Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pantun meerupakan sastra lisan yang dibukukan pertama kali oleh Haji
Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman dengan
Raja Ali Haji. Antologi pantun yang pertama itu berjudul Perhimpunan Pantunpantun melayu. Genre pantun merupakan genre yang paling bertahan lama.
Mengungkapkan perasaan tidak hanya dapat diceritakan dan ditulis dalam
bentuk prosa. Ungkapan parasaan pun dapat dinyatakan dalam bentuk puisi,
seperti puisi lama yang disebut pantun. Selain pantun, masih ada bentuk puisi
lama lainnya, seperti pantun kilat (karmina), talibun, seloka, gurindam, dan syair.
Pantun sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak dahulu. Misalnya,
wawangsalan, paparikan, sisindiran, sesebred dalam masyarakat sunda; pantun
ludruk, dan gandrung dalam masyarakat jawa; serta ende-ende dalam masyarakat
Mandailing. Bahkan, di sebagian daerah Sumatra, masyarakat Minangkabau
menggunakan pantun sebagai pembuka acara di perayaan-perayaan. Selain dibaca,
pantun juga kerap dinyanyikan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian pantun?


2. Bagaimanakah sejarah pantun?
3. Bagaimanakah ciri-ciri pantun?
4. Bagaimanakah syarat-syarat pantun?
5. Apa sajakah jenis-jenis pantun?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Pengertian pantun.


2. Mengetahui sejarah pantun.
3. Mengetahui ciri-ciri pantun.
4. Mengetahui syarat-syarat pantun.
5. Mengetahui jenis-jenis pantun.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pantun
Dalam pengertian umum, pantun merupakan salah satu bentuk sastra
rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Pantun adalah
puisi asli Indonesia (Waluyo,1987:9). Pantun juga terdapat dalam beberapa sastra
daerah di Indonesia seperti parika dalam sastra jawa atau paparikan dalam
sastra sunda. Orang yang pertama kali membentangkan pikiran dari hal pantun
Indonesia ini adalah H.C. Klinkert dalam tahun 1868. Karangannya bernama De
pantuns of minnenzangen der Maleier. Sesudah itu datang Prof. Pijnapple; juga
beliau memaparkan pikirannya dari hal ini dalam tahun 1883. Pantun tepat untuk
suasana tertentu, seperti halnya juga karya seni lainnya hanya tepat untuk suasana
tertentu pula.
Menurut Surana (2001:31), pantun ialah bentuk puisi lama yang terdiri
atas 4 larik sebait berima silang (a b a b). Larik I dan II disebut sampiran, yaitu
bagian objektif. Biasanya berupa lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil
sebagai kiasan. Larik III dan IV dinamakan isi, bagian subjektif. Sama halnya
dengan karmina, setiap larik terdiri atas 4 perkataan. Jumlah suku kata setiap larik
antara 8-12. Namun, dalam buku Bahan Ajar Sastra Rakyat (2005:70) mengatakan
bahwa:
Pantun adalah puisi melayu tradisional yang paling popular dan sering
dibincangkan. Pantun adalah ciptaan asli orang Melayu; bukan saduran atau
penyesuaian dari puisi-puisi jawa, India, cina dan sebagainya. kata pantun

mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana. Sedangkan dalam
Kamus Istilah Sastra (2006:173) menjelaskan bahwa:
Pantun adalah Puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasa terdiri atas empat
baris yang bersajak (a-b-a-b) tiap larik biasanya berjumlah empat kata; baris
pertama dan baris kedua biasanya tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan
keempat merupakan isi; setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata; merupakan
peribahasa sindiran; jawab (pada tuduhan dan sebagainya)
Pantun ialah puisi lama yang terkait oleh syarat-syarat tertentu, seperti
banyak baris, banyak suku kata, kata, persajakan, dan isi.1
Pantun berkaiit merupakan pantun yang selalu berkait dengan bait satu ke
bait yang lain. Bait pertama berkait dengan bait kedua, bait kedua berkaitan
dengan bait ketiga, bait ketiga berkait dengan bait ke empat, begitu juga
seterusnya sampai pantun berkait habis. Bait-bait yang berkaitan ini membentuk
sebuah cerita yang diwujudkan dalam pantun. Kaitan antarbait di tandai
pengulangan larik. Larik kedua dengan keempat. pada bait pertama akan di ulang
pada bait kedua. Larik kedua bait pertama menjadi larik pertama bait kedua, bgitu
seterusnya sampai perulanagan larik habis pada akhir pantun berkait2
Menurut penulis, pantun merupakan salah satu jenis puisi lama dalam
kesusastraan Melayu Nusantara yang paling popular. Pada umumnya setiap bait
terdiri atas empat baris (larik), tiap baris terdiri atas 8-12 suku kata, berirama a-ba-b dengan variasi a-a-a-a. Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sedangkan
baris ketiga dan keempat adalah isi.
1
2

