Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Saat ini, penyakit Diabetes Mellitus (DM) masih menjadi masalah karena jumlahnya

yang terus meningkat. Pada tahun 1992, lebih dari 100 juta penduduk dunia menderita DM
dan pada tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 150 juta yang merupakan 6% dari
populasi

dewasa

(Pratiwi,

2007).

Indonesia

menempati

urutan

keempat

dengan

jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Untuk
DM tipe 2, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 di Indonesia (PERKENI, 2006). Sementara berdasarkan data
Rekam Medik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, yang merupakan rumah sakit rujukan untuk
daerah Indonesia bagian timur, tercatat jumlah penderita DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap
Penyakit Dalam pada tahun 2008 adalah 630 penderita dengan total pasien sejumlah 6847
orang. Jumlah ini meningkat pada tahun 2009 yaitu 955 penderita DM tipe 2 dengan jumlah
total pasien 7476 orang.
Pada penderita DM tipe 1 maupun DM tipe 2, pada akhirnya akan mucul beragam
komplikasi diabetes sebagai efek toxic dari hyperglikemia kronik dengan gangguan
metabolik lain (Moore et al,2009). Komplikasi kronis diabetes melitus (DM) terutama
disebabkan gangguan integritas pembuluh darah dengan akibat penyakit vaskuler (Arsono,
2009). Komplikasi ini berdampak besar pada kualitas hidup pasien diabetes, dan juga
mengurangi angka harapan hidup rata-rata 5-10% per tahun (Moore et al,2009). Sebuah
penelitian menyebutkan penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian
pada penderita DM tipe 2, yaitu sebesar 60-80%. (Ethical Digest. 2009).

Tingginya angka kematian akibat komplikasi gangguan vaskuler pada DM tipe 2 ini
masih belum banyak ditelaah, sehingga perlu dilakukan penelitian akan hal tersebut, sehingga
dapat segera dilakukan perencanaan tatalaksana DM tipe 2.
1.1

Rumusan Masalah
Berapa besar prevalensi komplikasi kronik gangguan vaskuler pada penderita DM tipe

di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1

April 2010 30 Juni 2010 ?


1.2

Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Mempelajari besar prevalensi komplikasi kronik gangguan vaskuler pada penderita
DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode
waktu 1 April 2010 30 Juni 2010 .
1.2.2
a.

Tujuan Khusus
Mempelajari prevalensi terjadinya DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam

RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 April 2010 30 Juni 2010 .
b.

Mempelajari prevalensi gangguan vaskuler pada penderita DM tipe 2 di Instalasi

Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode waktu 1 April 2010 30
Juni 2010 .

1.3

Manfaat

1.3.1 Manfaat Teoritis


Memberikan informasi ilmiah tentang prevalensi terjadinya komplikasi gangguan
vaskuler pada pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo

Surabaya periode waktu 1 April 2010 30 Juni 2010 dan diharapkan juga dapat menjadi
bahan penelitian selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini dapat diketahui prosentase dari masing-masing komplikasi
vaskuler sehingga dapat diketahui jenis komplikasi yang sering muncul dan dapat
direncanakan antisipasi untuk menghambat atau mencegah munculnya komplikasi tersebut,
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2, serta turut berperan dalam
perbaikan program penanggulangan DM tipe 2 dengan gangguan vaskuler.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Diabetes Mellitus (DM)

2.1.1

Epidemiologi Diabetes Mellitus (DM)


Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan

angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun
mendatang (PERKENI, 2006). Pada tahun 1992, lebih dari 100 juta penduduk dunia
menderita DM dan pada tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 150 juta yang merupakan
6% dari populasi dewasa (Pratiwi, 2007). Indonesia menempati urutan keempat dengan
jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat (WHO,
2006).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM
pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada
tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di
daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun
2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta
penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2006).
Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe-2 antara 0,8% di Tanah Toraja,
sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan
peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah

urban) dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan
kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta (PERKENI, 2006).
Dari data penderita DM di Surabaya, jumlah penderita yang terdaftar di Poli
Endokrinologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1964 terdapat 133 penderita dan
jumlah tersebut meningkat secara tajam, sehingga pada tahun 1997 penderitanya mencapai
jumlah 27,824, dan pada tahun 2002 sebesar 29.716 (Martono, 2007).
2.1.2 Pengertian Diabetes Melllitus (DM)
Diabetes mellitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di Indonesia
dikenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini berasal dari bahasa
Yunani, yaitu diabetes artinya mengalir terus, dan mellitus berarti madu atau manis. Jadi
istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita yaitu adanya cairan manis yang
mengalir terus. Penyakit ini bersifat menahun alias kronis. Penderitanya dari semua lapisan
umur serta tidak membedakan orang kaya atau miskin (Hapsari, 2008).
Pada tahun 1999, WHO mendefinisikan DM sebagai gangguan metabolik yang terdiri
dari beragam penyebab, dicirikan dengan kronik hiperglikemia dan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan gangguan dalam sekresi insulin, kerja
insulin, ataupun keduanya. Efek DM adalah kerusakan dalam jangka waktu lama, disfungsi
dan kegagalan beragam organ (WHO, 2006).
DM sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
DM dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil ataupun berat badan
yang menurun. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi kedokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Supartondo
dan Sarwono,1994)

