Reformasi Agraria
Reformasi Agraria
01
BEDAH BUKU :
Land Reform & Peasant Livelihoods. The Social Dynamics of Rural
Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries1
Satyawan Sunito2
Identitas Buku
Krishna B. Ghimire, 2001. Land Reform & Peasant Livelihoods. The Social
Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries.ITDG
Publishing. London, UK.
1. Pengantar
Ghimire mempersembahkan buku ini kepada Gerrit Huizer, seorang sosiolog
Belanda yang banyak menulis mengenai petani/peasant dan gerakan petani.
Thesisnya tahun 1972 The Revolutionary Potential of Peasants in Latin America mengawali tulisan-tulisan mengenai perjuangan petani di bagian dunia lain.
Tahun 1980 muncul bukunya Peasant Movements and their counter-forces in SouthEast Asia (Marwah Public. New Delhi), dan tahun 1991 mengenai Afrika, Folk
Spirituality and Liberation in Southern Africa (Centre dEtude dAfrique Noire,
Bordeaux). Gerrit Huizer termasuk sosiolog yang tidak pernah
menyembunyikan solidaritasnya pada kaum tani yang berjuangannya merebut
hak-hak mereka sebagai warga negara penuh.
Buku Ghimire merupakan kumpulan dari delapan artikel yang ditulis oleh
tujuh penulis, termasuk dua artikel yang ditulis sendiri oleh Ghimire.
Kedelapan artikel tersebut membahas land reform dari berbagai aspek. Diawali
oleh pembahasan mengenai relevansi dari Land Reform pada penutup abat ke
20 (Ghimire, researcher pada UN Research Institute for Social Development di
Geneva), artikel 2 membahas peranan negara dan aktor-aktor lain didalam land
reform (Solon L. Barraclough, senior consultant UN Research Institute for
Social Development), artikel 4 mengenai pengaruh globalisasi dan
perkembangan sistem pertanian dan urbanisasi terhadap Land Reform (Peter
Dorner, Prof. Emeritus dari Agricultureal Economics at the Land Tenure
Center, Univ. Of Wisconsin-Medison), artikel 5 membahas kecendrungan
pergeseran pendekatan Land Reform dengan intervensi negara yang kuat ke
arah pendekatan pasar/market-based land reform (M. Riad El-Ghonemy, senior
1
Materi yang disajikan pada acara Bedah Buku Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, IPB pada tanggal 29 November 2005.
2
Staf Pengajar pada bagian Kependudukan, Agraria dan Ekologi Politik, Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia | April 2008, p 121-132
RT penerima tanah LR
persentase dari tota RT
Petani
Tanah yang
diredistribusi
persentase dari Tanah
Pincus, J.R. 1996 dengan menggunakan berbagai data antara 1981-1988 mengemukakan data petani tanpa
lahan dari 17 desa tersebar di Jawa: Petani tanpa lahan di 7 desa sample Jawa-Barat antara 30 70 persen
dari total; di Jawa-Tengah di 3 desa sample antara 28 64 persen; di Jawa-Timur di 7 desa sample petani
tanpa lahan merupakan 38 69 persen dari total. Desa sample di Subang Utara petani tanpa lahan mencapai
70 persen. Sedangkan jumlah petani tanpa lahan sampai dengan petani dengan lahan 0.5 Ha. mencapai 89
persen dari total.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 123
Pertanian
60 - 80
65
42
10 (Egypt) 57 (Tunisia)
13 (Chile) 38 (Peru)
4 (Morc) 10
(Philippina)
6 (Indonesia/Jawa)
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 125
(RLF) menjadi Land Market Reform (LMR). Antara 1940 early 1980
merupakan .. decades of the poor peasants and the golden age of genuine land reform.
Pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development tahun
1979, pemerintah Negara-negara sedang berkembang menyatakan komitment
untuk melaksanakan equitable distribution of land through redistribution
with speed. Golden age of neguine land reform ini berakhir sekitar tahun
1980, ketika Negara-negara sedang berkembang dibawah beban hutang yang
berat dan resesi ekonomi, ditekan oleh Bank Dunia dan IMF untuk
menerapkan structural adjustment program dengan imbalan kredit. Pada
dasarnya adalah menerapkan kebijakan yang bertumpu pada mekanisme pasar,
privatisasi dan mengurangi peran pemerintah. Dalam konteks land reform
berarti peralihan dari pendekatan RLR ke pendekatan LMR.
Elemen-elemen pendekatan Land Market Reform ini antara lain adalah:
membenahi administrasi tanah,
mengembangkan land banks,
membangun jaringan civil society organizations untuk mendukung
pendidikan, identifikasi/seleksi tanah, pendampingan kredit tanah bagi
petani miskin.(World Bank, IFAD, FAO) (Ghimire, 18-19)
Kritik terhadap Land Market Reform (Ghimire, Ghonemy)
Land Lord sell low quality of land
Prosedur legal sangat lamban
Harga jual tanah sangat tinggi, sebagai akibat dari posisi tawar yang tidak
seimbang dan monopoli dari kekuatan politik local oleh golongan tuantanah
Tanah seringkali jatuh ketangan orang urban.
