Anda di halaman 1dari 4

Bahasa Versus Koruptor

Oleh
Anton,
Alumni Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro

Saya akan membeli Coconut Ice


Saya akan membeli Es Kelapa
Sekilas dua kalimat di atas tidak jauh berbeda. Kalimat pertama saya tulis memakai
bahasa Inggris dalam penyebutan es kelapa, dan pada kalimat kedua saya tulis dengan
bahasa Indonesia. Duaduanya bertujuan sama yakni menerangkan bahwa Saya akan
membeli es kelapa. Dalam bahasa tulis, mungkin belum begitu terasa pengaruh emosinya,
namun akan nampak terasa bagi pemakai dan pendengar jika diungkapkan secara lisan.
Ternyata berbahasa bukan hanya perkara kata-kata, akan tapi juga mengandung rasa/emosi
sesuai konteksnya.
Berbahasa tidak bisa dilepaskan oleh hegemoni suatu bangsa. Bahasa Inggris
merupakan bahasa internasional yang digunakan banyak negara-negara maju. Bahasa juga
melambangkan identitas. Pemakaian kata Coconut Ice bisa berimplikasi lebih prestisius
dibandingkan kata Es Kelapa. Apalagi masyarakat umumnya menganggap bahwa
menggunakan bahasa Inggris menyimpan keistimewaan tersendiri. Bahasa Inggris
melambangkan kemajuan dan kemodern-an. Bisa dikatakan bahwa bahasa erat kaitannya
dengan mentalitas.
Lalu apa kaitannya bahasa dengan pemberantasan korupsi?. Penegakan hukum di
negara kita masih terkesan tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ada ungkapan menarik di
masyarakat, seorang maling ayam harus babak belur dihakimi massa, namun koruptor
yang mencuri milyaran uang rakyat masih bisa tersenyum, bahkan hingga di bui pun
terkadang masih memperoleh perlayanan yang istimewa. Padahal konteksnya sama-sama
mengambil hak orang lain.
Politik Bahasa Pada Masa Pergerakan
Begitu penting fungsi bahasa dalam membentuk karakter bangsa, tokoh pendiri
bangsa H. Agus Salim (1884-1954) dalam sidang Volksraad tahun 1920-an di Batavia
berpidato menggunakan bahasa Indonesia (dulu Melayu). Menggunakan bahasa Melayu pada
waktu itu merupakan hal yang biasa, apalagi di sampaikan dalam sidang Volksraad. Ada
kejadian menarik ketika ia sedang menyampaikan pidato. Dalam Pidatonya, terdapat
perkataan Ekonomi kemudian ditanya oleh Bergmeyer (wakil dari Zending di Volksraad).
Sambil mengejek ia bertanya kepada H. Agus Salim "Apa kata ekonomi dalam bahasa
Melayu?". H. Agus Salim membalas "Coba tuan sebutkan apa Belandanya?. Dalam bahasa
Belanda sendiri istilah ekonomi tidak ada dan Bergmeyer pun tertohok. Usaha H. Agus Salim
ini kemudian diikuti pula oleh pemimpin-pemimpin pergerakan lainnya yang berasal dari
berbagai suku bangsa di Indonesia sehingga mendorong lahirnya Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Salah satu kesepakatannya adalah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan.
Bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak boleh di kesampingkan begitu saja
dalam membentuk moral bangsa. Bahkan dalam upaya membentantas korupsi, politik
bahasa merupakan kebijakan yang sangat strategis. Terdapat 200 juta-an lebih masyarakat
Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia. Itu artinya Bahasa Indonesia memiliki

