Anda di halaman 1dari 12

ISSN : 1978-4333, Vol. 02, No.

01

BEDAH BUKU :
Land Reform & Peasant Livelihoods. The Social Dynamics of Rural
Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries1
Satyawan Sunito2
Identitas Buku
Krishna B. Ghimire, 2001. Land Reform & Peasant Livelihoods. The Social
Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries.ITDG
Publishing. London, UK.
1. Pengantar
Ghimire mempersembahkan buku ini kepada Gerrit Huizer, seorang sosiolog
Belanda yang banyak menulis mengenai petani/peasant dan gerakan petani.
Thesisnya tahun 1972 The Revolutionary Potential of Peasants in Latin America mengawali tulisan-tulisan mengenai perjuangan petani di bagian dunia lain.
Tahun 1980 muncul bukunya Peasant Movements and their counter-forces in SouthEast Asia (Marwah Public. New Delhi), dan tahun 1991 mengenai Afrika, Folk
Spirituality and Liberation in Southern Africa (Centre dEtude dAfrique Noire,
Bordeaux). Gerrit Huizer termasuk sosiolog yang tidak pernah
menyembunyikan solidaritasnya pada kaum tani yang berjuangannya merebut
hak-hak mereka sebagai warga negara penuh.
Buku Ghimire merupakan kumpulan dari delapan artikel yang ditulis oleh
tujuh penulis, termasuk dua artikel yang ditulis sendiri oleh Ghimire.
Kedelapan artikel tersebut membahas land reform dari berbagai aspek. Diawali
oleh pembahasan mengenai relevansi dari Land Reform pada penutup abat ke
20 (Ghimire, researcher pada UN Research Institute for Social Development di
Geneva), artikel 2 membahas peranan negara dan aktor-aktor lain didalam land
reform (Solon L. Barraclough, senior consultant UN Research Institute for
Social Development), artikel 4 mengenai pengaruh globalisasi dan
perkembangan sistem pertanian dan urbanisasi terhadap Land Reform (Peter
Dorner, Prof. Emeritus dari Agricultureal Economics at the Land Tenure
Center, Univ. Of Wisconsin-Medison), artikel 5 membahas kecendrungan
pergeseran pendekatan Land Reform dengan intervensi negara yang kuat ke
arah pendekatan pasar/market-based land reform (M. Riad El-Ghonemy, senior
1

Materi yang disajikan pada acara Bedah Buku Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, IPB pada tanggal 29 November 2005.
2
Staf Pengajar pada bagian Kependudukan, Agraria dan Ekologi Politik, Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia | April 2008, p 121-132

Research Associate pada International Development Centre, Queen Elizabeth


House, Univ. Of Oxford). Empat artikel lainnya membahas dinamika petani di
dalam mendorong dan mensiasati perkembangan-perkembangan yang
menyertai proses land reform. Artikel ke 3 membahas inisiatif petani untuk
land reform di Amerika Tengah (Eduardo Baumeister, Research Associate pada
Centro de Estudios del Desarrollo Rural in San Jose dan pada Eentro de
Estudios para la Participacion Deocratica y el Desarrollo di Managua). Artikel
ke 6 mengenai peranan jejaring dan aliansi yang dibangun petani dengan
kekuatan pendukung luar dalam rangka land reform (Krishna B. Ghimire).
Artikel 7 merupakan kasus-kasus gerakan petani di berbagai negara sedang
berkembang (Gerrit Huizer, pernah menjabat sebagai profesor pada Third
World Centre di Catholic University of Nijmegen), dan artikel 8 mengenai
peran organisasi petani dalam mengelola konflik agraria (Jose Noel D. Olano,
Executive directoer of Philippine Development Assistance Programme dan
bekas senior fofficial pada Department of Agrarian Reform di Philippina).
Penulis-penulis di dalam buku ini sama sefaham mengenai dua asumsi pokok,
yaitu (Ghimire, ibid.11):
1. ...there is a need to revisit the discourse on land and tenure issues and reexamine the current land reform approaches and probable outcomes.
2. ...all chapters achieve a clear consensus that for any effective and socially just
land reform, the active participation of peasants and their representative
organizations is vital in addition to a supportive atmosphere at national and
international levels.
Pembahasan buku Ghimire akan dilakukan sesuai tema-tema yang dibahas:
relevansi land reform sebagai strategi menanggulangi ketimpangan pemilikan
tanah dan kemiskinan di pedesaan; peran pemerintah dalam memberi bentuk
reformasi pertanian; pengaruh globalisasi dan teknologi pertanian terhadap
inisiatif petani; market-based land reform; peran organisasi tani dalam
memperjuangkan land reform dan respons petani terhadap perkembangan pasca
redistribusi tanah.