Wendi Widya Ratna Dewi,PR Bahasa Indonesia(klaten:Penerbit Intan Pariwara,2012)hlm.5


Ibid.,hlm.7

2.2 Sejarah Pantun


Pada mulanya pantun merupakan senandung atau puisi rakyat yang
dinyanyikan (Fang, 1993: 195). Pantun pertama kali muncul dalam Sejarah
Melayu dan hikayat-hikayat popular yang sezaman dan disisipkan dalam syairsyair seperti Syair Ken Tambuhan. Pantun dianggap sebagai bentuk karma dari
kata Jawa Parik yang berarti pari, artinya paribahasa atau peribahasa dalam
bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama atau seloka yang berasal
dari India. Dr. R. Brandstetter mengatakan bahwa kata pantun berasal dari akar
kata tun, yang terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa
Pampanga, tuntun yang berarti teratur, dalam bahasa Tagalog ada tonton yang
berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam bahasa Jawa kuno, tuntun yang
berarti benang atau atuntun yang berarti teratur dan matuntun yang berarti
memimpin; dalam bahasa Toba pula ada kata pantun yang berarti kesopanan,
kehormatan.
Van Ophuysen dalam Hamidy (1983: 69) menduga pantun itu berasal dari
bahasa daun-daun, setelah dia melihat ende-ende Mandailing dengan
mempergunakan daun-daun untuk menulis surat-menyurat dalam percintaan.
Menurut kebiasaan orang Melayu di Sibolga dijumpainya kebiasaan seorang
suami memberikan ikan belanak kepada istrinya, dengan harapan agar istrinya itu
beranak. Sedangkan R. J. Wilkinson dan R. O. Winsted dalam Hamidy (1983:69)
menyatakan keberatan mengenai asal mula pantun seperti dugaan Ophuysen itu.
Dalam bukunya Malay Literature pertama terbit tahun 1907, Wilkinson malah
balik bertanya, tidakkah hal itu harus dianggap sebaliknya?. Jadi bukan pantun

yang berasal dari bahasa daun-daun, tetapi bahasa daun-daunlah yang berasal dari
pantun.
2. 3 Ciri-ciri Pantun
Abdul Rani (2006:23) mengatakan bahwa ciri-ciri pantun sebagai berikut:

1. Terdiri atas empat baris.


2. Tiap baris terdiri atas 9 sampai 10 suku kata.
3. Dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya berisi
maksud si pemantun. Bagian ini disebut isi pantun.
4. Pantun mementingkan rima akhir dan rumus rima itu disebut dengan abjad
/ab-ab/. Maksudnya, bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir
baris ketiga dan baris kedua sama dengan baris keempat.

Lain halnya menurut Harun Mat Piah (1989: 123-124) dalam Bahan Ajar
Sastra Rakyat (Elmustian, tanpa tahun:70-71), membagikan ciri-ciri pantun
menjadi dua aspek, yaitu aspek luaran dan dalaman. Aspek luaran adalah dari segi
struktur dan ciri-ciri visual yaitu:

1. Terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap rangkap terjadi dari


baris-baris yang sejajar dan berpasangan seperti 2,4,6,8 dan seterusnya.
Rangkap yang paling umum adalah empat baris.
2. Setiap baris mengandung empat kata dasar, dengan jumlah suku kata
antara 8 hingga 10.
3. Adanya klimaks yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata
atau perkataan pada kuplet maksud.