Penyakit ini ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial (kadar glukosa
darah meningkat), aterosklerosis, dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati.
Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya
kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringagn
(gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami
komplikasi metabolik diabetes (Price, 2006).
2.1.3

Klasifikasi Diabetes Mellitus

2.1.3.1 Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes Mellitus tipe 1 (DM tipe 1) juga disebut diabetes mellitus tergantung insulin
(IDDM), disebabkan kurangnya sekresi insulin (Guyton dan Hall, 2000). Kerusakan sel beta
pankreas atau penyakit penyakit yang menganggu produksi insulin dapat menyebabkan
timbulnya diabetes tipe 1. Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan
kerusakan sel beta pankreas pada banyak pasien DM tipe 1, meskipun faktor herediter juga
berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan gangguan
tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor herediter dapat menyebabkan
degenerasi sel beta, bahkan tanpa adanya infeksi virus atau kelainan autoimun (Guyton dan
Hall, 2000).
Onset DM tipe 1 biasanya dimulai pada umur sekitar 14 tahun di Amerika Serikat dan
oleh sebab itu, diabetes ini sering disebut diabetes mellitus juvenilis, DM tipe 1 dapat timbul
tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau minggu, dengan tiga gejala sisa yang utama yaitu
naiknya kadar glukosa darah, peningkatan penggunaaan lemak sebagai sumber energi dan
untuk pembentukan kolesterol oleh hati, dan berkurangnya protein dalam jaringan tubuh
(Guyton dan Hall, 2000).

Pada ras non-caucasians, muncul penyakit dengan gejala klinik diabetes mellitus tipe 1
namun tidak ada reaksi autoimun sehingga mereka diklasifikasikan sebagai tipe 1 idiopatik
(WHO,2006).
Gejala dari DM tipe 1 adalah polidipsi (banyak minum), poliphagi (banyak makan),
poliuria (banyak buang air kecil), penurunan berat badan dengan cepat, nafas berat,
perubahan penglihatan, mengantuk, kelelahan dan keletihan. Gejala-gejala itu muncul secara
tiba-tiba (WHO,2006).
2.1.3.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 adalah tipe diabetes yang paling sering terjadi, yang juga disebut diabetes
mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM), disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan
target terhadap efek metabolic insulin. Penurunan sensitifitas ini seringkali disebut sebagai
resistensi insulin (Guyton dan Hall, 2000).
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasanya terjadi
secara bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Akan tetapi,
mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati, dan
jaringan adiposa pada orang obese lebih sedikit daripada jumlah reseptor pada orang yang
kurus, Namun kebanyakan resistensi insulin agaknya disebabkan kelainan jaras sinyal yang
menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan berbagai efek selular. Gangguan sinyal
insulin agaknya disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka
dan hati akibat kelebihan berat badan (Guyton dan Hall, 2000).
DM ini biasanya merupakan kondisi yang diturunkan. Biasanya mereka yang
menderita DM tipe ini sering mempunyai anggota keluarga yang juga terkena. Sifat dari gen
yang menyebabkan DM tipe ini belum diketahui (Dewi, 2009).

DM tipe 2 ini paling banyak menyerang orang dewasa (umumnya lebih dari 40 tahun),
meskipun juga tidak menutup kemungkinan menjangkiti individu berusia berapa saja (Dewi,
2009; Hapsari, 2008).
2.1.3.3 Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan atau intoleransi
glukosa yang didapat selama masa kehamilan. Diabetes gestasional terjadi pada trimester
kedua atau trimester ketiga. Pada pasien-pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal
setelah persalinan (Hapsari, 2008).
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Ini meliputi 2 - 5
% daripada seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin
kurang baik bila tidak ditangani dengan benar (Hapsari, 2008).
2.1.3.4 Diabetes Mellitus Tipe Lain
Pada diabetes tipe lain, hiperglikemia berkaitan dengan penyakit-penyakit, antara lain
defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom
gengetik lain yang berkaitan dengan DM (PERKENI, 2006).
2.1.4 Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Ada berbagai faktor risiko Diabetes Mellitus seperti obesitas, hipertensi , dan
hiperlipidemia (PERKENI, 2006). Hubungan ini juga didukung oleh berbagai faktor risiko
yang lain yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, konsumsi alkohol, kebiasaan merokok,
aktivitas fisik dan faktor genetik (Yulianto, 2010).
Faktor risiko lain yang dapat memicu DM tipe 2 antara lain seperti usia > 45 tahun,
atau usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2 yang disertai dengan faktor risiko
seperti kebiasaan tidak aktif, jarang olahraga, turunan pertama dari orang tua dengan DM,
riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat DM gestational,

