan dengan sebenar-benarnya
apakah anak mengidap TBC atau tidak. Terlebih bila ada orang dewasa (yang sehari-hari
bergaul dekat dengan anak) yang sakit TBC, maka orangtua wajib memeriksakan kondisi
kesehatan anak.
Berat badan tidak naik-naik misalnya, juga bisa disebabkan oleh banyak penyakit selain TBC.
Antara lain gangguan pencernaan, infeksi saluran kemih (ISK), penyakit jantung bawaan (PJB),
refluks, gangguan tiroid, atau lainnya. Karena itu, sebelum terburu-buru menduga anak
mengidap TB, pastikan terlebih dahulu kemungkinan penyakit lain. Dibarengi dengan upaya
perbaikan gizi selama 1 bulan. Bila setelah itu berat badan anak meningkat, berarti kemungkinan
anak tidak mengidap TB. Namun apabila setelah upaya tersebut, berat badan anak tidak
meningkat atau malah semakin turun dan terbukti tidak disebabkan oleh penyakit lain, maka
orangtua wajib untuk curiga.
Juga harus dibedakan antara susah makan dengan kehilangan nafsu makan. Memang ada
masanya dimana anak jadi susah makan, dan itu normal. Tetapi bila tiba-tiba anak sampai tidak
mau makan sama sekali (anorexia) dan hal itu berlangsung lama, atau bahkan makin memburuk,
maka orangtua harus khawatir. Anak-anak usia balita juga seringkali mengalami
pembengkakan kelenjar getah bening di bagian belakang telinga. Karena hal itu menunjukkan
sistem imun tubuhnya sedang dilatih menghadapi serangan mikroorganisme. Orangtua baru
harus khawatir bila pembengkakan terjadi di leher (bukan bagian belakang telinga), ketiak dan
paha, dan bengkaknya berukuran besar (diameternya lebih dari 1 cm).
Batuk lama. Orangtua harus benar-benar memastikan, apakah batuk anak berlangsung dalam
waktu lama (tanpa jeda) ataukah berulang? Sebab, menurut dr. Bambang Supriyatno, SpAK
dalam seminar Tuberkulosis (24 Juni 2006), jika anak menderita batuk berulang, maka orangtua
harus mencurigai penyakit lain; seperti asma, atau sinusitis untuk anak usia di atas 5 tahun.
Begitu pula dengan demam. Demam yang perlu dicurigai TB adalah demam tingkat rendah atau
sumeng yang berlangsung lebih dari 2 minggu dan bukan disebabkan oleh tifus, ISK, malaria
atau penyakit lain selain TBC.
Selain gejala-gejala tersebut di atas, orangtua juga harus mengamati perilaku sehari-hari anak.
Anak-anak cenderung belum bisa menceritakan dengan jelas apa yang mereka rasakan. Rasa
tidak enak badan, sakit, atau ketidaknyamanan yang mereka rasakan, cenderung
dimanifestasikan melalui perubahan sikap, misalnya tiba-tiba rewel terus menerus, menjadi
Pengobatan TBC
Bila anak positif sakit TBC, maka harus diobati sampai benar-benar sembuh. Kombinasi obat
anti TBC (OAT) untuk anak adalah Isoniasid (INH), Rifampisin, dan Pirazinamid. Ketiga obat
tersebut diberikan selama 2 bulan pertama, lalu setelah itu, yaitu mulai bukan ketiga sampai
keenam (4 bulan berikutnya) hanya diberikan kombinasi INH dan Rifampisin. Untuk bisa
sembuh, anak (dan orang dewasa) penderita TB harus mengkonsumsi OAT secara teratur, setiap
hari, dan dalam jangka waktu lama. Bakteri TB ini mati secara sangat perlahan. Butuh waktu
minimal 6 bulan untuk membunuh semua bakteri Tb dalam tubuh. Setelah mengkonsumsi
OAT selama 2 minggu, anak mungkin akan merasa lebih baik dan tampak sehat. Tetapi ia tetap
harus mengonsumsi OAT sampai selesai masa pengobatannya, karena pada saat itu belum semua
bakteri TB mati.
Pada anak, lamanya pengobatan TB ini tergantung dari jenis TB yang diderita. Untuk TB paru-
paru (pulmonary TB), lama pengobatan cukup 6 bulan saja. Alasannya, kuman TB yang hidup
dalam tubuh anak penderita TB aktif, jumlahnya jauh lebih sedikit daripada kuman yang ada
dalam orang dewasa penderita TB aktif. Kenapa bisa begitu? Ini adalah berkat perlindungan
dari imunisasi BCG. Sisa kuman yang masih ada setelah terapi pengobatan selesai, sudah tidak
dapat berkembang biak lagi sehingga tidak berbahaya. Namun, untuk jenis TB yang lebih berat,
yakni meningeal TB dan miliary TB, lamanya pengobatan setidaknya 9 bulan.