2. Relevansi Land Reform


Ghimire mendefinisikan land reform sebagai: a significant change in agrarian
structure, resulting in increased access to land by the rural poor, as well as a secured
tenure for those who actually work on the land. It also includes access to agricultureal
inputs, markets, services and other needed assistance (8)
Selanjutnya
Land reform should, in particular, lead to greater food security, income and family
welfare for many groups of the social-economically marginalized rural population,
122 | Sunito, S. Resensi Buku: Land Reform & Peasant Livelihoods

including women and indigenous communities. Formalization and protection of land


rights also helps to reinforce local agricultural and cultural diversity. (2)
Ghimire menambahkan bahwa land reform harus dipandang sebaai bagian
esensial daeri pemenuhan hak azasi manusia, termasuk didalamnya pemenuhan
dari human dignity. Selain itu land reform memberikan kepastian hak yang
pada gilirannya akan mendorong investasi pada lahan dan lingkungan.
Walau data mengenai penguasaan tanah dan permasalahan pertanahan sukar
diperoleh (terutama setelah tahn 1990) namun dari sedikit data yang ada dapat
diasumsikan bahwa golongan petani yang tidak memiliki tanah dan
ketimpangan penguasaan tanah telah meningkat. Di Asia (contohnya Indonesia,
Philippina, India dan Bangladesh) sekitar 37 persen 36 persen dari rumah
tangga pedesaan tidak mempunyai tanah. Di Amerika Selatan angka ini
diantara 77 persen (Rep. Dominika) sampai 39 persen (Mexico). Di Afrika
utara petani tanpa tanah sekitar 33 persen (Morocco) sampai 29 persen (Egypt).
Masalahnya lebih gawat bila petani gurem atau near-landless dimasukkan
dalam perhitungan.3 (Ghimere, ibid.12)
Diantara negeri-negeri yang memperlihatkan struktur pemilikan tanah yang
sangat pincang dengan presentasi petani tanpa lahan dan kemiskinan pedesaan
yang tinggi, banyak yang telah menerapkan berbagai bentuk kebijakan land
reform. Mexico dan negara-negara lain di Amerika Tengah merupakan contoh
negara-negara yang telah menerapkan kebijakan land reform yang radikal. Ada
juga contoh dari dimana land reform tidak berhasil mendobrak struktur
kekuasaan yang ada, seperti di Brasil dan Philippina. Brasil merupakan salah
satu negara dengan ketimpangan struktur pemilikan tanah paling tinggi (gini
ratio 0,87) dan angka kemiskinan pedesaan yang paling tinggi juga (73 persen
dari total penduduk desa). Sedangkan Philippina, setelah menyelenggarakan
berturut-turut 11 kali program land reform, belum dapat mengurangi
ketimpangan penguasaan tanah yang tinggi di negara itu.
Data-data memang memperlihatkan bahwa program-program land reform yang
telah dilakukan di tahun-tahun 1950an sampai tahun 1970an mengecewakan:
1. Jangkauannya terbatas (Ghemiri, Ghonemi)
Negara dengan Land
Reform