hipertensi (> 140/90 mmHg), kolesterol HDL < 35 mg/ dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl,
menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan
resistensi insulin, adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler (Renatasari,
2008).
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes
adalah peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar
kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2006).
Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan
toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai. Obesitas, terutama obesitas sentral
secara bermakna berhubungan dengan sindrome dismetabolik yang didasari oleh resistensi
insulin (PERKENI, 2006).
Merokok juga berpengaruh pada pasien DM, terutama dalam manifestasinya
memunculkan risiko kardiovaskular (Yulianto, 2010). Sitopoe menyatakan bahwa perokok
dapat dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu perokok ringan (1-10 batang/hari), perokok sedang
(11-20 batang/hari), perokok berat (>20 hari), selain tidak merokok, dan berhenti merokok
(Petra, 2005). Penderita DM yang tergolong perokok sedang dan berat memiliki risiko
terkena komplikasi kronik lebih besar daripada penderita DM yang bukan perokok (Fisher et
al, 2007).
Aktifitas olahraga juga dapat mengurangi risiko munculnya gangguan vaskuler pada
pasien DM. Menurut penelitian Tyler S. Smith, aktivitas olahraga tiga kali seminggu
memiliki risiko tersebut lima kali lebih kecil daripada orang yang tidak berolahraga.
Intensitas olahraga tersebut dapat berkurang seiring meningkatnya umur penderita, namun

dapat digantikan dengan intnsitas jalan > 3 mili/ hari yang juga dapat mengurangi risiko
penyakit kronik tersebut (Smith et al, 2007).
2.1.5 Gejala Klinis dan Diagnosis Diabetes Mellitus
Gejala utama diabetes yaitu poliuria merupakan efek langsung kadar glukosa darah
yang tinggi, yaitu apabila kadar glukosa darah tinggi maka glukosa akan sampai ke air kemih,
sehingga ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan glukosa yang hilang.
Poliuria mengakibatkan penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum
(polidipsi). Selain itu poliuria juga mengakibatkan terjadinya polifagi. Hal ini dapat terjadi
karena kalori banyak yang hilang ke dalam air kemih yang mengakibatkan penderita
mengalami penurunan berat badan, sehingga penderita merasakan lapar yang luar biasa,
untuk menggantikan itu semua penderita meningkatkan makannya. Gejala lainnya yaitu
merasa lelah dan lemah hampir sepanjang waktu, pusing, mual, berkurangnya ketahanan
selama melakukan olah raga, luka dan cedera yang sulit sembuh, rasa kebas dan kesemutan
pada kaki, infeksi kulit, penglihatan yang kabur dan kulit kering atau gatal (Hapsari, 2008).
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
(PERKENI, 2006).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan. Keluhan lain juga dapat ditemukan berupa

lemah badan,

kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
(PERKENI, 2006).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan
dalam praktek sangat jarang dilakukan (PERKENI, 2006).
2.1.6 Komplikasi Diabetes
Komplikasi dari penyakit DM dapat dibedakan menjadi komplikasi yang bersifat akut
dan menahun atau kronis. Komplikasi akut yaitu komplikasi yang memerlukan tindakan dan
pertolongan yang cepat. Komplikasi yang bersifat menahun atau kronis timbul setelah
penderita mengidap DM selama 5 - 10 tahun atau lebih (Dewi, 2009).
Komplikasi dapat muncul secara akut dan kronik (yang timbul beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah mengidap DM). Komplikasi Akut yang sering terjadi adalah seperti
hipoglikemia, hiperglikemia, dan infeksi (WHO, 2006).
Reaksi hipoglikemia pada pasien diabetes mellitus adalah keadaan dimana kosentrasi
glukosa darah rendah yang disebabkan karena asupan makanan yang tidak cukup, kerja yang
berlebih, atau dosis obat-obatan hipoglikemik oral atau insulin yang berlebih (WHO, 2006).
Tanda tanda yang muncul adalah rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing dan
sebagainya. Dalam keadaan hipoglikemia, penderita harus segera diberi roti atau pisang. Bila
tidak tertolong, diberi minum teh manis satu/ dua gelas. Jika keadaan ini tidak segera diobati,
penderita akan tidak sadarkan diri. Karena koma ini disebabkan oleh kekurangan glukosa di

dalam darah, koma ini disebut koma hipoglikemik (Dewi, 2009). Konsekuensi serius
hipoglikemia terkait dengan dampaknya pada otak, termasuk hilangnya fungsi kognitif,
kejang, dan koma. Keadaan hipoglikemia yang berulang dapat menghasilkan kerusakan otak
permanen, dan respon adrenergik. Kondisi ini dapat berbahaya pada orang dengan penyakit
jantung (WHO, 2006). Konsumsi alkohol dapat memperburuk risiko dari hipoglikemia dan
merusak pemulihan. Selain itu, makan yang tertunda dan peningkatan

aktivitas juga

meningkatkan risiko hipoglikemia. Begitupun dengan obat hipoglikemik oral, khususnya