Bagaimana bila anak melewatkan dosis OAT-nya? Menurut dr. Davide dari WHO Indonesia
pada seminar PESAT 5 (4 Maret 2006), apabila anak penderita TBC aktif melewatkan dosis
OAT sampai maksimal 7 dosis (berarti 1 minggu), ia tidak perlu mengulang dari awal lagi,
cukup meneruskan saja sisa masa terapinya. Karena jumlah kuman TB dalam tubuh anak jauh
lebih sedikit daripada yang ada dalam tubuh orang dewasa, sehingga resistensi kuman juga
menjadi jauh lebih rendah. Tetapi bila lewat lebih dari 1 minggu dan atau hal itu terjadi
berulangkali, orangtua harus segera berkonsultasi dengan petugas kesehatan (dokter) yang
berwenang.
Efek Samping OAT
Ketiga obat anti TBC tersebut sebenarnya bersifat racun bagi hati, apalagi karena harus
dikonsumsi dalam jangka panjang. Oleh karena, setelah selesai masa pengobatan, biasanya
dokter memeriksa fungsi kerja hati (SGOT/SGPT). Isoniazid atau INH juga dapat menimbulkan
reaksi negatif berupa kesemutan, nyeri otot, bahkan gangguan kesadaran. Untuk mengurangi
efek tersebut, diberikan suplemen vitamin B6 (piridoxin) selama masa pengobatan.
Obat anti TBC untuk orang dewasa, selain INH, Rifampisin dan Pirazinamid, juga ada satu jenis
obat lagi yaitu etambutol. Tetapi, jenis obat yang satu ini tidak diberikan untuk anak-anak yang
hanya sakit TB paru-paru. Karena efek samping etambutol pada anak berusia kurang dari 8
tahun adalah buta warna dan/atau pandangan terbatas (seperti memakai kacamata kuda). Meski
demikian, pada anak dengan kasus sakit TB yang berat (TB meningitis atau milier), terpaksa
harus menggunakan etambutol, dengan catatan dosisnya harus tepat.
Mengingat demikian beratnya efek samping OAT, sudah seharusnya bila orangtua benar-benar
memastikan apakah anak sakit TB atau tidak. TB/HIV Clinical Manual yang diterbitkan oleh
WHO menyebutkan bahwa inisiasi (pemulaian) pengobatan TBC pada anak merupakan proses
aktif. Apabila secara umum anak tidak tampak sakit, tak perlu terburu-buru untuk
memulainya! Alih-alih demikian, sebaiknya orangtua bersama-sama dengan dokter yang
menangani anak, melakukan pengamatan yang lebih mendalam lagi tentang kondisi anak. Ini
karena kerja TBC pada anak tidak sama seperti TBC pada orang dewasa. Jumlah kuman TBC
yang ada dalam tubuh anak jauh lebih sedikit dari jumlah yang ada dalam tubuh orang dewasa,
dengan sendirinya perkembangan penyakit itu juga lebih lambat pada anak. Tapi lain ceritanya,
bila kondisi anak terlihat parah sampai tidak dapat bangun, misalnya atau usia anak masih
sangat muda (di bawah 1 tahun). Pada kondisi-kondisi tersebut, pengobatan mau tidak mau
harus segera dimulai.
TB Laten. Apakah Itu?
Istilah laten TB atau TB laten ini sering kita temui di internet. Sesungguhnya, yang dimaksud
dengan TB laten adalah orang yang terinfeksi bakteri TB tetapi tidak menjadi sakit TB
(mengidap TB aktif). Dengan kata lain TB laten adalah infeksi TB. Dikatakan laten karena
kuman TB tidak aktif tetapi juga tidak mati, melainkan tidur lama (dorman). TB pada kondisi ini
tidak menular.
Orang dengan infeksi ini, tidak menunjukkan gejala-gejala TB dan sama sekali tidak merasa
sakit. Bahkan foto rontgen paru-parunya normal dan bila dites dahaknya pun akan negatif.
Keberadaan TB laten atau infeksi TB ini hanya bisa dideteksi melalui uji tuberkulin atau
pemeriksaan darah khusus TB.
Karena sistem imun tubuhnya memang belum sempurna, maka anak-anak balita adalah
kelompok yang paling rentan terinfeksi kuman TB. Tetapi berkat vaksin BCG yang diberikan
segera setelah bayi lahir, membuat anak tidak berkembang menjadi sakit TB. Anak yang
terinfeksi TB ini ibarat bom waktu, yang akan meledak sewaktu-waktu bila kondisinya tepat.
