Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN TERHADAP ALIRAN POSITIVISME

DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah filsafat dan pendapat tersebut
merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan
adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, atau
munculnya ilmu tertentu berasal dari filsafat tertentu, misalnya filsafat ekonomi melahirkan
ilmu ekonomi, filsafat hukum melahirkan ilmu hukum, dan seterusnya. Meskipun pernyataan
ini terkesan mudah untuk diterima, akan tetapi dalam kenyataannya masih menyimpan
berbagai persoalan lain yang tak kalah rumit, yakni adanya pernyataan tentang mana yang
lahir lebih dahulu antara ilmu dengan filsafat? Bukankah dapat disaksikan sejumlah filsafat
yang muncul belakangan setelah ilmu, seperti halnya juga disaksikan munculnya ilmu setelah
ada kontemplasi falsafi (filsafat)? Disebabkan sukarnya memberikan jawaban terhadap
persoalan ini, maka seringkali terjadi tumpang tindih antara ilmu tertentu dengan filsafat
tertentu.
Filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua,
dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum. Filsafat
hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya
terhadap hukum atau gejala hukum. Sebagai refleksi kefilsafatan, filsafat hukum tidak
ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam

keumumannya atau hukum sebagai demikian (law as such). Filsafat hukum berusaha
mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan
hukum sejauh yang mampu dijangkau oleh akal budi manusia.
Gagasan tiga tahap August Comte menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi
dalam tiga tahap; tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan
dengan meminta bantuan kepada Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca
indera; tahap falsafi dimana pada tahap ini hakekat benda-benda merupakan keterangan
terakhir dari semua; dan tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan
panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah
dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan. Tulisan sederhana ini tidak bermaksud
untuk membahas berbagai persoalan tersebut, hanya untuk mencari jawaban bagaimana
pengaruh positivisme dalam pemikiran hukum.
Positivisme sejak abad 18-19 di Barat, memberikan pengaruh besar kepada studi
hukum. Pemikiran hukum menjadi legal positivistic, yaitu hukum yang terpisah dari
moralitas; hukum yang diterapkan secara resmi melalui legislasi Negara; yang kemudian
dikenal dengan teori legisme sejak masa Napoleon. Pembuatan materi hukum secara lengkap
dan menyeluruh yang disebut dengan kodifikasi, menjadi model yang diikuti banyak Negara
sejak saat itu hingga saat sekarang ini. Inilah pengaruh besar paradigma positivistic dalam
bidang hukum dan studi hukum.
Didalam aliran positivisme kepastian hukum merupakan tujuan utama, sedangkan
keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Permasalahan antara kepastian
hukum dan keadilan didalam praktek penegakan Hukum di Indonesia telah lama mengemuka,
dari kalangan aliran positivime tersebut hukum seolah-olah terpisah dari nilai-nilai keadilan
yang ada ditengah masyarakat. Dalam arti dalam penegakan hukum tersebut haruslah

mengedepankan adanya kepastian hukum. keadilan akan sulit terwujud jika ternyata jika
hukum dikonsepkan sebagai Undang-undang yang harus selalu mengedepankan kepastian
hukum saja. Jika hal itu terus menerus dilaksanakan dalam penegakan hukum di negeri ini
maka pada akhirnya yang terjadi adalah Keadilan hanya menjadi ungkapan yang merdu
didengar saja, dan ternyata bukan isapan jempol, dan Betapa mahalnya harga sebuah
keadilan. Sebagai akibat dari cara pandang atau persepsi yang dominan terhadap peran dan
fungsi hukum seperti itu maka hukum menjadi kurang tanggap terhadap tuntutan kebutuhan
masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah renovasi baru terhadap hukum yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan kepastian hukum.

1.2 Rumusan Masalah :


1. Apa Sajakah Yang Menjadi Prinsip-Prinsip Dari Aliran Positivisme Dalam
Perkembangan sistem Hukum Di Indonesia ?
2. Bagaimana Pengaruh Aliran Positivisme Bagi Perkembangan Sistem Hukum di
Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prinsip-Prinsip Dari Aliran Positivisme Dalam Perkembangan Sistem Hukum Di