RT penerima tanah LR
persentase dari tota RT
Petani

Tanah yang
diredistribusi
persentase dari Tanah

Pincus, J.R. 1996 dengan menggunakan berbagai data antara 1981-1988 mengemukakan data petani tanpa
lahan dari 17 desa tersebar di Jawa: Petani tanpa lahan di 7 desa sample Jawa-Barat antara 30 70 persen
dari total; di Jawa-Tengah di 3 desa sample antara 28 64 persen; di Jawa-Timur di 7 desa sample petani
tanpa lahan merupakan 38 69 persen dari total. Desa sample di Subang Utara petani tanpa lahan mencapai
70 persen. Sedangkan jumlah petani tanpa lahan sampai dengan petani dengan lahan 0.5 Ha. mencapai 89
persen dari total.

Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 123

Negara2 sosialis (China,


56 - 90
Cuba, Ethiopia, Iraq)
Korea Selatan
75
Mexico
55
Negara2 Timur Tengah
12 (Libya) 49
& Afrika Utara (Iran,
(Tunisia)
Egypt, Tunisia, Algeria,
Yemen, Siria, Libya)
Negara2 Amerika
12 (Chile) 40 (Peru)
Tengah dan Selatan
(Peru, Nicaragua, El
Zafador, Chile) minus
Mexico
Negara-negara dengan
2 (Morc) 8
hasil paling rendah
(Philippina)
(Philippina, India,
Pakistan, Morocco,
Indonesia/Jawa)
Sumber: disadur dari Ghonemy: 114

Pertanian
60 - 80
65
42
10 (Egypt) 57 (Tunisia)

13 (Chile) 38 (Peru)

4 (Morc) 10
(Philippina)
6 (Indonesia/Jawa)

2. Angka-angka diatas tidak statis, ada kecenderungan petani penerima tanah


land reform kehilangan kembali karena pemerintah kurang memperhatikan
kebijaksanaan pendukung setelah redistribusi tanah. Koperasi petani juga
banyak yang terpaksa ditutup karena hal yang sama. Kecenderungan ini
bertambah cepat dengan bergesernya strategi pembangunan pemerintah
pasca 1980an yang menekankan mekanisme pasar.
3. Legalisasi tanah redistribusi yang lambat: kelambatan ini mengancam
kepastian hak bagi pemilik baru (Baumeister)
4. Program land reform kurang memperhatikan sumberdaya lain disamping
tanah (Baumeister)
5. Kelembagaan pendukung pasca redistribusi tanah tidak dikembangakan
dengan baik, seperti sistem kredit, pasar, difusi teknologi, dsb. (Ghimire,
Baumeister)
6. Tanah komunal yang diprivatisasi dalam rangka land reform, membawa
dampak pada perempuan tani yang kehilangan hak-hak tradisionalnya dan
ketahanan pangan lokal yang menjadi rentan (Ghimire, Baumeister,
Ghonemy)
Hasil land reform yang mengecewakan dalam hal cakupan, tidak
menghapuskan kenyataan bahwa (Ghimire, Ghonemy, 116)
1. Land reform merupakan strategi yang paling jitu untuk mengurangi
konsentrasi penguasaan tanah dan kemiskinan di pedesaan;