Petani miskin /landless sukar akses pada kredit;
Land market dan kredit akan mendorong harga tanah naik;
Dengan produktifitas dan harga produk pertanian yang tidak stabil dan
merugikan petani, perspektif mengembalikan kredit sangat gelap;
Perempuan umumnya tidak masuk hitungan dalam program kredit dan
land market; kredit umumnya disalahgunakan oleh politisi lokal,
pengusaha dan spekulan. Buruknya fasilitas pendukung lain, mendorong
petani miskin tergantung dari local money lender untuk modal kerja sering
dengan menggadaikan tanah dan tanah lepas kembali (Ghimire, 19-20)
Khususnya dalam hal privatisasi dari tanah komunal:
Rentan kehilangan tanah karena dijual pada spekulan kota dan terjerat
hutang karena penggadaian tanah
Melemahnya hak tradisional perempuan terhadap tanah dan makanan.
Terabaikannya tanaman pangan karena fokus pada komoditas untuk
pasar/export oleh pemilik baru.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 127
Dalam kenyataan, membeli tanah bagi kelas petani tanpa tanah boleh dikatakan
tidak mungkin, karena tingkat pendapatan yang teramat rendah. Penelitian
memperlihatkan peningkatan tajam harga-harga tanah sejajar dengan
ditempuhnya strategi neo-libera. Penelitian juga memperlihatkan dalam
konteks ini tani landless tidak mampu membeli tanah melalui mekanisme pasar
(seandainya ada yang jual dengan lokasi yang sesuai dan kualitas yang
memadai). Data dari Egypt memperlihatkan bahwa harga tanah pada periode
market based transaction (1935-19451, 1975-1980, 1997-1998) adalah sama
dengan 19 sampai 39 tahun upah harian seorang laki-laki dewasa (dalam arti
seluruh upahnya ditabung). Pada periode intervensi negara dalam reforma
agraria, masa tunggu tersebut dapat diredusir antara sampai 1/5 nya
(Ghonemy, 129)
Celakanya, sesuai dengan Structural Ajustment Program yang dipaksakan oleh
World Bank, negara mengurangi perannya di segala bidang, termasuk didalam
memberikan fasilitas pada petani miskin (Dorner, 95)
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 129
6. Kesimpulan
1. Land reform tetap merupakan policy yang valid
2. Tanah untuk redistribusi masih ada: redistribusi tanah petani luas, tanah
negara, menurunkan plafond tanah maksimum. Penting: memberdayakan
the commons.
3. Land reform policy harus disesuaikan dengan kondisi lokal yg spesifik.
Dimana pemilikan adalah skala kecil: maka tekanan policy pada tenants
rights, working conditions, fuller use of common property resource (!),
restriction of land sales, progressive taxes, access to subsidized credit and
production services. Juga pada medium sized land holdings, untuk
mencegah penurunan produktifitas karena skala menjadi kecil maka bukan
redistribusi tapi communal property atau cooperasi jadi solusi. Dimana
surplus labour besar, harus ada pengembangan non-land based employment.
4. Land redistribusion melalui market mechanism tidak dapat menanggulangi
ketimpangan dan kemiskinan desa dengan cepat. Apalagi pendekatan pasar
ini umumnya bagian dari economic adjustment program yang di tuntut oleh
WB dan IMF, yang artinya: reducing peran negara, mengurangi subsidi
(kredit pertanian) dan privatisasi banyak jasa-jasa (penyuluhan pernah
diusulkan untuk diprivatisasi)
5. Mobilisasi petani dan partisipasi merupakan syarat mutlak. Selain itu:
mobilisasi dukungan politik dari dalam dan luar negeri, aksi re-claiming
tanah, pemanfaatan mekanisme elektoral, aliansi (bukan sekedar networking*) dengan kekuatan-kekuatan masyarakat sipil. Globalisasi ada
positifnya dalam arti informasi dan pengetahuan yang mudah diperoleh
mengenai masalah hukum dan hak-hak petani, pengalaman global.
6. Land reform harus mengakomodir bentuk-bentuk kepemilikan atau
penguasaan tanah yang lain, seperti misalnya common property. Dalam
rangka ini, penting untuk memberi perhatian serius pada sumberdaya lain
kecuali tanah, seperti kebun/pekarangan, common property dan
sumberdaya alam lain.
7. Apresiasi pada sistem pertanian yang lebih integral dengan teknologi yang
berkelanjutan.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 131