sulfonylureas, juga dapat menyebabkan hipoglikemia (WHO, 2006).
Berlainan dengan koma hipoglikemik, koma diabetik timbul karena kadar glukosa
dalam darah terlalu tinggi atau hiperglikemia, dan biasanya > 600 mg/ dl. Gejala yang timbul
adalah nafsu makan menurun (biasanya penderita DM mempunyai nafsu makan yang besar),
haus, minum banyak, kencing banyak, kemudian disusul rasa mual, muntah, nafas penderita
menjadi cepat dan dalam serta berbau aseton, sering disertai panas badan, karena biasanya
ada infeksi, penderita koma diabetik harus segera dibawa ke Rumah sakit (Dewi, 2009).
Hiperglikemia pada Diabetes Mellitus dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
Ketoasidosis diabetikum dan Hyperglycaemic Hiperosmolarity State (HHS). Ketoasidosis
terutama mempengaruhi orang-orang dengan diabetes tipe 1. Diabetic ketoacidosis tetap
berpotensi mematikan dengan kematian setinggi 10% -15%, namun minimal 50% dari kasus
dapat dihindari. Ketoasidosis terjadi ketika tubuh memecah asam lemak dan menghasilkan
keton, yang bersifat asam. Beberapa keton tubuh hilang melalui urin, tetapi mereka yang
tetap akan membangun dalam darah dan menyebabkan ketoasidosis. Tanda-tanda
ketoasidosis meliputi mual, muntah, kulit dan mulut kering, nafas cepat dan dalam, dan
tekanan darah rendah. Jika orang itu tidak segera diberi cairan dan insulin, ketoasidosis dapat
mengakibatkan kematian (WHO, 2006).

Penderita diabetes mellitus tipe 2 jarang mengalami ketoasidosis. Mereka justru lebih
mudah mengalami kondisi hyperosmolar hyperglycaemic State (HHS). Tanda klinis yang
timbul adalah dehidrasi, circulatory compromize dan gangguan mental. Asidosis adalah
biasa, kecuali ketika berhubungan dengan asidosis laktat karena hypoperfusion. Keton dan
elektrolit serum perlu dipantau. Pengaturan bikarbonat diabetes tipe 1 tidak dianjurkan
kecuali di asidosis berat (pH <7.1). Kadar kalium perlu diperiksa setiap 2 jam dan diperbaiki
sesuai kebutuhan. Elektrolit lain yang perlu dipantau adalah fosfor dan magnesium (WHO,
2006).
Penderita diabetes yang tidak dikontrol kadar glukosanya dengan baik lebih rentan
mengalami infeksi bakteri (dalam anaerobik tertentu), mikobakteri dan jamur. Mereka juga
lebih rentan mengalami infeksi saluran kemih dibandingkan dengan non-diabetes. Infeksi
saluran kencing juga dapat disebabkan suatu obstruksi atau kandung kemih neurogenik.
Pyelitis dan pielonefritis memperburuk keadaan nefropati diabetes. Infeksi ini, diperparah
dengan komplikasi kronik berupa neuropati dan ischemia, dapat menimbulkan gangrene
(WHO, 2006).
Komplikasi kronis atau komplikasi yang bersifat menahun pada umumnya terjadi pada
penderita yang telah mengidap penyakit DM selama 5-10 tahun. Komplikasi ini dapat
dibedakan menjadi 2 golongan

yaitu komplikasi mikrovaskuler dan komplikasi

makrovaskuler (Dewi, 2008).


Komplikasi mikrovaskuler merupakan komplikasi khas dari DM lebih disebabkan
hiperglikemia yang tidak terkontrol. Komplikasi makrovaskuler lebih disebabkan karena
kelainan kadar lipid darah. Komplikasi mikrovaskuler meliputi retinopati diabetika, nefropati
diabetika dan neuropati diabetika. Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang
mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga menyebabkan atherosklerosis.

Akibat atherosklerosis antara lain penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan gangrene
pada kaki (Dewi, 2008).
2.2 Komplikasi Gangguan Vaskuler pada DM (angiopathy)
2.2.1 Makroangiopati
Makroangiopati adalah gangguan yang terjadi pada pembuluh darah sedang atau besar
(Pierce, 2006). Makroangiopati yang sering terjadi pada DM adalah penyakit jantung
koroner, stroke, hipertensi, penyakit arteri perifer seperti gangrene dan infark miokard
(Moore, 2009;Dewi, 2009).
Penderita DM lebih mudah menderita penyakit jantung koroner (penyakit jantung
yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner yaitu pembuluh darah yang
mensuplai makanan bagi otot jantung). Jika pembuluh darah ini menyempit, otot jantung
akan kekurangan oksigen dari makanan, sehingga otot jantung menjadi lemah atau sebagian
otot jantung mati. Keadaan ini disebut infark jantung atau infark miokard akut (Dewi, 2009).
Dalam penyakit makrovaskuler, hipertensi, merokok, obesitas, pubertas, dan dislipidemia
memainkan semua peran sebagai faktor risiko non-glikemia (Moore et al, 2009).
Pada penderita DM terjadinya iskemia atau infark miokard kadang-kadang tidak
disertai dengan nyeri dada atau disebut silent myocardial infarction (SMI) yang mungkin
menyebabkan kematian karena terlambatnya diagnosis PJK atau sulitnya mendiagnosa PJK
pada DM. Kematian mendadak pada penderita DM mungkin disebabkan PJK yang
menghasilkan aritmia atau infark miokard (Yanti, 2008). Pada penderita diabetes tipe 2 risiko
untuk terjadinya infark miokard meningkat 2-3 kali lipat dan risiko kematian meningkat dua
kali lipat (Rahmawati, 2009).
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang disebabkan oleh gangguan peredaran
darah ke otak. Stroke ini juga merupakan masalah kedokteran dan kesehatan yang amat