kekuatan yang besar dalam membangun bangsa. Tidak berlebihan kiranya ungkapan
Laksamana Hang Tuah, bahasa menunjukan bangsa.
Perkuat Kontrol Sosial
Selama ini upaya pemberantasan korupsi terlihat begitu formal dan ekslusif.
Masyarakat seakan-akan hanya menjadi penonton dalam upaya pemberantasan korupsi oleh
segelintir penegak hukum. Memang masyarakat dihimbau agar bersama-sama memberantas
korupsi namun baru sekadar formalitas belum sampai ke jantung masyarakat. Bahasa
Indonesia terbukti mampu mempersatukan masyarakat Indonesia yang beragam. Politik
Bahasa yang dilakukan para pendiri bangsa juga terbukti mampu membawa bangsa ini
menuju kemerdekaan. Korupsi merupakan penyakit bangsa yang harus disembuhkan, dan
sudah saatnya Bahasa Indonesia ada di garda terdepan
Mengikut sertakan masyarakat luas dalam memberantas korupsi yang sistemik tidak
cukup hanya formal yuridis yang bersifat jangka pendek semata, namun juga harus
menggunakan strategi kultural yang berjangka panjang. Tidak semua masyarakat ahli hukum
dan memahami detail-detail proses hukum bagi tersangka korupsi. Istilah-istilah seperti
Maling, Pencuri, Perampok, Pencopet merupakan kata-kata yang menunjukan
tindakan seseorang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kata-kata tersebut berasal
dari serapan bahasa-bahasa daerah. Tekanannya memberikan stigma lebih negatif ketimbang
penyebutan dengan bahasa Inggris (Korupsi/koruptor). Stigma negatif itu amat berguna untuk
menumbuhkan budaya malu atas perilaku yang tercela yang kian biasa dalam masyarakat
kita.

Language Versus Corruptor


I would buy the "Coconut Ice"
I would buy "Es Kelapa"
At first glance the two sentences above are not much different. I wrote the first
sentence using the English language in reference to 'coconut ice', and in the second sentence I
wrote to Indonesian. Both are aimed at that explained that I would buy a 'coconut ice' . In
written language, may not have been so pronounced influence of "emotions", but it would
appear to the user and the listener feels if disclosed orally. It turns out that language is not
only matter of words, but also will contain a "taste / emotion" in context.
Language can not be released by the hegemony of a nation. English is an international
language used many developed countries. Language also symbolizes identity. The use of the
word Coconut Ice could have implications for the more prestigious than the Coconut
Ice . Moreover, people generally assume that using English storing its own
privileges. English symbolizes progress and modernism. It could be said that the language is
closely related to mentality.
So, what language related to the eradication of corruption ?. Law enforcement in our
country still seem sharp downward but upward blunt.There is an expression of interest in the
community, a "thief" battered chicken should be judged masses, but "criminals" who stole
billions of public money can still smile, even up in jail was sometimes still obtain special
perlayanan.Though the context is equally take the rights of others.
Language Politics In The Movement
Function of language is so important in shaping the character of the nation, the
nation's Founding Fathers H. Agus Salim (1884-1954) in a session of the Volksraad 1920 in
Batavia speech using Indonesian (Malay first).Using the Malay language at that time are
common, especially in the session to convey the Volksraad . There was an interesting
incident when he was delivering a speech. In the speech, there is a word "Economy" then
asked by Bergmeyer (representative of Zending in Volksraad ). He asked mockingly H. Agus
Salim "What word in the Malay economy?". H. Agus Salim replied "Try Dutch masters
mentioned what?". Dutch language itself in economic terms and Bergmeyer no matter
tertohok. Enterprises H. Agus Salim was later followed by other movement leaders from
different ethnic groups in Indonesia that led to the birth of the Youth Pledge October 28,
1928 One of the deal is to make Indonesian as the national language.
Language, in this case Indonesian should not be ruled out just like that in shaping the
nation's morale. Even to combat corruption efforts, "political language" is a very strategic
policy. There's over 200 million people of Indonesia who use Indonesian. That means that
Indonesian has great strength in building the nation. Not exaggerating expression Admiral
Hang Tuah, the language showed the nation .
Reinforce Social Control
So far, efforts to combat corruption looks so formal and exclusive.Society seemed to
just be a spectator in anti-corruption efforts by a handful of law enforcement. Indeed, people

are encouraged to work together to eradicate corruption but only a formality not get to the
heart of the community. Indonesian Indonesian proved able to unite diverse
communities. "Political language" that made the founding fathers also proved capable of
bringing this nation to independence. Corruption is a disease that must be cured nation, and it
is time for Indonesian there on the frontline
To involve the wider community in combating systemic corruption is not enough just
to formal juridical short-term only, but it must use the long-term cultural strategy. Not all
public and legal experts to understand the details of the legal process for corruption
suspects. Terms such as "Maling", "Pencuri", "Perampok", "Pencopet" is a word that shows
action someone takes something that is not right. The words are derived from the uptake local
languages. Pressure gives a more negative stigma than the mention of the English language
(corruption / corrupt). Negative stigma that is very useful to grow a culture of shame over the
deplorable behavior that is increasingly common in our society.

Anda mungkin juga menyukai