Yang dimaksud dengan kondisi yang tepat adalah pada saat daya tahan tubuh anak sedang
menurun karena sedang sakit berat (karena penyakit lain), atau bisa juga penyakit TBC-nya
muncul setelah si anak tumbuh dewasa atau berusia lanjut.
Karenanya, apabila anak positif terinfeksi TB, walaupun tidak berkembang menjadi sakit TB,
tetap perlu diberi pengobatan pencegahan (profilaksis). Jumlah bakteri TB dalam infeksi TB
lebih sedikit dari TB aktif, sehingga penanganannya pun lebih mudah, cukup dengan satu jenis
obat saja, yaitu INH (isoniazid). Lama pengobatan pencegahan ini, menurut Pedoman Nasional
Tuberkulosis, berlangsung selama 6 bulan saja, tidak lebih! Akan tetapi, profilaksis hanya
efektif bila anak berusia < 5 tahun. Pengobatan pencegahan TBC untuk orang dewasa yang
tinggal di Indonesia, sama sekali tidak efektif alias percuma. Mengapa demikian? Karena negara
Indonesia ini bisa dibaratkan sebagai reservoir besar kuman TB, sehingga bisa dikatakan
sebagian besar orang dewasa di Indonesia sudah terinfeksi kuman TB.
Pencegahan Tuberculosis
Karena sumber penularan TB adalah orang-orang dewasa yang sehari-hari dekat dengan anak,
maka mereka lah yang harus ditangani dengan baik dan benar. Jika orangtua mencurigai dirinya
atau anggota keluarga (yang serumah) lain memiliki gejala-gejala TBC, segera periksakan ke
dokter untuk memastikan apakah menderita TBC aktif atau tidak. Jika ternyata ada yang positif
mengidap TBC aktif, tentunya anak harus diberi profilaksis INH, dan orang-orang lain yang
tinggal serumah juga harus segera diperiksa kondisi kesehatannya. Sedangkan orang yang
positif mengidap TBC aktif harus dipastikan mengkonsumsi OAT-nya secara teratur sampai
masa pengobatannya selesai. Akan lebih baik apabila screening ini dilakukan sebelum bayi lahir
atau bahkan sebelum ibu hamil.
Imunisasi dengan vaksin BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit
TBC. Vaksin ini akan memberi tubuh kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Vaksin ini hanya
perlu diberikan sekali seumur hidup, karena pemberian lebih dari sekali pun tidak berpengaruh.
Tetapi imunisasi BCG juga tidak sepenuhnya dapat melindungi manusia dari serangan TBC.
Tingkat efektivitas vaksin BCG memang hanya 70-80 %. Beberapa negara maju menetapkan
kebijakan tidak perlu imunisasi BCG, cukup mengawasi dengan ketat kelompok yang beresiko
tinggi. Tetapi untuk Indonesia, vaksin ini masih sangat dibutuhkan, mengingat posisi Indonesia
yang no 3 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak.
Vaksin BCG akan sangat efektif bila diberikan segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan
setelah lahir (dengan catatan selama itu bayi tidak kontak dengan pengidap TB aktif). Meskipun
BCG tidak dapat 100% mencegah TBC paru-paru, tetapi pemberian vaksin ini akan melindungi
anak dari bentuk-bentuk TBC yang lebih ganas (meningeal TB dan miliary TB). Anak yang
sudah diimunisasi BCG, lalu terinfeksi kuman TB, umumnya tidak berkembang menjadi sakit.
Kalaupun sampai berkembang menjadi TB aktif, biasanya perkembangbiakan kuman akan
terlokalisir di paru-paru saja (pulmonary TB). Selain imunisasi, orangtua juga harus
memperhatikan asupan gizi anak. Asupan gizi yang baik ditambah imunisasi BCG, diharapkan
cukup ampuh menangkal serangan bakteri TB. Kalaupun anak sampai terinfeksi, dampaknya
akan lebih ringan. (EG-index)
Daftar Kepustakaan :
Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri
basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir
ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC
merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas),
angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya.
Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan
ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22
negara dengan masalah TBC terbesar di dunia. Penyebab Penyakit TBC
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai
Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal
24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang
hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini
akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak
ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber
produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang
mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan
beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat
tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang
lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya infeksi TBC.
Gejala sistemik/umum
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Gejala khusus
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya
kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC
paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang
tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30%
terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah
ISI
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya)
dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC
dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia
adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan
bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi
TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Bagaimana mencegah agar tidak tertular kepada orang lain
1. Penderita tuberculosa paru:
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK X
SRI NINGSIH
ZULKARNAEN
SRI SOFIA WATIARNI