Anda di halaman 1dari 13

Borobudur

Arca Buddha dan stupa Borobudur

Lokasi dalam Indonesia

Informasi bangunan

Lokasi

Kecamatan Borobudur, sekitar 3 km dari Kota


Mungkid (ibukotaKabupaten Magelang, Jawa
Tengah)

Negara

Koordinat

Indonesia
73629LS 1101214BTKoordinat:
73629LS 1101214BT

Arsitek

Gunadharma

Klien

Sailendra

Awal

sekitar 770 Masehi

konstruksi

Penyelesaian sekitar 825 Masehi


Sistem

piramida berundak dari susunan blok batu

struktural
Jenis
Ukuran

andesit yang saling mengunci


stupa and candi
luas dasar 123123 meter, tinggi kini 35 meter,
tinggi asli 42 meter (termasuk chattra)

Borobudur

Situs Warisan Dunia UNESCO

Negara

Indonesia

Tipe

Budaya

Kriteria

i, ii, vi

Nomor identifikasi

592

Kawasan UNESCO

Asia Pasifik

Tahun pengukuhan

1991 (sesi ke-15)

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat dayaSemarang,
86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat lautYogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil
Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi
oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah
duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran
Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui
tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kmadhtu (ranah
hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), danArupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar
langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia
mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford
Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal
di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

Nama Borobudur

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini
sempat terlupakan.
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari
masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran
pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,meskipun memang nama asli dari
kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku
"Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen
bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama
yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya
bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalahNagarakretagama, yang
ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles
juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa
yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan
bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama
ini kemungkinan berasal dari kataSambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana
di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapaetimologi rakyat lainnya.
Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi
menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di
mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara
dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".
Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
rajaMataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan

sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya,
Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh r Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamln yang
disebut Bhmisambhra. Istilah Kamln sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal
muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra.
Casparis memperkirakan bahwa Bhmi Sambhra Bhudhra dalam bahasa Sanskerta yang
berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli
Borobudur.
Lingkungan sekitar

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan
perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas
bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di
sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat
bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini
terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur.
Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap
suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam
dan kesuburan tanahnya.
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[17] Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan
berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi
ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini
hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari

ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam
arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi
bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[12]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuantemuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak
seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia.
Danau purba

Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling
Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit
dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau
purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat
di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di
tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu
Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah
danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas
permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru),
ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan
Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi
alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri
menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang
kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana(aliran Buddha yang
kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga

melambangkan kelopak bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa
dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen
ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur
pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba
di lingkungan sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi
tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki
andil turut mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 19161919) merekonstruksi suasana di Borobudur
pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa
kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan
pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benarbenar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratunggapada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama
Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran
Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi
Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari
Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan
dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah
rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan
candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena


pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaranmemberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun
candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog,
bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai
konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan
antara dua wangsa kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan
wangsa Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran
pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara
Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai
Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan
yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam
pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat
besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini
membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk
membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk
seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan
kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit
diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya
terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu
sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup
struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya
dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata
susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli
piramida berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih
kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa
induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki
tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para

arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat
besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu
berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat
bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan
disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan
runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan
menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil
berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak
longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur
ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi
tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga
pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar
langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran
ujung kaki.

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur


Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan
debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu
benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga
kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi
menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan
ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi;
tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan
tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada
periode ini. Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu
Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia
menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat
populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih
keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari
sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan
dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18

menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang
memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa
bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.
Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan
Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini
pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini,
"Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca
buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran
jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram
Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan
dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin
menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah
diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah
menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.

Penemuan kembali
Foto pertama Borobudur olehIsidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan
dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung)
susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan
Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai
Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia
mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah
dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari
mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro. Karena
berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari
bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki
keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang
pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah
yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan

semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai


gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat,
Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia
atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja
Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya
terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis
laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama. Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia
temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang
teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga
ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya
pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang
mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf
pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya
dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh
ahli engrafi Belanda,Isidore van Kinsbergen.
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan
oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda
antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum
akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan
utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah
Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan
bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha

bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga
dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi beberapa ratus
meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi
di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki
tersembunyi dibuat pada kurun 18901891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia
Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van
de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.

Penanaman beton dan pipaPVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran
tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada
pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali
sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya,
memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa
utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan,
monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp
menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut,
ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra(payung batu susun tiga) yang memahkotai
puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa

kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp
membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattrasusun tiga
tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan
patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun,
dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.Van Erp menggunakan
beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang
menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah
sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan
yang utuh. Pada akhir 1960-an,Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada
masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia
dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief
dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan
memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan
saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.Setelah renovasi,
UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun
1991.Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang
jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu
tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi,
seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara
langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan
atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna
universal yang luar biasa"

Anda mungkin juga menyukai