124 | Sunito, S. Resensi Buku: Land Reform & Peasant Livelihoods

2. Land reform mempunyai dampak positif yang cepat bagi pertumbuhan


pertanian secara umum dan pangan khususnya.
Ghonemy memberikan contoh dampak land reform di Korea Selatan tahun
1945 1953 dan di Egypt tahun 1952 1961. Korea menentukan batas
pemilikan lahan maximum sangat rendah, 2,9 ha, dengan akibat dapat
membagikan 65 persen dari total tanah pertanian ke dalam persil-persil sekitar
0,9 ha. Dampak dari land reform ini, ketimpangan pemilikan tanah dapat
diturunkan dengan drastis, dari 0.729 tahun 1945 menjadi 0.303 (Gini index)
tahun 1980. Di Egypt, yang menerapkan batas maximum pemilikan tanah yang
sangat tinggi (84 ha). yang diturunkan kemudian menjadi 42 ha.), hanya dapat
meredistribusi tanah 10 persen dari tanah pertanian kepada 14 persen dari total
RT petani. LR yang terbatas inipun sudah dapat menurunkan ketimpangan
pemilikan tanah dari 0.740 tahun 1951 menjadi 0.384 tahun 1965. (Ghonemy,
113)
Menurut analisa Ghonemy dari 20 negara sedang berkembang, terdapat korelasi
positif yang kuat antara konsentrasi pemilikan tanah dengan kemiskinan di
pedesaan (Ghonemy, 116)
Atas dasar argumen-argumen di atas serta asumsi bahwa jumlah petani tanpa
lahan serta ketimpangan pemilikan tanah bertambah lebar, maka Ghimire
mengemukakan bahwa land reform masih tetap relevan sebagai strategi
mengakhiri kemiskinan di pedesaan (Ghimire, 22)

3. Peran Negara dan Kecenderungan Terkini


Land reform without the states participation would be a contradicton in terms
(Barraclough, 27)
The role of the state in land reform is crucial. This is because the state comprises the
institutionalized political organization of society. It articulates and implements public
policy as well as adjudicating conflicts. In theory, the sate has a monopoly of the
legitimate use of coercive force within its territoryt, together with the responsibility of
pursuing public good for all its citizens (ibid. 27)
Peran negara penuh dengan kontradiksi, dimana perubahan-perubahan
kebijakan ditentukan oleh faktor-faktor berikut (Barraclough, 27):
1. Struktur agraria pra-reform;
2. Ciri negara dan kelas-kelas sosial yang mendukung kekuasaan;
3. Tingkat mobilisasi dan organisasi petani dan buruh tani;
4. Tingkat integrasi ekonomi suatu negara di dalam sistem global.
5. Kebutuhan dari pusat-pusat kekuasaan untuk mendapatkan dukungan
petani, termasuk dalam rangka meredam ancaman pemberontakan.

Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 125

Faktor-faktor ini menerangkan corak reform yang dilaksanakan dan juga


mengapa reform tidak pernah dilaksanakan di negara seperti Brasil dengan
ketimpangan yang parah.
Mencermati faktor-faktor tersebut, maka nampaknya argumen-argumen
rasional pro atau kontra land reform, tidak menjadi pertimbangan pokok bagi
penerapan atau tidak dari land reform. Disamping itu tiap kasus land reform
boleh dikatakan unik, merupakan resultante dari proses-proses khas di negara
atau kawasan itu (Barraclough52-54):
Land reform dapat merupakan kelanjutan dari suatu revolusi sosial (Soviet,
China, Vietnam, Mexico, Bolivia, Cuba dan Nikaragua).
Land reform di beberapa negara Amerika Selatan berhubungan erat dengan
politik elektoral, walau dimasing-masing kasus prosesnya sangat berbeda:
Dalam kasus Guetemala, land reform dilaksanakan oleh pemerintah yang
didukung pemilih urban (petani belum ada hak memilih) yang melihat
petani sebagai suporter potensial bagi pemerintah yang berkuasa (di coup
AS).
Di Chile persaingan partai memperebutkan dukungan petani penting dalam
proses pelaksanaan suatu kebijakan land reform (di coup AS)
Puerto Rico adalah koloni AS waktu menerapkan reform.
Venezuela menerapkan reform setelah menjatuhkan pemerintahan otoriter
melalui pemilihan, namun reform sangat terbatas karena tidak ada dana.
Pemerintah otoriter menerapkan land reform Peru dan El Salvador
dalam rangka menggulung gerakan guerrilla dengan memanfaatkan
dukungan petani.
Di Asia adalah pemerintahan otoriter yang berperan menerapkan land
reform pasca PDII (Korea dan Taiwan). Di Korea sebagian karena takut
Korea Utara dapat memobilisir dukungan petani di Selatan, sebagian lagi
karena pemerintah Korea Selatan anti kolonial (Jepang) dan tidak punya
kaitan dengan kelas tuan tanah (antara lain tuan tanah asal Jepang) yang
sering beraliansi dengan penjajah Jepang. Di Taiwan, pemerintah Chiang
yang terusir dari daratan China dan tidak pernah melakukan land reform
ketika berkuasa di China daratan, melaksanakan land reform antara lain
karena tidak punya hubungan apapun dengan kelas petani kaya Taiwan asli.
Mengenai ciri kontradiktif dari peran negara terhadap land reform, atau
agrarian reform, Barraclough berkesimpulan: : ...land reform occur only when
dominant group among those wielding state power perceive a political imperative to
adopt a popularly based development strategy that requires active support from
important sectors of the rural poor. (54)
Market-based land reform:
Peran kontradiktif negara dalam hubungannya dengan land reform dapat
disaksikan juga pada pergeseran pendekatan, dari Redistributif Land Reform
126 | Sunito, S. Resensi Buku: Land Reform & Peasant Livelihoods