penting karena dapat mengakibatkan kecacatan fisik dan mental bahkan kematian
(Rahmawati, 2009)
Data dari rumah sakit di Indonesia, seperti yang diungkapkan Yayasan Stroke
Indonesia angka kejadian stroke mencapai 63,52 per 100.000 pada kelompok usia 65 tahun
ke atas. Secara kasar setiap hari dua orang Indonesia terkena stroke. Dahulu banyak
ditemukan pada orang lanjut usia. Namun seiring dengan perubahan gaya hidup terutama
masyarakat kota besar, stroke cenderung mulai menyerang usia muda atau kelompok usia
produktif (Rahmawati, 2009).
Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada populasi
diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan memperberat
penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner, stroke, nefropati diabetik,
retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat diabetes, yang meningkat dua kali
lipat bila disertai hipertensi (Mufidah, 2008)
Hipertensi merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien
diabetes dan menentukan evaluasi dari nepropati dan retinopati penderita diabetes khususnya.
Hipertensi pada pasien dengan diabetes tipe 2 biasanya berasal dari parensimal ginjal
(Mufidah, 2008).
Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi insulin atau
hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak
beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena
meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium (Mufidah, 2008).
Hubungan antara hipertensi dan diabetes tipe 2 lebih kompleks dan tidak berkaitan
dengan nepropati. Pada diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari sindrom metabolik
dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada pasien ini
sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi

dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan
pada sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui
hipertropi vaskular. Penatalaksanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi
perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Mufidah, 2008).
Dalam United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), reduksi 5 mmHg
dalam tekanan darah diastolik rata-rata menghasilkan reduksi komplikasi mikrovaskular
sebesar 37%. Banyak pasien yang membutuhkan dua atau tiga pengobatan untuk mencapai
target tekanan darah <130/80 mmHg. Reduksi tahanan dan latihan menurunkan resistensi
insulin (hiperinsulinemia) dan akan mempengaruhi terhadap pengobatan dalam merendahkan
tekanan darah. Diet retriksi sodium mengenai peningkatan total sodium tubuh yang terdapat
dalam pasien ini untuk meningkatkan retensi sodium (Mufidah, 2008).
Tekanan

darah

tinggi

yang

terus-menerus

pada

pasien

dengan

diabetes

dapat menyebabkan komplikasi yang parah pada kedua tingkat, baik mikrovaskuler maupun
macrovaskuler. Pasien dengan DM tipe 2 sering memiliki beberapa faktor risiko untuk
tekanan darah tinggi, seperti obesitas, riwayat penyakit keluarga, dan umumnya memiliki
masalah kesehatan kardiovaskular Awal dari hipertensi pada DM tipe 2 biasanya sulit untuk
ditentukan karena ketidakpastian onset penyakit. Sementara pada populasi pasien dengan
DM Tipe 1, awal munculnya penyakit lebih pasti dan kurangnya faktor risiko lain,
permulaan, dan kecenderungan hipertensi menjadi lebih mudah untuk dilacak (Moore et al,
2009).
Penyakit arteri perifer (PAD) adalah penyakit kronis, merupakan penyakit yang
membatasi

gaya

hidup

dan

merupakan

prediktor

independen

terhadap

kejadian

kardiovaskular dan serebrovaskular iskemik. Meskipun PAD ini berkaitan dengan risiko
kejadian iskemik, namun manifestasi aterosklerosis sistemik ini sebagian besar kurang
terdiagnosis dan tidak mendapat perawatan dengan baik. Risiko PAD meningkat tajam antara

individu dengan diabetes, dan tingkat kejadian iskemik lebih tinggi pada individu diabetes
dengan PAD dibandingkan dengan populasi non-diabetes. Oleh karena itu, diagnosis dini dan
pengobatan PAD pada pasien diabetes sangat penting untuk mengurangi risiko kejadian
kardiovaskuler, meminimalkan risiko kecacatan jangka panjang, dan meningkatkan kualitas
hidup. Diagnosis PAD pada pasien dengan diabetes menggunakan pendekatan pengobatan
multi-faceted, melibatkan modifikasi agresif-faktor risiko, terapi antiplatelet, dan prosedur
revaskularisasi (Marso dan Hiatt, 2006).
Penyakit arteri perifer yang disebabkan oleh oklusi aterosklerotik pada arteri kaki,
adalah manifestasi penting sistemik

aterosklerosis. Prevalensi penyakit arteri perifer

disesuaikan usia sekitar 12 persen, dan angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan
adalah sama (Hiatt, 2001).
Pasien dengan iskemia tungkai kritis (yang paling parah manifestasi klinis penyakit
arteri perifer), yaitu gangrene, menjadi penyebab kematian tahunan sebesar 25 persen. Faktor
risiko utama untuk penyakit arteri perifer adalah usia tua (lebih dari 40 tahun), merokok.
Hiperlipidemia, hipertensi, dan hyperhomocysteinemia juga faktor risiko penting (Hiatt,
2006).
2.2.2 Mikroangiopati
Mikroangiopati adalah gangguan vaskuler yang terjadi pada pasien DM yang
menyerang pembuluh darah kecil. Mikroangiopati meliputi neuropati, retinopati, dan
nephopati (Pierce, 2006).
Gangguan pada retina mata akibat DM disebut retinopati diabetik. Retinopati diabetik
terjadi karena penyempitan pembuluh darah kapiler yang disertai eksudasi dan pendarahan
pada retina penderita DM, terdapat kebocoran pada pembuluh darah kapiler. Karena
kebocoran ini timbullah pendarahan serta keluarnya cairan dari pembuluh darah yang disebut
eksudat. Darah dan oksida inilah yang akan menutup sinar yang menuju ke retina, sehingga