4. Setiap stanza terbagi kepada dua unit yaitu pembayang dan maksud.
5. Mempunyai skema rima ujung yang tetap: a-b a-b, dengan sedikit variasi
a-a-a-a.
6. Setiap stanza pantun adalah satu keseluruhan mengandung sifat fikiran
yang bulat dan lengkap.

Ciri-ciri dalamannya adalah:

1. Penggunaan lambang-lambang tertentu mengikuti tanggapan dan


pandangan dunia masyarakat.
2. Adanya perhubungan makna antara pasangan pembayang dengan
pasangan maksud, sama ada secara kongkrit atau abstrak atau melalui
lambang-lambang.

Sedangkan menurut Suroto (1989: 43), ciri-ciri pantun sebagai berikut:

1. Pantun tersusun atas empat baris dalam tiap baitnya.


2. Baris pertama dan baris kedua berupa sampiran.
3. Baris ketiga dan keempat merupakan isi/ maksud yang hendak
disampaikan.
4. Jumlah suku kata dalam tiap baitnya rata-rata berkisar delapan sampai dua
belas.

2.4 Syarat-syarat pantun

Menurut Effendy (1983:28), syarat-syarat dalam pantun adalah:

1) Tiap bait terdiri dari empat baris


2) Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata atau terdiri dari delapan atau
sepuluh suku kata
3) Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b. dapat juga bersajak a-a-a-a.
4) Sajaknya dapat berupa sajak paruh atau sajak penuh
5) Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir
merupakan isi dari pantun itu.
2.5 Jenis-jenis Pantun
Suroto (1989:44-45) membagi pantun menjadi dua bagian yaitu:

a. menurut isinya:

1) pantun anak-anak, biasanya berisi permainan.


2) pantun muda mudi, biasanya berisi percintaan.
3) Pantun orang tua, biasanya berisi nasihat atau petuah. Itulah sebabnya,
pantun ini disebut juga pantun nasihat.
4) Pantun jenaka, biasanya berisi sindiran sebagai bahan kelakar.
5) Pantun teka-teki

b. menurut bentuknya atau susunannya:

1) pantun berkait, yaitu pantun yang selalu berkaitan antara bait satu dengan bait
kedua, bait kedua dengan bait ketiga dan seterusnya. Adapun susunan
kaitannya adalah baris kedua bait pertama menjadi baris pertama pada bait

kedua, baris keempat bait pertama dijadikan baris ketiga pada bait kedua dan
seterusnya.
2) Pantun kilat, sering disebut juga karmina, ialah pantun yang terdiri atas dua
baris, baris pertama merupakan sampiran sedang baris kedua merupakan isi.
Sebenarnya asal mula pantun ini juga terdiri atas empat baris, tetapi karena
barisnya pendek-pendek maka seolah-olah kedua baris pertama diucapkan
sebagai sebuah kalimat, demikian pula kedua baris yang terakhir.
Sedangkan Nursisto, dalam bukunya ikhtisar Kesusastraan Indonesia
(2000:11-14) pantun dibagi menjadi:
1. Berdasarkan isinya, pantun dibagi atas:
a) Pantun kanak-kanak
b) Pantun bersukacita
c) Pantun berdukacita
2. Pantun muda
a) Pantun nasib atau pantun dagang
b) Pantun perhubungan
c) Pantun perkenalan
d) Pantun berkasih-kasihan
e) Pantun perceraianPantn beriba hati
f) Pantun jenaka
g) Pantun teka-teki
3. Pantun tua
a) Pantun adat

b) Pantun agama
c) Pantun nasihat
Berdasarkan banyaknya baris tiap bait dibagi menjadi:
1) Pantun dua seuntai atau pantun kilat
2) Pantun empat seuntai atau pantun empat serangkum
3) Pantun enam seuntai atau delapan seuntai, atau pantun enam serangkum,
delapan serangkum (talibun).
Menurut Effendi (1983:29), pantun dapat dibagi menurut jenis dan isinya
yaitu:
1) pantun anak-anak, berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi:
a) pantun bersukacita
b) pantun berdukacita
c) pantun jenaka atau pantun teka-teki
2) pantun orang muda, berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi:
a) pantun dagang atau pantun nasib
b) pantun perkenalan
c) pantun berkasih-kasihan
d) pantun perceraian
e) pantun beribahati
3) pantun orang tua, berdasarkan isinya data dibedakan menjadi:
a) pantun nasihat
b) pantun adapt
c) pantun agama