(RLF) menjadi Land Market Reform (LMR). Antara 1940 early 1980
merupakan .. decades of the poor peasants and the golden age of genuine land reform.
Pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development tahun
1979, pemerintah Negara-negara sedang berkembang menyatakan komitment
untuk melaksanakan equitable distribution of land through redistribution
with speed. Golden age of neguine land reform ini berakhir sekitar tahun
1980, ketika Negara-negara sedang berkembang dibawah beban hutang yang
berat dan resesi ekonomi, ditekan oleh Bank Dunia dan IMF untuk
menerapkan structural adjustment program dengan imbalan kredit. Pada
dasarnya adalah menerapkan kebijakan yang bertumpu pada mekanisme pasar,
privatisasi dan mengurangi peran pemerintah. Dalam konteks land reform
berarti peralihan dari pendekatan RLR ke pendekatan LMR.
Elemen-elemen pendekatan Land Market Reform ini antara lain adalah:
membenahi administrasi tanah,
mengembangkan land banks,
membangun jaringan civil society organizations untuk mendukung
pendidikan, identifikasi/seleksi tanah, pendampingan kredit tanah bagi
petani miskin.(World Bank, IFAD, FAO) (Ghimire, 18-19)
Kritik terhadap Land Market Reform (Ghimire, Ghonemy)
Land Lord sell low quality of land
Prosedur legal sangat lamban
Harga jual tanah sangat tinggi, sebagai akibat dari posisi tawar yang tidak
seimbang dan monopoli dari kekuatan politik local oleh golongan tuantanah
Tanah seringkali jatuh ketangan orang urban.
Petani miskin /landless sukar akses pada kredit;
Land market dan kredit akan mendorong harga tanah naik;
Dengan produktifitas dan harga produk pertanian yang tidak stabil dan
merugikan petani, perspektif mengembalikan kredit sangat gelap;
Perempuan umumnya tidak masuk hitungan dalam program kredit dan
land market; kredit umumnya disalahgunakan oleh politisi lokal,
pengusaha dan spekulan. Buruknya fasilitas pendukung lain, mendorong
petani miskin tergantung dari local money lender untuk modal kerja sering
dengan menggadaikan tanah dan tanah lepas kembali (Ghimire, 19-20)
Khususnya dalam hal privatisasi dari tanah komunal:
Rentan kehilangan tanah karena dijual pada spekulan kota dan terjerat
hutang karena penggadaian tanah
Melemahnya hak tradisional perempuan terhadap tanah dan makanan.
Terabaikannya tanaman pangan karena fokus pada komoditas untuk
pasar/export oleh pemilik baru.

Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 127

Terutama didaerah semi arid, privatisasi banyak mengacaukan akses


penduduk terhadap sumber-sumber komunal seperti padang rumput, serta
koridor-koridor yang menghubungkan kawasan perumputan tradisional
Penduduk lokal yang semula menguasai sumber daya cepat berubah
menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. (Ghonemy,122-123)

Dalam kenyataan, membeli tanah bagi kelas petani tanpa tanah boleh dikatakan
tidak mungkin, karena tingkat pendapatan yang teramat rendah. Penelitian
memperlihatkan peningkatan tajam harga-harga tanah sejajar dengan
ditempuhnya strategi neo-libera. Penelitian juga memperlihatkan dalam
konteks ini tani landless tidak mampu membeli tanah melalui mekanisme pasar
(seandainya ada yang jual dengan lokasi yang sesuai dan kualitas yang
memadai). Data dari Egypt memperlihatkan bahwa harga tanah pada periode
market based transaction (1935-19451, 1975-1980, 1997-1998) adalah sama
dengan 19 sampai 39 tahun upah harian seorang laki-laki dewasa (dalam arti
seluruh upahnya ditabung). Pada periode intervensi negara dalam reforma
agraria, masa tunggu tersebut dapat diredusir antara sampai 1/5 nya
(Ghonemy, 129)
Celakanya, sesuai dengan Structural Ajustment Program yang dipaksakan oleh
World Bank, negara mengurangi perannya di segala bidang, termasuk didalam
memberikan fasilitas pada petani miskin (Dorner, 95)

4. Pengaruh Globalisasi dan Teknologi Pertanian terhadap Inisiatif


Petani
Proses globalisasi membawa kendala bagi inisiatif lokal dan nasional untuk
reforma pertanian dalam dua hal (Dorner, 92-95)
1. Proses globalisasi berarti integrasi ekonomi dunia. Dalam proses globalisasi
ini ketergantungan pada pasar menjadi sangat tinggi. Menyitir Korten,
Dorner mengemukakan bahwa perkembangan teknologi dan pasar di sektor
pertanian membawa pada globalisasi sistim pangan, dalam konteks mana
pengaruh dan kekuasaan mancanegara dan MNCs menghujam sampai ke
pedalaman/tingkat lokal (93) Sebagai akibat lanjutan, suatu negara tidak
mungkin lagi melansir kebijakan ekonomi yang independent. Perjanjian
NAFTA dan GATT, yang pada dasarnya adalah liberalisasi perdagangan
antar negara, berakibat dilepasnya petani miskin ke dalam kancah
persaingan tanpa proteksi negara. Jelas bahwa globalisasi membawa akibat
aksi dan inisiatif lokal bertambah sulit dilakukan dan bertambah tidak
efektif (juga Ghimire, 15)
2. Keragaman kepentingan ekonomi lokal. Mengutip Ghai dan Hewitt de
Alcantara (1994) dikemukakan bahwa masyarakat lokal tercerai-berai oleh
pengaruh kuat dari globalisasi dan resesi ekonomi belakangan ini. Proses
modernisasi yang cepat dan menciutnya fasilitas pemerintah pada petani
(liberalisasi) membuat masyarakat petani menjadi rentan dan disorganized.
128 | Sunito, S. Resensi Buku: Land Reform & Peasant Livelihoods

Menjadi sukar untuk menggalang solidaritas dan kesatuan untuk


mendukung suatu kebijakan tertentu.