mata penderita menjadi kabur yang tak dapat sembuh dengan kacamata, bahkan dapat
menjadi buta (Dewi, 2009).
Diabetic retinopathy merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan
pada orang dewasa. Hampir semua orang yang terkena DM tipe 1 pada usia muda, akan
menderita retinopathy diabetes setelah 20 tahun mengidap penyakit ini. Sementara itu, 75%
diantara mereka akan terkena stadium yang lebih parah, yaitu retinopati diabetes proliferasi.
Sedangakan pada penderita DM tipe 2 yang sebagian besar menyerang orang dewasa, hampir
60% akan terkena retinopathy diabetes dan 10% diantaranya akan berkembang menjadi
retinopati proliferasi dan sekitar 2% menjadi buta (WHO, 2006).
Baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2, mereka berisiko terkena manifestasi dari
retinopati diabetes, yaitu edema makula, suatu pembengkakan bagian tengah retina. Data
epidemiologis juga menunjukkan bahwa kehilangan penglihatan karena open-angle glaucoma
dan katarak lebih sering terjadi pada orang diabetes dibandingkan non diabetes (WHO, 2006).
Penderita DM juga mempunyai kecenderungan 17 kali lebih mudah mengalami
gangguan fungsi ginjal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan faktor infeksi
yang berulang yang sering timbul pada penderita DM dan adanya faktor penyempitan
pembuluh darah kapiler yang disebut mikroangiopati diabetik di dalam ginjal. Manifestasi
komplikasi mikroangiopati diabetik pada ginjal disebut nefropati diabetic (Dewi, 2009).
Nefropati diabetes adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan akhir stadium
penyakit ginjal yang membutuhkan dialisis dan transplantasi akhirnya. Awalnya, pasien
mengalami mikroalbuminuria yang bisa berkembang menjadi gross proteinuria. Gross
proteinuria adalah indikasi penyakit mikrovaskuler luas. Pasien ini juga mengembangkan
tekanan darah tinggi dan penurunan glomerular filtrasi, akhirnya menyebabkan kegagalan
ginjal. Di masa lalu, nefropati diabetik telah dilaporkan berkembang di sekitar
40% dari pasien dengan DM Tipe 1 dan sekitar 20% dari pasien dengan DM tipe 2. Dengan

perawatan diabetes membaik, kejadian nefropati diabetes dilaporkan kini sekitar 15% sampai
20% di DM Tipe 1 dan DM tipe 2. Pada orang dewasa dengan DM Tipe 1, temuan klinis
nefropati diabetic (mikroalbuminuria) dapat muncul sebagai awal 5 tahun setelah awalpada 5
tahun awal, yang akhirnya dapat menyebabkan gross proteinuria setelah rata-rata sekitar 17
tahun mengidap penyakit diabetes. Tahap akhir penyakit ginjal berkembang setelah rata-rata
sekitar 23 tahun DM Tipe 1. Pada DM tipe 2 Batas-batas waktu ini lebih sulit diukur, sebab
awal penyakit mungkin tidak pasti (Moore et al, 2009).
Kadar glukosa darah yang tinggi pada penderita DM akan merusak saraf penderita
terlebih lagi apabila prosesnya berlangsung lama. Kelainan saraf akibat DM ini disebut
neuropati diabetik (Dewi, 2009).
Neuropati diabetes adalah hasil dari konduksi saraf sensoris dan motoris yang
diperlambat dan paling sering berkembang antara 5 dan 10 tahun setelah onset disease.
Neuropathy dapat hadir pada bagian sensorimotor perifer, tengkorak, motor perifer, dan
neuropati otonom. Sensorimotor perifer

neuropati adalah simetris dan kebanyakan

mempengaruhi kaki, mengarah ke berkurangnya sensasi dan paresthesia. Berkurangnya


sensasi dapat menyebabkan berubahnya persepsi tekanan kaki dan perubahan bentuk kaki.
Perubahan ini dapat mengakibatkan cedera, penyembuhan luka yang sulit, dan akhirnya
amputasi. Atau, neuropati diabetes dapat menyebabkan hypersensation yang menyakitkan
dan melemahkan dan pembakaran dysesthesias. Prevalensi neuropati perifer di populasi
pediatrik telah dilaporkan berkisar antara 7% sampai 57% tergantung pada kriteria diagnostik
yang digunakan, dengan subklinis neuropati dilaporkan terjadi di 57% dari anak-anak dan
DM Tipe 1. Pada remaja dengan rata-rata, sekitar 50% dari pasien diabetes akan mengalami
neuropathy. Sebagai prevalensi adalah berdasarkan durasi penyakit, mayoritas pasien yang
terkena adalah orang-orang yang didiagnosis di masa kanak-kanak (Moore et al, 2009).