Indonesia

Aliran positivisme memandang, bahwa pengalaman sebagai dasar bagi metode ilmiah
Oleh karena itu, hal-hal internal yang tidak dapat dijangkau secara akal atau berada diluar
akal, tidak menjadi perhatian kaum positivis. Para positivis menentang ilmu metafisika, yang
ghaib, apa yang berada di luar batas pengalaman manusia. Mereka menganggap metafisika
sebagai tidak ada artinya bagi ilmu pengetahuan, sebab metafisika menarik diri dari tiap
usaha untuk verifikasi, kebenaran atau ketidakbenaran pendirian yang tidak dapat ditetapkan.
Oleh karena itu, para positivis telah mengucapkan selamat tinggal pada dunia dewa dan
dunia hakekat, karena dianggap tidak rasional. Pada tahap ini aliran positivisme telah
membuang filsafat. Wilayah metafisika dan hakikat menjadi obyek pemikiran filsafat
melalui kontemplasi-spekulasi, yang tidak dapat didekati dengan indera-indera kaum
positivis. Oleh karena itu sebagai akibatnya positivisme hanya bersandar pada prinsip-prinsip
berikut ini:
a. Hanya apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini diambil
dari filsafat empirisme Locke dan Hume.

b. Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat


dipastikan sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti tidak semua pengalaman
dapat disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan.
c. Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialami
merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.

Lebih lengkap, prinsip-prinsip aliran positivisme dikemukakan oleh Arief Sidharta,


sebagai berikut:

a. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang syah.


b. Hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan.
c.

Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu.

d. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan
menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi
landasan bagi organisasi sosial.
e. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman
(empiris-verifikatif).
f. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam.
g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia
fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan
jangkauan hasil-hasil ilmu alam.

Prinsip-prinsip aliran positivisme ini selanjutnya mendasarinya kepada sains modern


(sekuler) yang dikembangkan Barat. Sains modern bersandar pada empat premis,
yakni:

a. Dunia itu ada.


b. Manusia dapat mengetahui dunia.

c. Manusia mengetahui dunia melalui panca indera dan ;

d. Fenomena-fenomena di dunia terkait secara kausalitas (sebab akibat). Secara


metodologis, positivisme meyakini sepenuhnya pada empat dalil keilmuan, orde,
determinisme, parsimoni, dan empirikal.
Sedangkan scara luas Prinsip-prinsip dasar positivisme hukum adalah: 1) suatu tata
hukum Negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social, bukan juga
karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karenadasar-dasar hukum alam,
melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang; 2) hukum
harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal dipisahkan dari
hukum material; 3) isi hukum material diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena
dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum
Dari sejumlah keterangan tersebut di atas, nampak bahwa implikasi negatif dari ilmu
pengetahuan adalah munculnya anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat netral atau
bebas nilai. Karena ilmu pengetahuan yang hanya membatasi diri pada dunia yang dapat
dicermati oleh panca indera, dengan sendirinya menolak nilai-nilai yang bersifat
transendental seperti moralitas, etika, dan nilai-nilai religius serta hal-hal yang tidak dapat
ditangkap oleh panca indera

2.2 Pengaruh Aliran Positivisme Bagi Perkembangan Sistem Hukum Di Indonesia

Pengaruh aliran positivisme bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia di mulai


Setelah mengalami penjajahan oleh negara Belanda, dimana Indonesia saat itu masih ikut
menggunakan sistem hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut yakni sistem hukum
eropa kontinental. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kehidupan
masyarakat Indonesia, setelah itu terjadi perubahan dalam sistem hukum yang berlaku di

Indonesia. Awal sistem hukum yang diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum eropa
kontinental saja, setelah itu sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengalami perpaduan
antara sistem eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon.
Perkembangan sistem Hukum Indonesia makin tampak ketika adanya sumbangan dari
pemikiran para filsuf pemikir hukum. Perkembangan itu salah satunya adalah dari madzhab
positivis. Dalam arti ini, positivisme sama tuanya dengan filsafat. Tetapi sebagai gerakan
yang tetap dalam filsafat umum, sosiologi dan ilmu hukum pada hakikatnya adalah gejala
modern. Yang di satu pihak menyertai pentingnya ilmu pengetahuan, dan sisi yang lain
menjelaskan tentang filsafat politik dan teori tentang ilmu hukum.
Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang
besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan
tindakan lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive)
dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu
menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan
hukum dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum. Lahirnya
pemikiran mazhab positivis mempunyai landasan tersendiri sehingga pandangan ini memiliki
ciri khas tersendiri, namun sayangnya pejabat negara yang diberi tugas untuk membentuk dan
melaksanakan hukum kurang memperhatikan landasan pemikiran mazhab hukum positivis,
akibatnya keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat dan tidak jarang
selalu melahirkan konflik baik vertikal maupun horizontal.
Positivisme menekankan setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu
kebenaran, hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif dan harus
dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif. Ketika pemikiran positivisme
diterapkan ke dalam bidang hukum, positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum
sebagaimana dianut oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah

eksis secara objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak dikonsepkan sebagai
asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah
dipositifkan sebagai undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Pembentukan hukum yang dimaksud disini adalah lahirnya aturan tertulis yang
memiliki keabsahan untuk diberlakukan. Lahirnya hukum yang sah karena adanya keputusan
dari suatu badan/lembaga yang diberi berwenang oleh konstitusi untuk menciptakan hukum.
Jika mengartikan hukum sebagai sistem aturan hukum positif, maka lembaga yang
membentuk hukum (legislative functie) dalam sistem Pemerintahan Indonesia dijalankan oleh
Lembaga Legislatif (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah), Lembaga Eksekutif (Presiden/Wakil Presiden dibantu para
Menteri), dan Lembaga Yudikatif (kehakiman).
Pembentukan Undang-Undang Oleh Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan
Presiden. Bentuk hukum yang diciptakan oleh lembaga ini adalah undang-undang. Ciri khas
undang-undang yang dibentuk oleh Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan Presiden adalah
materi atau isinya yang bersifat umum. Hal ini sesuai dengan pemikiran Hans Kelsen
bahwa Undang-undang sebagai norma hukum yang bersifat umum. Isi undang-undang selalu
bersifat umum, sehingga sebagian besar pasal-pasal yang terdapat di dalamnya masih
membutuhkan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia, penerapan prinsip ini melahirkan masalah karena hukum selalu menjadi
kendala dalam pembangunan bahkan hukum itu bersifat statis dan tidak dapat menyesuaikan
diri dengan setiap keadaan yang berubah. Banyak kalangan mengatakan dengan gamblang
bahwa hukum itu bersifat statis dan kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru
karena mengabaikan aspek lain dalam pembentukan hukum. Model penegkan hukum di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran positivisme. Menurut Kelsen bahwa norma
hukum yang sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap

individu/kelompok dalam masyarakat . Standar penilaian dimaksud adalah hubungan antara


perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk
menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus diukur
berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek moral dan keadilan.
Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas. Suatu peraturan
hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada semua kasus. Demikian sebaliknya,
suatu peraturan hukum dianggap tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu,
dan tidak diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam pandangan
positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa memandang nilai dari suatu aturan hukum
(asas kepastian). Jadi hukum dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum
adalah adil, dan keadilan hukum berarti kepastian hukum. Doktrin positivisme ini masih
diterapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana
menyangkut penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh karena
prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga banyak kasus dalam sengketa
lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan bebas dari tuntutan hukum karena tidak
memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika dikatakan bahwa wajah
penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan ungkapan Hukum hanya berlaku
terhadap mereka yang lemah. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan prinsip Setiap
orang bersamaan kedudukannya di depan hukum.
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa pengaruh positivisme dalam
hukum dan treutama hukum Indonesia sangat kuat. Hukum Indonesia yang unifikatif, standar,
tertulis

dan dilegislasikan oleh Negara, yang disebut dengan istilah hukum positif,

merupakan bukti konkret pengaruh positivism tersebut. Di sisi lain, dalam praktik
penyelesaian hukum oleh hakim di pengadilan, pengaruh positivism juga sangat kuat.
Misalnya, pembuktian masalah hukum dan kebenaran hukum berdasarkan pembuktian

konkret dan empiris. Pengaruh positivism ini juga tampak dalam system peraturan hukum
yang standar, yang diberlakukan untuk seluruh warga Negara, terutama dalam bidang hukum
pidana.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Prinsip-prinsip dasar positivisme hukum adalah: 1) suatu tata hukum Negara berlaku
bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social, bukan juga karena
bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karenadasar-dasar hukum alam,
melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang; 2)
hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal
dipisahkan dari hukum material; 3) isi hukum material diakui ada, tetapi bukan bahan
ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum
2. Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang
besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada
kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan
Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan
hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai
acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum
nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum

Anda mungkin juga menyukai