10

Tetapi, Abdul Rani (2006:23-27) mengklasifikasikan pantun berdasarkan


isinya sebagai berikut:
1)

Pantun Anak-Anak

a)

Pantun anak-anak jenaka

b)

Pantun anak kedukaan

c)

Pantun anak teka-teki

2)

Pantun Muda-Mudi

a)

Pantun muda mudi kejenakaan

b)

Pantun muda-mudi dagang

c)

Pantun muda-mudi cinta kasih

d)

Pantun muda-mudi ejekan

3)

Pantun Tua

a)

Pantun tua kiasan

b)

Pantun tua nasihat

c)

Pantun tua adat

d)

Pantun tua agama

e)

Pantun tua dagang

Contoh pantun mudi


1) Contoh: Tanam melati di rama-rama
Ubur-ubur sampingan dua
Sehidup semati kita bersama
Satu kubur kelak berdua
Pantun teka-teki

11

2) Contoh: Kalau puan puan perana


Ambil gelas di dalam peti
Kalaup uan bijak laksana
Binatang apa tanduk di kaki
Pantun jenaka
3) Contoh : Anak rusa di rumpun salak
Patah tanduknya ditimpa genta
Riuh kerbau tergelak-gelak
Melihat beruk berkacamata
Pantun berduka cita
4) Contoh: Ke balai membawa labu
Labu amanat dari situnggal
Orang memakai baju baru
Hamba menjerumat baju bertambal
Pantun perkenalan
5) Contoh: Sekuntum bunga dalam padi
Ambil batang cabut uratnya
Tuan sepantun langit setinggi
Bolehkah berlindung di bawahnya?
Pantun perceraian
6) Contoh :

Pucuk pauh selara pauh

Pandan di rimba diladungkan


Adik jauh kakanda jauh

12

Kalau rindu sama menungkan


Pantun nasib atau pantun dagang
7) Contoh : Unggas undan si raja burung
Terbang ke desa suka menanti
Wahai badan apalah untung
Senantiaa bersusah hati

13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pantun adalah Puisi Indonesia, tiap bait (kuplet) biasa terdiri atas empat
baris yang bersajak (a-b-a-b) tiap larik biasanya berjumlah empat kata; baris
pertama dan baris kedua biasanya tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan
keempat merupakan isi; setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata; merupakan
peribahasa sindiran; jawab (pada tuduhan dan sebagainya)
Ciri-ciri pantun dapat dinyatakan yaitu pantun tersusun atas empat baris
dalam tiap baitnya.Baris pertama dan baris kedua berupa sampiran.Baris ketiga
dan keempat merupakan isi/ maksud yang hendak disampaikan.Jumlah suku kata
dalam tiap baitnya rata-rata berkisar delapan sampai dua belas.
Jenis pantun dapat dibedakan berdasarkan tingkatan umur pemakainya,
berdasarkan isinya ,dan berdasarkan bentuknya atau susunannya.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah hendaknya ilmu tentang kesusastraan
selalu digali dan dipelajari serta diterapkan, khususnya tentang pantun oleh para
sastrawan, ilmuan, dan lebih spesifik lagi oleh mahasiswa bahasa dan sastra
Indonesia.

14

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rani, Supratman. 2006. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Effendy, M. Ruslan. 1983. Selayang Pandang Kesusastraan Indonesia. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
Hamzah, Amir. 1996. Esai dan Prosa. Jakarta: Dian Rakyat.
Laelasari dan Nurlailah.2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Rahman, Elmustian dan Abdul Jalil. Tanpa tahun. Bahan Ajar Mata Kuliah
Sastra Rakyat. Pekanbaru: Labor Bahasa, Sastra, dan Jurnalistik Universitas
Riau.
Rahman, Elmustian dan Abdul Jalil. 2005. Bahan Ajar Teori Sastra. Pekanbaru:
Labor Bahasa, dan Jurnalistik Universitas Riau.
Surana. 2001. Pengantar Sastra Indonesia. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

15

Anda mungkin juga menyukai