Polyneuropathies, misalnya neuropati sensorik-motorik distal dan neuropati motor


proksimal, fokus neuropati, misalnya mono-neuropati (termasuk tengkorak) dan entrapment
neuropati, multifocal neuropati, neuropati otonom dapat melibatkan sistem kardiovaskular,
gastrointestinal, genitourinari (WHO, 2006).
Bentuk yang paling umum adalah neuropati sensorik motorik distal simetris parah.
Awal neuropati sensorik-motorik distal biasanya asimtomatik, tetapi kelainan indra dapat
terdeteksi oleh pengujian neuro-fisiologis. Gejala neuropati pancaindera distal diwujudkan
oleh hilangnya sensorik, dan dapat disertai olehparaesthesia dan / atau sakit. Neuropati
sensorik-motorik distal yang parah ditunjukkan oleh keterlibatan motor, dan bisa disertai
dengan menonaktifkan gejala dan potensi ulserasi, yang dapat menyebabkan infeksi,
nekrosis, gangren, dan hilangnya lengan/tungkai. Neuropati diabetes mungkin merupakan
komplikasi microsvascular diabetes mellitus yang paling umum (WHO, 2006). Adanya
neuropati terkait dengan morbiditas yang signifikan, termasuk infeksi kaki dan ulserasi
berulang, mungkin menyebabkan amputasi, impotensi pada pria diabetes, kematian
mendadak pada orang dengan neuropati otonom kardiovaskular (WHO, 2006).
2.3

Mekanisme Munculnya Penyakit Vaskuler pada DM


Sementara mekanisme kerusakan makro dan mikro vaskular masih belum jelas.

Namun setidaknya, terdapat tiga hal utama dari hyperglikemia yang memicu jalur metabolik
dan bertanggung jawab terhadap patogenesis dari komplikasi vaskular, yaitu pembentukan
produk akhir glikasi/ advanced glycation end products (AGEs), aktivasi protein kinase C,
hyperglikemia intraseluler menimbulkan gangguan pada jalur polyol sehingga meningkatkan
sorbitol intraseluler. Jalur jalur diatas memungkinkan terjadinya beragam komplikasi medis
dari DM (Moore et al, 2009).
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh
kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makroangiopati).

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina
(retinopati diabetik), glumerolus ginjal (nephropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati
diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan
peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar
dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan
pembentukan sel sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel sel ini tidak membutuhkan
insulin (Price, 2006).
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa -> sorbitol >fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga
mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan
sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.
Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan menganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwan
dan menyebabkan hilangnya akson (Pierce, 2006). Hiperglikemia yang terkait dengan
diabetes diduga sebagai pusat dampaknya terhadap struktur saraf melalui sejumlah
mekanisme yang mungkin, termasuk aktivitas meningkat dalam jalur polyol, metabolisme
myo-inositol diubah dan glikasi non-enzimatik. Mekanisme lain mungkin juga terlibat,
misalnya perubahan dalam aktivitas faktor pertumbuhan saraf, viskositas darah, peredaran
platelet dan tingkat sintesis dan transportasi protein intra-aksonal. Mungkin juga ada interaksi
antara jalur-jalur tersebut. (Price, 2006).
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.
Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi
penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa (1) penimbunan
sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia dan (3) kelainan pembekuan darah.
Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika
mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskuler perifer yang

disertai klaudikasio intermiten dan gangrene pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan
stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina
dan infark miokardium (Price, 2006).
Sebagai tambahan untuk pengaturan metabolisme glukosa, system renin-angiotensin
dan inflamasi kronik yang mencirikan baik pada DM Tipe 1 maupun DM tipe 2 memainkan
peranan yang penting pada kerusakan pembuluh darah (Moore et al, 2009).
Pada orang dengan diabetes mellitus, sel endotelial mensintesis beberapa substansi
bioaktif kuat yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah. Substansi ini termasuk nitrit
oksida, spesies reaktif lain, prostaglandin, endothelin, dan angiotensin II. Pada individu tanpa
diabetes, nitrit oksida membantu menghambat atherogenesis dan melindungi pembuluh
darah. Namun bioavailabilitas pada endothelium yang diperoleh dari nitrit oksida diturunkan
pada individu dengan diabetes mellitus. Hiperglikemia menghambat produksi endothelium,
mesintesis aktivasi dan meningkatkan produksi superoksid anion yaitu sebuah spesies
oksigen reaktif yang merusak formasi nitrit oksida. Produksi nitrit oksida dihambat lebih
lanjut oleh resistensi insulin, yang menyebabkan pelepasan asam lemak berlebih dari jaringan
adipose. Asam lemak bebas, aktivasi protein kinase C, menghambat phosphatidylinositol-3
dan meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif. Semua mekanisme ini secara langsung
mengurangi bioavailabilitas (Renatasari, 2009).

