Kemungkinan pemerintah bakal rugi bila memenangi arbitrase melawan NNT ini pun secara
eksplisit tampak dalam perjanjian kontrak karya (KK) yang diteken pemerintah RI dan NNT.
Pasal 22 butir (5) KK yang diteken NNT dan pemerintah RI pada 2 Desember 1986
menyatakan; apabila pengakhiran (terminasi) terjadi selama periode operasi atau sebagian
akibat habisnya jangka waktu persetujuan ini, semua harta kekayaan perusahaan, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam wilayah KK harus ditawarkan untuk
dijual kepada pemerintah dengan harga yang besarnya sama dengan ongkos perolehan atau
menurut harga pasar, mana yang lebih rendah, tetapi bagaimana pun tidak akan lebih rendah
dari nilai buku.
Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM Bambang
Setiawan mengatakan, bila pemerintah Indonesia memenangi gugatan, pihaknya tidak
mempersoalkan sekiranya harus memenuhi kewajiban yang diputuskan dalam arbitrase.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta
pemerintah yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti PT
Aneka Tambang Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar Bambang
kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus dibuktikan
terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa asal disebut saja,”
ujarnya.
Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham asing
NNT diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham NNT
akan beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini, 80% saham
NNT yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa
Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan
Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu Indah.
Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia dan
masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426 juta. Dua
tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa dan
Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.
Dalam proses penawaran saham mencuat perbedaan penafsiran terhadap KK khususnya pasal
24 antara pemerintah dan NNT. Persoalan yang muncul antara lain soal saham NNT yang
digadaikan kepada kreditor, kendati sebetulnya telah disetujui pemerintah Indonesia pada
1997. Karena tidak ada kesepakatan, belakangan pemerintah Indonesia secara bersamaan
dengan PT NNT membawa kasus tersebut ke ke arbitrase.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Alvien Lie, bila ada ketentuan
pemerintah harus membayar kewajiban kepada NNT, pemerintah dapat membeli perusahaan
tersebut dengan diangsur. “Tidak ada aturan yang harus membayarnya secara tunai. Diangsur
saja misalnya 50 tahun,” jelasnya.
Dirut PTBA Sukrisno mengatakan, pihaknya hingga kini belum bisa berkomentar terkait
usulan pemerintah mengharuskan perusahaan membeli aset NNT. “Kami belum tahu asal
usul kedudukan NNT. Kalau pun ada gambaran soal pembelian, masih akan dibicarakan lebih
lanjut antara direksi, komisaris, dan pemegang saham,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senior Director, Communications and Media Relations Newmont Mining Corporation Omar
Jabara yang dihubungi melalui surat elektronik di Denver, AS, Minggu (7/12) tak bersedia
memberi tanggapan. Juru bicara Newmont Rubi W Purnomo kepada Investor Daily, kemarin,
mengatakan, sampai saat ini pihaknya ingin memberikan kesempatan bagi proses
penyelesaian atas perbedaan melalui arbitrase yang bebas dari sorotan dan spekulasi di media
massa.
“Untuk itu, pada saat ini, kami tidak ingin memberikan pernyataan apapun yang berhubungan
dengan arbitrase dan divestasi PT NNT,” ujarnya.
Pemerintah Kalah
Secara terpisah, Direktur Centre for Indonesian Mining and Resources Law Ryad A Chairil
mengungkapkan, pemerintah tidak mungkin memenangi gugatan arbitrase NNT. Sejak 17%
saham itu ditawarkan, menurut Ryad, pemerintah pusat maupun daerah tidak bisa
menunjukkan dengan jelas pihak mana yang akan membeli saham tersebut.
“Secara finansial, pemerintah bahkan mengakui tidak cukup uang untuk menebus 17% saham
Newmont. Karena itu, gugatan arbitrase tersebut adalah cara elegan untuk membebaskan
pemerintah dari hak pertama membeli saham dan membolehkan Newmont menawarkan pada
pihak lain yang mampu membeli saham tersebut,” katanya.
Pemerintah disarankan menunjuk BUMN yang memiliki kemampuan secara finansial untuk
mengakuisisi saham Newmont. Ryad menambahkan, pemerintah salah fatal dan melanggar
kesepakatan yang tertera dalam KK terkait dugaan lalai (default) yang diajukan Dirjen
Minerbapabum (saat itu Simon Felix Sembiring) terkait belum tuntasnya penawaran 17%
saham NNT kepada pemda.
“Menurut kesepakatan, default hanya bisa diajukan bila para pihak tidak sedang terlibat
dalam masalah. Pemerintah sudah melanggar kesepakatan tersebut,” ujarnya. (c122)
KASUS ARBITRASE
Arbitrase Pertamina dan PT. Lirik Petroleum: Antara Pelaksanaan dan
Pembatalan di Indonesia