5. Peran Organisasi Tani


Para penulis sepakat bahwa perubahan policy ke arah reforma pertanian hanya
berhasil dengan mobilisasi peasant, organisasi yang mewakili tani, serta lembaga
dan organisasi-organisasi pendukung lain. Organisasi tani dan mobilisasi petani
merupakan faktor menentukan dalam menjebolkan policy land reform (Ghimire,
20; Barraclough, 54)
Namun demikian sejarah panjang pergerakan tani mengajarkan bahwa
mobilisasi tani tidak mudah, memerlukan waktu yang panjang dan pada
masyarakat tani yang terstratifikasi menjadi lebih sulit. Faktor-faktor lain
yang menyumbang pada sulitnya mempertahankan persatuan petani antara
lain: 1) Konflik internal setelah reform tercapai; 2) Bertambah terdiferensiasi
petani tambah sulit menjaga kekompakan; 3) Pejabat pemerintah maupun
partai yang berkuasa berusaha memecah belah petani melalui korupsi dan
patronase (Barraclough, 54)
Usaha petani dan organisasi petani merombak tatanan agraria lokal dengan
sendirinya mengundang perlawanan dari pemilik tanah serta kekuatan
reaksioner lain dengan segala cara (Huizer, Barraclough) Juga bila pemerintah
melansir program land reform yang progresif, kekuatan-kekuatan kelembagaan
lokal (pangadilan-pengadilan, instansi pemerintah dsb.) sering menjegal dan
menguntungkan status quo. Karena itu tekanan pada perlunya dukungan dari
pihak luar petani, seperti NGO, serikat buruh kota, asosiasi-asosiasi profesional
dibidang hukum, internasional, dsb. (Ghimire, 134)
Ghimire (136) menekankan pentingnya support terhadap petani miskin dan
landless di dalam usaha memperoleh hak terhadap tanah, dari kekuatankekuatan luar. Seperti dukungan dalam melatih berorganisasi, kepemimpinan,
hak-hak ekononmi dan politik, negosiasi dll. Peranan bantuan hukum sangat
penting dalam meredam usaha-usaha dari pihak pemilik tanah untuk mensabot
land reform. Namun juga dalam membantu petani dalam bernegosiasi dengan.
Pemerintah serta advokasi masalah petani, pertanian dan land reform pada
kalangan luar petani. Pentingnya aliansi dengan kekuatan-kekuatan luar antara
lain juga karena persoalan yang dihadapi kini lebih komplek dan luas
jangkauannya, mencakup masalah lingkungan, managemen sumberdaya alam,
proses urbanisasi, dsb.
Usaha menyediakan jasa hukum untuk mendampingi petani menjadi sangat
krusial. Demikian juga pengadaan Peradilan Agraria untuk menyelesaikan
masalah-masalah tanah sesuai dengan pengalaman di berbagai negara ternyata
sangat penting.

Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 129

Sebaliknya, contoh di Bangladesh, dimana land reform hanya mengenai


redistribusi tanah negara, tanpa menyentuh kepentingan kelas tuan tanah besar.
Disini kekuasaan tuan tanah tetap mencengkram kelembagaan-kelembagaan
lokal, termasuk sistim peradilan. Kurikulum sensitif masalah agraria menjadi
penting.
Organisasi Internasional di bawah payung UN yang mempromote hak-hak
petani dan land reform sesuai dengan deklarasi-deklarasi UN telah berperan
melegitimasi dan memberi pengakuan internasional pada tuntutan-tuntutan
petani lokal dan pihak-pihak yang menuntut land reform. Namun, organisasi
internasional sangat sensitif politik. Menarik dukungan pada organisasi petani
dan NGO lokal bila pemerintah tidak mendukung land reform. Pergeseran ke
pendekatan neo-liberal: walau retorika membela yang miskin, namun dalam
advokasi kebijakan memilih jalan liberal (Barraclough, 61)
Baumeister mengemukakan beragam strategi serta langkah-langkah petani dan
organisasi tani di dalam proses maupun post reforma agraria (75-83):
1. Tanah dijual kembali, karena: - mentalitas buruh dari penerima redis; kualitas tanah redis rendah; - letak / lokasi tanah tidak menguntungkan;
tidak memiliki modal kerja; - permintaan tanah tinggi, meningkatkan harga
tanah, untuk sektor non-pertanian: perumahan, industri.
2. Individualization and mix form of with some services collectively done.
Kebanyakan bentuk-bentuk kolektif hasil land reform, setelah beberapa
tahun dipecah-pecah menjadi tanah-tanah individual. Karena terbukti lebih
produktive dan memberi kesempatan mempekerjakan tenaga kerja
rumahtangga.
3. Perubahan dalam sistim produksi: dari sistim pertanian yang sangat
spesialistis - hasil revolusi hijau dan sebagai bagian dari modernisasi
pertanian didalam kerangka reforma agraria - ke sistim dengan integrasi
lebih intensif dari ternak, pertanian dan kehutanan Yang merupakan
bagian dari penerapan sistim konservasi tanah, penggunaan air dan
pemupukan alternatif, yang lebih hemat input pertanian. Pergeseran ini
disebabkan karena Structural Ajustment Programmes dari pemerintah dan
devaluasi mata uang, yang akibatnya harga-harga input pertanian modern
jadi mahal.
4. Perempuan sebagai organisator, produser dan income generator. Organisasi
petani telah mengangkat perempuan tani dari obsekuritas.
5. Kerjasama dengan sektor industri agribusiness. Petani menyumbang tanah
dan tenaga, pengusaha memberi fasilitas kredit, teknologi, prosessing dan
pasar. Perkembangan ini disebabkan oleh menciutnya peran pemerintah
sebagai fasilitator (a.l. neo liberal policy) dan terbatasnya peran serikat tani
dalam hal diatas.
6. Serikat tani yang terjun ke usaha komersial pertanian. Merupakan reaksi
dari menciutnya peran pemerintah akibat kebijakan Structural Ajustment
Programme dan neo-liberal. Serikat tani aktif dalam usaha koperasi