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1

Kerangka Konseptual Penelitian

Obesitas

Umur >
45 tahun

Dislipidemia

Riwayat
keluarga
dengan
diabetes

Kurangnya
aktifitas fisik

Merokok

Faktor-faktor risiko

Diabetes Mellitus tipe 2

Hiperglikemia

Komplikasi kronik Gangguan Vaskuler (angiopati)

Makroangiopati

PJK

Infark
miokard

Mikroangiopati

hipertensi

Stroke

gangrene

neuropati

: variabel yang diteliti


: variabel yang tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

3.2

Penjelasan Kerangka Konseptual

nephropati

retinopati

Diabetes Mellitus tipe 2 yang dipicu oleh berbagai faktor seperti obesitas, umur> 45
tahun, dislipidemia, riwayat keluarga diabetes, kurangnya aktifitas fisik, dan merokok yang
dapat menyebabkan komplikasi kronik berupa gangguan vaskuler. Penelitian ini mempelajari
manifestasi dari tiap komplikasi vaskuler tersebut, yang terdiri dari PJK, Infark Mokard,
Hipertensi,

Stroke,

prevalensinya.

Gangrene,

Neuropati,

Nephropati,dan

retinopati

untuk

dicari

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian yang mempelajari besar prevalensi komplikasi kronik
gangguan vaskuler pada penderita DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSU
Dr. Soetomo Surabaya pada periode 1 April 2010 30 Juni 2010 , maka rancangan penelitian
adalah observasional deskriptif.
4.2 Desain Penelitian
Penelitian ini mempelajari besar prevalensi komplikasi kronik gangguan vaskuler pada
penderita DM tipe 2, maka penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Semua Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang dirawat di Instalasi Rawat Inap
Penyakit Dalam RSU Dr. Soetomo Surabaya dari periode 1 April 2010 30 Juni 2010 .
4.3.2 Sampel Penelitian
Semua populasi penelitian pada periode tersebut menjadi sampel penelitian.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
Penderita yang dirawat dengan diagnosa utama DM tipe 2.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi
Penderita yang dirawat dengan penyakit DM tipe 2 yang didapat secara sekunder.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah DM tipe 2 dan komplikasi gangguan
vaskuler yang dimilikinya.
4.5 Definisi Operasional Variabel
Variabel

Skala

Definisi Operasional Variabel

Penderita

1. DM tipe 2

sistemik

didiagnosa

metabolik

yang

kelainan
ditunjukkan

1. Ya

Jenis Data
Nominal

2. Tidak

dengan gejala subjektif dan objektif dari


diabetes mellitus dengan kadar gula darah
puasa > 126 mg/dl atau kadar gula darah
dua jam setelah makan > 200 mg/dl dan
pasien tidak tergantung insulin.
Subvariabel:
1. Merokok
2. Aktifitas Olahraga
3. Konsumsi alkhohol
2.Gangguan
vaskuler

Komplikasi kronik gangguan vaskuler yang


didapatkan dalam status penderita DM tipe
2,

antara

lain

1. Ya

Nominal

2. Tidak

makroangiopati seperti

Penyakit Jantung Koroner (PJK), Infark


myokard,

Stroke,

Arteri

Perifer

Hipertensi,
(gangrene),

Penyakit
dan

mikroangiopati seperti retinopati, neuropati


dan nephropati.

Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel


4.6 Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa Dokumen Medik Kesehatan
(DMK) pada bulan 1 April 2010 sampai 30 Juni 2010 di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam
RSUD dr Soetomo yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.7 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dengan cara menggunakan data sekunder, yaitu data yang
diambil dari status penderita pada Dokumen Medik Kesehatan (DMK) berupa komplikasi
vaskuler yang diderita pasien DM tipe 2.
4.8 Teknik Pengolahan Data
Data diolah melalui beberapa tahapan, yaitu editing, dan processing. Editing dilakukan
dengan melakukan pengecekan isian data DMK. Kemudian dilakukan coding, yaitu merupah
data dalam bentuk huruf menjadi angka supaya mudah saaat dilakukan analisis data dan entry
data. Tahap processing adalah memproses data secara deskriptif agar dapat dianalisis.
4.9 Teknik Analisis Data
Menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul dalam
master tabel, kemudian disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram dengan bantuan
sistem Microsoft Office Excell 2003.
4.10

Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD dr Soetomo dan

bagian rekam medik RSU Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini dimulai sejak bulan Juli 2010
sampai Januari 2011.
.
4.11

Alokasi Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada Juli 2010 sampai dengan Januari 2011 dengan

mengambil data sekunder dari DMK pada tanggal 1 April 2010 sampai 30 Juni 2010 di
Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
Tabel Alokasi Waktu Penelitian
No.

Kegiatan

Bulan

Juli
2010
1

Pengumpulan data

Pengolahan data

Analisis data

Penyusunan laporan

Seminar

Agu
2010

Kerangka Kerja

Okt
2010

Nov
2010

Des
2011

Jan
2011

Tabel 4.2 Alokasi Waktu Penelitian

4.12

Sep
2010

Pasien Diebetes Mellitus tipe 2 yang dirawat di Instalasi


Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD dr Soeteomo Surabaya
pada bulan Januari 2010 sampai Juni 2010

Kriteria inklusi dan eksklusi

Pendataan masing-masing komplikasi kronik


gangguan vaskuler yang diderita pasien

HASIL

Tabulasi data
deskriftif

Penyajian data

Gambar 4.1 Kerangka Operasional

Anda mungkin juga menyukai