130 | Sunito, S. Resensi Buku: Land Reform & Peasant Livelihoods

agribusines. Namun dikendalai oleh penyakit seperti pada usaha-usaha


pemerintah: korupsi, manajemen yang lemah, politiks dan populism.

6. Kesimpulan
1. Land reform tetap merupakan policy yang valid
2. Tanah untuk redistribusi masih ada: redistribusi tanah petani luas, tanah
negara, menurunkan plafond tanah maksimum. Penting: memberdayakan
the commons.
3. Land reform policy harus disesuaikan dengan kondisi lokal yg spesifik.
Dimana pemilikan adalah skala kecil: maka tekanan policy pada tenants
rights, working conditions, fuller use of common property resource (!),
restriction of land sales, progressive taxes, access to subsidized credit and
production services. Juga pada medium sized land holdings, untuk
mencegah penurunan produktifitas karena skala menjadi kecil maka bukan
redistribusi tapi communal property atau cooperasi jadi solusi. Dimana
surplus labour besar, harus ada pengembangan non-land based employment.
4. Land redistribusion melalui market mechanism tidak dapat menanggulangi
ketimpangan dan kemiskinan desa dengan cepat. Apalagi pendekatan pasar
ini umumnya bagian dari economic adjustment program yang di tuntut oleh
WB dan IMF, yang artinya: reducing peran negara, mengurangi subsidi
(kredit pertanian) dan privatisasi banyak jasa-jasa (penyuluhan pernah
diusulkan untuk diprivatisasi)
5. Mobilisasi petani dan partisipasi merupakan syarat mutlak. Selain itu:
mobilisasi dukungan politik dari dalam dan luar negeri, aksi re-claiming
tanah, pemanfaatan mekanisme elektoral, aliansi (bukan sekedar networking*) dengan kekuatan-kekuatan masyarakat sipil. Globalisasi ada
positifnya dalam arti informasi dan pengetahuan yang mudah diperoleh
mengenai masalah hukum dan hak-hak petani, pengalaman global.
6. Land reform harus mengakomodir bentuk-bentuk kepemilikan atau
penguasaan tanah yang lain, seperti misalnya common property. Dalam
rangka ini, penting untuk memberi perhatian serius pada sumberdaya lain
kecuali tanah, seperti kebun/pekarangan, common property dan
sumberdaya alam lain.
7. Apresiasi pada sistem pertanian yang lebih integral dengan teknologi yang
berkelanjutan.

Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 2 2008 | 131

132 | Sunito, S. Resensi Buku: Land Reform & Peasant Livelihoods

Anda mungkin juga menyukai